KETERAMPILAN INITIATING
I. Keterampilan Defining
Goals
1. Pemberian Inisiasi: Memfasilitasi Tindakan Konseli
Penginisiasian merupakan tahap
kulminasi dari pemberian bantuan. Pemberian inisiasi menekankan pada
memfasilitasi usaha konseli untuk bertindak dalam mencapai tujuannya.
Dengan kata lain, tindakan konseli untuk mengubah atau memperoleh keberfungsian
mereka. Tindakan ini didasarkan atas pemahaman mereka yang telah
terpersonalisasi terhadap tujuan mereka. Hal ini difasilitasin oleh inisiatif
dari konselor.
Proses initiating
(penginisiasian) mencakup penetapan tujuan, pengembangan program, perancangan
jadwal serta reinforcement dan pengindividualisasian langkah-langkah. Penetapan
tujuan menekankan pada pengoperasian suatu tujuan. Pengembangan program
menekankan pada langkah-langkah yang dibutuhkan untuk mencapai suatu tujuan.
Perancangan jadwal menekankan pada ketepatan waktu untuk melangkah, sementara
itu reinforcement menekankan pada pelengkapan peneguhan untuk melangkah.
Pengindividualisasian menekankan pada memastikan bahwa langkah-langkah tersebut
berhunbungan dengan bingkai referensi konseli.
2. Kondisi Inti dalam Pengambilan Tindakan
Walaupun penginisiasian secara
luas merupakan seri tentang kegiatan mekanis yang didasarkan atas tujuan yang
terpersonalisasi, konselor terus menerus berfungsi secara diferensial terhadap
kebutuhan-kebutuhan konseli. Konselor secara terus-menerus menekankan pada
pemberian respon secara efektif. Setelah menjadi tambahan dalam
mempersonalisasikan pemahaman terhadap tujuan, konselor kembali lagi pada
tingkatan yang sesuai dalam responding. Begitu pula dengan konselor yang menekankan
pada pengindividualisasian langkah-langkah dalam pencapaian tujuan. Dalam
praktiknya, hal ini berarti bahwa konselor selalu melakukan pemeriksaan kembali
terhadap konseli dalam pengembangan dan pelaksanaan program-program.
Sebagai tambahan, konselor
mengkomunikasikan penghargaan yang kondisional bagi konseli. Konselor memiliki
gambaran yang jelas tentang kelebihan dan kekurangan konseli, serta meneguhkan
mereka dengan tujuan untuk membantu mereka mengembangkan dan melaksanakan
program-program secara efektif. Keseluruhan hal ini dikomunikasikan dalam
perilaku yang sangat murni (genuine). Karena baik konselor maupum konseli
saling
1
mengetahui dengan baik satu sama lain, maka mereka
dapat berhubungan dengan bebas dan terbuka sesuka hati mereka. Akhirnya, ada
suatu peningkatan yang ditekankan terhadap kekhususan dan kekonkritan dalam
pengembangan dan pelaksanaan program.
Tahap III Keterampilan
Inti dalam Pemberian Bantuan
Dimensi
Konselor Tingkat Keterampilan yang
Ditekankan
Empathy
(Empati) Merespon secara sesuai
(yang dapat dipertukarkan)
Respect
(penghormatan) Mengkomunikasikan penghargaan kondisional
Genuineness
(keaslian) Menjadi genuine (asli, sungguh-sungguh) sepenuhnya
Concreteness (kekonkritan) Menjadi spesifik sepenuhnya
Proses
yang Bertindak (Acting)
dialami konseli
Personalisasi
Tujuan Penetapan Tujuan
3.
Defining Goals (Menetapkan Tujuan-tujuan)
Tugas yang paling kritis dalam
penginisiasian adalah penetapan tujuan. Jika kita dapat menetapkan tujuan,
dalam arti pengoperasian yang menyusun suatu tujuan, maka arah kita menjadi
jelas. Kita dapat menjawab pertanyaan dasar tentang pengarahan : “Bagaimana
kita bisa mengetahui kapan kita meraih tujuan kita?”
Dalam menetapkan tujuan, kita
akan menggunakan kata tanya dasar yang kita miliki dengan cara yang kreatif.
Kita akan menentukan pengoperasian tujuan dalam arti yang sama dengan kata
tanya 5WH seperti yang telah dipelajari sebelumnya: What, Who, Why, When,
Where dan How. Sekarang kita
kita menggambarkan 5WH tersebut dalam lingkup pengoperasian tujuan yang
unsur-unsurnya terdiri atas: komponen, fungsi, proses, kondisi dan standar.
Pengoperasian ini akan menentukan seluruh unsur yang kita butuhkan untuk
mencapai tujuan kita.
4.
Unsur-unsur Pembentuk Defining Goals
2
Defining
Goals terdiri dari:
Defining Components, Defining
Function, Difining
Processes, Defining
Conditions, Defining Standards,
Operationalizing The Goal, dan
Communicating The
Operational Goal
a. Defining Components
Unsur pertama dari tujuan adalah
komponen. Komponen menggambarkan siapa dan apa saja yang terlibat dalam suatu
tujuan. Komponen adalah kata benda atau label yang kita lekatkan pada seseorang
atau sesuatu.
Kemudian, sebagai contoh,
beberapa masalah konseli bisa saja melibatkan orang lain sebagai komponen yang
penting. Dalam lingkup pembelajaran, komponen-komponen tersebut bisa saja
mencakup unsur-unsur seperti materi pelajaran atau isi, begitu pula guru atau
siswa. Dalam lingkup pekerjaan, komponen tersebut cenderung menekankan pada
tugas-tugas, begitu pula atasan, bawahan dan rekan sejawat.
Dalam menetapkan
komponen-komponen tersebut, adalah penting untuk memasukkan seluruh orang dan
benda yang terlibat. Terkadang, pihak ketiga, pengalaman tidak langsung ataupun
tugas-tugas bisa saja menyertai proses pencapaian tujuan konseli.
Pertanyaan dalam pikiran kita adalah:
Apa yang terlibat (turut mempengaruhi
pencapaian tujuan)?
Siapa yang terlibat (turut mempengaruhi
pencapaian tujuan)?
b. Defining
Function
Unsur kedua dalam penetapan
tujuan adalah fungsi. Fungsi menggambarkan apa yang dilakukan seseorang atau
sesuatu. Fungsi adalah kata kerja yang menggambarkan suatu aktivitas.
Sebagai contoh, masalah dalam
kehidupan konseli bisa saja mencakup perwujudan keterampilan interpersonal
seperti berhubungan dengan orang yang disayangi dalam persahabatan atau
hubungan orangtua-anak. Dalam lingkup pembelajaran, fungsi dapat menekankan
pada aktivitas belajar tertentu misalnya, menerima, memperoleh, mengaplikasikan
dan mentransfer materi pelajaran. Dalam lingkup pekerjaan, fungsi menekankan
pada aktivitas kerja tertentu seperti, memperluas, mempersempit, merencanakan,
dan melaksanakan pengerjaan tugas-tugas.
3
Dalam menetapkan fungsi, adalah
penting untuk memasukkan semua aktivitas yang terlibat. Dengan begitu, tidak
ada aktivitas penting yang mungkin kita hilangkan dalam usaha kita untuk
mencapai tujuan.
Pertanyaan dalam pikiran kita adalah:
Apa yang harus diselesaikan/dikerjakan
sampai selesai?
Siapa yang mengerjakannya?
c. Defining Processes
Unsur ketiga dalam penetapan
tujuan adalah proses. Proses dideskripsikan sebagai alasan dan metode bagi
komponen-komponen untuk mengerjakan fungsinya. Proses berupa kalimat keterangan
yang memodifikasi fungsi atau aktivitas.
Sebagai contoh, konseli bisa saja
belajar untuk berhubungan secara efektif dengan cara mempelajari cara untuk
merespon secara akurat menggunakan keterampilan-keterampilan interpersonal.
Dalam lingkup pembelajaran, konseli mungkin perlu untuk
“belajar-bagaimana-cara-belajar” dengan tujuan untu k melakukan fungsinya
secara efektif. Dalam lingkup pekerjaan, konseli mungkin perlu untuk mempelajari
keterampilan pemecahan masalah (problem solving) atau pembuatan
keputusan (decision making) dengan tujuan untuk bekerja secara
produktif. Penting juga untuk menjadi inklusif dalam menetapkan proses-proses
semacam ini, untuk mencegah hilangnya pengoperasian yang penting akan tujuan
yang hendak dicapai.
Pertanyaan dalam pikiran kita adalah:
Bagaimana tujuan itu dapat tercapai dengan
suatu tindakan?
Mengapa tujuan itu harus dicapai dengan
suatu tindakan?
d. Defining
Conditions
Unsur keempat dalam penetapan
tujuan adalah kondisi. Kondisi menggambarkan di mana dan kapan fungsi-fungsi
terjadi. Kondisi juga merupakan kalimat keterangan yang mendeskripsikan fungsi.
Sebagai contoh, fungsi
interpersonal konseli bisa saja mengambil tempat di rumah pada saat makan
bersama keluarga atau pada saat kencan di malam hari bersama kekasih. Begitu
pula proses belajar konseli dapat mengambil tempat di ruangan kelas selama jam
sekolah dan kegiatan bekerja dapat mengambil tempat di kantor atau ruang kerja
individual
4
selama jam kerja karyawan. Adalah hal penting
untuk mengkhususkan kondisi di mana fungsi terjadi, untuk memastikan
kelengkapan performansi/ kinerja tindakan.
Pertanyaan dalam pikiran kita adalah:
Kapan fungsi/tindakan untuk mencapai tujuan
itu dilaksanakan?
Di mana fungsi/tindakan untuk mencapai
tujuan itu dilaksanakan?
e. Defining Standards
Unsur kelima dan unsur terakhir
dalam penetapan tujuan adalah standar. Standar menggambarkan sebaik apa fungsi
ditampilkan. Standar juga merupakan frase keterangan yang mendeskripsikan
fungsi-fungsi.
Sebagai contoh, fungsi
interpersonal konseli bisa saja mensyaratkan suatu perluasan dari dasar
komunikasi sedikitnya enam buah respon yang sesuai. Keterampilan konseli dalam
belajar mungkin akan mensyaratkan kemampuan untuk mengeksplorasi, memahami dan
mengambil tindakan atas tiap keterampilan untuk dipelajari. Keterampilan
konseli dalam bekerja mungkin mensyaratkan kemampuan untuk menangani masalah
atau membuat keputusan secara terencana.
Adalah hal penting untuk menjadi
sangat spesifik dalam menentukan kriteria keefektifan. Jika tidak, konseli
tidak akan tahu saat-saat dimana mereka telah mencapai tujuan yang mereka
inginkan.
Pertanyaan dalam pikiran kita adalah:
Bagaimana sebaiknya tindakan untuk mencapai
tujuan itu dilaksanakan?
f. Operationalizing The Goal
Jawaban untuk
menjawab
pertanyaan-pertanyaan di atas,
akan menetapkan
pengoperasian terhadap tujuan yang ingin kita
capai. Pengoperasian tersebut terdiri atas unsur-unsur yang perlu kita ketahui
dan kita laksanakan demi pencapaian tujuan konseli. Di atas semua itu,
unsur-unsur tersebut juga menetapkan standar keunggulan dalam pencapaian tujuan
konseli.
