BERITA
JAKARTA, KOMPAS.com — Untuk mencegah
dan mengantisipasi tindakan tak tercela yang dilakukan pelajar, khususnya siswa
tingkat sekolah menengah atas (SMA), seperti tawuran dan tindakan kejahatan
lainnya, Pemkot Administrasi Jakarta Timur berencana menggelar Operasi Wijaya
Kusuma atau razia terhadap barang bawaan siswa yang tersebar di 120 sekolah
menengah di wilayahnya.
Kegiatan yang akan melibatkan unit
terkait lainnya, seperti petugas kepolisian dan satpol PP, itu akan merazia
barang-barang bawaan yang dilarang, seperti senjata tajam (sajam), narkoba dan
obat-obatan terlarang, serta sesuatu yang berhubungan dengan pornografi, yang
bisa merugikan diri sendiri ataupun orang banyak. Dengan demikian, para pelajar
diharapkan dapat tetap fokus dengan kewajibannya, yakni menempuh dan dapat
menyelesaikan pendidikannya. Rencananya, razia akan dilakukan secara mendadak
di sekolah-sekolah yang selama ini pelajarnya dikenal kerap melakukan aksi
tawuran.
“Kami tidak bisa
sebutkan kapan pelaksanaannya dan sekolah mana yang menjadi target. Namun,
setidaknya kami telah membidik sebanyak 120 sekolah tingkat menengah yang ada
di Jakarta Timur,” ujar Suharyanto, Kepala Sudin Pendidikan Menengah Jakarta
Timur, Senin (27/9/2010).
Nantinya,
pelajar yang kedapatan membawa sajam dan barang-barang terlarang lainnya akan
mendapatkan sanksi dari pihak sekolah sesuai beratnya pelanggaran yang
dilakukan.
“Sanksi akan
diberikan pihak sekolah disesuaikan dengan pelanggaran yang dilakukan siswa,”
kata Suharyanto.
Wakil Wali Kota
Administrasi Jakarta Timur Asep Syarifudin menambahkan, Operasi Wijaya Kusuma
merupakan salah satu tindakan yang dilakukan pihaknya untuk mengantisipasi
terjadinya tawuran pelajar yang kerap terjadi seusai jam bubaran sekolah di
wilayahnya. Dia berharap pihak sekolah agar mampu menciptakan suasana kondusif
dengan melakukan pembinaan terhadap masing-masing siswanya.
“Tentunya akan
lebih baik jika setiap pelajar dapat bersaing dengan kreativitasnya di bidang ilmu
pendidikan ataupun kegiatan positif lainnya sehingga tidak menyelesaikan setiap
masalahnya dengan tawuran pelajar atau hal-hal lain yang bersifat negatif.
Apalagi sampai merugikan diri sendiri dan orang lain,” tandas Asep.
TEORI
·
Teori
Kohlberg
Teori
Kohlberg tentang perkembangan moral merupakan perluasan, modifikasi dan
redefeni atas teori Piaget. Teori ini didasarkan atas analisinya terhadap hasil
wawancara dengan anak laiki-laki usia 10-16 tahun yang dihadapkan pada suatu
dilema moral dimana mereka harus memilih antara tindakan mentaati peraturan
atau memenuhi kebutuhan hidup dengan cara yang bertentangan dengan peraturan.
Berdasarkan pertimbangan yang diberikan atas pertanyaan kasus dilematis
yang dihadapi seseorang, Kohlberg mengklasifikasikan perkembangan moral atas
tiga tingkatan, yang kemudian dibagi lagi menjadi enam tahap. Kohlberg setuju
dengan Piaget yang menjelaskan bahwa sikap moral bukan merupakan hasil
sosialisasi atau pelajaran yang diperoleh dari pengalaman. Tetapi tahap-tahap
perkembangan moral diperoleh dari aktivitas-aktivitas spontan dari anak-anak.
Anak-anak memang berkembang melalui interaksi sosial, namun interaksi ini
memiliki corak khusus, dimana faktor pribadi yaitu aktivitas-aktivitas anak
ikut berperan. Hal penting lain dari teori perkembangan moral Kohlberg adalah
orientasinya untuk mengungkapkan moral yang hanya ada dalam pikiran dan yang
dibedakan dengan tingkahlaku moral dalam arti perbuatan nyata. Semakin tinggi
tahap perkembangan moral seseorang, akan semakin terlihat moralitas yang lebih
mantap dan bertanggung jawab dari perbuatan-perbuatannya. Berikut ini adalah
tabel tingkatan dan perkembangan moral menurut Kohlberg.
Tingkatan
|
Tahap
|
1. Pra
konvensional moralitas, pada level ini anak mengenal moralitas berdasarkan
dampak yang ditimbulkan oleh suatu perbuatan, yaitu menyenangkan (hadiah)
atau menyakitkan (hukuman). Anak tidak melanggar aturab karna takut akan
ancaman hukuman dari otoritas.
|
1. Orientasi
kepatuhan dan hukuman pemahaman anak tentang baik dan buruk ditentukan oleh
otoritas. Kepatuhan terhadap peraturan adalah untuk menghindari hukuman dari
otoritas.
|
2. Konvensional,
suatu perbuatan dinilai baik oleh anak apabila mematuhi harapan otoritas atau
kelompok sebaya.
|
2. Orientasi
Hedonistik-instrumental, suatu perbuatan dinilai baik apabila berfungsi
sebagai instrumen untuk memenui kebutuhan atau kepuasan diri.
|
3. Pasca
Konvensional, pada level ini aturan dan institusi dari masyarakat tidak
dipandang sebagai tujuan akhir, tetapi diperlukan sebagai subjek. Anak
mentaati peraturan untuk menghindari hukuman kata hati.
|
3. Orientasi
anak yang baik tindakan yang berorientasi pada orang lain. Suatu perbuatan
dinilai baik apabila menyenangkan bagi orang lain.
4. Orientasi
keteraturan dan otoritas perilaku yang dinilai baik adalah menunaikan
kewajiban, menghormati otoritas dan memelihara ketertiban sosial.
5. Orientasi
kontrol sosial-legalistik ada semacam perjanjian antara dirinya dan
lingkungan sosial. Perbuatan dinilai baik apabila sesuai dengan
perundang-undangan yang berlaku.
6. Orientasi
kata hati, kebenaran ditentukan oleh kata hati, sesuai dengan prinsip-prinsip
etika universal yang bersifat abstrak dan penghormatan terhadap martabat
manusia.
|
(sumber : Lerner &
Hultsch, 1983; Hetherington & Parke, 1979 dalam Perkembangan Peserta Didik,
2009)
Tahap
perkembangan moral peserta didik yaitu :
v Orientasi
kepatuhan dan hukuman pemahaman anak tentang baik dan buruk ditentukan oleh
otoritas. Kepatuhan terhadap aturan adalah untuk menghindari hukuman dari
otoritas.
v Orientasi
hedonistic instrumental suatu perbuatan dinilai baik apabila berfungsi sebagai
instrumen untuk memenuhi kebutuhan atau kepuasan diri.
v Orientasi
anak yang baik tindakan berorientasikan pada orang lain. Suatu perbuatan
dinilai baik apabila menyenangkan bagi orang lain.
v Orientasi
keteraturan dan otoritas prilaku yang dinilai baik adalah menunaikan kewajiban,
menghormati otoritas, dan memelihara ketertiban sosial.
v Orientasi
kontrol sosial legalistik ada semacam perjanjian antara dirinya dan lingkungan
sosial. Perbuatan dinilai baik apabila sesuai dengan perundang-undangan yang
berlaku.
Orientasi kata hati kebenaran ditemukan
oleh kata hati, sesuai dengan prinsip-prinsip etika universal yang bersifat
abstrak dan penghormatan terhadap martabat manusia
PENALARAN MORAL
Moral
merupakn suatu kebutuhan penting bagi remaja, terutama sebagai pedoman
menemukan idenditas dirinya, mengembangkan hubungan personal yang harmonis dan
menghindari konflik-konflik peran yang selalu terjadi dalam masa transisi. Meskipun
moral erat kaitannya dengan hubungan interpersonal, namun sejak lama ia telah
menjadi wilayaj pembahasan dalam filsafat. Oleh sebab itu Lawrence Kohlberg
menempatkan moral sebagai fenomena kognitif dalam kajian Psikologi. Apa yang
disebut dengan moral menurut Kohlberg adalah bagian dari penalaran moral )moral
reasoning). Penalaran atau pertimbangan tersebut berkenaan dengan keluasaan
wawasan mengenai relasi antara diri dan orang lain, hak dan kewajiban. Relasi
diri dengan orang lain ini didasarkan atas prinsip equality, artinya orang lain sama derajatnya dengan diri. Jadi
antara diri dan diri orang lain dapat dipertukarkan. Ini disebut prinsip reciprocity. Moralitas pada hakikatnya
adalah penyelesaian konflik antara diri dan diri orang lain, antara hak dan
kewajiban (Setiono;1994, dalam Perkembangan Peserta Didik 2009).
Dengan
demikian, orang yang bertindak sesuai dengan moral adalah orang yang
mendasarkan tindakannya atas penilaiaan baik buruknya sesuatu. Karena lebih
bersifat penalaran, maka perkembangan moral menurul Kohlberg sejalan dengan
perkembangan nalar sebagaimana yang telah dikemukakan oleh Piaget. Makin tinggi
tingkat penalaran seseorang menurut tahap-tahap perkembangan Piaget tersebut,
makin tinggi pula tingkat moralnya. Dengan penekanannya pada penalaran ini,
berarti Kohlberg ingin melihat struktur proses kognitif yang mendasari jawaban
ataupun perbuatan-perbuatan moral.
Sesuai
dengan tahp-tahap perkembangan moral menurut Kohlberg, tingkat penalaran moral
remaja berada pada tahap konvensional. Hal ini adalah karena dibandingkan
dengan anak-anak tingkat moralitas remaja lebih matang. Mereka sudah mulai
mengenal konsep-konsep moralitas seperti kejujuran, keadilan, kesopanan,
kedisiplinan, dan sebagainya. Walaupun anak remaja tidak selalu mengikuti
prinsip-prinsip moralitas mereka sendiri, namun riset menyatakan bahwa
prinsip-prinsip tersebut menggambarkan keyakinan yang sebenarnya dari pemikiran
moral konvensional.
Remaja (12-18 tahun). Pada tahap ini
individu sudah mengerti akan arti dan tujuan hidup, Menggunakan pengetahuan
misalnya untuk mengambil keputusan saat ini dan yang akan datang. Kepercayaan
berkembang dengan mencoba dalam hidup. Remaja menguji nilai dan kepercayaan
orang tua mereka dan dapat menolak atau menerimanya. Secara alami, mereka dapat
bingung ketika menemukan perilaku dan role model yang tidak konsisten. Pada
tahap ini kepercayaan pada kelompok paling tinggi perannya daripada keluarga.
Tetapi keyakinan yang diambil dari orang lain biasanya lebih mirip dengan keluarga,
walaupun mereka protes dan memberontak saat remaja. Bagi orang tua ini
merupakan tahap paling sulit karena orang tua melepas otoritasnya dan
membimbing anak untuk bertanggung jawab. Seringkali muncul konflik orang tua
dan remaja.
Dewasa
muda (18-25 tahun). Pada tahap ini individu menjalani proses perkembangannya
dengan melanjutkan pencarian identitas spiritual, memikirkan untuk memilih
nilai dan kepercayaan mereka yang dipelajari saaat kanak-kanak dan berusaha
melaksanakan sistem kepercayaan mereka sendiri. Spiritual bukan merupakan
perhatian utama pada usia ini, mereka lebih banyak memudahkan hidup walaupun
mereka tidak memungkiri bahwa mereka sudah dewasa.
OPINI
Tawuran pelajar adalah masalah
klasik dari tahun ke tahun dan saya kira belum ada penyelesainan jelas atas
masalah ini. selama ini hanya masalah dipermukaan saja yang coba untuk
diselesaikan bukan akarnya. Padahal bila menilik lebih jauh tawuran yang marak
terjadi kelihatannya hanya dipiicu hal-hal sepele, bukan gejolak masa muda tapi
menurut saya itu adalah warisan dari para pendahulu mereka yang akhirnya
meledak setelah terpantik dengan kejadian-kejadian kecil. Saya pernah mendengar
ungkapan dari kawan saya
“KAMI
TIDAK MENGAJARKAN PADA KALIAN, DULU KALIAN MENYAKSIKAN DAN KINI KALIAN MENERUSKANNYA”
Terdengar sepele, namun penuh makna.
Sebenarnya para senior tidak pernah mmengajarkan tentang apa dan bagaimana
tawuran itu terjadi. Tapi para senior dulunya sebagai pelaku dan ditonton oleh
adik-adiknnya sehingga semua doktrin itu tumbuh dan berkembang biak subur dalam
setiap angkatan demi angkatan.
Ini semua sebenarnya tidak terlepas
dari merosotnya moral anak negeri. Mental-mental tempe yang mereka banggakan.
Tidak menyadari bahwa tawuran adalah bukti bahwa mereka adalah pecundang.
Apakah ada tahap perkembngan moral yang mereka lewatkan? Mungkin saja bisa,
karna menurut saya seseorang dalam usia remaja seharusnya sudah dapat berpikir
kongkrit. Penalaran moralnya sampai pada tahap konvensional sehingga ini yang
mungkin kurang mereka pahami. Mereka hanya menilai perbuatan mereka baik
apabila memenui atau membahagiakan teman sebaya. Solidaritas menjadi muaranya.
Tapi, sekali lagi hati kecil saya bertanya samapai pada tahap manakah
kemerosotan moral anak bangsa sehingga masih menghalalkan perilaku kaum
“BARBAR” seperti itu?
Salah siapa? Orang tua? Guru
sekolah? Konselor? Lingkungan? atau memang mereka saja yang geblek?. Sekarang
coba kita telaah lagi, pengertian pada tahapan konvensional pada moral remaja
adalah pada tahap ini individu sudah mengerti akan arti dan tujuan hidup, Menggunakan pengetahuan misalnya
untuk mengambil keputusan saat ini
dan yang akan datang. Perlu saya garis bawahi tentang itu
semua. Menggunakan pengetahuan, apa masih kurang jelas tentang pengetahuan dari bahaya
tawuran, perkelahian? Apa efeknya masih kurang gamblang terlihat?
Ketika ada yang bertanya
bagaimanakah cara untuk merubahnya maka jawabannya menurut saya adalah dari
pernyataan berikut.
”siapa kalau
bukan kita, kapan kalau bukan sekarang, dan dimana kalau bukan disini”
Cukup jelas bukan, bahwa sebaiknya
dimulai dari pribadi kita masing-masing, sekarang dan di tempat dimana kita
berada. Omong kosong ketika kita mau merubah keadaan ini namun diri kita
sendiri tidak merubah kearah yang lebih baik. Pesan saya untuk para pembaca dan
remaja pada khususnya, mungkin idealisme kalian belum sampai pada tahap ini.
dan mungkin juga kalian tidak sefrontal saya, tapi saya sejak dulu karna
mungkin memang keras kepala saya kurang begitu memikirkan omongan teman apabila
menurut saya apa yang saya lakukan sudah benar, sesuai jalur dan tidak
menyakiti orang lain. Tanmkan dalam mainset kalian petikan prinsip dari
mendiang SOE HOEK GIE.
“saya
lebih memilih diasingkan dari pada tunduk pada kemunafikan”
Saya
yakin bahwa sebenarnya saat kalian tawuran, kalian sedang munafik. Jauh dalam
lubuk hati kalian yang paling dalam sebenarnya kalian tidak mau melakukannya.
Kalian tau imbas dari perbuatan kalian. Untuk itu sekali lagi saya menyerukan
lawan kemunafikan. Ikuti kata hati kalian.
0 komentar:
Posting Komentar