KEPRIBADIAN
SEORANG KONSELOR
1.
Bagaimana
Menjadi Konselor yang Baik ?
Kualitas lahiriah dari seorang konselor
yang baik kiranya sudah jelas dengan sendirinya: menawan hati, memiliki
kemampuan bersikap tenang ketika bersama orang lain, memiliki kapasitas untuk
berempati, ditambah karakteristik-karakteristik lain yang memiliki makna yang
sama. Kualitas-kualitas tersebut tidak seluruhnya merupakan kualitas bawaan.
Kualitas tersebut dapat pula dicapai dan diusahakan sampai ke batas-batas
tertentu. Pengembangan kualitas akan terjadi sebagai konsekuensi dari
pencerahan yang telah di dapatkan oleh konselor, minat, dan ketertarikannya
kepada orang lain. Secara gamblamg, dapat dinyatakan bahwa jika konselor
menikmati kebersamaannya dengan orang lain dengan tulus dan memiliki niat baik
terhadap mereka, maka secara otomatis pula konselor akan menjadi orang yang
menarik bagi orang lain. Kita dapat mendefinisikan daya tarik personal sebagai sisi kebalikan dari minat dan kesenangan
seseorang terhadap orang lain.
Tetapi mudah dilihat bahwa karya dan
kerja kesarjanaan yang diperpanjang di bidamg psikologi eksperimen, seperti
yang diajarkan sekarang, belum tentu cocok bagi seseorang untuk melakukan
konseling secara efektif. Bahkan bisa jadi tidak cocok. Freud mengekspresikan
secara klasik bahwa latihan medis tidak harus menjadi prasyarat bagi seorang
psikoanalis. Menurut Freud, kualitas yang esensial ialah pandangan inhern
terhadap jiwa manusia “pertama-tama dan utama terhadap lapisan ketidaksadaran
jiwanya sendiri” dan ditambah latihan praktis.
Pernyataan Freud ini memberikan petunjuk
kepada kita. “Latihan praktis” berarti kemampuan ntuk lepas dari kecenderungan
melakukan konseling berdasarkan prasangka diri yang berlebihan atau kurang
kaku. Bias ego ini tak ubahnya monster yang keras kepala sehingga orang harus
terus berusaha untuk mengatasinya dengan sepenuh hati.
Bagaimana cara-cara menghindari bias ego
ini ? Bias ego tidak dapat di hapuskan sama sekali, tetapi dapat di pahami dan
di waspadai. Tidak perlu dipertanyakan lagi bahwa sangat bijaksana bagi
konselor untuk dianalisis oleh psikoterapis yang profesional. Diskusi tentang
kepribadiannya sendiri dengan orang lain akan memberikan pemahaman diri yang
tak ternilai harganya, dan akhirnya akan sangat membantu dalam melakukan
konseling terhadap orang lain secara efektif.
Beberapa calon konselor mungkin berada
pada posisi geografis yang tidak menguntungkan untuk mendapatkan konsultasi
dari psikoterapis profesional yang telah diakui. Cara terbaik kedua ialah cara
yang dilakukan sendiri oleh Freud, yakni menganalisis diri sendiri. Ketika
mebaca karya-karya freud, orang akan mendapatkan kesan bahwa Freud sangat
tertarik dengan apa yang muncul ketika ia memasuki ketidaksadaran dan mimpinya
sendiri. Para pembaca dapat merasa bahwa Freud melihat masalahnya sendiri
dengan perasaan heran.
Memahami diri sendiri secara menyeluruh
merupakan pekerjaan yang tidak mungkin dilakukan, ego kita terlalu pandai untuk
ditelusuri sampai kebagian terdalamnya tanpa bantuan pihak luar. Jika seorang
konselor telah berusaha sedapat mungkin dan dengan sangat berhati-hati
melakukan analisis diri, beberapa sesi pertemuan dengan psikoterapis atau
konselor lain akan sangat membantu konselor yang bersangkutan untuk melihat kebiasaan
khususnya yang dipergunakan oleh ego
untuk menipu diri.
2.