Sebagai contoh, kita dapat merangkumkan penjelasan
tentang tujuan konseli untuk
menangani masalah
interpersonal dengan orangtua mereka, dengan cara sebagai berikut :
Komponen – orangtua konseli dan konseli sendiri
Fungsi – untuk berhubungan secara efektif
Proses – melalui pemberian respon secara akurat
5
Kondisi – di rumah selama jam makan
Standar – dengan cara membuat suatu dasar komunikas i yang
tepat
(sedikitnya enam buah respon).
Melalui pemberian deskripsi
operasional ini, konseli akan memiliki gambaran yang jelas tentang tujuannya.
Hal ini mendorong konseli untuk mengembangkan dan melaksanakan program-program
demi pencapaian tujuan mereka.
g.
Communicating The Operational Goal
Sekarang kita harus
mengkomunikasikan penjelasan kita tentang tujuan pada konseli dalam ketentuan
operasional ini. Kita melakukan hal ini dengan cara menekankan pada
ketentuan-ketentuan yang dapat diamati dan diukur. Ketentuan-ketentuan ini
menekankan pada standar performansi. Biasanya hal ini dimaksudkan untuk
menggambarkan tujuan dalam hubungannya dengan lama waktu yang digunakan konseli
dalam melakukan suatu perilaku. Dalam personalisasi tujuan kita menggunakan format
sebagai berikut:
“Kau merasa ______karena
kau tidak bisa______dan ka u ingin untuk_____seperti
yang ditunjukkan oleh___(definisi
operasional tentang tujuan)_____.”
Dengan kata lain, kita sedang
menjawab pertanyaan, “Bagaimana saya mampu untuk mengatakan kapan saya telah
mencapai tujuan itu?” k ita akan berlatih untuk menetapkan tujuan dalam
interaksi sehari-hari dan dengan bahasan tercatat seperti dalam studi kasus.
“Anda ingin mampu untuk
mengambil tindakan dalam su atu kesempatan seperti yang ditunjukkan oleh
sejumlah waktu yang Anda gunakan untuk menetapkan dan meraih tujuanmu.”
6
II. Keterampilan
Developing Programs
Penetapan Tujuan Pengembangan
Program
1. Developing Programs
Jelas tidak cukup jika kita hanya menetapkan tujuan saja.
Untuk mencapai tujuan, kita perlu mengembangkan program. Program merupakan
prosedur langkah-demi-langkah yang mempermudah pencapaian tujuan. Dalam
pemberian penjelasan tentang tujuan, program diperoleh dari pengoperasian.
Setiap langkah dalam program harus membawa pada penyelesaian operasi-operasi
yang terlibat dalam suatu tujuan.
Kebanyakan program
tersusun/terurut oleh kemungkinan, artinya, setiap langkah bergantung pada
pelaksanaan langkah sebelumnya. Karena itu, kita tentukan apa saja langkah yang
harus kita lakukan sebagai persiapan langkah selanjutnya dan pada akhirnya,
pengoperasian tujuan. Dalam konteks ini, program pengambilan tindakan terdiri
atas, tujuan operasional, langkah pertama yang mendasar, dan langkah perantara
pencapaian tujuan. Tujuan adalah yang diinginkan atau dibutuhkan oleh konseli
untuk diraih. Langkah pertama merupakan langkah yang mendasar dimana konseli
memulai untuk melangkah. Langkah perantara merupakan langkah-langkah yang
secara langsung membawa pada pencapaian tujuan : semua langkah tersebut membawa
konseli dari tempat ia berada ke tempat yang ia inginkan.
GOAL
Intermediary Steps
First step
2. Unsur-unsur Pembentuk Developing
Programs
Developing Programs terdiri
dari: Developing Initial Steps, Developing Intermediary Steps, dan
Developing Sub-Steps.
a. Developing Initial Steps (Mengembangkan
Langkah-Langkah Awal)
7
Langkah pertama adalah langkah
paling mendasar yang harus diambil konseli. Langkah tersebut harus menjadi
bahan bangunan paling fundamental dalam suatu program. Dengan begitu kita dapat
membangun langkah lainnya. Sebagai contoh, jika yang menjadi tujuan adalah
berlari sejauh satu mil dalam delapan menit, maka langkah pertama yang ditempuh
bisa saja berjalan mengelilingi blok (perumahan). Untuk sebagian orang langkah
pertama untuk berlari sejauh satu mil mungkin saja mengambil langkah pertama
dengan sungguh-sungguh dan menggunakan kekuatan fisik.
Bagi konseli, yang menjadi
langkah pertama dalam berhubungan dengan orangtuanya adalah dengan menghampiri
mereka. Langakah pertama dalam belajar atau bekerja dapat berupa menghampiri
tugas-tugas yang sedang ditangani. Dalam mengkomunikasikan langkah pertama kita
dapat menggunakan format :
“Langkah pertamamu adalah___.”
GOAL
Relating
Attending
b. Developing Intermediary Steps
Langkah perantara menjembatani
jurang pemisah antara langkah pertama dengan tujuan. Langkah perantara kita
yang pertama dapat diperkirakan berada pada setengah jalan antara langkah
pertama dengan tujuan. Sebagai contoh, jika tujuannya adalah lari sejauh satu
mil dalam delapan menit, langkah perantara pertama yang diambil bisa saja
dengan berlari sejauh setengah mil atau lari sejauh satu mil dalam waktu 12
menit.
Bagi konseli, langkah perantara
yang pertama dalam berhubungan dengan orangtua mungkin saja dengan
memperhatikan mereka. Begitu pula langkah perantara pertama dalam belajar bisa
saja dengan memahami tujuan pembelajaran, sementara langkah perantara pertama
dalam bekerja bisa berupa pengembangan persyaratan akan tugas. Dalam
mengkomunikasikan langkah perantara pertama, kita dapat menggunakan format
langsung yang sederhana seperti :
8
“Langkah perantara mu
adalah____.”
