Isu Paling Dekat
Biasanya, sehabis melewati momen-momen yang kita anggap penting, seperti sehabis Lebaran, Natal, Tahun Baru, atau bahkan ulang tahun, kita memiliki planning untuk mengubah diri supaya lebih baik atau lebih dari yang kemarin, di hal-hal yang kita anggap utama, misalnya pekerjaan, keluarga, kualitas hidup pribadi, dan lain-lain.
Dipikir-pikir, memang kebiasaan semacam itu sudah pas. Sejumlah momen yang kita rayakan itu, pada umumnya mengandung pesan untuk melakukan perubahan. Sebut saja misalnya Idul Fitri. Id artinya kembali, sedangkan Fitri bisa diartikan suci, bersih, naluri, atau menang. Natal artinya lahir, symbol dari hidup baru. Secara naluri, memang kita ini pemenang atau bersih. Supaya kualitas itu terjaga selalu, tentu butuh pembaruan dan perubahan. Selain memang ada momen yang hakekatnya mengandung pesan untuk berubah itu, secara naluri pun kita punya suara dan dorongan batin yang sama. Mana ada sih manusia yang ingin melihat hidupnya tidak berubah? Pasti semua manusia ingin melihat ada perubahan yang terjadi dalam hidupnya, entah apa atau dalam hal apa.
Dipikir-pikir, memang kebiasaan semacam itu sudah pas. Sejumlah momen yang kita rayakan itu, pada umumnya mengandung pesan untuk melakukan perubahan. Sebut saja misalnya Idul Fitri. Id artinya kembali, sedangkan Fitri bisa diartikan suci, bersih, naluri, atau menang. Natal artinya lahir, symbol dari hidup baru. Secara naluri, memang kita ini pemenang atau bersih. Supaya kualitas itu terjaga selalu, tentu butuh pembaruan dan perubahan. Selain memang ada momen yang hakekatnya mengandung pesan untuk berubah itu, secara naluri pun kita punya suara dan dorongan batin yang sama. Mana ada sih manusia yang ingin melihat hidupnya tidak berubah? Pasti semua manusia ingin melihat ada perubahan yang terjadi dalam hidupnya, entah apa atau dalam hal apa.
Di samping itu, terkait dengan perubahan, ada kekuatan lain yang kerap memaksa orang untuk berubah, walaupun pada akhirnya kekuatan itu tetap menawarkan pilihan antara mau berubah atau tetap tidak berubah. Ini misalnya saja masalah atau problem yang kita hadapi sehari-hari. Sejatinya, ini menawarkan perubahan. Kalau kita gagal, kegagalan itu menyuruh kita mengubah diri, entah tekniknya, caranya, memilih momennya, dan lain-lain.
Kekuatan eksternal lain yang juga menawarkan perubahan adalah fase pertumbuhan alamiah yang harus kita lalui. Menurut ukuran normalnya, mau tidak mau kita akan berkeluarga, mau tidak mau kita akan jadi dewasa senior atau menjadi tua, dan seterusnya. Ini semua adalah fase pertumbuhan yang menawarkan perubahan, entah perubahan paradigma atau prestasi.
Dilihat dari penjelasan seperti di atas, berarti perubahan itu sebetulnya adalah isu yang paling dekat persoalan hidup manusia. Cuma, walaupun paling dekat, namun hubungan kita dengan makhluk yang bernama perubahan itu, seringkali tidak jelas dan mengandung sekian paradok. Buktinya, yang kita takuti justru perubahan, meski kita menginginkan perubahan. Yang tidak kita maui adalah mengubah diri, walaupun kita selalu berdoa agar ada perubahan dalam diri.
Apa yang Perlu Diaudit?
Meski perubahan itu isu paling dekat atau keinginan yang muncul pada ranking atas di pikiran manusia, tapi jika dilihat dari prakteknya, banyak orang yang kecewa atau malah patah semangat untuk berubah. Mungkin malu sama janji diri yang sudah ditulis ribuan kali di agenda, namun hasilnya menyebalkan; tak ada perubahan apapun. So, what?%u20AC%u2122s the next? Kalau melihat hukum kehidupannya, jika ada kebaikan yang benar-benar kita inginkan, namun tak berjalan sesuai rencana, berarti ada sesuatu yang perlu kita audit ulang. Hal-hal yang perlu diaudit itu antara lain:
Pertama, menjalani proses. Meminjam istilah dalam ajaran Tao, kreasi manusia itu diciptakan oleh dua hal, yaitu: a) prinsip dan b) proses. Prinsipnya, jika kita ingin melihat ada perubahan dalam hidup kita, maka kita harus berubah. Prinsip ini tidak bisa diganggu-gugat, mutlak. Supaya perubahan itu terjadi, kita harus menjalani proses perubahan. Soal itu harus kontinyu atau tidak, berat atau ringan, radikal atau incremental, ini tergantung skala perubahan yang kita inginkan.
Dalam menjalani proses itu, ada pesan agama yang pas untuk kita ingat. Umumnya, sebelum kita melihat perubahan yang menyenangkan, kita akan diuji dengan beberapa hal yang kurang menyenangkan. Ujian itu dimaksudkan untuk membuktikan level kesabaran, kesungguhan, dan karakter (bukti diri); apakah kita hanya sekedar mengkhayalkan perubahan atau menjalani prosesnya.
Kedua, struktur langkah. Kalau meminjam istilah dalam manajemen, objek yang kita ingin ubah itu dikelompokkan menjadi dua, yaitu: a) Yang mudah diubah, dan b) Yang sulit diubah. Ingin mengubah nasib tidak bisa dipahami seperti kita ingin mengubah berhenti merokok. Secara teori, berhenti merokok itu mungkin hanya butuh tekad dan tindakan. Tapi, mengubah nasib tak cukup hanya itu. Butuh tekad, sikap mental, tindakan, pengetahuan, keahlian, lingkungan, dan itu berjalan secara kontinyu, tidak on-off.
Ketiga, menemukan kesesuaian. Hampir semua perubahan fundamental itu menghadapi keterbatasan, entah materi, finansial, orang yang kita kenal, atau keterbatasan yang muncul dari keadaan eksternal tertentu. Keterbatasan itu sejatinya tidak menuntut kita mundur (kecuali kita memilihnya), melainkan menuntut upaya untuk menemukan format perubahan yang benar-benar ?%u20AC%u0153gue banget?%u20AC?. Intinya, semua orang bisa menciptakan perubahan, asalkan menggunakan kreativitasnya untuk melihat dirinya dan lingkungannya.
Sinergi Antara Logika Dan Iman
Kalau melihat dari susahnya, memang mengubah diri itu banyak susahnya. Karena itu, secara motivasi, kita disarankan jangan melihat susahnya, melainkan melihat hasilnya. Bayangkan sesering mungkin keindahan hidup yang akan kita nikmati jika perubahan itu berhasil kita lakukan!
Supaya kita terus bisa membayangkan, biasanya tak cukup hanya bermodalkan kalkulasi logis, melainkan butuh kalkulasi iman, harapan optimisme, keyakinan, atau modal mental. Jika kita terus menghitung kesusahannya secara logika semata, bisa-bisa kita kalah perang dulu. Tapi jika kita hanya mengandalkan modal iman tanpa akal (logika), ini juga kurang sempurna proses dan hasilnya. Intinya, harus sinergis.
Kalkulasi logis itu kita butuhkan untuk menyikapi persoalan yang sifatnya harus diselesaikan dengan nalar. Misalnya kita butuh dana untuk perubahan. Tentu tak cukup hanya berdoa, melainkan perlu ada upaya yang berbasiskan nalar. Sedangkan kalkulasi iman itu sangat dibutuhkan untuk menyikapi persoalan yang sifatnya hanya bisa dijalani berdasarkan prinsip yang sudah mutlak benarnya, misalnya ketekunan, ketelatenan, komitmen pada yang baik, dan seterusnya.
Selama bulan puasa kemarin, sempat beberapa kali saya bertemu dengan seseorang yang punya jabatan publik sebagai bupati. Menurut kalkulasi nalar, orang ini tidak bisa sekolah, boro-boro jadi bupati. Dari umur 5 tahun, dia harus mencari makan sendiri dengan berjualan apa saja. Bahkan sempat mau ikut-ikutan ngamen di lampu merah. Di setiap jenjang pendidikan yang dilalui, selalu mendapatkan ancaman DO karena tidak bisa bayar. Cuma, kakeknya mengajarkan kalkulasi iman. ?%u20AC%u0153Kalau orang jahat saja dikasih jalan oleh Tuhan, masak kamu yang mau baik tidak dikasih??%u20AC? Ini kalkulasi iman yang bisa ditiru. Entah prosesnya seperti apa, tapi prinsipnya, bapak ini lulus sampai S1. Bahkan sekarang ini sedang menyelesaikan S3-nya di universitas ternama di Jawa Barat.
Jangan Sampai Melemahkan Diri
Yang payah adalah ketika kita membias, mengada-ada atau terlalu menjadikan kesusahan sebagai pembenar untuk berhenti menginisiatifkan perubahan. Meminjam istilah dalam agama, manusia itu dikelompokkan menjadi dua. Pertama adalah orang yang melemahkan dirinya. Misalnya, kita ini sebetulnya punya kapasitas dan kesempatan untuk berubah karena ada sekian fasilitas yang bisa kita gunakan, entah di rumah, di kantor, atau dimana saja dan tidak ada juga orang yang melarang kita.
Namun, kitanya selalu membikin alasan yang mengada-ada, tidak punya inilah, tidak ada itulah, dan seterusnya. Padahal, semua itu adalah kemalasan kita sendiri. Orang semacam ini disebutnya orang yang menindas dirinya sendiri. Kepada malaikat, Tuhan menyuruh untuk menolak alasan-alasan yang mengada-ada itu.
Kedua adalah orang yang dilemahkan oleh kekuatan zalim. Misalnya pada saat era penjajahan dimana sekolah dibatasi, perpustakaan ditutup, perjuangan dikebiri, buku dibatasi, dan seterusnya. Ini namanya orang yang menindas orang lain. Doanya dikabulkan dan dosanya dimaafkan. Lebih-lebih jika orang itu tetap mau berjuang demi perubahan, meski dihimpit keterbatasan, seperti para pahlawan kita, seperti para penulis yang bisa menyelesaikan karyanya di penjara. Wah, ini luar biasa istimewanya.
Cuma, menurut kritiknya Tuhan, kebanyakan manusia itu suka menindas, entah kepada dirinya atau kepada orang lain, dan suka mengingkari nikmat. Buktinya cukup banyak. Misalnya, kita merasa sudah mati langkah untuk mengubah diri padahal tidak ada satu pun yang menghalangi kita untuk mengembangkan diri. Kita bebas cari informasi, bertanya ke siapa saja, belajar dengan cara apa saja, dan seterusnya. Kalau meminjam istilahnya Pak Bob Sadino, jangan sampai kita ini jadi orang yang cepat terkendala. Kita ingin jadi pengusaha, tapi tidak punya modal. Begitu dikasih modal, kita nyerah lagi karena karena kekurangan koneksi. Begitu dikasih koneksi, kita nyerah lagi, karena merasa tidak mudah mengelola koneksi itu, dan seterusnya dan seterusnya.
Ada ungkapan lama yang pas untuk kita ingat dalam kaitannya dengan bahasan kita ini. Kata ungkapan itu, hidup kita menjadi payah bukan karena ada banyak orang yang menjahati kita, tetapi lebih karena ada sekian ide kita yang melemahkan kita sendiri (menindas diri sendiri). Orang jahat memang bikin payah kita juga, tetapi sejauh kita tidak menindas diri sendiri, efek kejahatannya tidak sampai total.
Beberapa Modal Psikologis
Kalau mengikuti sarannya Paulo Coelho, penasehat spiritual UNESCO, lebih baik kita pernah gagal dan terus mengagendakan perubahan, ketimbang kita gagal karena tidak pernah menginisiatifkan perubahan, entah takut atau banyak alasan. Cuma, untuk hasil yang lebih baik, kita perlu memperbaiki modal psikologis guna mendapatkan berbagai modal yang kita inginkan.
Beberapa modal psikologi yang sudah sering kita bahas di sini antara lain: kreatif (banyak akal), percaya diri (meyakini bahwa kitalah yang bertanggung jawab atas nasib kita), memperbaiki pengelolaan stress (menggunakan ketidakpuasan untuk perubahan), membangun koneksi, menambah keahlian dan kesalehan, memunculkan komitmen intrinsik, memiliki motivasi yang tinggi, dan kesediaan untuklearning, baik itu secara generative atau adaptative.
Dengan semua modal itu, tidak berarti kesulitan akan hilang. Ini tidak realistis. Tapi, jika modal kita makin bagus, bantuan yang ?%u20AC%u0153tak terduga-duga?%u20AC? akan semakin mudah datang. Itulah kenapa banyak studi yang akhirnya menyimpulkan bahwa faktor penyebab kegagalan tertinggi dalam perubahan itu bukan hambatannya, keterbatasannya, atau kesulitannya, melainkan sikap mentalnya.
Sikap mental yang paling berperan menggagalkan adalah sikap ?%u20AC%u0153Yes I am, But I am?%u20AC?. Kita selalu mengatakan ?%u20AC%u0153Yes?%u20AC? ketika ditanya soal ingin berubah atau tidak. Setiap saat kita mendambakan perubahan. Tapi, giliran ditanya proses apa yang sudah kita jalani, selalu kita mengatakan ?%u20AC%u0153But I am?%u20AC?, atau ada sekian alasan yang kita kemukakan sebagai pembenar kenapa kita belum menjalaninya. Padahal, yang diperintahkan adalah begitu kita menginginkan perubahan-diri, nyatakan keinginan itu dengan tekad yang bulat (akan pasti kita jalankan), lalu bertawakal (menjalankan apa saja yang bisa kita jalankan lalu memasrahkan). Dengan cara ini, perubahan pasti terjadi, mungkin lebih baik, mungkin sama, atau mungkin baru sebagiannya.
0 komentar:
Posting Komentar