Analisis
Konselor Tipikal
Karakteristik tipikal apa yang kita
amati pada para pekerja religius ? Pertama, mereka bekerja dengan keras dan
berhati-hati. Mereka kelihatannya tidak pernah bersikap santai sesering orang
lain yang mempunyai pekerjaan yang berbeda. Para pekerja religius tidak
memiliki minat lain diluar pekerjaannya. Mereka cenderung untuk melibatkan diri
sepenuhnya kedalam pekerjaannya, dan sangat bangga pada kenyataan tersebut. Mereka
bekerja dalam ketegangan, bahwa cenderung mebawa ketegangan ini dalam
keseluruhan kesehariannya 24 jam, karena pekerjaan mereka tidak dibatasi oleh
jam kerja. Kadangkala ketegangan ini sedemikian besar sehingga suliut bagi
mereka untuk berlibur atau cuti guna istirahat tanpa merasa bersalah.
Konselor tipikal ini
mempertanggungjwabkan pekerjaannya dengan baik. Mereka sangat berhati-hati
tentang detail dalam masalah sosial dan pekerjaan, bahkan sedemikian hati-hati
sampai kadangkala menganggu orang lain. Ketakutan akan kegagalan, meskipun hal
ini wajar jika berkaitan dengan masalah-masalah yang penting, disini dirasakan
berlebih-lebihan dan berkaitan dengan hal-hal kecil yang tidak penting. Dimana
ada ketegangan yang besar, ketakutan akan kegagalan hal-hal yang kecil, dan
perhatian yang terlalu besar akan detail yang tidak umum, disana kita dapat
mewaspadai bahwa tersimpan ada ambisi yang besar.
Pekerjaan merupakan sesuatu yang
dimilikinya, dan ketika ia miliki perasaan penting diri yang berlebihan maka
otomatis pekerjaanpun menjadi sesuatu yang paling penting didunia. Anggapan
terhadap pekerjaan yang berlebihan ini mengekspresikan evaluasi berlebihan yang
serupa dilakukan pula terhadap diri seseorang. Ambisi pada tingkat tertentu
memang menyehatkan, sebuah bentu yang non-egosentrik, yang merupakan ekspresi
spontan kemampuan kreatif individu.
Kita dapat menyebut ambisi yang
berlebihan ini sebagai “Kompleks Messiah” (Mesiah
Complex). Kompleks Messiah ialah sebuah keyakinan seseorang akan nilai
penting diri, dan konsekuensi yang ditimbulkannya ialah perasaan bahwa
pekerjaannya sangat dibutuhkan oleh kemanusiaan dan alam semesta. Keyakinan ini
memberikan orang yang bersangkutan topeng harga diri dan menempatkannya sebagai
seorang pembaharu (reformer), sebuah
penilaian moral atas rasa persaudaraan yang dimilikinnya, dan selanjtnya akan
berbicara tentang ex cahedra. Jika
didunia ini ternyata ada pekerjaan yang lebih penting daripada pekerjaan
membantu orang lain, itu tidak berarti bahwa kehidupan dunia tidak dapat berlanjut
tanpa pekerjaan itu. Dari hasil pengamatan, sering didapati pula bahwa para
pekerja religius ini tidak berhasil naik dalam menyelesaikan masalah
penyesuaian seksualnya.
Kita dapat memahami sebagian dari
kegagalan mengatasi masalah seksual ini sebagai produk dari kebudayaan kita,
yang nyata terlihat sedang berada dalam proses perubahan perilaku seksual
secara radikal. Kadang konselor religius atau yang lainnya menggunakan konsep
“sublimasi” sebagai resionalisasi untuk krgagalan mereka dalam mengatasi
masalah seksual secara tepat dan memadai. Apakah kegagalan dalam mengatasi
masalah seksual tersebut dalam kerja sebagai konselor ? Pertama , konselor harus waspada terhdapat pemaksaan atau penularan
salahsui (maladjustment) dirinya
kepada orang lain. Jika masalah seksual tidak ditangani dengan memadai , ia
haeus berhati-hati dalam emasuki bidang bahas tersebut ketika melakukan
konseling dengan orang lain.
