Minggu, 16 Juni 2013

Konseling Lintas Budaya (Budaya dan Kepribadian)


A.  BUDAYA DAN KEPRIBADIAN
Budaya memiliki ranah sosial sekaligus ranah individual. Pada ranah sosial karena budaya lahir ketika manusia bertemu dengan manusia lainnya dan membangun kehidupan bersama. Dari kehidupan bersama tersebut kemudian diadakanlah aturan-aturan, nilai-nilai, kebiasaan hingga kadang sampai pada kepercayaan-kepercayaan transedental yang kesemuanya berpengaruh sekaligus menjadi kerangka perilaku dari individu-individu yang masuk dalam kehidupan bersama. Semua tata nilai, perilaku, dan kepercayaan yang dimiliki sekelompok individu itulah yang disebut budaya.
Pada ranah individual adalah karena budaya diawali ketika individu-individu bertemu untuk membangun kehidupan bersama dimana individu-individu tersebut memiliki keunikan-keunikan masing-masing dan untuk selanjutnya saling memberi pengaruh. Pada perkembangan selanjutnya ketika sudah terbentuk budaya, setiap individu secara hakikat adalah agen-agen budaya yang memberi keunikan, membawa perubahan, sekaligus penyebar. Individu-individu membawa budayanya pada setiap temapt dan situasi kehidupannya ketika pergi belajar, ke kantor bekerja dan lain-lain sekaligus mengamati dan belajar budaya lain dari individu-individu lain yang berinteraksi dengannya untuk selanjutnya dibawa pulang pada budaya aslinya, mempengaruhi sekaligus mengembangkan budaya tersebut. Dari sini terlihat bahwa budaya sangat mempengaruhi perilaku individu sekaligus disisi lain lahir dan dipengaruhi perilaku individu-individu.
Budaya memberi pengaruh pada kehidupan individu, terlihat hubungan yang sangat dekat antara budaya dengan beberapa konsep dasar psikologi khususnya konsep yang membangun entitas psikologis seorang manusia, yaitu: kepribadian dan konsep diri.

B.  KEPRIBADIAN DALAM LINTAS BUDAYA
Budaya, kepribadian, dan konsep diri saling memperngaruhi satu sama lain sekaligus dengan tujuan akhir bekerja integratif membentuk pribadi yang utuh. Kepribadian merupakan konsep dasar psikologi yang berusaha menjelaskan keunikan manusia.


1.        Definisi Kepribadian
Dalam literatur psikologi Amerika umumnya kepribadian dipertimbangkan sebagai karakter perilaku, karakter kognitif dan predisposisi yang relatif abadi (Matsumoto, 1996). Definisi lain menyebutkan bahwa kepribadian adalah serangkaian karakteristik pemikiran , perasaan, dan perilaku yang berbeda antara tiap individu dan cenderung konsisten dalam setiap waktu dan kondisi. Ada dua aspek dalam definisi ini yaitu: kekhususan (distinctiveness), dan stabilitas serta konsistensi (stability and consistency) (phares, 1991).
Semua difinisi di atas menggambarkan bagaimana mereka mempercayai bahwa kepribadian didasarkan pada stabilitas dan konsistensi di setiap konteks, situasi, dan interaksi (Matsumoto, 1996). Definisi tersebut menjadi kerangka semua teori-teori psikologi yang dibangun barat dan mendominasi perkembangan keilmuan psikologi. Semua teoritisi, meski berada dalam konsepsi mengenai bagaimana kepribadian berkembang, ternyata tetap memiliki kesamaan kesepakatan dalam memahami pengertian kepribadian; yaitu sebagaui hal yang relatif stabil dan konsisten di semua ruang waktu.
Hal yang sedikit banyak diyakini para behaviorist bahwa yang disebut sebagai kerpribadian adalah kumpulan respon-respon kebiasaan. Dari definisi ini dipandang cenderung menetap sekalipun ada rentang toleransi respon dalam menyesuaikan stimulus dan reinforcement (reward dan punishment) yang mungkin timbul.
Begitupun tokoh humanistik salah satunya Maslow. Dalam teorinya, Maslow meyakini bahwa kepribadian diarahkan oleh pemenuhan level-level kebutuhan dengan puncaknya adalah keberhasilan dalam aktualisasi diri.
Sementara itu di belahan dunia lain dimana budaya  masyarakatnya sngat berbeda dengan budaya western, asumsi stabilitas relatif kepribadian sangatlah sulit diterima. Budaya timur (East Cultures) melihat kepribadian adalah kontekstual (contextualization). Ia bersifat lentur yang menyesuaikan dengan budaya dimana individu pemilik tersebut mengisi hidupnya. Kepribadian cenderung berubah, seberapapun besarnya, untuk menyesuaikan dengan konteks dan situasi (Matsumoto, 1996).


2.        Kandungan Teori Kepribadian
Fenomena kedua yang menunjukkan hubungan antara budaya dengan kepribadian  adalah masalah antesedent, tau latar belakang kondisi sosial budaya dimana suatu teori dibangun, yang mempengaruhi bagaimana isi dan suatu teori dibangun. Kondisi soaial pada waktu suatu teori dibangun sangat mempengaruhi bagaimana kandungan teori tersebut. Disisi lain disadari bahwa yang namanya kondisi sosial adalah terus berubah sebagaimana budaya yang dinamis saling berakulturasi dan berasimilasi.

3.        Metodologi dan Cara Pengukuran
Menjadi pemikiran ketiga dalam kaitan kepribadian dengan budaya sebagai bagian dari ilmu pengetahuan ilmiah adalah bagaimana metodologi dan cara mengukur suatu kepribadian dalam konteks lintas budaya. Banyak kesulitan dan bias yang timbul ketika dilakukan studi-studi dan ranah psikologi lintas budaya. Persoalan bahasa salah satunya, dimana telah banyak penelitian mengenai bahasa menunjukkan bahwa penggunaan multilingual (peneliti dan subjek-subjek penelitian memiliki bahasa yang berbeda) memberi respon yang berbeda terhadap pertanyaan-pertanyaan dalam tes kepribadian (Matsumoto, 1996).

4.        Locus of Control
Locus of control merupakan sebuah konsep yang dibangun oleh Rotter (1966) yang menyatakan bahwa setiap orang berbeda dalam bagaimana dan seberapa besar kontrol diri merek terhadap perilaku dan hubungan mereka dengan orang lain serta lingkungan. Suatu konsep yang pada awalnya diambil dari teori belajar sosial yang mendudukkan penguat (reinforcement) pada suatu posisi inti.
Locus of control kepribadian umumnya dibagi menjadi dua berdasarkan arahnya, yaitu internal dan eksternal. Individu dengan locus of control external melihat diri mereka sangat ditentukan oleh bagaimana lingkungan dan orang lain melihat mereka. Sedangkan locus of control internal melihat independency yang besar dalam kehidupan dimana hidupnya sangat ditentukan oleh dirinya sendiri.
Penelitian yang mengkaji locus of control menemukan hal menarik mengenai kesamaan ataupun perbedaan dalam konteks lintas budaya. Contoh, dengan mengambil ujung-ujung pendulum adalah penelitian perbandingan antara masyarakat barat (Eropa-Amerika) dengan masyarakat timur (Asia). Orang-orang eropa cenderung melihat diri mereka dalam kaca mata personal individual sehingga seberapa besar prestasi yang mereka raih adalah ditentukan seberapa besar kerja keras mereka bekerja dan seberapa tinggi tingkat kapabilitas mereka. Sebaliknya orang Asia yang locus of control kepribadiannya cenderung eksternal melihat keberhasilan mereka dipengaruhi oleh dukungan orang lain ataupun lingkungan (Matsumoto, 1996).
Locus of control seringkali dihubungkan dengan karakter-karakter kepribadian. Literatur Amerika menjelaskan bahwa pribadi-pribadi dengan locus of control eksternal tampak lebih sering mengeluh namun lebih mudah berkompromi ketika menghadapi konflik. Pada 1974, McGinnies dan Ward (dalam Berry, 1999) menguji ulang temuan ini dan menemukan ketidakhadiran hubungan yang diharap terjadi pada responden Selandia Baru, bahkan hubungan yang berlawanan di Australia.
Berbagai penelitian dengan menggunakan alat psikotes konvensional dianggap tidak memberikan gambaran yang memuaskan mengenai kepribadian dalam lintas budaya (Matsumoto, 1966).

