Kualitas Mental
Untuk supaya lebih simpel, saya menggunakan istilah "pede" di sini sebagai akronim dari kepercayaan diri (self confidence). Percaya diri, seperti yang pernah kita bahas di sini, adalah keyakinan seseorang akan kemampuan yang dimiliki untuk menampilkan perilaku tertentu atau untuk mencapai target tertentu.
Dalam prakteknya, ada yang disebut pede umum (general) dan ada yang disebut pede khusus (specifik). Anak kita mungkin sudah pede mempelajari ketrampilan yang mirip seperti naik sepeda karena punya pengalaman sukses dalam mempelajari ketrampilan itu. Pede seperti ini disebut pede khusus atau tertentu.
Apakah ke-pede-an seorang anak itu bakat, kecerdasan, atau kualitas mental? Bukti-bukti yang ada memperkuat alasan bahwa ke-pede-an seorang anak itu bukan bakat (dalam arti keunikan khusus yang berbeda antara satu dengan yang lain), melainkan sebuah kualitas mental (dalam arti pencapaian yang dihasilkan dari proses pendidikan atau pemberdayaan). Artinya, semua anak punya hak untuk dilatih menjadi lebih pede, sesuai dengan keadaannya.
Sejak kapan anak-anak bisa dilatih? Kalau melihat tulisannya Erik Erikson (Vander Zender, dkk, 1978), ini perlu dilatih dari sejak anak itu mengenal dunia di luar kandungan atau sejak usia dini. Dengan beranjaknya usia, naluri adaptatifnya, si anak secara berlahan dan bertahap ingin memupuk pede-nya itu melalui berbagai eksperiensi dan eksplorasi, misalnya dengan menjajal sesuatu, bergerak bebas, dan lain-lain. Kata Erikson, orangtua yang sanggup memberikan kasih sayang dan rasa aman, akan memupuk ke-pede-an si anak. Kasih sayang dan rasa aman itu akan menancapkan kesimpulan dalam pikiran si anak: ternyata dunia ini bersikap baik sehingga tak ada alasan untuk takut.
Katanya lagi, orangtua yang pintar mengembangkan naluri ber-otonomi si anak (misalnya bebas bermain atas keputusannya), pintar menyalurkan hak berinisiatif atau orangtua yang pintar memberi kesempatan kepada si anak untuk mengasah berbagai kebolehan dan kebiasaan (kompetensi), akan memupuk pede-nya, mungkin di bidang yang umum atau mungkin di bidang tertentu.
"Wah, Pak, kalau di prakteknya berjalan sesuai rencana, itu sih gampang di jalankan. Tapi 'kan anak kita punya rencana sendiri yang dia tidak tahu akibatnya. Masak kita biarkan terus inisiatifnya itu?" Pertanyaan semacam ini mungkin muncul di benak kita semua.
Benar memang. Anak-anak itu 'makhluk' dengan dua sisi. Satu sisi, dia adalah makhluk pasif, tergantung bagaimana orangtua membentuknya. Tapi, di sisi lain, dia adalah makhluk aktif, bisa membentuk dirinya sendiri dan bahkan berhasil membentuk perilaku orangtua. Sebagian perilaku dan respon kita dipengaruhi oleh peranannya dalam mempengaruhi. Hebat 'kan?
Karena itu, kita perlu kembali ke prinsip yang paling aman. Seperti kata Alfred Adler, model pola asuh yang paling membahayakan bagi perkembangan mental anak adalah terlalu melindungi atau terlalu mengabaikan. Yang menjadi titik tekan di sini bukan melindungi atau mengabaikan, melainkan terlalunya itu.
Kenapa Perlu Melatih Percaya Diri?
Secara umum, anak yang pede-nya semakin bagus itu akan semakin berpeluang untuk meraih kesuksesan yang sesuai dengan keinginannya, dibanding dengan anak yang pede-nya rendah. Sama juga dengan orang dewasa. Karena anak kita nantinya juga akan menjadi orang dewasa, maka menjadi penting buat kita untuk memberikan landasan mental yang bagus. Hal ini terkait dengan beberapa hal berikut:
Pertama, ke-pede-an seseorang itu akan terkait dengan pilihan sikap mentalnya terhadap tugas atau tantangan. Orang atau anak yang pede-nya tinggi akan memilih sikap mental "Saya Bisa" (The-I-Can-Attitude). Sebaliknya, anak yang pede-nya rendah, meski dia bisa, tapi sedikit-sedikit akan merasa susah, "tidak bisa" "takut ah", dan berbagai ungkapan yang senada. Secara logika, anak yang pede-nya bagus lebih berpeluang untuk berprestasi.