Akibat kedua, kondelor dengan masalah seksual yang tak terselesaikan
mungkin akan membangun kelekatan emosional yang bisa berakibat buruk bagi orang
yang bekerja dengannya. Hal ini terutama benar jika individu secara khusus
mencoba untuk “melakukan sublimasi” kedalam diri orang lain. Ambisi neurosis
berhubungan dengan suatu perasaan inferior yang mendalam. Ini merupakan prinsip
dasar yang sudah kita diskusikan. Ambisi neurotis ini dapat mengambil suaru
bentuk moral yang tidak biasa dan dengan demikian berusaha keras melakukan
kompensasi dengan pencapaian yang ambisius. Apa pun sumber penyebab
inferioritas, ambisi yang berlebihan yang menjadi konsekuensi tersebut akan
mengambil bentuk mora. Orang yang bersangkutan secara moral akan
mempertunjukkan “dorongan untuk menjadi yang teratas”. Ia akan merasakan suaru
perasaan bersalah tersendiri jika ia tidak menjadi yang teratas.
Pernyataan-pernyataan di atas membawa
kita kepada pembahasan penilaian moral dalam konseling. Pertama, dari sudut pandang ,moral, sangat jelas bahwa tak
seorangpun berhak menilai orang lain. Perintah “Jangan Menilai” juga tak
terbantahkan dalam bidang moral. Kedua,
dalam penilaian secara psikoterapeutik tidak diperbolehkan “membiarkan diri kita membuat epnilaian moral terhadap
harga moral dari orang lain!” demikian ungkap Adler.
Setelah membahas secara panjang lebar
tentang kecenderungan neurosis tipikal dari pekerja-pekerja religius, mari kita
menyimpulkan dengan tambahan saran pemecahannya, yang berarti pula berusaha
menempatkan konselor dalam pelayanan yang efektif dan tepat.
Pemecahan pertama, koselor harus memahami bagaimana bentku pola neurosis
tertentu berperan dalam kepribadiannya. Pemahaman seperti ini akan melangkah
menuju klarifikasi, dan tentu saja akan menyoroti kebiasaan-kebiasaan perilaku
tertentu dari konselor yang harus dijaga ketika melakukan konseling dengan
orang lain. Dalam usaha memahami perasaan inferior seseorang, konselor akan
melihat ambisi yang akan menyenangkan diri sendiri dalam bentuk yang
sebenarnya, dan sebenranya hal ini berarti aspek neurosis dari ambisi konselor
tersebut harus dilonggarkan. Kita tidak dapat mengartikan bahwa pelonggaran ini
akan mengurangi produktivitas dab kreativitas dari koselor. Pelonggaran ini
bahkan akan meningkatkan pencerahan kreatif, karena kreativitas masyarakat
spontanitas yang muncul dari relaksasi periodik, yang mana kreativitas ini
telah dihambat oleh ketegangan yang disebabkan oleh dorongan ego (ego striving).
3.
Keberanian
untuk Tidak Sempurna
Hal Kedua yang perlu dikembangkan oleh seorang konselor ialah apa yang
disebut Adler sebagai keberanian umtuk
tidak semprna. Maksud istilah ini sesungguhnya ialah kemampuan untuk gagal.
Neurosis kompulsif yang enggan merasa gagal akan berperang dimedan-medan
pertempuran kecil. Tidak mengherankan bila orang semacam ini menyibukkan diri
dengan detail, sepertinya bahkan di halaman belakang rumahnya yang kecil pun ia
tidak mau beresiko gagal. Keberanian untuk tidak sempurna berarti pemindahan
usaha seseorang ke medan perang yang lebih besar yang memperjuangan berhasilan
menjadi relatif insidental.
Ketiga,
konselor perlu belajar untuk menikmati proses kehidupan maupun tujuan. Hal ini akan menjadikan
konselor mampu terlepas dari kompulsi “semua atau tidak sama sekali”. Menikmati
proses berarti meletakkan kenikmatan atau kebahagiaan tersebut “diujung
sayap-sayap” ketika ia bergerak menuju tujuannya. Kemampuan menikmati proses
akan membebaskan kita dari keperluan memiliki lotif tersembunyi untuk stiap
tindakan-tindakkan kita, melakukan ini dan itu demi suatu tujuan yang berada
diluar gambaran yang ada.
Keempat,
konselor perlu yakin bahwa ia tertarik
kepada orang lain demi dirinya sendiri. Jika seseorang masih mempercayai
bahwa dirinya atau oang memberikan kasih sayang kepada orang lain “demi Tuhan”,
kita patut mempertanyakan apakah “Tuhan” yang dimaksud bukanlah selubung dari
pencapaian egonya sendiri. Apakah klise ini merupakan alasan atas kegagalannya
menghargai orang lain dan di dalam dirinya sendiri ?
Semua diskusi ini berarti bahwa seorang
calon konselor harus melakukan pembersihan diri yang tulus, dengan teguh
menjinakkan elemen-elemen yang salah, menghilangkan bagian-bagian diri yang
tidak sepatutnya, atau yang disebut oleh metode klasik pertobatan yang
sepenuhnya. Jika calon konselor mampu melakukan ini, akan terbukti bahwa usaha
yang penuh dedikasi ini dapat memutuskan tali keraguan yang ada dalam bias ego
yang dapat muncul dalam konseling. Usaha yang penuh dedikasi ini, pada
akhirnya, akan menunjukkan orang-orang yang tekunlah yang dapat menjadi
konselor yang baik.
Moral dan Konseling
Kesalahan yang dilakukan oleh banyak
konselor belum berpengalaman ialah, ia berusaha mengambil jalan pintas menuju
tujuan tersebut, dan mencapai implikasi moral permasalahan secara tergesa-gesa.
Mereka kemudian berusaha, dan sering kali tanpa menyadarinya, untuk mengajukan
suatu standar moral tertentu kepada konseli. Dalam praktek yang sebenarnya,
prosedur semacam ini mempersingkat hubungan dalam proses konseling dan merampas
hak asasi konseli untuk membentuk moralitasnya sendiri, melalui perjuangan
serta mencapai tujuan pribadi dalam hidupnya. Secara konstruktif,cara terbaik
untuk menghilangkan kekuatan godaan ialah dengan menghasilkan bayangannya dari
pusat pikiran. Untuk meakukan hal ini, individu harus cukup berminat kepada
usaha-usaha pencapaian yang sehat sehingga tidak ada lagi perhatian yang tersisa
untuk keinginan yang tidak sehat.
Tujuan yang konstruktif memiliki fungsi
yang penting dalam konseling. Tetapi tujuan atau cita-cita yang konstruktif
harus tumbuh dari situasi yang dihadapai, dan tidak hanya tercurah dari atas.
Sebagai sebuah ekspresi keunikan tujuannya yang segaris dan selaras dengan
keunikan perkembangan kepribadiannya, tujuan harus datang dari konseli.
1.
Individualitas
Kreatif dalam Moral
Sebagaimana halnya kehidupan lain,
kehidupan moral di mulai dengan pengekspresian diri seseorang, seperti ekspresi
hasrat, dorongan instingtif, keinginan, dan bentuk-bentuk dorongan internal
lainnya. Moralitas berarti ekspresi diri dalam konteks struktur. Dorongan rasa
lapar dan seks yang bersifat instingtif, hasrat marah, membenci dan mencinta,
keinginan untuk berteman dan mencipta, kesemua dorongan ini dan
dorongan-dorongan lainnya yang lebih banyak lagi melengkapi materi pengisi
moralitas. Tanpa dorongan-dorongan ini maka moralitas tidak berarti, seperti
sebuah sungai yang kering tanpa air yang mengalir. Kita membahas dorongan
instingtif ini sebagai dorongan yang muncul dari ketidaksadaran individu. Freud
menggambarkan tentang “id” sebagai sebuah kawah yang bergejolak didalam
ketidaksaran yang gelap dan memunculkan berbagai macam bentuk dorongan, selera
dan keinginan instingtif.
Apapun namanya, disini kita
membahas dorongan dari dalam yang sifatnya irrasional, yang memberikan isi pada
kehidupan manusia. Dorongan ini merupakan aliran yang kreatif, arus kehidupan
yang muncul secara internal seperti mata air artesian yang memancarkan air
kehidupan. Isi yang dilengkapi oleh dorongan instingtif ini bersifat baik dan
buruk. Sifat “baik” didefinisikan sebagai dorongan instingtif yang diarahkan
melalui jalur yang konstruktif secara sosial. Tetapi dorongan itu sendiri lebih
bersifat egosentris dan antisosial daripada bersifat baik. Dorongan tersebut
irrasional dan melawan arus, seperti kuda liar yang berusaha melepaskan diri
dari tali kekangnya.
Dorongan-dorongan itu kebanyakan
jelas bersifat anti sosial dan akan menciptakan kekacauan di masyarakat jika
diijinkan terungkapkan secara langsung. Dengan berat hati, kita harus mengakui
bahwa kita memiliki, dan dimiliki oleh berbagai impuls irrasional yang lebih
kuat dari pada harga diri kita ini. Kita kemudian mencari cara untuk menekan
isi instingtif kepribadian ini. Kita lebih suka untuk tidak mengakui sama
sekali dorongan instingtif ini dalam kesadaran. Namun jalan keluar semacam ini
di tolak, kecuali oleh orang-orang neurisis yang mengambil jalan memutar,
Karena itu kita mengambil jalan terbaik kedua, yakni berusaha mengendalikan
dorongan tersebut dengan kehendak yang sifatnya lebih dangkal, dengan cara
menguatkan super ego dan menempatkannya sebagai penjaga yang kuat untuk menaha
keluarnya ekspresi ide.
Setelah kita menyadari bahwa
represi langsung tidak banayk bermanfaat, orang cenderung membangun sistem
aturan yang dapat dipergunakan untuk mengendalikan dorongan instingtifnya. Ada
benarnya ketakutan manusia terhadap dorongan0dorongan instingtifnya. Di dalam
dorongan instingtif terdapat bahaya kejahatan yang poetensial, sekaligus juga
kebajikan kreatif yang besar. Kesalahan manusia ialah mengambil jalan pintas.
Tekhnik represi, hambatan sederhana, dan pembuatan aturan tidak akan
bermanfaat. Kita tidak akan dapat mengendalikan kekuatan besar dari
ketidaksadaran dengan ketidak jujuran.
Yang kita butuhkan pada dasarnya
ialah kerjasama (coo-peration)
anatara dorongan-dorongan instingtif dan tujuan-tujuan yang disadari. Jika
antagonisme ide dan super ego semakin besar, akibatnya ialah memunculkan
perpecahan yang semakin besar didalam porsi kesadaran, dan kita merasa didorong
oleh suatu kekuatan yang hanya Tuhan yang tau dari mana asalnya. Seperti juga
kejahatan, segala kebaikan yang terdapat dalam kehidupan kita bersumber dari
dorongan instingtif. Dari man muncullah rasa cinta dan bendi, Eros dan
Thanatos. Seksualitas telah menghancurkan kehidupan banyak orang, tetapi
seksualitas pula yang telah mengarahkan banyak orang pada penciptaan keluarga,
rasa cinta yang agung dan karaya-karya sastra yang besar. Kemarahan yang muncul
dari dlam diri kita dapat dimanfaatkan untuk memerangi kejahatan dan
menghasilkan reformasi kemanusiaan besar-besaran.
Emerson mengatakan bahwa orang yang
tidak dapat membenci dapat pula mencintai. Selanjutnya, sikap kita terhadap
dorongan instingtif seharusnya bukanlah berupa konflik atau represi, melainkan
pemahaman dan kooperasi (kerjasama) yang mengarah kepada penggunaan kekuatan
tersebut untuk kebaikan. Untuk dapat mrlakukan hal ini dibutuhkan keberanian.
Insting dan ide memiliki kekuatan yang lebih besar daripada yang kita
perkirakan atau kita ketahui. Ini berarti mengupas jauh dibwah aturan-aturan
moral permukaan yang sepele dalam rangka mencari moralitas yang lebih bermakna.
2.
Struktur
Moralitas
Bukannya tidak jarang terjadi bahwa
mahasiswa yang jenuh dengan usaha pencapaian prestasi akademis merasakan
kebutuhan untuk memberontak terhadap sesuatu. Konselor tidak dapat mengatakan
kepadanya untuk tidak melakukan perlawanan, namun konselor dapat membantu
mahasiswa tersebut memperjelas pertanyaan tentang apa yang perlu dilawan. Banyak hal yang sifatnya buruk dan merusak,
yang dengan perlawanan terhadap hal-hal tersebut akan melengkapi “equivalen
moral” dari perbuatan mabuk-mabukan seperti yang di ungkapkan oleh William
James. Mungkin benar bahwa hampir semua anak muda akan mencapai tahap dalam
kehidupannya di mana ia harus meberontak, melalui masa-masa bebas,
mendeklarasikan diri memiliki otonomi, meskipun ini membuat mereka dan orang
lain berkorban dan merasa sakit.