GOAL
Relating
Listening
Attending
c. Developing Sub-Steps
Kita berlanjut untuk mengisi
program dengan mengembangkan sub-langkah. Kita mengembangkannya dengan cara
menjadikan tiap langkah dalam program sebagai sub-tujuan dan mengembangkan
langkah awal dan perantara untuk mencapai sub-tujuan. Kita terus melakukan hal
ini sampai kita memiliki seluruh langkah yang diperlukan untuk mencapai tujuan.
Jika kita meninggalkan satu langkah saja, konseli akan gagal dalam mencapai
tujuannya. Jika kita berencana untuk berlari sejauh satu mil, kita harus mengembangkan
sub-langkah dalam hal jarak dan waktu. Sebagai contoh, berlarilah dari jarak ¼
mil, ke ½ mil, ke ¾ mil sampai dengan 1 mil dan pergunakan waktu dari 12 menit,
ke 10 menit ke 9 menit sampai dengan 8 menit.
Bagi konseli, sub-langkah
tersebut dapat ditekankan pada keterampilan pengamatan dan pemberian respon.
Kemudian keterampilan-keterampilan ini bisa saja dijadikan sebagai sub-langkah
dan sub-tujuan yang dapat dikembangkan untuk mencapai tujuan. Kita dapat mengembangkan
sub-langkah berupa pengeksplorasian dan pengambilan tindakan dalam program
belajar. Dan sub-langkah berupa perluasan option dan penyeleksian bagian yang
terpilih dalam program kerja. Dalam mengkomunikasikan sub-langkah ini kita
dapat menggunakan format sederhana :
GOAL
Relating
Responding
Listening
9
Observing
Attending
III. Keterampilan
Developing Schedules
1. Developing Schedules
Proses inisiasi berlanjut seiring
kita mengembangkan penjadwalan waktu (time schedule) untuk
pencapaian langkah dan tujuan. Jadwal disajikan untuk memfokuskan program
yang akan kita lakukan. Jadwal akan menutup jurang (gaps) yang mungkin
ditinggalkan oleh jarak waktu yang terbuka.
Penekanan utama dalam proses
penjadwalan adalah pada pengembangan waktu mulai dan waktu selesai. Hal
tersebut menjelaskan pada konseli dan konselor kapan suatu hal
harus dilakukan atau diselesaikan. Waktu mulai dan waktu selesai juga dapat
ditentukan bagi langkah-langkah individual yang akan diambil seperti hal nya
pada keseluruhan program. Tidak ada program yang lengkap tanpa waktu dimulai
dan waktu diselesaikannya program tersebut.
2. Unsur-unsur Pembentuk Developing Schedules:
Developing Schedules terdiri dari 3 unsur,
yaitu: Setting Completion Times, Setting
Starting Times, dan
Monitoring Timelines
a. Setting Completion Times (Menyusun Waktu
Penyelesaian)
Langkah pertama yang diambil
dalam pengembangan jadwal adalah menentapkan secara khusus waktu dan tanggal
penyelesaian. Sebagi contoh, kita dapat menetapkan waktu penyelesaian selama
enam bulan untuk mencapai tujuan kita berlari sejauh satu mil dalam waktu
delapan menit.
Dalam ilustrasi, konseli bisa
saja bertujuan untuk menyelesaikan program-program yang bersangkutan selama
lima bulan terakhir. Kita dapat menentukan waktu penyelesaian yang sama pada
langkah-langkah atau tujuan yang akan diraih dalam berbagai aspek kehidupan,
pembelajaran dan pekerjaan. Dalam mengkomunikasikan waktu penyelesaian kita
dapat menggunakan format sederhana seperti :
“Kau bisa menyelesaikannya
dalam/pada_____.”
b. Setting Starting Times (Menyusun Maktu Memulai)
Langkah kedua dalam pengembangan
jadwal adalah menetapkan waktu dan tanggal pemulaian secara spesifik. Sebagai
contoh, kita dapat mulai dengan segera untuk berjalan-jalan agar dapat mencapai
tujuan kita yakni berlari sejauh satu mil dalam delapan menit.
Terhadap konseli, kita
dapat menetapkan waktu untuk memulai program pengembangan keterampilan
interpersonal. Kita dapat menetapkan waktu yang sama pada langkah-langkah atau
tujuan yang akan diraih dalam berbagai aspek kehidupan, pembelajaran dan
pekerjaan. Dalam mengkomunikasikan waktu pemulaian kita dapat menggunakan
format sederhana seperti :
“Kau bisa memulainya pada_____.”
c. Monitoring Timelines
Kita dapat menetapkan waktu
pemulaian dan penyelesaian bagi tiap langkah sementara. Tujuan utama dari
penetapan jadwal adalah untuk mengawasi ketepatan waktu atas kinerja konseli
terhadap pengerjaan langkah-langkah dalam program. Sebagai contoh konseli bisa
saja memutuskan bahwa ia akan menggguanakan waktu sebulan kemudian untuk
belajar dan berlatih cara-cara untuk memberi perhatian. Selama seminggu pertama
ia berkonsentrasi untuk mempersiapkan dirinya dalam hal penghampiran, minggu
kedua ia gunakan untuk melatih keterampilan attending melalui cara
berhadap-hadapan, minggu ketiga untuk mempelajari kterampilan attending dengan
cara mencondongkan diri dan minggu keempat untuk melatih penciptaan kontak
mata. Jadwal yang detail membuat konselor dan konseli dapat mengawasi
pelaksanaan langkah-langkah dalam pencapaian tujuan.
“Kau dapat
memulainya saat ____ dan menyelesaikannya pada ____.”
