Rabu, 28 Agustus 2013

PENGEMBANGAN PRIBADI KONSELOR


KEPRIBADIAN SEORANG KONSELOR

1.        Bagaimana Menjadi Konselor yang Baik ?
Kualitas lahiriah dari seorang konselor yang baik kiranya sudah jelas dengan sendirinya: menawan hati, memiliki kemampuan bersikap tenang ketika bersama orang lain, memiliki kapasitas untuk berempati, ditambah karakteristik-karakteristik lain yang memiliki makna yang sama. Kualitas-kualitas tersebut tidak seluruhnya merupakan kualitas bawaan. Kualitas tersebut dapat pula dicapai dan diusahakan sampai ke batas-batas tertentu. Pengembangan kualitas akan terjadi sebagai konsekuensi dari pencerahan yang telah di dapatkan oleh konselor, minat, dan ketertarikannya kepada orang lain. Secara gamblamg, dapat dinyatakan bahwa jika konselor menikmati kebersamaannya dengan orang lain dengan tulus dan memiliki niat baik terhadap mereka, maka secara otomatis pula konselor akan menjadi orang yang menarik bagi orang lain. Kita dapat mendefinisikan daya tarik personal sebagai sisi kebalikan dari minat dan kesenangan seseorang terhadap orang lain.

Tetapi mudah dilihat bahwa karya dan kerja kesarjanaan yang diperpanjang di bidamg psikologi eksperimen, seperti yang diajarkan sekarang, belum tentu cocok bagi seseorang untuk melakukan konseling secara efektif. Bahkan bisa jadi tidak cocok. Freud mengekspresikan secara klasik bahwa latihan medis tidak harus menjadi prasyarat bagi seorang psikoanalis. Menurut Freud, kualitas yang esensial ialah pandangan inhern terhadap jiwa manusia “pertama-tama dan utama terhadap lapisan ketidaksadaran jiwanya sendiri” dan ditambah latihan praktis.
Pernyataan Freud ini memberikan petunjuk kepada kita. “Latihan praktis” berarti kemampuan ntuk lepas dari kecenderungan melakukan konseling berdasarkan prasangka diri yang berlebihan atau kurang kaku. Bias ego ini tak ubahnya monster yang keras kepala sehingga orang harus terus berusaha untuk mengatasinya dengan sepenuh hati.
Bagaimana cara-cara menghindari bias ego ini ? Bias ego tidak dapat di hapuskan sama sekali, tetapi dapat di pahami dan di waspadai. Tidak perlu dipertanyakan lagi bahwa sangat bijaksana bagi konselor untuk dianalisis oleh psikoterapis yang profesional. Diskusi tentang kepribadiannya sendiri dengan orang lain akan memberikan pemahaman diri yang tak ternilai harganya, dan akhirnya akan sangat membantu dalam melakukan konseling terhadap orang lain secara efektif.
Beberapa calon konselor mungkin berada pada posisi geografis yang tidak menguntungkan untuk mendapatkan konsultasi dari psikoterapis profesional yang telah diakui. Cara terbaik kedua ialah cara yang dilakukan sendiri oleh Freud, yakni menganalisis diri sendiri. Ketika mebaca karya-karya freud, orang akan mendapatkan kesan bahwa Freud sangat tertarik dengan apa yang muncul ketika ia memasuki ketidaksadaran dan mimpinya sendiri. Para pembaca dapat merasa bahwa Freud melihat masalahnya sendiri dengan perasaan heran.
Memahami diri sendiri secara menyeluruh merupakan pekerjaan yang tidak mungkin dilakukan, ego kita terlalu pandai untuk ditelusuri sampai kebagian terdalamnya tanpa bantuan pihak luar. Jika seorang konselor telah berusaha sedapat mungkin dan dengan sangat berhati-hati melakukan analisis diri, beberapa sesi pertemuan dengan psikoterapis atau konselor lain akan sangat membantu konselor yang bersangkutan untuk melihat kebiasaan khususnya yang dipergunakan  oleh ego untuk menipu diri.

