Yang Berlebihan Itu Berbahaya
Dulu, ketika sedang marak-maraknya tayangan smackdown, Komisi Penyiaran mendapatkan banyak protes dari masyarakat. Di sejumlah daerah, banyak anak yang mempraktekkan adegan di televisi itu pada temannya. Menurut berita, ada beberapa anak yang harus kehilangan nyawa akibat di-smackdown temannya.
Atas reaksi yang sedemikian hebat dari masyarakat, Komisi Penyiaran akhirnya melarang total tayangan itu. Beberapa akademisi yang dilibatkan di sini beralasan bahwa secara naluri sosial, manusia itu akan cenderung meniru perilaku orang lain yang dilihatnya. Lebih-lebih jika perilaku itu mendapat "restu" (didiamkan atau dianggap wajar) oleh standar sosialnya. Dan lebih-lebih lagi jika perilaku itu negatif. Perilaku negatif jauh lebih cepat menyebar.
Masih sama soal tayangan televisi, anak-anak kecil kini mudah menjadi terlalu cepat dewasa setelah melihat berbagai tayangan. Seorang kawan sempat dikagetkan oleh ucapan anaknya yang baru berumur 5 tahunan. Ketika sang ayah mencoba mendisiplinkan si anak, tiba-tiba si anak bilang ke ibunya begini: "Bu, ceraikan saja si ayah biar aku bisa hidup bebas."
Setelah diingat-ingat, ucapan serupa pernah juga dikatakan si anak kepada ayahnya saat berkonflik dengan ibunya. Oleh karena ucapan ini sudah terlalu dewasa, ditanyalah si anak apa arti cerai itu. Ternyata, si anak menjawab tidak tahu. Lalu ditanya darimana ia tahu? Si anak menjawab "....dari sinetron!"
Kalau kita punya anak yang mau mendekati remaja atau sudah remaja, tantangannya bukan televisi lagi, tapi play station (PS) dan internet. Di berita investigasi sejumlah media terungkap bahwa jumlah anak-anak yang sudah kebablasan cintanya pada PS semakain meningkat. Mereka duduk berjam-jam, anggaran rutinnya sekitar Rp. 30.000 dan bahkan sampai ada yang menginap.
Warnet pun begitu. Dengan menjamurnya warnet, para pengelola berlomba menawarkan fasilitas plus supaya tidak kalah saing. Salah satunya adalah dengan menyediakan ruangan "VIP". Di ruangan itulah polisi menemukan praktek amoral yang dilakukan remaja setelah menonton tayangan amoral Ini terjadi di beberapa tempat, seperti di Yogja, Madiun, Ponorogo, dan di beberapa lokasi di Jabodetabek.
Televisi, internat atau PS, adalah tamu tak diundang yang bisa membawa berkah atau musibah bagi anak-anak kita. Akan menjadi berkah apabila digunakan untuk kebaikannya dan dalam porsi yang masih dianjurkan. Tapi bila tidak, ini akan mendatangkan musibah. Kuncinya, segala yang berlebihan itu seringkali menimbulkan kejelekan.
Bahaya Layar Kaca
Berdasarkan riset sendiri dan riset yang dilakukan lembaga lain di dunia, plus pengalaman beberapa pihak, Teresa Orange dan Louise O?%u20AC%u2122Flynn, penulis buku "The Media Diet for Kids" (Serambi: 2007), mencatat ada sejumlah pengaruh buruk dari layar kaca. Ini antara lain:
1. Perilaku
Perilaku buruk yang kerap ditiru anak-anak dari tayangan televisi antara lain perilaku anti sosial, ledakan kemarahan yang impulsif, apatis terhadap lingkungan, murung dan menarik diri, dan terlalu cepat dewasa. Jika anak kita punya gaya marah yang tak seperti dirinya atau ucapan yang belum sewajarnya, perlu kita cek tontonan yang suka dilihatnya di televisi atau PS.
2. Kesehatan fisik
Pengaruh buruk terhadap kesehatan fisik antara lain menyangkut kegemukan badan karena terlalu banyak duduk atau berbaring sambil nonton. Biasanya masih ditambah dengan ngemil atau minum. Jika ini terus dilakukan, bisa berpengaruh pada buruknya sistem koordinasi tubuh karena kurang gerak.
Untuk anak, kurangnya gerakan fisik akan mempengaruhi proses belajarnya, entah belajar akademik atau belajar hidup. Gordon Dryden (1996) berkesimpulan, ada enam jalur utama menuju otak anak-anak, yaitu melalui kelima indra (pandangan, pendengaran, peraba, pengecap, dan pembau) dan gerakan fisik. "Pastikan anak-anak Anda mendapatkan latihan sebanyak yang mereka inginkan, yang mengandung sebanyak mungkin aktivitas fisik" tulis Tony Buzan
3. Pendidikan
Pengaruh buruknya terhadap pendidikan anak mencakup antara lain: kemampuan berpikir yang dangkal, perkembangan berbicara yang lambat, kemampuan membaca yang lambat, pikiran yang lambat, dan kesulitan tidur sehingga tak bisa tidur secara sehat. Anak yang kecanduan televisi akan sulit berpikir secara mendalam terhadap realitas nyata karena sudah terbawa oleh logika berpikir layar kaca yang "bim salabim" itu.