D. Bahan dan Tahap (Sesi)
Pelatihan
Sepuluh
sesi latihan untuk
penguasaan konsep dasar/
materi dan keterampilan
Developing Schedules:
1.
Menganalisis kualitas personalizing dari skrip
dialog konseling individual konselor yang kurang terampil. Analisislah kualitas
personalizing dalam skrip dialog konseling individual berikut ini!
Prolog:
Marita Snelling adalah wanita
berusia 31 tahun yang menarik. Ia telah menikah selama dua belas tahun dan
memiliki dua anak perempuan berusia dua belas dan sepuluh tahun. Marita datang
ke pusat intervensi krisis dengan kedua putrinya, membawa kopor besar. Ia
mempunyai beberapa luka memar di tangannya dan satu di wajahnya, juga luka
tetak yang masih baru di atas mata kirinya. Salah satu putrid Marita, hidungnya
mengeluarkan darah dan satu matanya memar. Marita datang ke pusat intervensi
krisis karena ia dan kedua anaknya meninggalkan rumah, hal tersebut disebabkan
oleh kekerasan fisik dan emosional yang dilakukan suaminya. Ia ditempatkan di
kasus pendobrakan perlindungan wanita dan kembali ke pusat intervensi tersebut
untuk keesokan harinya untuk berbicara
dengan seorang konselor.
Konselor bagi Marita adalah Meg
Mitchell yang telah menangani konseling keluarga selama beberapa tahun. Berikut
adalah kutipan percakapan di sesi pertama mereka. Anak-
anak Marita tidak hadir
saat itu.
Marita : “Semua menjadi buruk karenanya aku membawa anak-anak dan meninggalkan
rumah. Awalnya Faruk hanya berteriak.
Kemudian ia mulai memukulku. Lalu iapun
memukul
anak-anak. Hal itu
terjadi pada kami
semakin sering dan
sering…”
(menangis) “Aku tidak tahu apa yang dapat kulakuka n untuk
menghentikannya.
Aku sudah coba, namun aku selalu melakukan
kesalahan.”
Meg : “Kau merasa bersalah karena Faruk
mengatakan padamu bahwa kau membuatnya
kesal.”
Marita : “Benar! Ia akan berteriak padaku dan anak- anak
tentang sesuatu dan kemudian ia
menjadi gila. Aku sangat ketakutan. Aku
cemas sekali memikirkan apa yang akan ia
lakukan jika menemukanku.”
Meg : “Kau merasa takut karena ia mungkin akan teta p
menyakitimu atau anak-anakmu.”
Marita : “Mungkin aku harusnya tidak pergi. Ia past i
merasa kesal…”
14
: “Kau merasa takut akan apa yang mungkin
ia l akukan dan merasa bersalah karena
|
||
|
kau meninggalkannya.”
|
|
Marita
|
: “Aku tahu kedengarannya membingungkan.
Tap i mau bagaimana lagi. Aku tetap
|
|
|
mencintainya! Aku hanya tidak tahu
bagaimana membuat Faruk bahagia.”
|
|
Meg
|
:
“Kau merasa bersalah
karena kau mencintai
Far uk tapi
|
tidak bisa
|
|
membahagiakannya. Kau tidak tahu apakah
yang kau lakukan itu suatu kesalahan.”
|
|
Marita
|
: “Ya. Tapi di waktu yang bersamaan ia
sehar usnya tidak memukulku dan anak-
|
|
|
anak. Itu juga salah!
|
|
Meg
|
: “Kau marah pada Faruk karena kekerasan
yang b ia lakukan.”
|
|
Marita
|
: “Aku tidak tahu siapa yang menjadi
buta. A ku tahu aku bukanlah istri terbaik
|
|
|
didunia. Ia juga bukan suami terbaik.
Anak-anak bisa menjadi lebih berarti bagiku
|
|
|
sewaktu-waktu.”
|
|
Meg
|
: “Kau merasa kewalahan karena kau tidak
menget ahui siapa yang sesungguhnya
|
|
|
bertanggung jawab
atas apa. Semua
yang kau tahu
adalah bahwa setiap
orang
|
|
|
memiliki bagian dari tanggungjawab
tersebut.”
|
|
Marita
|
: “Benar. Masing-masing dari kita telah
mela kukan kesalahan.”
|
|
Meg
|
: “kau menderita karena kau tahu anggota
keluar gamu telah saling menyakiti tapi
|
|
|
kau tidak dapat memikirkan bagaimana cara
untuk mengubah hal itu.”
|
|
Marita
|
: “Hal itu berada diluar jangkauanku.
Segala hal menjadi sangat membingungkan.”
|
|
Meg
|
: “Kau merasa kecewa karena kau tidak
dapat mem ikirkan bagaimana cara untuk
|
|
|
membuat anggota keluargamu berhubungan
satu sama lain seperti seharusnya.”
|
|
Marita
|
: “Benar.”
|
|
Meg
|
: “Marita, apa yang kau inginkan adalah
untuk m embuat kau, Faruk dan kedua
|
|
|
anakmu membangun hubungan keluarga yang
baik yang akan membiarkan setiap
|
|
|
orang untuk tumbuh.”
|
|
Marita
|
: “Tepat, itu yang kuinginkan. Tapi
bagaiman a aku melakukannya?”
|
|
Meg
|
: “Kau berkata bahwa kau tidak tahu
bagaimana m elakukannya.”
|
|
Marita
|
: “Semuanya menjadi kacau. Aku tidak tahu
da rimana harus memulainya.”
|
|
Meg
|
: “Baiklah, tidak banyak yang dapat
kulakukan s elain melibatkan Faruk dan kedua
|
|
|
putrimu dalam terapi.”
