Sudah lama diketahui bahwa emosi merupakan salah satu aspek berpengaruh besar
terhadap sikap manusia. Bersama dengan dua aspek lainnya, yakni kognitif (daya
pikir) dan konatif (psikomotorik), emosi atau yang sering disebut aspek
afektif, merupakan penentu sikap, salah satu predisposisi perilaku manusia.
Namun tidak banyak yang mempermasalahkan aspek emosi hingga muncul Daniel
Goleman (1997) yang mengangkatnya menjadi topik utama di bukunya. Kecerdasan
emosi memang bukanlah konsep baru dalam dunia psikologi. Lama sebelum Goleman
(1997) di tahun 1920, E.L. Thorndike sudah mengungkap social
intelligence, yaitu kemampuan mengelola hubungan antar pribadi baik pada
pria maupun wanita. Thorndike percaya bahwa kecerdasan sosial merupakan syarat
penting bagi keberhasilan seseorang di berbagai aspek kehidupannya.
Salah satu pengendali kematangan emosi adalah
pengetahuan yang mendalam mengenai emosi itu sendiri. Banyak orang tidak tahu
menahu mengenai emosi atau besikap negatif terhadap emosi karena kurangnya
pengetahuan akan aspek ini. Seorang anak yang terbiasa dididik orang tuanya
untuk tidak boleh menangis, tidak boleh terlalu memakai perasaan akhirnya akan
membangun kerangka berpikir bahwa perasaan, memang sesuatu yang negatif dan
oleh karena itu harus dihindari. Akibatnya anak akan menjadi sangat rasional,
sulit untuk memahami perasaan yang dialami orang lain serta menuntut orang lain
agar tidak menggunakan emosi. Salah satu definisi akurat tentang pengertian
emosi diungkap Prezz (1999) seorang EQ organizational consultant dan
pengajar senior di Potchefstroom University, Afrika Selatan, secara tegas
mengatakan emosi adalah suatu reaksi tubuh menghadapi situasi tertentu. Sifat
dan intensitas emosi biasanya terkait erat dengan aktivitas kognitif (berpikir)
manusia sebagai hasil persepsi terhadap situasi. Emosi adalah hasil reaksi
kognitif terhadap situasi spesifik.
Emosilah yang seringkali menghambat orang tidak melakukan
perubahan. Ada perasaan takut dengan yang akan terjadi, ada rasa cemas, ada
rasa khwatir, ada pula rasa marah karena adanya perubahan. Hal tersebut itulah
yang seringkali menjelaskan mengapa orang tidak mengubah polanya untuk berani
mengikuti jalur-jalur menapaki jenjang kesuksesan. Hal ini sekaligus pula
menjelaskan pula mengapa banyak orang yang sukses yang akhirnya terlalu puas
dengan kondisinya, selanjutnya takut melangkah. Akhirnya menjadi orang yang
gagal.
Emosi pada prinsipnya menggambarkan perasaan
manusia menghadapi berbagai situasi yang berbeda. Oleh karena emosi merupakan
reaksi manusiawi terhadap berbagai situasi nyata maka sebenarnya tidak ada
emosi baik atau emosi buruk. Berbagai buku psikologi yang membahas masalah
emosi seperti yang dibahas Atkinson (1983) membedakan emosi hanya 2 jenis yakni
emosi menyenangkan dan emosi tidak menyenangkan. Dengan demikian emosi di
kantor dapat dikatakan baik atau buruk hanya tergantung pada akibat yang
ditimbulkan baik terhadap individu maupun orang lain yang berhubungan (Martin,
2003).
Tantangan menonjol bagi pekerja saat ini terutama adalah
bertambahnya jam kerja serta keharusan untuk mengelola hal-hal berpotensi
stress dan berfungsi efektif di tengah kompleksitas bisnis. Selain itu pekerja
dituntut mampu menempatkan kedupan kerja dan keluarga selalu dalam posisi
seimbang. Bahkan hanya soal kemampuan logika, saat ini tantangan pekerjaan juga
terletak pada kemampuan berelasi dan berempati. Dalam berkata, bertindak dan
mengambil keputusan, seseorang membutuhkan kecerdasan emosi yang tinggi,
sehingga mampu melihat sesuatu dari sudut pandang orang lain.
Emosi menjadi penting karena
ekspresi emosi yang tepat terbukti bisa melenyapkan stress pekerjaan. Semakin
tepat mengkomunikasikan perasaan, semakin nyaman perasaan tersebut. Ketrampilan
manajemen emosi memungkinkan individu menjadi akrab dan mampu bersahabat,
berkomunikasi dengan tulus dan terbuka dengan orang lain. Berbagai riset
tentang emosi umumnya berkesimpulan sederhana bahwa ‘adalah penting untuk
membawa emosi yang menyenangkan ke tempat kerja’. Emosi yang tadinya sering
ditinggal di rumah saat berangkat kerja saat ini justru semakin perlu
dilibatkan di setiap setting bisnis. Naisbitt (1997) pun dalam bukunya “High
Tech, High Touch : Technology and Our Search for Meaning” mendukung pendapat
ini. Dikatakannya pada situasi teknologi mewabah, justru haus akan sentuhan
kemanusiaan. Perkembangan tehnologi yang luar biasa yang kini terjadi dirasakan
tidak diiringi dengan perubahan sosial yang memadai. Naisbitt (1997) menyebut
era saat ini sebagai ‘zona keracunan tehnologi’. Di satu sisi sangat memuja
tehnologi, di sisi lain melihat ada bagian yang hilang dari tehnologi, yaitu
sentuhan kemanusiaan yang kita idamkan (Martin, 2003).
Dari uraian tersebut diatas emosi adalah
suatu reaksi tubuh menghadapi situasi tertentu. Sifat dan intensitas emosi
biasanya terkait erat dengan aktivitas kognitif (berpikir) manusia sebagai
hasil persepsi terhadap situasi.
Rujukan buku :
Atkinson, R. L. dkk. 1987. Pengantar Psikologi I. Jakarta :
Penerbit Erlangga.
Goleman, Daniel. 1997. Emotional Intelligence. Jakarta : PT
Gramedia Pustaka Utama.
Martin, Anthony Dio, 2003. Emotional Quality Manajement
Refleksi, Revisi Dan Revitalisasi Hidup Melalui Kekuatan Emosi. Jakarta: Arga.
0 komentar:
Posting Komentar