Lebih-lebih jika mereka sudah terkena kebiasaan tak bergairah membaca karena nonton itu lebih asyik. Kita perlu ingat bahwa membaca itu bukan sekedar akan menambah ilmu, melainkan juga akan mengaktifkan pikiran dan akan memperdalam kapasitas berpikirnya.
4. Hubungan dengan sesama
Anak yang sudah kecanduan televisi juga akan memiliki pola interaksi atau hubungan yang kurang berkualitas atau kurang optimal, entah dengan keluarga atau sesama anak. Jika sampai si anak menggunakan sebagian besar waktunya untuk bertapa di kamar atau di ruangan televisi, mungkin saja mereka akan jarang berkomunikasi secara verbal dengan anggota keluarga. Padahal, dengan berkomunikasi itu anak akan belajar membangun hubungan, dari mulai berbagi kebaikan, dialog, sampai berkonflik.
5. Pandangan dunia.
Kecanduan televisi bisa mempengaruhi pandangan anak terhadap dunia di sekitarnya. Anak akan punya persepsi dunia di luar sana terlalu menyeramkan karena banyak tayangan kejahatan yang penyajiannya di-blow-up habis-habisan oleh televisi. Bahkan terkadang ditunjukkan teknik bagaimana si penjahat itu melakukan kejahatan dan kekejaman untuk menambah sensasi tayangan.
Selain itu, ada budaya yang disebut "Saya ingin". Anak akan mengajukan daftar belanja, saya ingin beli ini, beli itu, dan seterusnya karena ingin memiliki semata, bukan untuk digunakan. Biasanya seputar mainan, makanan, atau pakaian. Dengan kemasan iklan yang sangat bagus di televisi, anak-anak mudah terpengaruh untuk memiliki.
Yang lebih berbahaya lagi ketika si anak memilih idola atau gaya hidup yang tidak sesuai. Dengan menjamurnya idola baru yang diciptakan televisi secara instan, termasuk dari kalangan anak-anak, akan membuat si anak merasa tidak bahagia menjadi dirinya atau dengan prestasinya yang tidak terkait dengan kehidupan para idola. Ini akan terjadi apabila orang dewasa di sekitarnya ikut-ikutan kecanduan idola secara berlebihan.
Kasus lain menunjukkan banyak remaja yang gampang depresi karena orangtua tidak mampu memenuhi biaya yang dibutuhkan untuk menutup gaya hidup yang ingin ditiru anak dari tayangan televisi. Misalnya, anak merasa kehilangan self esteem atau self confidence kalau hidupnya tidak mewah seperti yang dilihat di televisi.
Perlu Pembatasan, Pembekalan, dan Pengarahan
Dengan sejumlah bahaya itu, apa berarti kita perlu melarang anak menonton televisi? Tentu tidak. Televisi tetap memberikan kontribusi positif asal ditonton dengan porsi yang pas. Supaya porsinya pas, perlu ada pembatasan. Berapa batasan yang pas? Hampir tidak ditemukan angka ideal untuk semua anak. Tapi secara umum, angka yang bisa dipakai patokan adalah 2 jam-an. Boleh lebih tapi jangan sampai berlebihan.
Tentu batasan waktu saja tidak cukup. Walaupun nontonya kurang dari dua jam, tapi kalau tayangan yang dilihatnya tak sesuai, tetap punya pengaruh buruk. Karena itu perlu pembekalan dari orangtua. Kenapa pembekalan ini penting? Alasannya, dalam tayangan itu pasti ada perilaku yang patut ditiru, patut dijauhi, dan patut hanya untuk dinikmati saja. Anak terkadang kurang bisa membedakan tiga elemen ini. Tugas kitalah untuk memahamkan mereka.
Selain itu perlu pengarahan. Pengarahan ini sebetulnya lanjutan dari pembekalan. Anak tidak cukup kita bekali dengan nasehat. Supaya informasi yang didapat itu membuahkan pengaruh positif dalam hidupnya, perlu diarahkan, didukung, dan pendampingan. Misalnya saja ada tayangan cerdas cermat, kontes bahasa Inggris, atau perilaku positif tertentu.
Jika si anak suka melihatnya, ini bisa kita pakai sebagai pintu masuk untuk memotivasi dan memfasilitasi mereka supaya lebih giat belajar, lebih giat berolahraga, lebih giat berbuat baik atau lebih kuat menghindari prilaku negatif. Bisa juga mengarahkan anak untuk menjadikan orang-orang yang dilihatnya di layar sebagai role model, misalnya anak meniru gaya presenter tertentu atau tokoh tertentu.
sumber : e-psikologi
0 komentar:
Posting Komentar