2.        Analisis Konselor Tipikal
Karakteristik tipikal apa yang kita amati pada para pekerja religius ? Pertama, mereka bekerja dengan keras dan berhati-hati. Mereka kelihatannya tidak pernah bersikap santai sesering orang lain yang mempunyai pekerjaan yang berbeda. Para pekerja religius tidak memiliki minat lain diluar pekerjaannya. Mereka cenderung untuk melibatkan diri sepenuhnya kedalam pekerjaannya, dan sangat bangga pada kenyataan tersebut. Mereka bekerja dalam ketegangan, bahwa cenderung mebawa ketegangan ini dalam keseluruhan kesehariannya 24 jam, karena pekerjaan mereka tidak dibatasi oleh jam kerja. Kadangkala ketegangan ini sedemikian besar sehingga suliut bagi mereka untuk berlibur atau cuti guna istirahat tanpa merasa bersalah.
Konselor tipikal ini mempertanggungjwabkan pekerjaannya dengan baik. Mereka sangat berhati-hati tentang detail dalam masalah sosial dan pekerjaan, bahkan sedemikian hati-hati sampai kadangkala menganggu orang lain. Ketakutan akan kegagalan, meskipun hal ini wajar jika berkaitan dengan masalah-masalah yang penting, disini dirasakan berlebih-lebihan dan berkaitan dengan hal-hal kecil yang tidak penting. Dimana ada ketegangan yang besar, ketakutan akan kegagalan hal-hal yang kecil, dan perhatian yang terlalu besar akan detail yang tidak umum, disana kita dapat mewaspadai bahwa tersimpan ada ambisi yang besar.
Pekerjaan merupakan sesuatu yang dimilikinya, dan ketika ia miliki perasaan penting diri yang berlebihan maka otomatis pekerjaanpun menjadi sesuatu yang paling penting didunia. Anggapan terhadap pekerjaan yang berlebihan ini mengekspresikan evaluasi berlebihan yang serupa dilakukan pula terhadap diri seseorang. Ambisi pada tingkat tertentu memang menyehatkan, sebuah bentu yang non-egosentrik, yang merupakan ekspresi spontan kemampuan kreatif individu.
Kita dapat menyebut ambisi yang berlebihan ini sebagai “Kompleks Messiah” (Mesiah Complex). Kompleks Messiah ialah sebuah keyakinan seseorang akan nilai penting diri, dan konsekuensi yang ditimbulkannya ialah perasaan bahwa pekerjaannya sangat dibutuhkan oleh kemanusiaan dan alam semesta. Keyakinan ini memberikan orang yang bersangkutan topeng harga diri dan menempatkannya sebagai seorang pembaharu (reformer), sebuah penilaian moral atas rasa persaudaraan yang dimilikinnya, dan selanjtnya akan berbicara tentang ex cahedra. Jika didunia ini ternyata ada pekerjaan yang lebih penting daripada pekerjaan membantu orang lain, itu tidak berarti bahwa kehidupan dunia tidak dapat berlanjut tanpa pekerjaan itu. Dari hasil pengamatan, sering didapati pula bahwa para pekerja religius ini tidak berhasil naik dalam menyelesaikan masalah penyesuaian seksualnya.
Kita dapat memahami sebagian dari kegagalan mengatasi masalah seksual ini sebagai produk dari kebudayaan kita, yang nyata terlihat sedang berada dalam proses perubahan perilaku seksual secara radikal. Kadang konselor religius atau yang lainnya menggunakan konsep “sublimasi” sebagai resionalisasi untuk krgagalan mereka dalam mengatasi masalah seksual secara tepat dan memadai. Apakah kegagalan dalam mengatasi masalah seksual tersebut dalam kerja sebagai konselor ? Pertama , konselor harus waspada terhdapat pemaksaan atau penularan salahsui (maladjustment) dirinya kepada orang lain. Jika masalah seksual tidak ditangani dengan memadai , ia haeus berhati-hati dalam emasuki bidang bahas tersebut ketika melakukan konseling dengan orang lain.
Akibat kedua, kondelor dengan masalah seksual yang tak terselesaikan mungkin akan membangun kelekatan emosional yang bisa berakibat buruk bagi orang yang bekerja dengannya. Hal ini terutama benar jika individu secara khusus mencoba untuk “melakukan sublimasi” kedalam diri orang lain. Ambisi neurosis berhubungan dengan suatu perasaan inferior yang mendalam. Ini merupakan prinsip dasar yang sudah kita diskusikan. Ambisi neurotis ini dapat mengambil suaru bentuk moral yang tidak biasa dan dengan demikian berusaha keras melakukan kompensasi dengan pencapaian yang ambisius. Apa pun sumber penyebab inferioritas, ambisi yang berlebihan yang menjadi konsekuensi tersebut akan mengambil bentuk mora. Orang yang bersangkutan secara moral akan mempertunjukkan “dorongan untuk menjadi yang teratas”. Ia akan merasakan suaru perasaan bersalah tersendiri jika ia tidak menjadi yang teratas.
Pernyataan-pernyataan di atas membawa kita kepada pembahasan penilaian moral dalam konseling. Pertama, dari sudut pandang ,moral, sangat jelas bahwa tak seorangpun berhak menilai orang lain. Perintah “Jangan Menilai” juga tak terbantahkan dalam bidang moral. Kedua, dalam penilaian secara psikoterapeutik tidak diperbolehkan “membiarkan  diri kita membuat epnilaian moral terhadap harga moral dari orang lain!” demikian ungkap Adler.
Setelah membahas secara panjang lebar tentang kecenderungan neurosis tipikal dari pekerja-pekerja religius, mari kita menyimpulkan dengan tambahan saran pemecahannya, yang berarti pula berusaha menempatkan konselor dalam pelayanan yang efektif dan tepat.
Pemecahan pertama, koselor harus memahami bagaimana bentku pola neurosis tertentu berperan dalam kepribadiannya. Pemahaman seperti ini akan melangkah menuju klarifikasi, dan tentu saja akan menyoroti kebiasaan-kebiasaan perilaku tertentu dari konselor yang harus dijaga ketika melakukan konseling dengan orang lain. Dalam usaha memahami perasaan inferior seseorang, konselor akan melihat ambisi yang akan menyenangkan diri sendiri dalam bentuk yang sebenarnya, dan sebenranya hal ini berarti aspek neurosis dari ambisi konselor tersebut harus dilonggarkan. Kita tidak dapat mengartikan bahwa pelonggaran ini akan mengurangi produktivitas dab kreativitas dari koselor. Pelonggaran ini bahkan akan meningkatkan pencerahan kreatif, karena kreativitas masyarakat spontanitas yang muncul dari relaksasi periodik, yang mana kreativitas ini telah dihambat oleh ketegangan yang disebabkan oleh dorongan ego (ego striving).

