Dua Model Kepasrahan
Negeri kita tiba-tiba mendapatkan sebutan baru. Kali ini bukan sebutan seperti misalnya: Macan Asia, Tinggal Landas, Gemah Ripah Loh Jinawe, atau sebutan yang semisal. Negeri kita adalah negeri lautan musibah.Wow! Menakutkan, mengerikan dan mengancam.
Terlepas kita terima atau tidak, tapi memang beberapa tahun terakhir ini banyak ancaman yang muncul di luar kontrol. Ini misalnya tsunami di Aceh, di Sumatera, di Jawa Barat. Ancaman gunung meletus terjadi berkali-kali di beberapa daerah. Kecelakan transportasi terjadi berkali-kali juga. Bahkan, kata seorang wartawan, kapal yang sudah menjadi bangkai saja masih menelan nyawa. Yang terbaru dan mudah-mudahan yang terakhir adalah banjir dan angin ganas.
Indonesia yang hampir seluruh masyarakatkan beragama, tentu sudah tak asing lagi dengan doktrin pasrah pada Tuhan. Kita sepertinya sama-sama setuju kalau dikatakan bahwa tidak ada kalimat yang pas untuk menghadapi musibah itu kecuali pasrah pada Tuhan. Pasrah pada Tuhan adalah doktrin hidup positif. Kenapa? Sebelumnya, mari kita klarifikasi lebih dulu.
Kalau melihat praktek hidup, tidak semua kepasrahan itu bisa dimasukkan dalam pengertian pasrah pada Tuhan. Ada pasrah pada Tuhan dan ada pasrah pada realitas. Meski kita terbiasa mengucapkan pasrah pada Tuhan, namun prakteknya belum tentu. Kalau tidak awas, bisa-bisa kita terjebak dalam kepasrahan kedua atau pasrah pada realitas. Pasrah pada realitas adalah fatalisme yang ditentang oleh akal sehat, ajaran ilmu pengetahuan dan ajaran agama.
Pasrah pada Tuhan artinya adalah kesediaan untuk mengikuti apa yang diperintahkan dan apa yang dilarang. Tentu saja, karena Tuhan itu adalah kebaikan, kebenaran atau kemasalahatan (positif), maka kepasrahan di sini adalah bentuk kepasrahan yang aktif, dinamis dan konstruktif. Kepasrahan pada Tuhan adalah bentuk kepasrahan yang menentang fatalisme, pasrah-isme, dan isme-isme destruktif lainnya.
Lalu bagaimana dengan kepasrahan pada realitas? Pasrah pada realitas berarti kita membiarkan atau menolak memperbaiki realitas buruk yang terjadi. Kalau kita sedang menghadapi realitas buruk, entah itu karena ulah kita sendiri, ulah orang lain atau ulah keadaan / alam, tapi kita membiarkannya atau menolak memperbaiki dan mengantisipasinya, maka yang kita lakukan sejatinya bukan pasrah pada Tuhan, tetapi pasrah pada realitas.
Pasrah pada realitas sangat dekat dengan fatalisme, kemunduran, atau kejumudan. Pasrah pada realitas hampir identik dengan mengingkari tanggung jawab hidup (self-responsibility). Karena itu, Washington Irvin menyimpulkan,"90 % penyebab kegagalan manusia dalah kepasrahan terhadap realitas."
Pendapat ini klop dengan analisis seorang tokoh agama yang saya dengar beberapa tahun lalu dalam sebuah seminar. Katanya, salah satu penyebab kemunduran bangsa ini karena pemahaman doktrin agama yang lemah. Doktrin agama yang mestinya mencerahkan itu menjadi menggelapkan karena dipahami dengan pikiran yang tertutup dan mentalitas yang lemah (kepasrahan pada realitas).
Perlu kita catat, perbedaan antara pasrah pada Tuhan dan pasrah pada realitas itu terkadang tidak kelihatan dan tidak terdengar. Ini karena perbedaan itu terletak pada intensi (niat) dan aksi (program yang kita jalankan), bukan pada ucapan mulut.
Bentuk Kepasrahan Pada Tuhan
Secara garis besar, bentuk-bentuk kepasrahan pada Tuhan itu bisa dijelaskan melalui istilah-istilah di bawah ini. Tapi ini perlu disesuaikan dengan kapasitas, posisi, peranan, dan tanggung jawab kita sebagai individu dan sosial. Misalnya saja tentang banjir. Tentu saja kita punya tanggung jawab yang berbeda dengan Pak Sutiyoso. Ini karena kita rakyat, sementara beliau adalah gubernur.
Beberapa istilah yang saya maksudkan itu antara lain:
Pertama, antisipasi. Kepasrahan pada Tuhan perlu direalisasikan ke dalam bentuk-bentuk aksi-aksi antisipatif. Sebagai individu, kalau kita tidak mau gagal di usaha, di karir, atau di studi, maka yang perlu kita lakukan adalah langkah-langkah antisipasi. Jika ini tidak kita lakukan, maka kepasrahan yang kita lakukan mungkin saja adalah kepasrahan pada realitas. Kenapa? Karena Tuhan menyuruh kita mengantisipasi hal-hal buruk yang berpotensi terjadi.
Begitu juga dengan predikat kita sebagai makhluk sosial. Kalau kita tidak ingin kebanjiran, maka kepasrahan itu perlu direalisasikan dalam bentuk langkah antisipasi, misalnya menjaga kebersihan sosial, menjaga keteraturan ekosistem, dan lain-lain. Karena makhluk sosial itu tidak jalan sendiri, makanya dibutuhkan leadership yang merumuskan kebijakan, peraturan, program, dan lain-lain. Jika leadership ini tidak jalan atau berjalan asal-asalan, ya langkah antisipasinya tidak jalan juga. Akibatnya, ya banjir lagi dan banjir lagi.
Kedua, mencari solusi positif. Tidak semua musibah itu bisa diprediksi atau bisa diantisipasi berdasarkan pengetahuan kita. Ada beberapa musibah yang kedatangannya seperti seorang petinju yang melancarkan pukulan mendadak. Tahu-tahu musibah itu sudah ada di depan mata. Contoh-contohnya banyaklah musibah yang seperti ini. Pasrah seperti apa yang dibutuhkan? Kalau acuannya adalah perintah Tuhan, kepasrahan yang diperlukan adalah kepasrahan dalam bentuk mencari solusi yang positif atau solusi alternatif (ikhtiyar: menjatuhkan pilihan positif).
Kalau mata kepala kita sudah nyata-nyata melihat nama kita tidak masuk di daftar mahasiswa yang diterima atau pegawai negeri yang lolos, ya secepat mungkin kita merumuskan solusi alternatif. Begitu juga kalau usaha kita rugi gara-gara banjir kemarin yang memang sudah sulit dihindari.
Kenapa mencari solusi positif dan alternatif ini termasuk kepasrahan pada Tuhan? Alasannya jelas. Tuhan tidak menyuruh kita putus asa menghadapi realitas buruk. Setanlah yang menyuruh kita putus asa. Realitaslah yang menggoda kita untuk putus asa. Tuhan menyuruh kita mengeksplorasi rahmat-rahmat-Nya yang tersebar di muka bumi ini. Bila ada satu pintu rahmat yang tertutup untuk kita, berarti sudah ada pintu rahmat lain yang sudah dibuka untuk kita. Soal di mana pintu yang sudah terbuka itu, ini yang perlu kita cari.
Intinya, kepasrahan pada Tuhan itu bisa dikelompokkan menjadi dua. Ketika musibah itu belum terjadi atau baru berpotensi terjadi, yang perlu kita lakukan adalah antisipasi. Tetapi ketika sudah terjadi, yang perlu kita lakukan adalah mencari solusi positif atau solusi alternatif.
Kalau melihat teori-teori Psikologi, kepasrahan pada Tuhan ini adalah bentuk kepasrahan yang lebih scientific dan lebih sehat. Kalau kita terkena musibah yang cukup menyakitkan, misalnya saja: bencana alam, peperangan, kecelakaan, penyerangan, pemerkosaan, dan lain-lain, biasanya ini menimbulkan dampak psikologis tertentu, seperti stress berat, depresi atau trauma.
Langkah ilmiah yang disarankan untuk kita lakukan antara lain adalah:
§ Menerima kenyataan sebagai fakta yang sudah nyata-nyata ada. Menerima di sini bukan pasrah pada realitas, tetapi lebih ke arah membuka kesadaran tentang hidup kita. Tujuannya apa? Dengan menerima akan membuat kita punya persepketif yang lebih banyak dan lebih sehat. Selain itu, kalau kita menyangkal (denial), ini malah membuat kita semakin buruk.
§ Melakukan terapi kognitif secara mandiri. Ini misalnya kita membaca buku atau melakukan kajian personal untuk menemukan alasan yang logis, penjelasan yang logis dan solusi yang logis dari musibah yang menimpa.
§ Melakukan terapi kelompok. Ini misalnya kita mengikuti program pemerintah atau NGO yag memang dirancang untuk memperbaiki diri paska musibah.
Di atas dari semua itu, yang terpenting adalah menciptakan pikiran positif, penyikapan positif, dan aksi positif. Seperti yang ditulis Dr. Felice Leonardo Buscaglia, "Trauma yang abadi di adalah penderitaan yang tidak diikuti dengan perbaikan." Artinya, meskipun musibah itu hanya numpang lewat beberapa detik, tapi ini akan membekaskan rasa sakit yang abadi kalau kita menolak mengubah diri ke arah yang lebih baik. Mengubah diri ke arah yang lebih baik adalah bentuk kepasrahan pada Tuhan.
Memahami Sifat Takdir Dengan Akal Sehat
Takdir lebih sering kita temukan dalam kasanah keagamaan dan ini biasanya sangat erat pemakaiannya dengan kepasrahan pada Tuhan. Sebagai masyarakat yang beragama, pasti kita sudah tahu apa arti takdir itu. Takdir itu ketentuan Tuhan atau kadar-kadar yang telah ditetapkan dalam teori Hukum Tuhan.
Meski kita tahu arti takdir itu demikian, tetapi yang berbeda adalah pemahaman (understanding) yang kita ciptakan. Pemahaman ini terkait dengan proses transformasi diri. Perbedaan pemahaman terhadap takdir itu, misalnya: a) ada orang yang mengangkat dirinya sebagai penyebab, cause, atas takdir yang menimpanya, dan b) ada orang yang memahami dirinya sebagai akibat, effect, atas takdir yang menimpanya.
Contoh orang yang memahami dirinya sebagai penyebab itu misalnya kalau kita menempuh sebab-sebab tertentu maka takdir kita (akibat) akan sesuai dengan sebab-sebab itu. Malas akan menghasilkan takdir buruk, bodoh akan menghasilkan takdir buruk, dan lain-lain. Sedangkan orang yang memahami dirinya sebagai akibat itu misalnya dia berkesimpulan bahwa semua nasib buruk yang menimpanya itu karena kiriman / cetakan dari Tuhan, keadaan atau orang lain.
Pemahaman manakah yang paling benar? Kalau kita membicarakan ini pada tataran teori atau wacana keagamaan dan keilmuan, tentu ini tidak akan ada titiknya sampai kiamat. Masing-masing pasti punya pembenar. Karena itu, akan lebih bermanfaat kalau kita menggunakan akal sehat berdasarkan bukti-bukti dari praktek hidup.
Berangkat dari sini, ada satu hal yang perlu kita ingat ketika menerapkan pemahaman tentang takdir. Satu hal di sini adalah memahami sifat-sifat takdir itu. Apa saja sifat-sifat takdir yang perlu kita sadari?
Pertama, takdir itu dinamis. Dinamis di sini maksudnya antara lain: berubah, sementara, berdasarkan sebab yang kita tempuh, dan lain-lain. Jika kita tinggal di daerah banjir maka takdir kita adalah pasti kebanjiran. Jika sebab-sebab banjir itu kemudian bisa ditangani, maka takdir kita tidak akan kebanjiran. Jika kita pindah di daerah yang jauh dari banjir, maka takdir kita tidak akan kebanjiran. Takdir di sini adalah Hukum Tuhan dalam arti "the cause and effect", sebab-akibat.
Kalau kita tidak menambah keahlian kerja, keahlian mental dan jaringan kerja, maka takdir karir kita adalah mandek. Inilah Hukum Tuhan. Kemudian, jika kita berhasil mengubahnya lantas kemajuan karir kita bagus, ini juga Hukum Tuhan atau takdir. Jika ada orang ingin bahagia tetapi yang dipilihnya adalah hal-hal yang membuat hidupnya nestapa, maka takdirnya adalah kenestapaan.
Kedua, takdir itu memiliki kuantum. Orang yang memulai usaha dengan modal dengkul dan orang yang memulai usaha dengan modal uang dan keahlian, pasti akan berbeda takdirnya. Orang yang punya resource sedikit akan punya takdir berbeda dengan orang yang punya resource banyak. Orang yang punya kemauan keras akan punya takdir yang berbeda dengan orang yang punya kemauan sedikit. Negara yang telah memasang early warning system pasti punya takdir yang berbeda dengan negara yang belum memasang alat itu untuk mereduksi korban tsunami atau gempa. Ini semua adalah hukum Tuhan (takdir).
Ketiga, takdir itu pilihan kita. Hidup ini memang sangatlah luas untuk ukuran manusia. Karena itu, teori filsafatnya mengatakan bahwa sejauh apapun kita sanggup mengungkap kehidupan, pasti di sana masih tersisa wilayah yang tak terjamahkan (uncharted island). Termasuk dalam takdir ini. Kita memahami takdir itu sebagai akibat ketentuan Tuhan atau sebab-sebab yang menghasilkan ketentuan Tuhan, itu sah-sah saja.
Cuma saja, di sana kita harus menghadapi ketentuan Tuhan yang lain, yaitu kebebasan memilih pilihan dan ketidakbebasan memilih konsekuensi pilihan. Ini juga hukum Tuhan (takdir). Kalau kita memilih pasrah pada realitas, dalam pengertian seperti di atas, maka konsekuensinya ya kalah sama realitas. Tetapi kalau kita memilih pasrah pada Tuhan, maka konsekuensinya adalah menang melawan realitas.
Karena itu, ada pesan yang mungkin patut kita ingat. " Anda memang diberi kebebasan memilih apa saja, tetapi anda tidak diberi kebebasan memilih konsekuensi atas pilihan anda." Semoga bermanfaat !!!
1 komentar:
kalau boleh tau, ini ada dasar teori dari buku ga mba/mas ? kalau ada boleh tau buku apa ?
Posting Komentar