Kita tidak perlu terlalu takut pada
tahap ini. Perilaku ini merupakan pertanda vitalitas, kekuatan, dan
potensialitas. Ini merupakan bukti adanya aliran kreatif dari dorongan
instingtif. Jika orang dewasa menganjurkan respresi, bisa jadi mreka justru
lebih merusak daripada mendatangkan kebaikan. Akan tetapi konselor dapat
menyarankan saluran ekspresi yang lain. Para orang muda tersebut harus menuai
dari tumbuhan yang liar. Jadi, biarkan mereka menuai, tetapi jadikan hasil
panen tersebut dapat dimanfaatkan secara konstruktif. Di bagian inilah konselor
yang memiliki keberanian dapat memberikan bantuannya.
3.
Dorongan-dorongan
Konstruktif
Karakteristik paling nyata dari
orang yang telah mempelajari ekspresi diri ialah munculnya kualitas spontanitas. Kita dapat menghargai
spontanitas sebagai sifat baik karena sifat ini mengindikasikan bahwa individu
telah mengintergrasikan kepribadiannya ketingkat yang lebih dalam.
Karakteristik lain dari orang yang
telah mempelajari ekspresi diri yang sehat ialah adanya integritas. Orang yang memiliki integritas berarti berbicara dan
hidup dari kedalaman kepribadian. Kita sering menyebutnya sebagai orang yang
menunjukan “diri yang sebenarnya”, artinya menunjukkan keseluruhan dirinya.
Karakteristik penting yang lain dari orang yang mampu mengekspresikan diri
ialah orosonalitas. Kita semua
memahami, tetapi sering melupakan, bahwa setiap individu adalah unik atau
berbeda dari diri lain yanf pernah dan akan ada di dunia ini. Ketika seseorang
pernah mencapai keunikan dirinya, ia menajdi otonom, diri yang orisinil yang
digerakkan dari dalam.
Karakteristik spesial selanjutnya
dari individu yang telah mencapai kesesuain dengan dorongan instingtif ialah
bentuk kebebasanyang baru. Seseorang
tidak dapat menjadi bebas sementara kesadarannya terjebak dalam perang dengan
tekanan dari ketidaksadaran. Itulah sebabnya tujuan dari perlakuan
psikoterapeotik seringkali disimpulkan sebagai : “pembebasan individu”. Bebas
dari hambatab-hambatan dan represi khusus, dari fiksasi maka kecil, dari
formula-formula pelatihan dan seterusnya.
Dibutuhkan keberanian untuk
menjalani kehidupan pengekspresian diri. Untuk mencintai secara mendalam, untuk
mengakui bahwa kita membenci sesuatu tanpa merusak keseimbangan kepribadian
untuk mengekspresikan kemarahan dengan tulus, untuk mencapai kebahagiaan
tertinggi dan mengetahui penderitaan yang mendalam, untuk berpetualang dalam
kehidupan keluar dari kesendirian, untuk menangkap ide-ide mulia dan
mewujudkannya dalam tindakan ringkasnya, untuk menjalani dorongan-dorongan
instingtif yang tidak terbatas jumlahnya itu, yang muncul berupa tantangan di
dalam diri, dibutuhkan keberanian.
Pertanyaan
1.
Bagaimana menjadi
konselor yang baik?
2.
Apa yang di maksud
kompleks messiah?
3.
Apa yang dimaksud
dengan keberanian untuk tidak sempurna?
4.
Apakah akibat kegagalan
dalam mengatasi masalah seksual dalam kerja sebagai konselor?
5.
Orang/konselor yang
telah mendapatkan ekspresi diri yang sehat akan memperlihatkan
karakteristik-karakteristik seperti apa?
0 komentar:
Posting Komentar