3.        Keberanian untuk Tidak Sempurna
Hal Kedua yang perlu dikembangkan oleh seorang konselor ialah apa yang disebut Adler sebagai keberanian umtuk tidak semprna. Maksud istilah ini sesungguhnya ialah kemampuan untuk gagal. Neurosis kompulsif yang enggan merasa gagal akan berperang dimedan-medan pertempuran kecil. Tidak mengherankan bila orang semacam ini menyibukkan diri dengan detail, sepertinya bahkan di halaman belakang rumahnya yang kecil pun ia tidak mau beresiko gagal. Keberanian untuk tidak sempurna berarti pemindahan usaha seseorang ke medan perang yang lebih besar yang memperjuangan berhasilan menjadi relatif insidental.
Ketiga, konselor perlu belajar untuk menikmati proses kehidupan maupun tujuan. Hal ini akan menjadikan konselor mampu terlepas dari kompulsi “semua atau tidak sama sekali”. Menikmati proses berarti meletakkan kenikmatan atau kebahagiaan tersebut “diujung sayap-sayap” ketika ia bergerak menuju tujuannya. Kemampuan menikmati proses akan membebaskan kita dari keperluan memiliki lotif tersembunyi untuk stiap tindakan-tindakkan kita, melakukan ini dan itu demi suatu tujuan yang berada diluar gambaran yang ada.
Keempat, konselor perlu yakin bahwa ia tertarik kepada orang lain demi dirinya sendiri. Jika seseorang masih mempercayai bahwa dirinya atau oang memberikan kasih sayang kepada orang lain “demi Tuhan”, kita patut mempertanyakan apakah “Tuhan” yang dimaksud bukanlah selubung dari pencapaian egonya sendiri. Apakah klise ini merupakan alasan atas kegagalannya menghargai orang lain dan di dalam dirinya sendiri ?
Semua diskusi ini berarti bahwa seorang calon konselor harus melakukan pembersihan diri yang tulus, dengan teguh menjinakkan elemen-elemen yang salah, menghilangkan bagian-bagian diri yang tidak sepatutnya, atau yang disebut oleh metode klasik pertobatan yang sepenuhnya. Jika calon konselor mampu melakukan ini, akan terbukti bahwa usaha yang penuh dedikasi ini dapat memutuskan tali keraguan yang ada dalam bias ego yang dapat muncul dalam konseling. Usaha yang penuh dedikasi ini, pada akhirnya, akan menunjukkan orang-orang yang tekunlah yang dapat menjadi konselor yang baik.