|
|
Marita
|
: “Faruk tidak akan pernah mau menemui
konse lor…ia akan menolaknya. Ia pikir
|
|
|
semua orang yang menemui konselor itu
gila. Oh, maafkan aku.”
|
|
|
15
|
|
: “Tidak apa-apa, tapi tanpa Faruk kami
tidak a kan mampu untuk menyelesaikan
|
||
|
apapun. Kau harus memikirkan cara untuk
membawanya kesini.”
|
|
Marita
|
: “Aku tidak tahu apa yang bisa kulakukan
un tuk membuatnya datang kesini. Aku
|
|
|
tidak tahu…”
|
|
Meg
|
: “Kau harus berusaha.”
|
|
Marita
|
: “Baiklah, tapi bagaimana kalau ia
menolak? ”
|
|
Meg
|
: “Tunggu saja dan lihat apakah kau dapat
menga jaknya kesini. Oke?”
|
|
Marita
|
: “Baiklah. Oke.”
|
|
1.
Developing Reinforcement
Langkah selanjutnya dalam
inisiasi adalah Developing Reinforcement pengembangan peneguhan yang
akan mendorong konseli untuk mengambil langkah-langkah yang dibutuhkan.
Peneguhan merupakan hal sederhana yang menjadi persoalan bagi kita. Peneguhan
menjadi sangat efektif saat diaplikasikan dengan sesegera mungkin terhadap pelaksanaan
langkah-langkah yang akan kita ambil.
Pelaksanaan langkah dalam
pencapaian tujuan dan penanggulangan kekurangan diri sering kali berakibat
terlalu jauh pada konseli. Banyak jenis peneguhan yang harus diperkenalkan pada
konseli secepat mungkin.
Lebih jelasnya,
peneguhan-peneguhan ini harus datang dari bingkai referensi konseli. Masalah
yang kita pikirkan tentang konseli harus benar-benar yang menjadi masalah
menjadi mereka. Banyak program pemberian bantuan yang gagal karena
ketidakmampuan program tersebut untuk memberikan peneguhan yang sesuai. Kita
semua mengetahui cerita tentang orang yang berebut untuk mendapatkan perhatian,
karena perhatian apapun-bahkkan yang negatif-dapat lebih meneghkan dibanding
proses peneguhan dalam suatu program. Dalam konteks ini kita terus menekankan
pemberian respon pada empati sebagai sumber dari seluruh pengetahuan tentang
peneguhan yang kuat bagi konseli. Terkadang adalah lebih sesuai bagi konseli
untuk bekerja dengan dukungan seseorang atau kelompok untuk mengawasi
performansinya dan melaksanakan peneguhan.
2.
Unsur-unsur Pembentuk Developing Reinforcement:
Developing
Reinforcement terdiri dari
3 unsur, yaitu:
Reinforcing Positively,
Reinforcement negatively, dan Observing
Vigilantly.
a.
Reinforcing Positively (Meneguhkan secara Positif)
Peneguhan positif atau reward
(penghargaan/ganjaran yang baik) adalah jenis peneguhan konselor yang paling
potensial. Orang cenderung dapat bekerja keras demi sesuatu yang benar-benar
berarti baginya. Hal ini berarti konselor harus bekerja dengan tekun
untuk mengembangkan peneguhan positif berdasarkan kerangka berpikir konseli.
Kemudian helpe juga harus bekerja dengan tekun untuk menerima peneguhan
tersebut.
Sebagai contoh konseli
bisa saja memutuskan dengan mudah bahwa ia akan pergi dengan teman-temannya
pada jumat dan sabtu malam ketika ia dapat menyelesaikan setiap langkah dalam
mencapai tujuannya (program inisiasi). Konselor dapat mengembangkan bentuk
peneguhan yang serupa untuk berbagai program dalam seluruh aspek kehidupan,
17
pembelajaran, dan
pekerjaan. Peneguhan akan bervariasi (berbeda-beda) seluas selera alami
manusia itu sendiri.
“Jika kau dapat menyelesaikan tiap-tiap
langkah dal am mencapai tujuan
kau boleh ________.”
b.
Reinforcing Negatively (Meneguhkan secara Negatif)
Sedapat mungkin yang kita mampu,
kita harus mencegah penggunaan peneguhan negatif. Kita menggunakannya peneguhan
negatif dalam sesuatu yang bernuansa larangan dengan arti akan ada hukuman.
Dalam konteks ini penerapan atas peneguhan negatif menstimulasi reaksi lainnya
misalkan reaksi penolakan terhadap orang yang memberikan hukuman. Untuk
mencegah kita brerhadapan dengan reaksi semacam ini, kita harus berusaha untuk
menetapkan peneguhan negatif tersebut sebagai ketiadaan reward.
Dalam kasus konseli ia menetapkan
peneguhan negatifnya sendiri, yakni bengan memaksa dirinya untuk tinggal
dirumah dan mengerjakan langkah yang belum terselesaikan selama week end.
Peneguhan negatif yang serupa juga dapat dirancang dan diaplikasikan dalam
program-program diberbagai aspek kehidupan, pembelajaran, dan pekerjaan.
Seperti halnya reward, peneguhan negatif juga bermacam-macam dan untuk
menggunakannya secara efektif kita harus menyesuaikan diri dengan baik terhadap
orang yang bersangkutan.
“Jika kau tidak menyelesaikan. langkah-langkah
dala m pencapaian tujuan, kau tidak boleh____”
c. Observing Vigilantly (Mengamati dengan
Seksama/Waspada)
Jika masih belum jelas apakah
sebuah langkah dalam pencapaian tujuan telah dilaksanakan dengan cara yang
memuaskan, maka konselor harus mengamati klien dengan waspada. Konselor
melakukan hal tersebut untuk menentukan apakah klien yang menjalankannya
bergerak menjauhi atau medekati tujuan. Pada akhirnya, seluruh perilaku klien
dapat berupa perilaku yang terarah pada tujuan (goal-directed) atau
perilaku yang tidak terarah pada tujuan (non-goal directed).
Secara terkait, konselor
memposisikan diri menjadi konselor untuk meneguhkan konseli secara
positif terhadap hal yang positif, yaitu perilaku konseli yang terarah
pada tujuan, dan mencegah perilaku konseli yang tidak bertujuan
dengan peneguhan negatif. Seperti halnya kita ingin meluruskan diri kita
sendiri terhadap apa yang sehat bagi diri kita dan menentang apa yang tidak
menyehatkan bagi kita. Kita mengkomunikasikan rasa hormat kita pada konseli
sebagai manusia tetapi tidak pada perilaku nya yang tidak sehat. Kita dapat
18
menggunakan potensi kita
untuk menjadi lebih teliti dalam memperhatikan implikasi dari
perilaku konseli terhadap
perilaku kita sendiri.
“Jika kau (tidak)
mengatakan/merasakan/melakukan __ __
maka aku akan (tidak) mengatakan
/merasakan/melakukan ____”
C. Bahan dan Tahap (Sesi)
Pelatihan
Marita adalah wanita berusia 31
tahun yang menarik. Ia telah menikah selama dua belas tahun dan memiliki dua
anak perempuan berusia dua belas dan sepuluh tahun. Marita datang ke pusat
intervensi krisis dengan kedua putrinya, membawa kopor besar. Ia mempunyai
beberapa luka memar di tangannya dan satu di wajahnya, juga luka retak yang
masih baru di atas mata kirinya. Salah satu putrid Marita, hidungnya
mengeluarkan darah dan satu matanya memar. Marita datang ke pusat intervensi
krisis karena ia dan kedua anaknya meninggalkan rumah, hal tersebut disebabkan
oleh kekerasan fisik dan emosional yang dilakukan suaminya. Ia ditempatkan di
kasus perlindungan wanita dan kembali ke pusat
intervensi tersebut untuk
keesokan harinya untuk berbicara dengan seorang konselor.
Konselor bagi Marita adalah Pak
Deniar yang telah menangani konseling keluarga selama beberapa tahun. Berikut
adalah kutipan percakapan di sesi pertama mereka. Anak-
anak Marita tidak hadir
saat itu.
Marita : “Semua menjadi buruk karenanya aku membawa anak-anak dan meninggalkan
rumah. Awalnya Faruk hanya berteriak.
Kemudian ia mulai memukulku. Lalu iapun
memukul
anak-anak. Hal itu
terjadi pada kami
semakin sering dan
sering…”
(menangis) “Aku tidak tahu apa yang dapat kulakuka n untuk
menghentikannya.
Aku sudah coba, namun aku selalu melakukan
kesalahan.”
Deniar : “Kau merasa bersalah karena Faruk mengatak an
padamu bahwa kau membuatnya
kesal.”
Marita : “Benar! Ia akan berteriak padaku dan anak- anak
tentang sesuatu dan kemudian ia
menjadi gila. Aku sangat ketakutan. Aku
cemas sekali memikirkan apa yang akan ia
lakukan jika menemukanku.”
D : “Kau merasa takut karena ia mungkin akan tetap
menyakitimu atau anak-anakmu.”
Marita : “Mungkin aku harusnya tidak pergi. Ia past i
merasa kesal…”
D
: “Kau merasa takut akan apa yang mungkin ia laku
kan dan merasa bersalah karena kau meninggalkannya.”
Marita : “Aku tahu kedengarannya membingungkan. Tap i mau
bagaimana lagi. Aku tetap
mencintainya! Aku hanya tidak tahu
bagaimana membuat Faruk bahagia.”
D
: “Kau merasa bersalah karena kau mencintai Faruk
tapi tidak bisa membahagiakannya. Kau tidak tahu apakah yang kau lakukan itu
suatu kesalahan.”
Marita
|
: “Ya. Tapi di waktu yang bersamaan ia
sehar usnya tidak memukulku dan anak-
|
|
|
anak. Itu juga salah!
|
|
D
|
: “Kau marah pada Faruk karena kekerasan
yang bia lakukan.”
|
|
Marita
|
: “Aku tidak tahu siapa yang menjadi
buta. A ku tahu aku bukanlah istri terbaik
|
|
|
didunia. Ia juga bukan suami terbaik.
Anak-anak bisa menjadi lebih berarti bagiku
|
|
|
sewaktu-waktu.”
|
|
D
: “Kau merasa kewalahan karena kau tidak mengetah
ui siapa yang sesungguhnya bertanggung jawab atas apa. Semua yang kau tahu
adalah bahwa setiap orang
memiliki bagian dari tanggungjawab
tersebut.”
Marita : “Benar. Masing-masing dari kita telah mela kukan
kesalahan.”
D
: “kau menderita karena kau tahu anggota keluarga
mu telah saling menyakiti tapi kau tidak dapat memikirkan bagaimana cara untuk
mengubah hal itu.”
Marita : “Hal itu berada diluar jangkauanku. Segala hal
menjadi sangat membingungkan.”
D : “Kau merasa kecewa karena kau tidak dapat memik
irkan bagaimana cara untuk
membuat anggota keluargamu berhubungan satu
sama lain seperti seharusnya.”
Marita : “Benar.”
D
: “Marita, apa yang kau inginkan adalah untuk mem
buat kau, Faruk dan kedua anakmu membangun hubungan keluarga yang baik yang
akan membiarkan setiap
orang untuk tumbuh.”
Marita : “Tepat, itu yang kuinginkan. Tapi bagaiman a aku
melakukannya?”
D : “Kau berkata bahwa kau tidak tahu bagaimana mel
akukannya.”
Marita : “Semuanya menjadi kacau. Aku tidak tahu da
rimana harus memulainya.”
D
: “Baiklah, tidak banyak yang dapat kulakukan sel
ain melibatkan Faruk dan kedua putrimu dalam terapi.”
Marita : “Faruk tidak akan pernah mau menemui konse
lor…ia akan menolaknya. Ia pikir
semua orang yang menemui konselor itu gila.
Oh, maafkan aku.”
D
: “Tidak apa-apa, tapi tanpa Faruk kami tidak aka
n mampu untuk menyelesaikan apapun. Kau harus memikirkan cara untuk membawanya
kesini.”
Marita : “Aku tidak tahu apa yang bisa kulakukan un tuk
membuatnya datang kesini. Aku
tidak tahu…”
D : “Kau harus berusaha.”
Marita : “Baiklah, tapi bagaimana kalau ia menolak? ”
D : “Tunggu saja dan lihat apakah kau dapat mengaja
knya kesini. Oke?”
21
Marita : “Baiklah. Oke.”
V. Keterampilan
Indivualizing Steps
1.
Individualizing Steps (Mengindividualisasikan Langkah-Langkah)
Kebanyakan program terdiri atas
langkah-langkah yang tersusun secaa kebetulan, dimana tiap langkah bergantung
pada pelaksanaan langkah sebelumnya. Beberapa konseli tidak dapat melaksanakan
langkah tersebut segera setelah mereka merancangnya. Langkah-langkah tersebut
memerlukan pengindividualisasian program terhadap gaya belajar atau pemrosesan
program masing-masing. Jenis individualisasi program, berupa rangkaian
langkah-langkah dari yang sederhana sampai yang kompleks, dari yang konkrit
sampai yang abstrak, dari yang dekat sampai yang jauh. Seringkali
langkah-langkah ini berbeda dengan langkah-langkah yang terangkai dalam suatu
kesatuan.
Sebenarnya, setiap langkah dari
proses penginisiasian harus diindividualisasikan dengan cara menyamakannya
kembali dengan konseli. Kita dapat membuat respon yang sesuai yang dapat
memastikan bahwa kita berada dalam penyesuaian terhadap bingkai referensi konseli.
Bahkan saat kita mengindividualisasikan langkah-langkah kita harus tetap
menyesuaikan diri dengan baik, karena proses ini begitu tidak kentara.
2. Unsur-unsur Pembentuk Individualizing
Steps:
Individualizing Steps terdiri
dari 3 unsur, yaitu: Sequencing Simple-To-Complex Steps, Sequencing
Concrete-To-Abstract Steps, dan Sequencing Immediate-To-Remote Steps
a. Sequencing Simple-To-Complex Steps
Hal yang paling mendasar dalam
rangkaian modalitas alternatif adalah metode sederhana ke kompleks (simple to
complex). Ada beberapa konseli yang dapat bekerja lebih produktif terhadap
langkah-langkah yang paling sederhana. Seringkali langkah-langkah ini berbeda
dari apa yang dirangkaikan dalam suatu kesatuan.
Dalam memgembangkan langkah yang
sederhana, kita dapat mengatakan bahwa langkah pertama biasanya sangat
sederhana sampai terlihat mustahil. Dengan begitu kita dapat memastikan bahwa
konseli dapat melakukannya. Sebagai contoh, bersama konseli kita dapat memulai
program keterampilan attending kita dengan cara bertatap muka dengan orang
lain, langkah paling sederhana yang dapat sesegera mungkin dilakukan. Hal ini
masih lebih mudah disbanding langkah dimana kita harus berhadapan dengan orang
lain seperti yang diperintahkan dalam suatu kesatuan program. Kita dapat
menggunakan waktu tertentu untuk
merefleksikan perbedaan individual yang bisa kita
rancang menjadi rangkaian program dengan kesatuan atau dengan metode sederhana
ke kompleks.
“Kau dapat melakukan
langkah yang paling sederhana terlebih
dahulu.”
b. Sequencing Concrete-To-Abstract Steps
Rangkaian modalitas alternative
lainnya adalah model konkrit ke abstrak. Ada beberapa konseli yang bekerja
lebih produktif terhadap tugas-tugas yang paling konkrit. Dalam konteks ini,
beberapa konseli dapat memutuskan untuk memulai program keterampilan interpersonal
melalui langkah-langkah yang konkrit misalnya, pengembangan program yang akan
datang kemudian dalam rangkaian program terpadu. Mari kita lihat ada berapa
contoh perbedaan dalam rangkaian yang dapat kita kembangkan di berbagai aspek
kehidupan, pembelajaran dan pekerjaan. Perbedaan-perbedaan ini akan membawa
kita pada pengindividualisasian program.
“Anda dapat melakukan
langkah yang paling konkrit t erlebih dahulu.”
c.Sequencing Immediate-To-Remote Steps
Model individualisasi yang paling
menarik dan juga yang terakhir adalah metode dari dekat ke jauh (immediate to
remote). Beberapa konseli memilih langkah yang dapat dimulai dari pengalaman
terdekat mereka. Sebagai contoh, dalam suatu program keterampilan interpersonal,
beberapa konseli dapat memilih untuk memulainya dengan belajar untuk merespon
masalah dalam kehidupan nyata meskipun hal tersebut merupakan langkah akhir
dalam program yang terangkai dalam suatu kesatuan. Mari kita perluas pemikiran
kita tentang alternative lain untuk merangkai modalitas. Merupakan hal yang
penting bahwa kita melakukan pengindividualisasian modalitas dengan
menyesuaikan diri dengan pengindi-vidualisasian kita terhadap respon-respon.
”Anda dapat melakukan
langkah yang paling dekat
(yang dapat segera
dilaksanakan) terlebih dulu.”
0 komentar:
Posting Komentar