Selang beberapa hari setelah musibah menimpa saudara-saudara kita di NAD, Sumut dan Nias, ada seorang penelpon yang mengutarakan tanggapannya terhadap ceramah yang disiarkan oleh radio itu. Rupanya si penelpon ini adalah saudara kita dari Aceh yang tinggal di Jakarta dan kebetulan keluarganya termasuk korban bencana alam itu. Apa yang ditanggapi oleh si penelpon adalah bagian dari isi ceramah yang mengatakan bahwa di sana ada perbedaan antara ujian dan siksa, meskipun keduanya bisa jadi berbentuk musibah.
Apa yang berbeda menurut si penceramah? Ujian diberikan oleh Tuhan kepada hamba-Nya yang taat sementara siksaan diberikan oleh Tuhan kepada hambaNya yang tidak / kurang taat. Mungkin saja, karena materi demikian diutarakan pada saat terjadi bencana, maka si penelpon merasa seolah-olah penjelasan demikian mengarah pada kesimpulan bahwa musibah yang terjadi di NAD dan lain-lain adalah siksa. "Saya tidak setuju dengan isi ceramah Bapak. Kalau memang siksa, salah apa kami rakyat Aceh? Apakah daerah-daerah lain sudah lebih benar dari kami?" Kira-kira begitulah isi tanggapan bernada protes dari si penelpon.
Untunglah kemudian ada penjelasan dari si penceramah bahwa yang hanya berhak memutuskan dan mengetahui apakah suatu musibah itu diberikan sebagai ujian atau siksa adalah Tuhan. Adapun manusia, sama sekali tidak memiliki hak untuk membuat kesimpulan, membuat judgment, atau penilaian tentang siksa dan ujian. Tuhanlah yang berhak memberikan siksa, cobaan, pelajaran atau apa saja berdasarkan pengetahuan-Nya.
Mengingat bahwa ada bagian dari musibah itu yang pantas kita sebut rahasia Tuhan, maka mungkin ini saatnya kita perlu mengingat petuah bijak yang isinya kira-kira adalah: jika ada musibah, cobaan, atau kejadian apa saja yang menurut kita telah meninggalkan kesedihan, kesengsaraan, dan kenestapaan yang tidak langsung membuat kita mati, maka di sana masih ada bagian yang dapat kita pilih untuk memperkuat diri kita.
Merujuk pada petuah di atas, maka apa yang menjadi tugas kita bersama adalah menemukan materi apa saja yang bisa menunjukkan kita menjadi orang yang lebih cerah, menjadi orang yang lebih kuat, atau minimalnya menjadi orang yang tidak dibikin semakin buruk oleh keadaan yang sudah nyata-nyata memperburuk diri kita.
Masalah di Dalam Diri
Siapapun kita dipastikan tak ada yang berani mengatakan musibah gempa dan badai Tsunami yang melanda saudara-saudara kita itu ringan dan bisa langsung diterima sebagai sebuah kenyataan yang benar-benar terjadi. Jangankan terhadap musibah yang semaha-dahsyat itu (extraordinary). Terhadap musibah yang sifatnya biasa (ordinary) dan rutin saja, seperti kegagalan, kekecewaan dan ketidakpastian, umumnya kita tak bisa menerimanya langsung. Seringkali di sana ada peristiwa yang oleh pakar emosi disebut ledakan emosi pertama yang berupa penolakan atas hal-hal yang tidak kita inginkan terjadi.
Namun demikian, karena sesuatu yang sudah terjadi itu adalah fakta, maka pada akhirnya diterima atau ditolak tetaplah sudah terjadi. Karena itu, maka yang menjadi pembeda antara orang per orang adalah tingkat kecepatan dalam menarik-diri dari keterhanyutan dan kegelapan. Apa saja yang sering membuat kita terlalu lama hanyut terbawa ke dalam kegelapan musibah? Di antara yang sering melanda kita adalah:
1. Memperpanjang penolakan
Dengan apa kita memperpanjang penolakan? Biasanya kita memperpanjang penolakan dengan cara menciptakan ledakan emosi kedua di dalam diri yang bentuknya sama seperti ledakan emosi pertama atau penolakan kedua, ketiga, keseribu, dan seterusnya. Untuk menyiasati agar kita tidak terlalu lama menambah penolakan demi penolakan maka pakar psikologi, Denis Waitley, misalnya saja menyarankan tiga hal: a) hentikan keinginan di dalam diri kita untuk mengubah sesuatu yang tidak bisa diubah lagi; b) mulailah mengubah apa yang masih bisa diubah; dan c) antisipasi hal-hal yang mungkin akan kita tolak lagi.
Saran lain yang juga patut kita tegaskan lagi di dalam diri kita adalah pendapat yang mengajak kita untuk membiarkan sesuatu yang sudah berada di luar kontrol kita lalu kita mengalihkan fokus pada usaha untuk merebut tanggung jawab dengan melakukan sesuatu yang masih berada di wilayah kontrol kita agar diri kita minimalnya tidak malah dibikin buruk oleh hal-hal yang memperburuk diri kita. Syukur ?%u20AC%u201C syukur kita menjadi lebih kuat lagi atau lebih cerah lagi
2. Menuntut hikmah
Pemahaman keagamaan yang sudah meng-umum di kita adalah bahwa semua musibah membawa hikmah. Ini sudah sesuai dengan penjelasan kitab suci yang mengisyaratkan bahwa semua aksi Tuhan (the act of God) atau semua yang diizinkan Tuhan untuk terjadi pastilah mengandung kegunaan tertentu. Setiap kesengsaraan yang menimpa pastilah ada benefit yang setimpal(equivalent benefit).
Jika hikmah dan kegunaan itu sifatnya pasti, lalu apa yang menjadi hambatan? Permasalahannya adalah seringkali hikmah itu sama seperti balasan akhir dari usaha kita. Meskipun pasti tetapi ia seringkali diberikan dalam bentuk seni (art) alias tidak seperti penjumlah teori Matematika. Ada yang diberikan dengan cara halus, diberikan sebagiannya, diberikan di bagian akhir, diberikan langsung, diberikan melalui tangan orang lain yang kita cintai, diberikan dari tangan orang lain yang tidak kita kenal sebelumnya, atau diberikan dari cara yang biasanya tidak seperti yang kita teorikan. Seringkali hal yang membuat kita cepat mengalami keletihan mental adalah menunggu hanya untuk menunggu atau menuntut dengan nada mendikte (menuntut percepatan atau sesuai dengan kehendak kita). Karena itulah maka yang diperintahkan kepada kita adalah menciptakan kegunaan-kegunaan positif atau berusaha keras untuk menggali benefit yang setimpal atau kalau perlu lebih dan sebanyak mungkin.
3. Protes Merusak
Munculnya letupan yang bernada protes secara sembunyi atau terang-terangan atas kebijakan Tuhan meskipun sering dianggap menyalahi undang-undang Teologi, namun prakteknya bisa dialami oleh siapa saja. Namun begitu, dalam prakteknya ada pembeda halus yang bisa menciptakan perbedaan hasil yang besar antara protes yang kita lampiaskan untuk menambah buruk diri kita dan protes yang kita lampiaskan pada dorongan kebangkitan, kemajuan dan kekuatan. Protes yang pertama itulah yang terkadang malah memperlambat pemulihan dan penghambat pencerahan.
Anthony Robbins mengakui bahwa rahasia keberhasilannya mencapai prestasi tinggi dari tangga yang paling bawah adalah melakukan protes-diri dengan cara menggunakan kesengsaraan sebagai pendorong bagi terciptanya perubahan positif. Felice Leonardo Buscaglia pernah menulis bahwa perubahan adalah hasil dari pembelajaran. Perubahan bisa dilakukan dari tiga hal: a) menggunakan ketidakpuasan atas apa yang menimpa kita hari ini, b) keputusan berubah untuk memenuhi penolakan, dan c) kesadaran mengabdikan diri pada proses perubahan. Doktrin kenabian mengajarkan kita untuk segera bangkit langsung dengan cara memprotes diri (self-rebellion) atau menyuruh diri kita agar bangkit setelah ambruk oleh pukulan hal/peristiwa buruk (protes membangun)
Perjuangan Menerima
Doktrin keimanan menjelaskan bahwa sikap mental menerima merupakan pilar utama. Studi ilmiah menjelaskan bahwa menerima merupakan jalan untuk bisa mempelajari dan mengubah. Akan sulit buat kita untuk mempelajari kegunaan dan mengubah apa yang masih bisa diubah tanpa bantuan sikap menerima. Alexander Graham Bell pernah mengingatkan agar kita tidak terlalu lama memandangi pintu yang sudah tertutup sehingga kita tak bisa melihat pintu lain yang sudah dibuka. Sebagai pembelajaran-diri, di bawah ini adalah satu dari sekian jurus yang bisa kita lakukan untuk mempercepat penarikan diri dan memperbaiki model penerimaan yang kita lakukan:
1. Mengasah Kecerdasan Tak Terbatas
Napoleon Hill mengatakan bahwa keimanan merupakan Kecerdasan Tak Terbatas (The Infinitive Intelligence). Keimananlah yang sanggup menembus pemahaman, makna dan kegunaan di balik fakta atau realita yang terjadi secara kasat mata (benda gaib). Keimananlah yang membuat kita merasa ada garansi keamanan dan ketenangan dengan adanya rasa kebersamaan Tuhan. Keimananlah yang membuat kita mampu mengatakan bahwa selama kita masih ditakdirkan hidup maka tak akan ada masalah yang bisa membuat kita mati.
Namun demikian keimanan ini secara peringkat tentulah bermacam-macam sehingga perlu kita naikkan: ada keimanan mulut (ucapan saja), ada keimanan setengah-setengah (tergantung keadaan eksternal), dan ada keimanan sungguhan. Menurut Cak Nur, cara yang bisa kita tempuh untuk memiliki keimanan sungguhan adalah menyempurnakannya setiap saat berdasarkan pengetahuan, pengalaman dan kenyataan yang kita pahami.
2. Memperbaiki Sistem Solusi
Masalah tidak selesai oleh keimanan. Masalah kita akan selesai oleh serangkaian tindakan kita. Tetapi dengan keimanan akan membuat kita yakin dan terang selama proses menyelesaikan masalah. Keyakinan dan kejernihan inilah yang kita butuhkan karena keduanya memiliki hubungan dengan apa yang bisa kita sebut "pembuktian-diri"
Selama kita masih belum meninggalkan bumi pastilah di sana senantiasa ada tawaran untuk membuktikan siapa diri kita, terutama sekali tawaran dalam bentuk hal-hal yang tidak kita inginkan dari mulai yang sifatnya biasa sampai ke tawaran yang sifatnya luar biasa seperti yang menimpa saudara-saudara kita.
Contoh pembuktian diri itu misalnya saja begini. Ketika kita dihantam badai, pastilah kita kalang kabut dengan bermacam-macam pikiran. Setelah badai berlalu maka yang tersisa adalah tawaran memilih antara kita memilih untuk hanyut dan memilih untuk bangkit. Apapun yang kita pilih dipastikan memiliki alasan pembenaran tersendiri. Namun begitu, pada akhinya itulah bukti siapa diri kita: 1) bukti bahwa kita hancur oleh badai (loser); atau 2) bukti bahwa kita mengalahkan badai (winner).
Karena yang kita inginkan adalah menjadi orang kelompok kedua, maka yang kita butuhkan adalah memperbaiki sistem penyelesaian masalah yang kita hadapi sesuai dengan perkembangan kita agar kita bisa memiliki bentuk-bentuk pembuktian diri yang makin lama makin bagus dengan cara melakukan sesuatu yang dibutuhkan oleh perbaikan, perubahan positif, dan pembaharuan. "Trauma yang akan abadi di dalam diri kita adalah penderitaan yang tidak kita ikuti dengan perubahan diri kita ke arah positif."
3. Menaikkan Harapan
Semua pemeluk agama diajarkan untuk menggantungkan harapan hanya kepada Tuhan. Cara yang bisa kita lakukan untuk menggantungkan harapan di sini adalah memiliki harapan yang setinggi posisi Tuhan (optimisme) agar kita tidak mudah dibikin larut, hanyut, lari dan gelap oleh realita di bumi yang bisa berubah kapanpun dan tidak semuanya bisa dijelaskan oleh nalar atau pengetahuan kita.
Selain itu, harapan optimis juga berfungsi sebagai energizer (daya penggerak) langkah kita dalam menyelesaikan masalah, mambangun dan memperbaiki keadaan-diri. Dengan harapan yang tinggi memang tidak secara otomatik membuat kita menang tetapi kalau tanpa harapan, kita sudah kalah sebelum melangkah. Mudah-mudahan bisa kita jalankan. (jp)
sumber : e-psikologi
0 komentar:
Posting Komentar