Moral dan Konseling
Kesalahan yang dilakukan oleh banyak konselor belum berpengalaman ialah, ia berusaha mengambil jalan pintas menuju tujuan tersebut, dan mencapai implikasi moral permasalahan secara tergesa-gesa. Mereka kemudian berusaha, dan sering kali tanpa menyadarinya, untuk mengajukan suatu standar moral tertentu kepada konseli. Dalam praktek yang sebenarnya, prosedur semacam ini mempersingkat hubungan dalam proses konseling dan merampas hak asasi konseli untuk membentuk moralitasnya sendiri, melalui perjuangan serta mencapai tujuan pribadi dalam hidupnya. Secara konstruktif,cara terbaik untuk menghilangkan kekuatan godaan ialah dengan menghasilkan bayangannya dari pusat pikiran. Untuk meakukan hal ini, individu harus cukup berminat kepada usaha-usaha pencapaian yang sehat sehingga tidak ada lagi perhatian yang tersisa untuk keinginan yang tidak sehat.
Tujuan yang konstruktif memiliki fungsi yang penting dalam konseling. Tetapi tujuan atau cita-cita yang konstruktif harus tumbuh dari situasi yang dihadapai, dan tidak hanya tercurah dari atas. Sebagai sebuah ekspresi keunikan tujuannya yang segaris dan selaras dengan keunikan perkembangan kepribadiannya, tujuan harus datang dari konseli.
1.        Individualitas Kreatif dalam Moral
Sebagaimana halnya kehidupan lain, kehidupan moral di mulai dengan pengekspresian diri seseorang, seperti ekspresi hasrat, dorongan instingtif, keinginan, dan bentuk-bentuk dorongan internal lainnya. Moralitas berarti ekspresi diri dalam konteks struktur. Dorongan rasa lapar dan seks yang bersifat instingtif, hasrat marah, membenci dan mencinta, keinginan untuk berteman dan mencipta, kesemua dorongan ini dan dorongan-dorongan lainnya yang lebih banyak lagi melengkapi materi pengisi moralitas. Tanpa dorongan-dorongan ini maka moralitas tidak berarti, seperti sebuah sungai yang kering tanpa air yang mengalir. Kita membahas dorongan instingtif ini sebagai dorongan yang muncul dari ketidaksadaran individu. Freud menggambarkan tentang “id” sebagai sebuah kawah yang bergejolak didalam ketidaksaran yang gelap dan memunculkan berbagai macam bentuk dorongan, selera dan keinginan instingtif.
Apapun namanya, disini kita membahas dorongan dari dalam yang sifatnya irrasional, yang memberikan isi pada kehidupan manusia. Dorongan ini merupakan aliran yang kreatif, arus kehidupan yang muncul secara internal seperti mata air artesian yang memancarkan air kehidupan. Isi yang dilengkapi oleh dorongan instingtif ini bersifat baik dan buruk. Sifat “baik” didefinisikan sebagai dorongan instingtif yang diarahkan melalui jalur yang konstruktif secara sosial. Tetapi dorongan itu sendiri lebih bersifat egosentris dan antisosial daripada bersifat baik. Dorongan tersebut irrasional dan melawan arus, seperti kuda liar yang berusaha melepaskan diri dari tali kekangnya.
Dorongan-dorongan itu kebanyakan jelas bersifat anti sosial dan akan menciptakan kekacauan di masyarakat jika diijinkan terungkapkan secara langsung. Dengan berat hati, kita harus mengakui bahwa kita memiliki, dan dimiliki oleh berbagai impuls irrasional yang lebih kuat dari pada harga diri kita ini. Kita kemudian mencari cara untuk menekan isi instingtif kepribadian ini. Kita lebih suka untuk tidak mengakui sama sekali dorongan instingtif ini dalam kesadaran. Namun jalan keluar semacam ini di tolak, kecuali oleh orang-orang neurisis yang mengambil jalan memutar, Karena itu kita mengambil jalan terbaik kedua, yakni berusaha mengendalikan dorongan tersebut dengan kehendak yang sifatnya lebih dangkal, dengan cara menguatkan super ego dan menempatkannya sebagai penjaga yang kuat untuk menaha keluarnya ekspresi ide.
Setelah kita menyadari bahwa represi langsung tidak banayk bermanfaat, orang cenderung membangun sistem aturan yang dapat dipergunakan untuk mengendalikan dorongan instingtifnya. Ada benarnya ketakutan manusia terhadap dorongan0dorongan instingtifnya. Di dalam dorongan instingtif terdapat bahaya kejahatan yang poetensial, sekaligus juga kebajikan kreatif yang besar. Kesalahan manusia ialah mengambil jalan pintas. Tekhnik represi, hambatan sederhana, dan pembuatan aturan tidak akan bermanfaat. Kita tidak akan dapat mengendalikan kekuatan besar dari ketidaksadaran dengan ketidak jujuran.
Yang kita butuhkan pada dasarnya ialah kerjasama (coo-peration) anatara dorongan-dorongan instingtif dan tujuan-tujuan yang disadari. Jika antagonisme ide dan super ego semakin besar, akibatnya ialah memunculkan perpecahan yang semakin besar didalam porsi kesadaran, dan kita merasa didorong oleh suatu kekuatan yang hanya Tuhan yang tau dari mana asalnya. Seperti juga kejahatan, segala kebaikan yang terdapat dalam kehidupan kita bersumber dari dorongan instingtif. Dari man muncullah rasa cinta dan bendi, Eros dan Thanatos. Seksualitas telah menghancurkan kehidupan banyak orang, tetapi seksualitas pula yang telah mengarahkan banyak orang pada penciptaan keluarga, rasa cinta yang agung dan karaya-karya sastra yang besar. Kemarahan yang muncul dari dlam diri kita dapat dimanfaatkan untuk memerangi kejahatan dan menghasilkan reformasi kemanusiaan besar-besaran.
Emerson mengatakan bahwa orang yang tidak dapat membenci dapat pula mencintai. Selanjutnya, sikap kita terhadap dorongan instingtif seharusnya bukanlah berupa konflik atau represi, melainkan pemahaman dan kooperasi (kerjasama) yang mengarah kepada penggunaan kekuatan tersebut untuk kebaikan. Untuk dapat mrlakukan hal ini dibutuhkan keberanian. Insting dan ide memiliki kekuatan yang lebih besar daripada yang kita perkirakan atau kita ketahui. Ini berarti mengupas jauh dibwah aturan-aturan moral permukaan yang sepele dalam rangka mencari moralitas yang lebih bermakna.


2.        Struktur Moralitas
Bukannya tidak jarang terjadi bahwa mahasiswa yang jenuh dengan usaha pencapaian prestasi akademis merasakan kebutuhan untuk memberontak terhadap sesuatu. Konselor tidak dapat mengatakan kepadanya untuk tidak melakukan perlawanan, namun konselor dapat membantu mahasiswa tersebut memperjelas pertanyaan tentang apa yang perlu dilawan. Banyak hal yang sifatnya buruk dan merusak, yang dengan perlawanan terhadap hal-hal tersebut akan melengkapi “equivalen moral” dari perbuatan mabuk-mabukan seperti yang di ungkapkan oleh William James. Mungkin benar bahwa hampir semua anak muda akan mencapai tahap dalam kehidupannya di mana ia harus meberontak, melalui masa-masa bebas, mendeklarasikan diri memiliki otonomi, meskipun ini membuat mereka dan orang lain berkorban dan merasa sakit.
Kita tidak perlu terlalu takut pada tahap ini. Perilaku ini merupakan pertanda vitalitas, kekuatan, dan potensialitas. Ini merupakan bukti adanya aliran kreatif dari dorongan instingtif. Jika orang dewasa menganjurkan respresi, bisa jadi mreka justru lebih merusak daripada mendatangkan kebaikan. Akan tetapi konselor dapat menyarankan saluran ekspresi yang lain. Para orang muda tersebut harus menuai dari tumbuhan yang liar. Jadi, biarkan mereka menuai, tetapi jadikan hasil panen tersebut dapat dimanfaatkan secara konstruktif. Di bagian inilah konselor yang memiliki keberanian dapat memberikan bantuannya.

3.        Dorongan-dorongan Konstruktif
Karakteristik paling nyata dari orang yang telah mempelajari ekspresi diri ialah munculnya kualitas spontanitas. Kita dapat menghargai spontanitas sebagai sifat baik karena sifat ini mengindikasikan bahwa individu telah mengintergrasikan kepribadiannya ketingkat yang lebih dalam.
Karakteristik lain dari orang yang telah mempelajari ekspresi diri yang sehat ialah adanya integritas. Orang yang memiliki integritas berarti berbicara dan hidup dari kedalaman kepribadian. Kita sering menyebutnya sebagai orang yang menunjukan “diri yang sebenarnya”, artinya menunjukkan keseluruhan dirinya. Karakteristik penting yang lain dari orang yang mampu mengekspresikan diri ialah orosonalitas. Kita semua memahami, tetapi sering melupakan, bahwa setiap individu adalah unik atau berbeda dari diri lain yanf pernah dan akan ada di dunia ini. Ketika seseorang pernah mencapai keunikan dirinya, ia menajdi otonom, diri yang orisinil yang digerakkan dari dalam.
Karakteristik spesial selanjutnya dari individu yang telah mencapai kesesuain dengan dorongan instingtif ialah bentuk kebebasanyang baru. Seseorang tidak dapat menjadi bebas sementara kesadarannya terjebak dalam perang dengan tekanan dari ketidaksadaran. Itulah sebabnya tujuan dari perlakuan psikoterapeotik seringkali disimpulkan sebagai : “pembebasan individu”. Bebas dari hambatab-hambatan dan represi khusus, dari fiksasi maka kecil, dari formula-formula pelatihan dan seterusnya.
Dibutuhkan keberanian untuk menjalani kehidupan pengekspresian diri. Untuk mencintai secara mendalam, untuk mengakui bahwa kita membenci sesuatu tanpa merusak keseimbangan kepribadian untuk mengekspresikan kemarahan dengan tulus, untuk mencapai kebahagiaan tertinggi dan mengetahui penderitaan yang mendalam, untuk berpetualang dalam kehidupan keluar dari kesendirian, untuk menangkap ide-ide mulia dan mewujudkannya dalam tindakan ringkasnya, untuk menjalani dorongan-dorongan instingtif yang tidak terbatas jumlahnya itu, yang muncul berupa tantangan di dalam diri, dibutuhkan keberanian.

Pertanyaan
1.      Bagaimana menjadi konselor yang baik?
2.      Apa yang di maksud kompleks messiah?
3.      Apa yang dimaksud dengan keberanian untuk tidak sempurna?
4.      Apakah akibat kegagalan dalam mengatasi masalah seksual dalam kerja sebagai konselor?
5.      Orang/konselor yang telah mendapatkan ekspresi diri yang sehat akan memperlihatkan karakteristik-karakteristik seperti apa?

0 komentar: