Senin, 19 Mei 2014

Apakah Saya Orang Aneh ?


Keanehan Positif & Negatif 
Dalam prakteknya, tidak semua kata "aneh" yang kita alamatkan ke orang lain atau yang dialamatkan ke kita itu positif atau negatif. Konon, ketika pendiri perusahaan air minum kemasan yang kini kita kenal Aqua itu dulu ingin meluncurkan produknya, banyak yang mengatakan ini ide aneh. "Masak air putih dijual?" mungkin begitu komentarnya.

Bukan hanya masyarakat awam saja yang mengatakan seperti itu. Konon, seperti yang ditulis Pak Hermawan Kertajaya, survei pasar yang dilakukan orang-orang yang disuruh perusahaan saat itu juga menghasilkan rekomendasi yang sama. Tapi, si pendiri rupayanya tak mau begitu saja percaya dengan omongan orang dan hasil survei.

Ia akhirnya lebih memilih mendengarkan naluri bisnisnya. Ia tetap akan menjual air putih yang dikemas itu, seperti yang ia lihat di luar negeri. Setelah menjalankan idenya, ternyata kenyataan berkata lain. Air putih kemasan itu kini menjadi kebutuhan orang. Bukan hanya orang kota saja yang membutuhkan. Orang di kampung yang punya hajatan juga membelinya.

Dalam bisnis, keanehan seperti itu sangat positif. Makanya, sebutan untuk orang seperti itu bukan orang aneh, tetapi sebutan-sebutan yang memuliakan, misalnya kreatif, inovatif, dan percaya diri. Ini semua adalah sebutan untuk orang yang memiliki konstruksi mental yang bagus: punya ide yang di luar "box" masyarakat, berani menjalankan, bisa dijalankan dengan tidak melanggar, dan mendatangkan benefit atau profit.

Menurut ukuran nilai tertentu, bisalah keanehan semacam itu dikatakan positif. Lalu, keanehan yang negatif itu seperti apa? Dalam prakteknya, ada atribut aneh yang konotasinya sangat negatif atau negatif. Ini biasanya dialamatkan untuk menyebut perilaku seseorang yang bertentangan dengan standar normalnya akal sehat manusia yang normal, tidak menambah nilai plus apapun bagi pelakunya atau orang di sekitarnya, dan seringkali merugikan atau mencelakakan orang.

Hampir secara umum, perilaku aneh demikian disebabkan, antara lain oleh kebodohon, ketidaksadaran, dan kekacauan psikis. Bodoh di sini bukan tidak punya pengetahuan atau tidak pernah sekolah. Bodoh adalah menutup diri dari pencerahan atau keras kepala dengan egoisme kebenaran sendiri yang bertentangan dengan kebenaran universal.

Misalnya kita memedomani filsafat hidup tertentu atau pemahaman keagamaan tertentu yang secara riil dan secara akal sehat tidak menambah nilai plus apa-apa buat kita dan orang sekitar, bahkan sering merugikan, tetapi itu kita pertahankan habis-habisan atas dasar kebenaran-sendiri. Lama kelamaan kita akan menjadi orang aneh menurut normalnya orang yang normal.

Sedangkan ketidaksadaran di sini mengarah pada pengertian rendahnya sensitivitas pada kebutuhan, keinginan, dan harapan orang di sekitar (low sensitivity of feeling). Kalau umumnya orang butuh waktu sekitar 15 menit-an untuk mandi, tapi kita butuh satu jam lebih, sampai pada tingkat yang sangat merugikan banyak pihak,  bisa-bisa kita jadi orang aneh. Merokok, atau parkir sembarangan termasuk ciri sensitivitas yang rendah.

Dalam literatur Psikologi, ada beberapa istilah yang bisa kita jadikan rujukan untuk menjelaskan berbagai bentuk kepribadian dan perilaku yang aneh itu. Misalnya saja ada istilah normal, abnormal, atau personality disorderUntuk mengecek perilaku kita sehari-hari, mari kita lihat satu persatu. 


Normal & Abnormal
Standar untuk menyebut apakah seseorang itu normal atau abnormal dalam psikologinya terasa cukup tinggi dari yang kita bayangkan. Seperti yang dijelaskan oleh Philip G. Zimbardo dalam bukunya Psychology and Life (1979), seseorang disebut normal apabila memenuhi kriteria sebagai berikut:

  1. Punya kemampuan beradaptasi secara efektif dan positif terhadap tuntutan situasi.  Jika kita selalu bilang pusing memikirkan pekerjaan di kantor, mungkin kenormalan kita perlu ditingkatkan. Kenapa? Yang namanya kantor itu pasti situasinya menuntut, entah dengan deadline atau target. Lain soal kalau itu terjadi secara insidentil.   
  2. Bisa perform atau berperilaku yang selaras dengan kapasitas. Kalau kita secara fakta tidak / belum memiliki kapasitas untuk memperjuangkan aspirasi masyarakat yang kita wakili, tapi kita ngotot ingin jadi caleg, bahkan sampai rela "buang-buang duit" dan itu masih jauh dari kemungkinan untuk "pasti jadi", mungkin kenormalan kita perlu ditingkatkan.
  3. Punya keseimbangan mental, sikap, emosi, dan tempramen dalam meresponi lingkungan / keadaan.

Entah tanggal berapa di bulan Juni tahun ini, saya hampir mau menabrak mobil yang mendadak berhenti di depan saya dengan jarak dekat. Di malam yang hujan dan jalan lagi lengang, orang itu berhenti mendadak dan langsung mengeluarkan senjata tajam kemudian diacungkan ke orang yang di depannya. Anak dan istrinya keluar untuk melerai. Terjadilah percekcokan yang mengundang kerumunan massa.

Setelah tanya-tanya, ternyata sebabnya adalah terserempet kaca spion. Kalau berpikir normal, pasti cara demikian tidak akan kita tempuh. Kenapa? Potensi adanya bahaya terlalu besar dibanding dengan sumber masalah. Di samping itu juga akan membayakan dan menggangu orang lain yang tidak punya urusan. Padahal, pasti ada cara yang tidak se-berbahaya itu.


Personality Disorder
Dalam Psikologi  juga dikenal istilah Personality Disorder? Istilah ini dipakai untuk menjelaskan salah satu tanda adanya pola perilaku yang melebihi batas normal atau kurang dari nomal (Psychology & Life). Sebagian kategorinya bisa dijelaskan seperti berikut:  
  • Inadequate personality (ketidaksanggupan): perilaku yang tidak efektif, tanggungjawab yang rendah, atau kematangan emosi dan berpikir yang di bawah normal. Sedikit-dikit ingin pindah kerja, ingin cerai dengan pasangan setiap ada persoalan, atau ingin mati saja.    
  • Explosive personality: cepat meledak meski terkadang tampil sebagai orang yang enak diajak bergaul, main pukul, sedikit-sedikit konflik dengan siapa saja.
  • Passive-agressive personality:  keras kepala diam-diam, mendendam diam-diam, atau cepat mengekspresikan permusuhan dengan cara tertutup.
  • Obsessive-compulsive personality: terlalu rigid dalam mengontrol-diri atau mengatur orang lain sehingga hidupnya menjadi sangat ruwet atau terlalu perfeksionis dalam menilai diri dan orang lain. Satu jam sekali menelpon keberadaan pasangan setiap hari dan bertanya sampai ke hal yang paling kecil seperti polisi.
  • Antisocial personality: kerap memunculkan prilaku yang memancing permusuhan dengan orang lain, semaunya sendiri tanpa peduli dengan norma yang berlaku pada grup, lingkungan atau masyarakat, egois, dan sering merasa tak berdosa dengan kesalahannya atau mungkin malah merasa benar.

Nah, tentu saja dalam prakteknya, setiap kategori di atas memiliki gradasi atau stadium yang berbeda-beda, dari mulai yang paling rendah sampai ke yang paling parah.  Selain itu perlu dibedakan juga, apakah perilaku di atas muncul sebagai reaksi yang sifatnya temporer dan insidentil ataukah sudah menjadi tabiat dan sifat.


Selalu Ada Permulaan Yang Tepat
Baik itu ke-abnormal-an atau personality disorder, biasanya dikategorikan sebagai mental illness. Mengobati penyakit mental dengan penyakit fisik itu ada sedikit perbedaan. Untuk penyakit fisik, obatnya sebagian besar dari luar, entah dari dokter, ramuan tradisional atau lainnya. Sama seperti kebutuhan fisiologis manusia.

Tapi, untuk penyakit mental, terutama dalam hal ini personality disorder, obatnya sebagian besar harus dari dalam. Artinya, sejauh kita ingin memperbaikinya, berarti selalu ada permulaan yang tepat untuk melakukannya. Keinginan atau dorongan untuk berubah inilah yang menjadi kunci. Semakin kuat dorongan kita, berarti semakin besar potensi keberhasilannya.

Mungkin ada pertanyaan, darimana dorongan itu dapat diperkuat? Dorongan dapat diperkuat dengan senantiasa memunculkan ketidakpuasan dari apa yang kita rasakan terhadap diri kita; ketidakpuasan karena merasa "belum berbuat apa-apa, belum melakukan apa-apa" dan bukan tidak puas karena merasa  "tidak punya apa-apa".  Jangan sampai kita gunakan ketidakpuasan itu sebagai pemicu konflik diri. Gunakan ketidakpuasan itu untuk memperkuat dorongan berubah ke arah yang lebih baik.

Selain itu, ciptakan pola berpikir yang terbuka. Berpikir terbuka bukan semata bisa menerima pandangan orang lain. Berpikir terbuka adalah kemauan untuk belajar dari orang lain atau menghilangkan egoisme  "kebenaran sendiri". Banyak orang yang tidak sanggup mengubah dirinya karena selalu merasa paling atau sudah benar atau tidak merasa kurang.

0 komentar: