Kamis, 11 Juli 2013

PERKEMBANGAN MORAL DAN SPIRITUAL PESERTA DIDIK


BERITA
            JAKARTA, KOMPAS.com — Untuk mencegah dan mengantisipasi tindakan tak tercela yang dilakukan pelajar, khususnya siswa tingkat sekolah menengah atas (SMA), seperti tawuran dan tindakan kejahatan lainnya, Pemkot Administrasi Jakarta Timur berencana menggelar Operasi Wijaya Kusuma atau razia terhadap barang bawaan siswa yang tersebar di 120 sekolah menengah di wilayahnya.

            Kegiatan yang akan melibatkan unit terkait lainnya, seperti petugas kepolisian dan satpol PP, itu akan merazia barang-barang bawaan yang dilarang, seperti senjata tajam (sajam), narkoba dan obat-obatan terlarang, serta sesuatu yang berhubungan dengan pornografi, yang bisa merugikan diri sendiri ataupun orang banyak. Dengan demikian, para pelajar diharapkan dapat tetap fokus dengan kewajibannya, yakni menempuh dan dapat menyelesaikan pendidikannya. Rencananya, razia akan dilakukan secara mendadak di sekolah-sekolah yang selama ini pelajarnya dikenal kerap melakukan aksi tawuran.
“Kami tidak bisa sebutkan kapan pelaksanaannya dan sekolah mana yang menjadi target. Namun, setidaknya kami telah membidik sebanyak 120 sekolah tingkat menengah yang ada di Jakarta Timur,” ujar Suharyanto, Kepala Sudin Pendidikan Menengah Jakarta Timur, Senin (27/9/2010).

Nantinya, pelajar yang kedapatan membawa sajam dan barang-barang terlarang lainnya akan mendapatkan sanksi dari pihak sekolah sesuai beratnya pelanggaran yang dilakukan.

“Sanksi akan diberikan pihak sekolah disesuaikan dengan pelanggaran yang dilakukan siswa,” kata Suharyanto.

Wakil Wali Kota Administrasi Jakarta Timur Asep Syarifudin menambahkan, Operasi Wijaya Kusuma merupakan salah satu tindakan yang dilakukan pihaknya untuk mengantisipasi terjadinya tawuran pelajar yang kerap terjadi seusai jam bubaran sekolah di wilayahnya. Dia berharap pihak sekolah agar mampu menciptakan suasana kondusif dengan melakukan pembinaan terhadap masing-masing siswanya.

“Tentunya akan lebih baik jika setiap pelajar dapat bersaing dengan kreativitasnya di bidang ilmu pendidikan ataupun kegiatan positif lainnya sehingga tidak menyelesaikan setiap masalahnya dengan tawuran pelajar atau hal-hal lain yang bersifat negatif. Apalagi sampai merugikan diri sendiri dan orang lain,” tandas Asep.
  
TEORI
·         Teori Kohlberg
         Teori Kohlberg tentang perkembangan moral merupakan perluasan, modifikasi dan redefeni atas teori Piaget. Teori ini didasarkan atas analisinya terhadap hasil wawancara dengan anak laiki-laki usia 10-16 tahun yang dihadapkan pada suatu dilema moral dimana mereka harus memilih antara tindakan mentaati peraturan atau memenuhi kebutuhan hidup dengan cara yang bertentangan dengan peraturan.
           Berdasarkan pertimbangan yang diberikan atas pertanyaan kasus dilematis yang dihadapi seseorang, Kohlberg mengklasifikasikan perkembangan moral atas tiga tingkatan, yang kemudian dibagi lagi menjadi enam tahap. Kohlberg setuju dengan Piaget yang menjelaskan bahwa sikap moral bukan merupakan hasil sosialisasi atau pelajaran yang diperoleh dari pengalaman. Tetapi tahap-tahap perkembangan moral diperoleh dari aktivitas-aktivitas spontan dari anak-anak. Anak-anak memang berkembang melalui interaksi sosial, namun interaksi ini memiliki corak khusus, dimana faktor pribadi yaitu aktivitas-aktivitas anak ikut berperan. Hal penting lain dari teori perkembangan moral Kohlberg adalah orientasinya untuk mengungkapkan moral yang hanya ada dalam pikiran dan yang dibedakan dengan tingkahlaku moral dalam arti perbuatan nyata. Semakin tinggi tahap perkembangan moral seseorang, akan semakin terlihat moralitas yang lebih mantap dan bertanggung jawab dari perbuatan-perbuatannya. Berikut ini adalah tabel tingkatan dan perkembangan moral menurut Kohlberg.


Tingkatan
Tahap
1.      Pra konvensional moralitas, pada level ini anak mengenal moralitas berdasarkan dampak yang ditimbulkan oleh suatu perbuatan, yaitu menyenangkan (hadiah) atau menyakitkan (hukuman). Anak tidak melanggar aturab karna takut akan ancaman hukuman dari otoritas.
1.      Orientasi kepatuhan dan hukuman pemahaman anak tentang baik dan buruk ditentukan oleh otoritas. Kepatuhan terhadap peraturan adalah untuk menghindari hukuman dari otoritas.
2.      Konvensional, suatu perbuatan dinilai baik oleh anak apabila mematuhi harapan otoritas atau kelompok sebaya.

2.      Orientasi Hedonistik-instrumental, suatu perbuatan dinilai baik apabila berfungsi sebagai instrumen untuk memenui kebutuhan atau kepuasan diri.

3.      Pasca Konvensional, pada level ini aturan dan institusi dari masyarakat tidak dipandang sebagai tujuan akhir, tetapi diperlukan sebagai subjek. Anak mentaati peraturan untuk menghindari hukuman kata hati.

3.      Orientasi anak yang baik tindakan yang berorientasi pada orang lain. Suatu perbuatan dinilai baik apabila menyenangkan bagi orang lain.
4.      Orientasi keteraturan dan otoritas perilaku yang dinilai baik adalah menunaikan kewajiban, menghormati otoritas dan memelihara ketertiban sosial.
5.      Orientasi kontrol sosial-legalistik ada semacam perjanjian antara dirinya dan lingkungan sosial. Perbuatan dinilai baik apabila sesuai dengan perundang-undangan yang berlaku.
6.      Orientasi kata hati, kebenaran ditentukan oleh kata hati, sesuai dengan prinsip-prinsip etika universal yang bersifat abstrak dan penghormatan terhadap martabat manusia.

(sumber : Lerner & Hultsch, 1983; Hetherington & Parke, 1979 dalam Perkembangan Peserta Didik, 2009)
Tahap perkembangan moral peserta didik yaitu :
v  Orientasi kepatuhan dan hukuman pemahaman anak tentang baik dan buruk ditentukan oleh otoritas. Kepatuhan terhadap aturan adalah untuk menghindari hukuman dari otoritas.
v  Orientasi hedonistic instrumental suatu perbuatan dinilai baik apabila berfungsi sebagai instrumen untuk memenuhi kebutuhan atau kepuasan diri.
v  Orientasi anak yang baik tindakan berorientasikan pada orang lain. Suatu perbuatan dinilai baik apabila menyenangkan bagi orang lain.
v  Orientasi keteraturan dan otoritas prilaku yang dinilai baik adalah menunaikan kewajiban, menghormati otoritas, dan memelihara ketertiban sosial.
v  Orientasi kontrol sosial legalistik ada semacam perjanjian antara dirinya dan lingkungan sosial. Perbuatan dinilai baik apabila sesuai dengan perundang-undangan yang berlaku.
Orientasi kata hati kebenaran ditemukan oleh kata hati, sesuai dengan prinsip-prinsip etika universal yang bersifat abstrak dan penghormatan terhadap martabat manusia

PENALARAN MORAL
         Moral merupakn suatu kebutuhan penting bagi remaja, terutama sebagai pedoman menemukan idenditas dirinya, mengembangkan hubungan personal yang harmonis dan menghindari konflik-konflik peran yang selalu terjadi dalam masa transisi. Meskipun moral erat kaitannya dengan hubungan interpersonal, namun sejak lama ia telah menjadi wilayaj pembahasan dalam filsafat. Oleh sebab itu Lawrence Kohlberg menempatkan moral sebagai fenomena kognitif dalam kajian Psikologi. Apa yang disebut dengan moral menurut Kohlberg adalah bagian dari penalaran moral )moral reasoning). Penalaran atau pertimbangan tersebut berkenaan dengan keluasaan wawasan mengenai relasi antara diri dan orang lain, hak dan kewajiban. Relasi diri dengan orang lain ini didasarkan atas prinsip equality, artinya orang lain sama derajatnya dengan diri. Jadi antara diri dan diri orang lain dapat dipertukarkan. Ini disebut prinsip reciprocity. Moralitas pada hakikatnya adalah penyelesaian konflik antara diri dan diri orang lain, antara hak dan kewajiban (Setiono;1994, dalam Perkembangan Peserta Didik 2009).
        Dengan demikian, orang yang bertindak sesuai dengan moral adalah orang yang mendasarkan tindakannya atas penilaiaan baik buruknya sesuatu. Karena lebih bersifat penalaran, maka perkembangan moral menurul Kohlberg sejalan dengan perkembangan nalar sebagaimana yang telah dikemukakan oleh Piaget. Makin tinggi tingkat penalaran seseorang menurut tahap-tahap perkembangan Piaget tersebut, makin tinggi pula tingkat moralnya. Dengan penekanannya pada penalaran ini, berarti Kohlberg ingin melihat struktur proses kognitif yang mendasari jawaban ataupun perbuatan-perbuatan moral.
        Sesuai dengan tahp-tahap perkembangan moral menurut Kohlberg, tingkat penalaran moral remaja berada pada tahap konvensional. Hal ini adalah karena dibandingkan dengan anak-anak tingkat moralitas remaja lebih matang. Mereka sudah mulai mengenal konsep-konsep moralitas seperti kejujuran, keadilan, kesopanan, kedisiplinan, dan sebagainya. Walaupun anak remaja tidak selalu mengikuti prinsip-prinsip moralitas mereka sendiri, namun riset menyatakan bahwa prinsip-prinsip tersebut menggambarkan keyakinan yang sebenarnya dari pemikiran moral konvensional.

            Remaja (12-18 tahun). Pada tahap ini individu sudah mengerti akan arti dan tujuan hidup, Menggunakan pengetahuan misalnya untuk mengambil keputusan saat ini dan yang akan datang. Kepercayaan berkembang dengan mencoba dalam hidup. Remaja menguji nilai dan kepercayaan orang tua mereka dan dapat menolak atau menerimanya. Secara alami, mereka dapat bingung ketika menemukan perilaku dan role model yang tidak konsisten. Pada tahap ini kepercayaan pada kelompok paling tinggi perannya daripada keluarga. Tetapi keyakinan yang diambil dari orang lain biasanya lebih mirip dengan keluarga, walaupun mereka protes dan memberontak saat remaja. Bagi orang tua ini merupakan tahap paling sulit karena orang tua melepas otoritasnya dan membimbing anak untuk bertanggung jawab. Seringkali muncul konflik orang tua dan remaja.

            Dewasa muda (18-25 tahun). Pada tahap ini individu menjalani proses perkembangannya dengan melanjutkan pencarian identitas spiritual, memikirkan untuk memilih nilai dan kepercayaan mereka yang dipelajari saaat kanak-kanak dan berusaha melaksanakan sistem kepercayaan mereka sendiri. Spiritual bukan merupakan perhatian utama pada usia ini, mereka lebih banyak memudahkan hidup walaupun mereka tidak memungkiri bahwa mereka sudah dewasa.

OPINI
            Tawuran pelajar adalah masalah klasik dari tahun ke tahun dan saya kira belum ada penyelesainan jelas atas masalah ini. selama ini hanya masalah dipermukaan saja yang coba untuk diselesaikan bukan akarnya. Padahal bila menilik lebih jauh tawuran yang marak terjadi kelihatannya hanya dipiicu hal-hal sepele, bukan gejolak masa muda tapi menurut saya itu adalah warisan dari para pendahulu mereka yang akhirnya meledak setelah terpantik dengan kejadian-kejadian kecil. Saya pernah mendengar ungkapan dari kawan saya
“KAMI TIDAK MENGAJARKAN PADA KALIAN, DULU KALIAN MENYAKSIKAN DAN KINI KALIAN MENERUSKANNYA”
            Terdengar sepele, namun penuh makna. Sebenarnya para senior tidak pernah mmengajarkan tentang apa dan bagaimana tawuran itu terjadi. Tapi para senior dulunya sebagai pelaku dan ditonton oleh adik-adiknnya sehingga semua doktrin itu tumbuh dan berkembang biak subur dalam setiap angkatan demi angkatan.
            Ini semua sebenarnya tidak terlepas dari merosotnya moral anak negeri. Mental-mental tempe yang mereka banggakan. Tidak menyadari bahwa tawuran adalah bukti bahwa mereka adalah pecundang. Apakah ada tahap perkembngan moral yang mereka lewatkan? Mungkin saja bisa, karna menurut saya seseorang dalam usia remaja seharusnya sudah dapat berpikir kongkrit. Penalaran moralnya sampai pada tahap konvensional sehingga ini yang mungkin kurang mereka pahami. Mereka hanya menilai perbuatan mereka baik apabila memenui atau membahagiakan teman sebaya. Solidaritas menjadi muaranya. Tapi, sekali lagi hati kecil saya bertanya samapai pada tahap manakah kemerosotan moral anak bangsa sehingga masih menghalalkan perilaku kaum “BARBAR” seperti itu?
            Salah siapa? Orang tua? Guru sekolah? Konselor? Lingkungan? atau memang mereka saja yang geblek?. Sekarang coba kita telaah lagi, pengertian pada tahapan konvensional pada moral remaja adalah pada tahap ini individu sudah mengerti akan arti dan tujuan hidup, Menggunakan pengetahuan misalnya untuk mengambil keputusan saat ini dan yang akan datang.  Perlu saya garis bawahi tentang itu semua. Menggunakan pengetahuan, apa masih kurang  jelas tentang pengetahuan dari bahaya tawuran, perkelahian? Apa efeknya masih kurang gamblang terlihat?
            Ketika ada yang bertanya bagaimanakah cara untuk merubahnya maka jawabannya menurut saya adalah dari pernyataan berikut.
”siapa kalau bukan kita, kapan kalau bukan sekarang, dan dimana kalau bukan disini”
            Cukup jelas bukan, bahwa sebaiknya dimulai dari pribadi kita masing-masing, sekarang dan di tempat dimana kita berada. Omong kosong ketika kita mau merubah keadaan ini namun diri kita sendiri tidak merubah kearah yang lebih baik. Pesan saya untuk para pembaca dan remaja pada khususnya, mungkin idealisme kalian belum sampai pada tahap ini. dan mungkin juga kalian tidak sefrontal saya, tapi saya sejak dulu karna mungkin memang keras kepala saya kurang begitu memikirkan omongan teman apabila menurut saya apa yang saya lakukan sudah benar, sesuai jalur dan tidak menyakiti orang lain. Tanmkan dalam mainset kalian petikan prinsip dari mendiang SOE HOEK GIE.
“saya lebih memilih diasingkan dari pada tunduk pada kemunafikan”
Saya yakin bahwa sebenarnya saat kalian tawuran, kalian sedang munafik. Jauh dalam lubuk hati kalian yang paling dalam sebenarnya kalian tidak mau melakukannya. Kalian tau imbas dari perbuatan kalian. Untuk itu sekali lagi saya menyerukan lawan kemunafikan. Ikuti kata hati kalian.

0 komentar: