Minggu, 16 Juni 2013

Konseling Lintas Budaya (Budaya dan Kesehatan)


BAB I
PENDAHULUAN

A.    Latar Belakang Masalah
Adanya berbagai kebudayaan yang berbeda dan bermacam-macam di segala penjuru dunia dimana kebudayaan tersebut dilakukan masyarakat pada kehidupan yang kemudian berdampak pada berbagai hal seperti pendidikan, emosi, kognisi dan kesehatan. Dari kebudayaan tersebut banyak masyarakat yang sulit menerima hal-hal baru karena terkurung pada budaya warisan nenek moyang mereka yang masih mereka pegang teguh dan mereka lebih percaya akan hal itu daripada pada penemuan-penemuan atau hasil penelitian para ilmuwan. Seperti misalnya mereka lebih mempercayakan seorang ibu melahirkan kepada dukun ketimbang pada dokter atau bidan.
Budaya masyarakat yang mayoritas lebih terbiasa mengobati daripada mencegah juga perlu diubah, bagaimanapun juga kebiasaan mereka dalam mengatur pola hidup akan berdampak pada kesehatan mereka masing-masing.Selain itu perlunya masyarakat mengetahui bahwa budaya memiliki pengaruh pada kesehatan tidak hanya mencakup kesehatan fisik saja namun juga pada kesehatan psikis mereka, dimana beberpa kebiasaan ternyata merupakan klasifikasi gangguan mental.

B.     Rumusan Masalah
1)      Menjelaskan beberapa klasifikasi gangguan mental dan sindrom-sindrom terkait dengan budaya.
2)      Mendiskripsikan factor budaya dalam psikoterapi
3)      Mendiskripsikan factor budaya dalam perilaku kesehatan

BAB II
PEMBAHASAN

A.    PERILAKU KESEHATAN
Di tahun 1970-an terjadi suatu revolusi dalam cara berpikir mengenai kesehatan. Sebagaimana ditunjukkan dalam penerimaan penuh atas Alma Ata Declaration tentang “Health for All by the Year 2000” (World Health Organization, 1988), ada suatu pergeseran cara, yaitu dari “mengobati penyakit” ketika hal itu berlangsung ke “pencegahan penyakit” (melalui ukuran kesehatan masyarakat seperti perawatan kesehatan dini), dan bahkan secara lebih fundamental ke “promosi kesehatan” (melalui factor seperti diet dan latihan yang sesuai serta penghindaran dari subtansi yang tak menyehatkan).Teknologi medis berada pada suatu unsur penting dalam kesehatan baik penyembuhan atau pencegahan, tetapi persoalan kini lebih pada “teknologi yang sesuai” dimana populasi local dapat memahami, menggunakan, dan melakukan pemeliharan tekhnologi yang ada pada mereka. Misal, sanitasi dan air yang aman dapat mencegah dan mengurangi efek-efek penyakit diare.
Dalam Alma Ata Declaration (WHO, 1978), kesehatan fisik didefinisikan sebagai suatu “keberadaan kebaikan fisik, mental dan social yang penuh, dan bukan hanya ketiadaan penyakit”.Dalam bayangan gerakan ini dan perkembangan antropologinmedis (Allland, 1970; Lieban, 1973), psikologi lintas budaya, dengan mengambil gagasan gerakan itu dari segi variasi dalam budaya dan perilaku individu, ditempatkan secara baik untuk memainkan peran penting dan bermanfat dalam bidang yang diredefinisikan secara baru.
Psikologi juga telah mengembangkan sejumlah sub-bidang baru (“kedokteran perilaku”, “psikologi kesehatan”, “kesehatan mental masyarakat”) dan seperangkat sumbangan yang diredefinisi dibuat bagi kesehatan melalui bidang-bidang ini (Holtzman, Evans, Kennedy & Iscoe, 1978). Psikologi lintas budaya telah mulai mengambil langkah yang sama (missal Draguns, 1990; Ilola, 1990). Peran ilmu social dan perilaku tidak sebatas berkutat pada kesehatan mental; pendekatan yang diangkat di sini, psikologi dan psikologi lintas budaya masih relevan untuk persoalan kesehatan fisik dan social.

B.     Psikopatologi Lintas-Budaya
Dengan “perilaku-perilaku  dan keberadaan yang abnormal”, para psikolog dan psikiater biasa mengartikannya sebagai ciri-ciri perilaku atau pengalaman individu yang dinilai asing atau aneh oleh orang lain, yang berinteraksi dengan individu dalam kehidupan sehari-hari. Suatu daftar gangguan mental semacam itu disajikan dalam boks 15-1; pparan lebih lengkap tersedia dalam buku tentang psikologi abnormal (misal Coleman, Butcher, & Carson, 1980).
Persoalan utama yang berkaitan dengan psikopatologi secara lintas budaya  adalah apakah fenomena ini absolut tak beragam secara lintas budaya dalam asal usul, pengungkapan dan sebagainya), universal (hadir dalam beberapa bentuk disemua budaya, namun menjadi pokok bagi pengaruh budaya pada factor yang memungkinkannya, pengungkapan, dan sebagainya), atau relative secara  budaya (unik bagi beberapa budaya dan terpahami hanya menurut pengertian budaya itu).

Boks 15-1 Klasifikasi gangguan mental
Untuk memudahkan pelaporan internasional  tentang penyakit psikiatris, WHO
(1990) mengembangkan suatu “klasifikasi internasional tentang penyakit-penyakit” (icd-10 = International (Classificaton of Diseases). Para Penderita Gangguan Mental (Mental Disorders) ditempatkan dalam kategori-ktegori sebagai berikut:
1.      Gangguan mental organik: seperti penyakit dan dementia (karena factor organic seperti penyakit Huntington dan Parkinson) Alzheimer.
2.      Gangguan mental karena penggunaan subtansi psikoaktif: seperti alcohol, tembakau, kanabis, cadu, dan kokain.
3.      Gangguan schizophrenia dan delusional: seperti paranoia, katatonik, schizophrenia dan delusi.
4.      Gangguan-gangguan afektif: seperti gangguan mood manik dan depresif.
5.      Gangguan-gangguan neurotik: seperti phobia, kecemasan, obesi, amnesia, kepribadian ganda, hipochondria dan neurasthenia (sindrom kelelahan).
6.      Ketidakberfungsian fisiologis: seperti anorexia, obesity, insomnia, ngelindur, dan ketidakberfungsian seksual (kekurangan hasrat, penikmatan atau respon)
7.      Gangguan kepribadian: seperti impulsive, kepribadian yang tergantung, persoalan identitas gender, perjudian patologis, mudah terbakar, dan pencurian, termasuk abnormalitas dalam hal preferensi seksual (fetishism, exhibitionism, voyeurism, pedophilia, tetapi homoseksualitas tidak).
8.      Keterbelakangan mental: seperti perkembangan mental yang terhambat (IQ rendah).
9.      Gangguan-gangguan perkembangan: seperti bahasa, aphasia, kesulitan membaca; autisme, dan hiperkinesis.
10.  Gangguan-gangguan masa kanak-kanak: seperti persaingan antar saudara kandung, tics (saradan, jawa.), ngompol dan gagap.


Kebanyakan calon penderita yang mendukung posisi absolutis ialah penderita gangguan yang berakar dalam beberapa fungsi biologis dasar: gangguan organic dan gangguan subtansi (kategori 1 dan 2 dalam boks 15-1). Respon fisiologis terhadap alcohol tampak beragam lintas-kelompok (wolf, 1972), diduga karena alasan genetic, tetapi norma-norma budaya tentang apa, dimana, dan berapa banyak alcohol yang diminum beragam, dan mengarah ke pengungkapan penggunaan alcohol yang berbeda secara lintas kelompok.
Scizopherenia, gangguan ini merupakan gangguan paling umum didunia.Biasanya, tanda-tanda penderita gangguan ini adalah kekurangan wawasan, halusinasi pendengaran, delusi referensi, afekasi yang datar (WHO, 1973).Ada pandangan bahwa gangguan ini diturunkan secara genetic, tetapi pengalaman-pengalaman tertentu juga boleh jadi berpartisipasi dalam kemunculannya. Murphy (1982) mengusulkan, budaya dapat berpengaruh terhadap perkembangan schizophrenia dalam empat cara: melalui salah latih berkaitan dengan pemrosesan informasi; melalui pengharapan tentang pembuatan keputusan ketika informasi menjadi tak jelas; dan melalui derajat sejauh mana keluarga yang terjangkit schizorhenia dicegah atau didorong mempunyai anak.
Depresi.Gangguan jiwa penting lain yang telah dikaji secara lintas budaya adalah depresi (kategori 4 dalam boks 15-1).  Deprei dicirikan dengan sejumlah besar persoalan dan symptom, termasuk suasana hati (mod) yang sedih dan kekurangan energy, minat, dan penikmatan.Gangguan ini sering bersamaan dengan perubahan-perubahan emosional (seperti rasa bersalah, marah dan cemas), perubahan fisik (seperti gangguan tidur, kelelahan, dan kehilangan nafsu, berat badan, dan kekuatan), perubahan perilaku (menangis, menarik diri, dan melakukan agitasi) dan perubahan dalam dalam evaluasi diri (penghargaan diri yang rendah, pesimisme, perasaan tak berpengharapan dan tak berarti).Beberapa depresi boleh jadi bersamaan dengan kecenderungan bunuh diri (Engelsmann, 1982).
Boks 15-2 Sindrom-sindrom yang terkait dengan budaya
Dalam literatur psikiatri buadaya, sejumlah gangguan “eksotik” telah dipapar dan tafsiran diberikan dalam pengertian-pengertian local, kadang dengan nama pribumi untuk gangguan yang masuk ke dalam literature medis  (Yap, 1969; Pleiffer, 1982; Simons Huges, 1985). Suatu sampling terhadap beberapa sindrom yang dikenal baik adalah sebagai berikut:
Amok menyertakan perilaku kejam, agresif berjangka waktu tertentu (biasa pada laki-laki) di mana ada upaya membunuh atau melukai seseorang.Gangguan ini dikenal di Asia Tenggara (Malaysia, Indonesia, Thailand).Amok ialah istilah Melayu, berarti “berjuang mati-matian di medan peperangan” (Westermeyer, 1973).Amok berhubungan sangat jelas dengan “perilaku pejuang Viking (berserker) yang pertama-tama memasuki medan laga (Leff, 1981).Istilah running amok dan going berserk sekarang lazim digunakan.Ini dianggap karena adanya stress, kurangnya tidur, dan konsumsi alkohol.

Kelelahan otak (brain fag) menyertakan persolan-persoalan belajar akademis, sakit kepala, kelelahan mata, dan ketidakmampuan berkonsentrasi. Hal ini muncul secara luas pada mahasiswa Afrika Barat, sering pada awal kuliah atau persekolahan atau ujian-ujian (Prince, 1960) dan benar-benar tak dikenal diluar daerah  budaya itu.
Koro melibatkan pengindraan (sennsasi) bahwa penis seseorang (laki-laki) sedang berereksi kea rah daerah perut dan keyakinan kalau penis itu mengecil akan terjadi kematian. Usaha-usaha panic untuk mempertahankan penis itu agar tetap berereksi dapat mengakibatkan kerusakan fisik.
Latah menyertakan perilaku imitative (biasa diantara perempuan) yang tampaknya berada di luar kendali; gerakan-gerakan dan percakapan ditiru, dan individu dalam keadaan ini patuh terhadap perintah untuk melakukan hal-hal di luar teba perilakunya yang biasa (missal untuk berbicara atau melakukan hal porno).Kemunculannya sering akibat dari rangsang yang tiba-tiba mengejutkan.Istilah latah berarti ticklish (perilaku yang berkali-kali dilakukan, diluar kesadaran) dalam bahasa Melayu.
Pibloqotoq melibatkan sesuatu ketertergesa-gesaan yang tak terkendali untuk menanggalkan pakaian, kncing baju, dan menghirup udara musim dingin Artctic. Hal ini dikenal di Alaska, Greenland, dan Arctic Kanada berkaitan baik dengan kondisi lingkungan terisolir dan persediaan kalsium yang terbatas selama musim dingin.
Susto melibatkan insomnia, apatis, depresi, dan kecemasan sering dikalangan anak-anak, biasa terbawa di bawah pengalaman ketakutan.Di antara orang dataran tinggi Andean, hal ini dipercaya sebagai hasil kontak dengan kekuata-kekuatan supranatural (tukang sihir, mata jahat) dan akibat kehilangan roh.


Witiko melibatkan suatu perasaan ketidaknyamanan terhadap makanan sehari-hari dan perasaan depresi serta kecemasan, mengakibatkan pemilikan semangat witiko (suatu monster pemakan manusia raksasa) dan sering mengakibatkan pembunuhan dan kanibalisme.Hal ini terjadi pada orang-orang Indian di Kanada dan ditafsirkan sebagaibentuk ekstrem dari kecemasan yang berlebihan untuk menglami kematian demi menghindari hasrat kanibalistiknya.
Hal-hal menarik dari sindrom-sindrom ini adalah pada kualitas-kualitas eksotiknya (bagi pengamat Barat).Sindrom-sindrom demikian biasa ditafsirkan dalam pengertian budaya mereka sendiri.Persoalan psikiatri budaya ialahapakah sindrom-sindrom itu juga dapat terpahami dalam suatu kerangka kerja psikopatologi yang universal.

C.    Faktor budaya dalam psikoterapi
Ada 2 faktor budaya yang dilibatkan dalam perkembangan dan tampilan psikopatologi. Maka ada factor yang dilibatkan dalam proses upaya mengurangi persoalan-persoalan ini.Ada hubungan antara klien, terapis, dan masyarakat yang berfungsi sebagai titik pemisah yang berguna untuk mengenali kesamaan dan perbedaan-perbedaan.
Kesamaan esensial adalah keyakinan budaya dan praktek-praktek yang ada dalam suatu masyarakat masuk kedalam proses psikoteraupetik karena kesamaan ini membentuk bagian, baik dari definisi terapis maupun klien dan pemahaman terhadap masalah. Perbedaan awal adalah dalam psikoterapi pribumi, ketiga unsur membentuk suatu budaya umum karena tak ada situasi antarbudaya yang dilibatkan.
Psikoterapi ialah suatu istilah umum yang dikembangkan untuk merujuk pada praktek yang melibtkan seorang pasien dan seorang penyembuh dalam suatu hubungan personal, tujuannya menghilangkan penderitaan pasien karena suatu gangguan psikologis atau permasalahan psikologis.Bentuk dari terapi buasanya lebih psikologis ketimbang fisik.
Psikoterapi pribumi.Di antara sejumlah psikoterapi pribumi, ada  yang berakar di budaya dan pemikiran Jepang: terapi Morita (Miura & Usa, 1970) dan terapi Naikan (Tanaka-Matsumi, 1979). Menurut Murase (1982, hal. 317), kedua terpi ini merupakan “kebangkitan dan berkiblat ke suatu penemuan kembali akan nilai inti masyarakat Jepang”.
Terapi Morita dikembangkn di Jepang oleh psikiater S.Morita (1874-1938) selama tahun 1920-an untuk memberi perlakuan terhadap persoalan-persoalan psikoneurotis dan didasari isolasi dan istirahat ketimbang interaksi verbal. Terapi Morita berakhir sekitar empat sampai delapan minggu dan dibagi menjadi empat tahap:
1)      Istirahat total di tempat tidur dan isolasi selama empat sampai sepuluh hari; pasien secara total tak aktif dan tak diizinkan bercakap-cakap, membaca menulis, atau mendengar radio.
2)      Selama tujuh hingga empat belas hari berikut pasien keluar dari tempat tidur dan diperbolehkan di kebun di mana ia menyukai pekerjaan-pekerjaan ringan; pasien mulai menulis buku harian untuk dokter; tetapi kontak manusiawi lain dilarang.
3)      Selama seminggu atau dua minggu berikut pasien diinstruksikan bekerja berat, melanjutkan buku harian dan memperhatikan kuliah dokter berkenaan pengendalian diri dan sebagainya.
4)      Akhirnya secara bertahap kembali ke kehidupan social penuh dan pekerjaan sebelumnya; pasien melanjutkan kontak dengan dokter dan mengikuti sesi kelompok dengan pasien lain sesuai dengan kesanggupan pasien. (Prince, 1980, hal.299).

Amae adalah suatu kebutuhan ketergantungan yang dianggap bernilai tinggi dalam kehidupan orang Jepang dan dilawankan dengan ketaktergantungan dan kendali atas nasib seseorang yang ditekankan selama masa psikoterapi Barat (Doi, 1984).Kaitannya dengan terapi Morita, tujuan Morita lebih untuk membuat pasien menerima realitas dari kehidupan ketimbang mencoba membawa realitas itu sejalan kebutuhan dan hasrat pasien (Pedersen, 1981).
Terapi Naikan, semacam introspeksi yang berasal dari istilah Jepang Nai (“di dalam”) dan kan(“melihat”). Tujuannya:
1)      Penemuan rasa bersalah pribadi dan otentik karena tak berterima kasih dan menyusahkan orang lain di masa lampau, dan
2)      Penemuan suatu rasa berterima kasih yang positif terhadap individu-individu yang telah membuat klien bahagia dimasa lampau. Pendeknya, rasa bersalah dan terima kasih. Tatkala tujuan-tujuan ini terpenuhi, suatu perubahan tak terduga dalam gambaran-diri da sikap antarpribadi terjadi. (Murase, 1982, hal. 317)

Prosedur-prosedur itu mengharuskan pasien duduk secara tenang dari jam 5.30 sampai jam 9.00 selama tujuh hari untuk berintrospeksi sepanjang waktu itu kecuali menerima kunjungan seorang “pewawancara” setiap Sembilan puluh menit sekali. Pasien diinstruksikan melihat dirinya sendiri dan hubungannya dengan orang lain dari tiga prespektif:
1)      Perhatian yang diterima. Instruksi pertama untuk “mengumpulkan kembali dan menguji ingatanmu berkenaan dengan perhatian dan kebaikan yang kau terima dari orang tertentu selama waktu tertentu dalam kehidupanmu. Klien biasa mulai dengan pengujian tentang  hubungannya dengan ibu, hubungannya dengan anggota keluarga lain dan hubungan dengan orang-orang dekat dari masa kanak-kanak hingga sekarang.
2)      Membalas. Selama masa tertentu “mengumpulkan kembali apa yang telah kau lakukan untuk orang-orang itu sebagai tindak balas budi”.
3)      Kesusahan-kesusahan yang disebabkan. “Kumpulkan kembali apakah kesusahan dan kekawatiran yang telah kau lakukan pada orang itu pada waktu yang bersamaan.”(Murase, hal 317).
Pengujian itu dibawakan dengan menempatkan beban kesalahan lebih pada klien ketimbang pada ‘orang lain’ (Murase, 1982, hal.318).
Nilai sunaodiakui luas di Jepang dan memiliki sejumlah ragam makna, tapi intinya (dalam realitas antar pribadi) menunjuk pada sikap tunduk atau pasrah, menerima (ketimbang menuntut), dalam keserasian dengan lingkungan social seseorang (ketimbang egosentris), berpikiran terbuka, jujur dan bebas dari antagonism dan persaingan. Dalam realism intra-pribadi hal itu menunjuk pada sikap santai luwes, gentle, bebas dari pertentangan dan kekecewaan, tanpa bias dan senada dengan rasa senang dan terima kasih (Murase, 1982, hal 321).
Vodoo adalah suatu sintesis dari keyakinan dan praktek Afrika, Katolik Roma, dan keyakinan local kedalam suatu agama kerakyatan yang telah berfungsi untuk memberikan kepada orang-orang Haiti suatu perasaan jatidiri yang unik. Dalam penyembuhan voodoo, ada suatu matriks hubungan yang cukup erat yang tidak saja melibatkan seorang pasien dan terapis tetapi seorang penganut pasien dan sejumlah roh jahat dan roh baik, semuanya membaur dalam suatu system religious medis yang kompleks; system ini kembali berakar dalam suatu situasi kontak budaya (akulturasi) yang mengakibatkan perekmbangannya dan menjalar hingga mendapat penerimaan dari populasi itu.
Sejumlah besar psikoterapi pribumi semacam itu (atau sempalan-sempalannya) sekarang sedang diterima ke dalam pemikiran medis barat sebagai pelengkap praktek psikoterapi lain (Jilek, 1871, 1988).
Dalam psikoterapi pribumi kita mencatat gagasan-gagasan yang unik secara budaya dan praktek yang menjai bagian dari kompleks yang lebih besar dari keyakinan dan nilai budaya, itu semua punya efek positif dalam latar lokal.
           
D.    Faktor budaya dalam perilaku kesehatan
Fokus baru berkenaan dengan promosi kesehatan dan pencegahan penyakit telah menciptakan suatu peran bagi ilmuwan social dan perilaku dalam perkembangan dan implementasi program kesehatan masyarakat. Misal, kampanye mengurangi penyalahgunaan obat, pengurangan minuman keras dan seruan diet berkadar lemak rendah dan latihan, secara jelas merupakanaktivitas yang memungkinkan keahlian pakar psikologi social dalam pengubahan sikap dan para psikolog klinis dalam modifikasi perilaku dapat memainkan bagian penting. Di Negara berkembang, peran yang sama juga dikenal dalam bidang-bidang persoalan yang sama sebagaimana parasite dan pemindahan penyakit lain dan dalam meningkatkan harapan hidup anak (Harkness, Wyon, & Super, 1988).
Malaria.Ini merupakan persoalan kesehatan utama di banyak daerah tropis di dunia.Malaria dibawa parasite yang mensyaratkan nyamuk sebagai sarang dan nyamuk mensyaratkan air menggenang sebagai lingkungan pembiakan.Perlakuak individual menggunakan obat kinnie sebagai upaya pengobatan ayau penyembuhan telah menjadi perlawanan umum terhadap penyakit ini.Beberapa pencegahan dilakukan missal dengan penggunaan kelambu.
Pada tahun 1950 diadakan pemberantasan nyamuk secara besar-besaran dengan menggunakan insektisida. Sementara itu dibeberapa daerah menjadi benar-benar bebas malaria, terjadi penimbulan kembali karena makin kebalnya nyamuk terhadap  perlakuan kimia baik obat-obatan maupun insektisida.Pendekatan alternative untuk mengendalikan penyakit itu dengan mengembangkan teknik social dan perilaku telah dikemukakan oleh L. Miller, 1984.
Tiga factor perilaku dianggap penting oleh para peneliti proyek.Pertama, penduduk desa tidak melihat malaria sebagai persoalan penting dan genting yang harus segera diatasi.Kedua, persepsi tentang program pengendalian yang sebelumnya telah diterapkan dengan menyemprot dan mengadministrasikan pengobatan oleh peninjau dari luar.Penelitian menunjukkan hal itu dipandang sebagai hal yang berat untuk ditangani dan mencemaskan, mensyaratkan kontra pengukuran secara mahal didasarkan pada kedokteran.Ketiga, hubungan simbolik antara perilaku manusia dan perilaku nyamuk dapat diklasifikasikan penelitian ilmu perilaku, temuan awal yang mengungkap pola-pola preferensi habitat dan teritori nyamuk dan preferensi darah (darah hewani pada kenyataannya cocok dimasuki darah manusia).
Kebertahanhidupan anak.Harkness dkk.(1988) menguji “kebertahananhidupan anak (child survival) suatu orientasi yang lebih positif daripada “mortalitas anak”. “Strategi GOBI” (suatu akronim untuk empat butir yang dijajar dibawah ini) dari UNICEF ditujukan pada peningkatan angka kebertahanhidupan anak di seluruh dunia dan mengkonsentrasikan pada empat teknik:
1)      Growth monitoring, atau pemantauan berkelanjutan, untuk menemukan kasus-kasus kegagalan pertumbuhan da malnutrisi.
2)      Oral rehydriation, atau terapi dehidrasi oral, untuk bayi dan anak-anak balita berkaitan dengan diarhe agar mengurangi angka mortalitas yang tinggi karena kekurangan cairan.
3)      Breastfeeding promotion, atau promosi kepada para ibu untuk memberikan ASI, karena keuntungan nutrisional dan keuntungan immunologis sebagaimana halnya pengurangan secar tak langsung atas kontaminasi dari pemberian minum melalui botol yang tak sehat.
4)      Immunization, atau imunisasi terhadap penyakit-penyakit infeksi masa kanak-kanak (Harkness dkk, 1988 hal 245-246)


Malnutrisi dan perkembangan psikologis. Tujuan utama dari penelitian semacam  ini adalah untuk memahami secara lebih baik sebab-sebab dari malnutrisi (yang diakibatkan kekurangan makanan) dan mekanisme dari efeknya pada perkembangan psikologis agar malnutrisi dapat dicegah sama sekali atau sekurang-kurangnya meminimalisasikan efeknya yang merugikan. Berat badan (dalam kaitannya dengan usia dan tinggi badan)  menunjukkan kesia-siaan, atau malnutrisi yang sedang berlangsung, dan tinggi badan (untuk usia) menunjukkan penyelesaian; atau pengaruh malnutrisi (kronis) jangka panjang. Para nutrisionis menggunakan ukuran-ukuran antropometris ini (sebagaimana yang lain seperti cakupan kepala, dada, dan lengan) untuk mengklasifikasikan status nutrisional ke dalam malnutrisi normal, ringan, sedang atau beberapa. Dikatakan bahwa anak-anak yang ditemukan mendapatkan beberapa gejala PEM (Protein-energy malnutrition) yaitu malnutrisi yang menghendaki perawatan rumah sakit untuk menghindari kematian, terutama jika hal itu terjadi dalam masa dua tahun pertama dalam kehidupan bayi dan berlangsung selama beberapa bulan terakhir, menunjukkan suatu keterbelakangan yang menonjol dalam perkembangan intelektual mereka (dalam pengertian psikometris terlihat dari penurunan dalam jenjang IQ).Malnutrisi sedang atau sangat juga memiliki pengaruh yang dapat terukur pada perkembangan kognitif; dalam satu kajian Afrika Barat (Dasen dkk, 1978).
Sekarang banyak diketahui bahwa malnutrisi biasanya menjadi bagian dari system ekologi-ekonomis-sosio-budaya yang mencakup, sebagai tambahan terhadap factor biologis dari nutrisi yang dibawah optimal, kondisi-kondisi lingkungan lain yang lebih luas, seperti kemiskinan, perumahan dan sanitasi yang miskin, terpaan yang berulang-ulang dari penyakit infeksi, perawatan kesehatan yang tak memadai dan praktek pemberian makanan dan pengasuhan anak.
Sindrom malnutrisi dan kemiskinan sdemikian jauh menjadi factor makro-lingkungan antara yang menghubungkan dengan system social dan politik (sebagai missal ketidakmerataan sebaran kesejahteraan, kekurangan dalam pemilikan  tanah), dan secara lebih umum dikatakan dikaitkan dengan ekonomi dunia yang tak imbang (terutama pada belahan selatan). Malnutrisi tidak terjadi pada semua keluarga dan semua individu. Hal ini menunjukkan bahwa factor risiko lain berkaitan dengan keluarga dan lingkungan rumah (sebagai misal, jumlah anak yang besar dalam keluarga, ketiadaan atau kurang terlibatan dari ayah, stress dalam hubungan perkawinan, alkoholisme) dan dengan karakteristik ibu atau pengasuh.
Beberapa anak juga lebih rentan untuk menderita akibat malnutrisi ketimbang yang lain karena factor konstitusional atau sejarah medis mereka (kelahiran premature, berat badan yang rendah sewaktu lahir, komplikasi medis perinatal, penyakit infeksi dan parasite, dan sebagainya. Fernandez danGuthrie (1983) telah mengajukan argumentasi bahwa program-program yang dirancang untuk mendukung dan mendorong pemberian susu ASI dan makanan tambahan hendaknya mengangkat systemkeyakinan pribumi dalam pertimbangannya.Dalam sutu kajian intervensi yang sukses di Filipina Fernandez, Estrera, Barba, Guthrie, dan Guthrie (1983) menggunakan pengukuh eksternal (pujian, dorongan, tiket lotre, dll.
E.     PENGARUH SOSIOKULTURAL PADA GANGGUAN PSIKOLOGISDAN PERILAKU ABNORMAL
Salah satu dari pertanyaan lintas budaya yang penting adalah penyelidikan tentang peran kultur dalam memahami, menafsir, dan mengobati/merawat perilaku abnormal. Beberapa tema utama sudah memandu riset dan pemikiran dalam area psikologi ini.Yang pertama dan terkemuka adalah pertanyaan mengenai definisi abnormal.
1.    Mendefinisikan Abnormal
Ada beberapa sudut pandang secara tradisional dalam memberikan batasan tentang perilaku abnormal.Salah satu sudut pandang mendefinisikan abnormalitas dengan penggunaan pendekatan statistic dan aplikasi tentang kreteria kerusakan/kelemahan, penyimpangan.Sebagai contoh, perilaku seseorang bisa digambarkan sebagai abnormal sebab kejadiannya adalah jarang.Ia menjadi tidak berhubungan lagi dengan lingkungannya, mempunyai keyakinan yang salah bahwa ia adalah binatang, dan berbicara dengan yang mati. Fenomena ini bukan merupakan pengalaman umum.
Kita mungkin juga menyimpulkan bahwa perilaku itu abnormal karena nampaknya jauh bertentangan dengan norma-norma sosial.Tetapi, tidak semua perilaku yang secara sosial menyimpang dapat dipertimbangkan abnormal atau secara psikologis terganggu.Sebagai contoh, banyak orang-orang tetap berpegang pada kepercayaan bahwa homoseksualitas adalah penyimpang (deviant), walaupun hal itu tidak lagi digolongkan sebagai gangguan mental (menurut Asosiasi Psikiatris, 1987).


2.    Sudut Pandang Tentang Abnormalitas Secara Lintas Budaya
Sudut pandang ini menyatakan bahwa kita harus menerapkan prinsip tentang relativisme budaya pada abnormalitas. Sebagai contoh, perilaku seseorang yang berbicara dengan orang mati dan mengganggap dirinya sendiri sebagai binatang mungkin dianggap terganggu jika hal itu terjadi di sudut jalan dalam suatu kota besar di Amerika Serikat. Namun ini bisa dimengerti dan sesuai atau dianggap bukan sebagai gangguan, jika terjadi dalam suatau upacara shamanistic di mana ia sedang bertindak sebagai penyembuh.

F.     PERBEDAAN BUDAYA DALAM MENGHADAPI PENYAKIT
Perbedaan dalam Pelayanan Kesehatan dan Sistem Pengiriman Medis
Untuk memahami bagaimana kultur berbeda dalam menghadapi macam-macam penyakit psikologis dan medis, pertama harus mengenali perbedaan yang ada dalam system pelayanan kesehatan. Faktor-faktor ini meliputi perkembangan sosial dan ekonomi, kemajuan teknologi dan ketersediaannya, dan pengaruh Negara-negara tetangga atau kerjasama.Perbedaan dalam perilaku abnormal melibatkan pengidentifikasian dan penggambaran gejala/symptom individu dalam konteks tingkatan keseluruhan fungsi dan lingkungan. Alat/ instrument dan metode asesmen harus peka pada budaya dan pengaruh lingkungan lain perilaku dan fungsinya.
1.      Penilaian (asesmen) antara budaya tentang perilaku abnormal
Alat-alat asesmen klinis tradisional dalam psikologi didasarkan pada suatu definisi standard abnormalitas atau kelainan dan menggunakan suatu standars criteria penggolongan untuk mengevaluasi perilaku.
2.      Treatmen (perawatan) perilaku Abnormal Secara Lintas Budaya
Dalam dua dekade yang lalu, telah muncul hasil-hasil riset yang menunjukkan bahwa klien secara cultural berbeda tidak sesuai dilayani dengan metode treatmen yang tradisional.

1 komentar:

Nurulisti's Corner mengatakan...

Hai, konten yang menarik :) boleh tau referensinya?