C.    BUDAYA DAN PERKEMBANGAN KEPRIBADIAN
Kepribadian manusia selalu berubah sepanjang hidupnya dalam arah-arah karakter yang lebih jelas dan matang. Perubahan-perubahan tersebut sangat dipengaruhi oleh lingkungan dengan fungsi-fungsi bawaan sebagai dasarnya. Stern (dalam Saffer, 1985) menyebutnya sebagai Rubber Band Hypotesis (Hipotesa dan karet). Dari hipotesa tersebut ditarik hipotesa lanjutan bahwa budaya memberi pengaruh pada perkembangan kepribadian seseorang.
Perdebatan diawali oleh Gutman (1976, dalam Prince, 2002) yang menyebutkan bahwa sesungguhnya ada sebuah keurutan (squence) yang universal dalam perkembangan kepribadian manusia. Ia mengidentifikasi tiga tahapan yang dialami lelaki Amerika dalam arah kedewasaannya.Dalam setiap tahap, individu melihat diri mereka dan duni mereka dengan cara dan dan dalam pandangan yang berbeda, memiliki dorongan-dorongan (drives) yang setiap tahapnya juga berbeda, dan begitu pula dengan gaya pertahanan dirinya.
Untuk membuktikan keyakinannya, Gutman melakukan perbandingan studi pada orang-orang dewasa dari Indian Maya Meksiko. Ia mengambil subyek para lelaki dewasa yang usianya sekitar 30 hingga 90 tahun. Pertanyan yang diajukan adalah apakah yang membuat mereka bahagia.
 Kesimpulan umum yang ditarik Gutman dalam penelitiannya adalah adanya perubahan-perubahan kepribadian ditinjau dari semakin bertambahnya usia dimana perubahanperubahan tersebut ditemukan sama antara responden Amerika dengan responden Indian Maya. Semakin bertambah tua seseorang, tampak semakin pasif, motivasi berprestasi dan kebutuhan ekonomi semakin turun, dan locus of control dirinya semakin mengarah keluar (eksternal)(Price, 2002).

D.    BUDAYA DAN INDIGENOUS PERSONALITY
Persoalan mendasar yang muncul dalam kajian kepribadian dalam tinjauan lintas budaya di atas menggambarkan sebuah kenyataan bahwa antar budaya yang berbeda sangat mungkin secara mendasar memiliki pandangan yang berbeda mengenai apa tepatnya kepribadian itu. Suatu kajian yang bersifat lokal atau indigeneous personality, konseptualisasi mengenai kepribadian yang dikembangkan dalam sebuah budaya tertentu dan relevan hanya pada budaya tertentu tersebut.
Sebagai contoh kajian indigenous personality adalah penelitian yang dilakukan oleh Doi 91973) di Jepang. Di Indonesia sendiri kajian indigenous personality diawali oleh Darmanto Jatman (1997). Jatman menemukan adanya profil kepribadian manusia yang memandang jiwanya sebagai rasa. Konsep ini tampak mirip dengan konsep India mengenai Jiva (Paranjpe, Berry, 1999)
Konsepsi barat tentang diri selalu merujuk pada diri yang terpisah, otonom dan atomis dengan mecari keunikan yang menunjukkan arti keterpisahan dan ketidak tergantungan pada orang lain. Sebaliknya, dalam budaya timur, ketertalian, kesalingterhubungan, dan saling ketergantungan merupakan landasan kosep diri yang tak terpisah dan selalu terkait denagn orang lain dan lingkungan luar.

E.     BUDAYA DN KONSEP DIRI
1.    Definisi Konsep Diri
Konsep diri adalah organisasi dari perepsi-persepsi diri (Burns, 1979) Organisasi dari bagaimana kita mengenal, menerima, dan menilai diri kita sendiri. Suatu deskripsi mengenai siapa kita , mulai dari identitas fiik, sifat, hingga prinsip.
Namun apa yang dimaksud dan dipahami sebagai diri dan konsep diri adalah berbeda dalam setiap budaya (Matsumoto, 1966). Kita seringkali tidak melihat perbedaan ini sebagaimana kita seringkali tidak menyadari perasaan akan diri kita sendiri dan bagaimana perasaan diri ini mempengaruhi hidup kita.