Kedua, ke-pede-an seseorang itu akan terkait dengan persepsi yang terbangun di dalam diri seseorang dalam menghadapi tugas atau tantangan. Orang yang pede-nya bagus akan mempersepsikan tantangan atau tugas itu sebagai sesuatu yang lebih kecil dari dirinya sehingga mudah muncul kehausan untuk menaklukkannya. Bahkan dia mungkin merasa malu kalau sampai tidak bisa.
Ketiga, ke-pede-an seseorang itu akan terkait dengan istilah locus of control. Selama manusia hidup di dunia ini, mau orang itu beragama atau tidak, pasti dihadapkan pada hal-hal yang sudah tidak bisa di ubah lagi, seperti matahari terbit dan terbenam, ada siang dan malam, manusia akan mati. Tapi sifat takdir yang pasti seperti itu jumlahnya sangat sedikit. Kitab Suci Al-Quran sendiri, konon, hanya memuat tidak lebih dari 20% takdir yang tak bisa diubah itu. Sisanya dipasrahkan pada kita untuk memilihnya, misalnya jika kita rajin belajar, maka takdir kita bagus, tetapi jika tidak, maka takdir kita jelek, dan seterusnya.
Nah, orang yang pede-nya bagus akan memunculkan sebanyak mungkin pemahaman yang kuat bahwa nasib dirinya lebih banyak ditentukan oleh pilihannya, life is a choice, atau meletakkan locus of control ke dalam dirinya, bukan sedikit-sedikit mengandalkan Tuhan, mengandalkan keadaan, mengandalkan nasib baik, atau mengandalkan orang lain (external locus of control).
Secara umum, pemahaman yang kuat itu positif sejauh didukung dengan pemahaman keimanan yang bagus. Selain tiga hal di atas, ke-pede-an itu terkait juga dengan tinggi-rendahnya gairah si anak untuk berprestasi (motivasi), mau itu di sekolahnya sekarang atau nanti di pekerjaannya.
"Takdir itu ada yang permanen dan jumlahnya hanya sangat sedikit. Sisanya adalah takdir yang dipasrahkan kita untuk memilihnya"
Beberapa Pola Asuh Yang Kurang Mendukung
Ada sejumlah pola asuh yang berpotensi mengancam munculnya kualitas mental yang kita sebut pede itu. Ini antara lain:
- Terlalu sering memberikan label negatif atau minor pada anak. Label ini biasanya kita ciptakan melalui opini atau komentar, misalnya kita mengatakan si anak tidak bisaan, atau lebih ekstrimnya kita mengatakan si dia bego atau bodoh, dan semisalnya.
- Terlalu sering memotong proses eksplorasi dan eksperiensi yang dilakukan si anak dengan terlalu banyak atau terlalu cepat mengeluarkan larangan "jangan". Terkadang ini dibutuhkan ketika akibatnya bahaya, tetapi terkadang perlu kita kasih kesempatan dulu sampai ada hasilnya. Misalnya saja, dia ingin ikut campur pekerjaan kita. Jika itu memungkinkan, perlu dia kita kasih kesempatan membuktikan dirinya.
- Menciptakan perbandingan negatif. Untuk membuktikan betapa tidak hebatnya anak kita, kita menunjuk anak orang lain atau temannya atau kakak/adiknya yang lebih bagus sebagai bukti untuk menyerang. Ini kerap membuat anak minder atau terancam. Lebih baik kita gunakan sebagai perbandingan positif, misalnya dengan mengatakan, kalau si dia bisa, kamu juga bisa, bahkan bisa lebih baik kalau mau lebih giat belajar.
- Terlalu mengabaikan prestasi anak. Hasil kerja anak itu apapun bentuknya perlu penghargaan, sama juga dengan kita. Dengan kepadatan yang ada di jadwal orangtua, terkadang kita lupa memberikan penghargaan pada hasil kerja anak, sehingga dia tidak merasakan sensasi apa-apa dengan prestasinya. Ini kurang menggugah motivasinya.
- Memberikan ancaman dan rasa takut. Terlalu sering memunculkan pernyataan yang berbau hopeless atau pesimisme, atau juga memunculkan pemahaman negatif tentang hidup, atau juga melakukan kekerasan dan kediktatoran, bisa juga menyumbangkan benih-benih mental keminderan pada anak.
Darimana Kepercayaan-Diri Dibentuk?
Dari studi yang dilakukan Bandura (1997), pakar Psikologi dari Standford University, ada empat sumber yang bisa kita manfaatkan untuk memupuk ke-pede-an si anak. Keempatnya itu adalah berikut ini:
Pertama, pengalaman hidup. Merujuk ke sini, kita perlu membantu anak untuk menciptakan sebanyak mungkin pengalaman sukses, dari mulai yang kecil-kecil. Misalnya saja anak kita mengatakan tidak bisa mengerjakan PR dari gurunya, padahal menurut kita itu bisa. Untuk melawan ini, kita perlu mendampingi proses yang dilakukan si anak sampai ada bukti bahwa ternyata dia bisa.
Misalnya lagi kita menyuruh dia untuk membeli sesuatu di toko A, yang dekat dengan rumah, dan ternyata tidak ada. Jika kita melihat di toko lain ada, maka kita perlu mengarahkannya untuk tidak cepat merasa terkendala, dengan mencari di toko lain. Jika anak tahu bahwa dirinya sanggup menangani kendala, maka pengalaman itu adalah bukti kesuksesannya.
Pengalaman, menurut Bandura, menempati urutan teratas dalam hal memperbaiki tingkat kepercayaan-diri. Kata Erikson, anak-anak itu tidak bisa dibohongi orangtua dengan pujian-pujian kosong. Anak-anak perlu dikasih kesempatan untuk membuktikan dirinya sampai dia berhak untuk dipuji.
Kedua, contoh atau model. Kita bisa mendatangkan contoh kepada anak, entah itu dari temannya atau saudaranya (perbandingan positif). Bisa juga kita memberikan contoh, misalnya kita akhirnya berhasil menangani urusan setelah menempuh berbagai cara atau menunjukkan bahwa kita tidak mudah merasa cepat terkendala.
Ketiga, persuasi sosial. Komentar positif atau pengakuan dari lingkungan keluarga, sekolah, atau yang lebih luas lagi akan semakin memupuk ke-pede-an si anak. Umumnya, lingkungan di luar sana memberikan komentar negatif. Karena itu, sebagai pengimbangnya, kita perlu memberikan komentar yang positif. Hanya saja, tujuannya bukan supaya dia senang atau sekedar untuk supaya diam, melainkan untuk memberikan penjelasan dan motivasi positif.
Keempat, faktor psikologi. Anak yang jiwanya sedang OK, nyaman dengan pakaian yang dipakai, nyaman dengan penampilannya, nyaman dengan orangtua yang mendukungnya, akan lebih mudah membangun rasa kepercayaan diri dibanding dengan anak yang jiwanya sedang gelisah memikirkan jerawatnya, warna pakaiannya, model rambutnya, atau sedih jauh dari orangtuanya.
Peranan Pengasuhan Makin Penting
Dulu, di saat sebagian besar kita masih anak-anak, lebih-lebih di zaman orangtua kita dulu, alam dan keadaan eksternal ikut membantu kita melakukan berbagai eksperiensi dan eksplorasi. Anak bebas bermain di alam luas dan nyaris tak ada orangtua yang terancam oleh isu penculikan. Di samping itu, keadaan eksternal juga menantang untuk dilawan, seperti kekurangan fasilitas, dan lain-lain. Pada akhirnya, kerja sama yang baik antara orang tua, tetangga, alam dan persoalan hidup membuat anak-anak di jaman dulu lebih berakar dan penuh percaya diri karena terlatih menghadapi krisis.
Sekarang ini, anak-anak lebih mudah mendapatkan kemudahan dan kenyamanan hidup, tetapi juga di sana ada berbagai ancaman dan hambatan yang membatasi kebebasannya untuk bereksplorasi dan bereksperiensi melalui permainan di alam luas. Karena itu, mungkin sudah saatnya kita lebih berkiblat pada metode pengasuhan "harian" yang menempa life's skill dan kesigapan anak mengatasi persoalannya secara mandiri. Semoga bermanfaat.
0 komentar:
Posting Komentar