2.    Diri Individual
Diri individual adalah diri yang fokus pada atribut internal yang sifatnya personal; kemampuan individual, inteligensi, sifat kepribadian dan pilihan-pilihan individual. Diri adalah terpisah dari orang lain dan lingkungan. Budaya dengan diri individual mendesain dan mengadakan seleksi sepanjang sejarahnya untuk mendorong kemandirian sertiap anggotanya. Mereka didorong untuk membangun konsep akan diri yang terpisah dari orang lain, termasuk dalam kerangka tujuan keberhasilan yang cenderung lebih mengarah pada tujuan diri individu.
                        Dalam kerangka budaya ini, nilai akan kesuksesan dan perasaan akan harga diri megambil bentuk khas individualisme. Keberhasilan individu adalah berkat kerja keras dari individu tersebut. Diri individual adalah terbatas dan terpisah dari orang lain, maka mereka lebih puas akan diri mereka dan harga diri mereka meningkat seiringnya.



3.    Diri Kolektif
Budaya yang menekankan nilai diri kolektif sagat khas dengan cirri perasaan akan keterkaitan antar manusia satu sama lain, bahkan antar dirinya sebagai mikro kosmos dengan lingkungan di luar dirinya sebagai makro kosmos. Tugas utama normative pada budaya ini adalah bagaimana individu memenuhi dan memelihara keterikatannya dengan individu lain.
Tugas normatif sepanjang sejarah budaya adalah mendorong saling ketergantungan (interdependence) satu sama lain. Karenanya, diri (self) lebih fokus pada atribut eksternal termasuk kebutuhan-kebutuhan dan harapan-harapannya, atau apa yang disebut Matsumoto (1996) sebagai interdependent constroal of self.

4.    Pengaruhnya terhadap Persepsi Diri
Studi yang dilakukan oleh Bond danTak-Sing (1983), dan Shwender dan Bourne (1984) menunjukkan bagaimana perbedaan konstruk diri mempengaruhi persepsi diri. Studi ini membandingkan kelompok Amerika dan kelompok Asia, subyek diminta menuliskan beberapa karakteristik yang menggambarkan diri mereka sendiri. Subyek umumnya memberikan respon, yang apabila dianalisa dapat dibagi menjadi dua jenis yaitu respon abstrak atau diskripsi sifat kepribadian semacam saya seorang yang mudah bersosialisasi, saya orang ulet, saya pemarah dan sebagainya; dan respon situasional semacam saya biasanya mudah bersosialisasi dengan teman-teman dekat saya dan sebagainya.
Hasil studi menunjukkan bahwa subyek Amerika cenderung memberikan respon abstrak sedangkan subyek Asia cenderung memberikan respon situasional. penemuan ini selanjutnya dianalisa bahwa individu dengan konstruk diri yang dependent cenderung menekankan pada atribut personal: kemampuan ataupun sifat kepribadian; sebaliknya individu dengan konstruk diri intersependent lebih cenderung melihat diri mereka dalam konteks situasional dalam hubungannya dengan orang lain (Matsumoto, 1966).


5.    Pengaruhnya pada Social Explanation
Konsep diri juga menjadi semacam pola panduan bagi kognitif (cognitive template) dalam melakukan interpretasi terhadap perilaku orang lain. Individu-individu dengan diri individual (independent self), yang memiliki keyakinan bahwa setiap orang memiliki serangkaian atribut internal yang relatif stabil semacam sifat kepribadian, sikap, dan kemampuan, akan menganggap orang lain juga memiliki hal yang sama. Hasilnya, ketika mereka melakukan pengamatan dan interpretasi terhadap perilaku orang lain, mereka berkeyakinan dan mengambil kesimpulan bahw aperilaku orang lain juga didasari dan didorong oleh aspek-aspek dalam atribut internalnya.

6.    Pengaruhnya pada Motivasi Berprestasi
Motivasi adalah faktor yang membangkitkan (direct) dan menyediakan tenaga (energize) bagi perilaku manusia dan organisme lainnya (Feldman, 1999).  Dalam tradisi barat dimana konsep diri bersifat individual (Independent Constural of Self) diasosiasikan sebagai sesuatu yang personal dan internal, dan kurang terkait dengan konteks sosial ataupun interpersonal.
Sebaliknya, dalam komunitas budaya dimana konsep diri condong dilihat sebagai bagian kolektifitaas (Interdependent, Construal of Self), kesuksesan selalu dipandang  terkait dengan kebnggaan dan kebahagiaan orang lain, utamanya orang dekat.

7.    Pengaruhnya pada Peningkatan Diri (Self Enhancement)
Memelihara atau meningkatkan harga diri diasumsikan akan memiliki bentuk yang berbeda pada budaya yang cenderung interdependent. Diantara orang-orang yang datang dari budaya interdependent, penaksiran atribut internal diri mungkin tidak terkait dengan harga diri (self esteem) ataupun kepuasan diri (self satisfiaction). Sebaliknya, harga diri ataupun kepuasan diri terlihat lebih terkait dengan keberhasilan memainkan perannya dalam kelompok, memelihara harmoni, menjaga ikatan, dan saling membantu. Bagi orang-orang dri interdependent culture, melihat diri sebagai unik atau berbeda malah akan menjadikan ketidakseimbangan psikologis diri. Mereka akan merasa terlempar dari kelompoknya dan kesepian sebagai manusia.


PERTANYAAN

1)   Berbagai teori berkaitan dengan budaya dan kepribadian individu dicetuskan oleh para ahli dari jaman dahulu. Apakah teori tersebut masih relevan dengan kehidupan sekarang, sedangkan budaya semakin berkembang dan memunculkan berbagai kepribadian yang beraneka ragam dan berbagai pemikiran-pemikiran baru.
2)   Bagaimana penjelasan mengenai orang dengan kepribadian ganda?
3)   Pengarahan yang bagaimana yang dapat diterapkan pada anak dengan memiliki masalah sulit beradaptasi dengan budaya/lingkungan barunya?
4)   Bagaimana konsep diri individu yang individualis tetapi hidup pada dunia bagian timur sedangkan budaya timur itu sendiri memiliki konsep diri kolektif.
5)   Apakah kepribadian individu memiliki pengaruh pada budaya?


PENGARUH BUDAYA DALAM MEMBENTUK KEPRIBADIAN MANUSIA
Budaya ada karena dalam kehidupan bersama sekolompok individe membentuk suatu aturan, nilai-nilai, kebiasaan dan lain-lain yang kemudian telah disepakati bersama oleh sekelompok individu tersebut. Kebiasaan yang telah mereka sepakati tersebut kemudian telah menjadi hal yang melekat pada masing-masing individu. Para behavioris sendiri menyebut kepribadian adalah kumpulan respon-respon kebiasaan. Jadi kepribadian individu dipengaruhi oleh budaya karena salah satu ciri budaya adalah kebiasaan yang telah disepakati bersama/dianut oleh banyak orang. Kepribadian juga dipengaruhi oleh lingkungan, setiap  lingkungan memiliki budaya tertentu, bila individu berada pada lingkungan tersebut kemungkinan pemikiran-pemikirannya akan terpengaruh oleh budaya tersebut yang kemudian terlihat pada tingkah lakunya.

PENGARUH BUDAYA DAN KEPRIBADIAN KLIEN DALAM PROSES KONSELING
Saat klien memiliki budaya yang sama dengan konselor tentu itu akan mempermudah proses konseling karena kesamaan budaya dapat meminimlisir kesulitan konselor memahami klien. Bahasa terutama menjadi kendala bagi proses konseling, dengan adanya perbedaan bahasa maka akan memicu timbulnya persepsi yang salah antara konselor dengan klien dan sebaliknya maka proses koseling akan terhambat. Sikap klien yang berbeda juga dapat menimbulkan adanya rasa tidak nyaman pada konselor. Dengan adanya budaya dan kepribadian yang berbeda maka konselor perlu mempelajari lebih jaun tentang budaya yang dimiliki klien guna mendorong tercapainya tujuan dari proses konseling.


YANG DILAKUKAN KONSELOR DALAM MENGHDAPI  PERBEDAAN BUDAYA DAN KEPRIBADIAN KLIEN
Mencari informasi mengenai klien berkaitan dengan kebudayaannya beserta kepribadian klien. Dengan mengetahui budayanya kemungkinan konselor dapat lebih mengerti bagaimana kepribadin klien berdasarkan kaitannya dengan budaya yang dimiliki klien.Mencoba memahami diri klien, dan memberi pengarahan sesuai dengan budaya dan kepribadian klien. Pahami apakah dia termasuk dalam diri individual atau diri kolektif, hal tersebut mungkin berkaitan dengan motivasinya untuk mencapai suatu tujuan tertentu. 

0 komentar: