Senin, 19 Mei 2014

Kecanduan Cinta


Istilah kecanduan cinta mungkin bukan istilah yang umum terdengar. Istilah yang sudah umum beredar seperti kecanduan minum, alkohol, narkoba, rokok, kerja, dan lain sebagainya. Meski pun "barang"nya cinta, bukan berarti aman-aman saja bagi pecandunya dan tidak membawa dampak apapun juga. Justru, dampak dari kecanduan cinta ini sama buruknya untuk kesehatan jiwa seseorang. Buktinya, sudah banyak kasus bunuh diri atau pembunuhan yang terjadi akibat kecanduan cinta meski korban maupun pelaku sama-sama tidak menyadarinya... Nah, artikel di bawah ini akan mengulas sekelumit hal-hal yang berkaitan dengan kecanduan cinta.

Kecanduan Psikologis


Di dalam masyarakat sudah banyak sekali kesalahan dalam mempersepsi atau mengartikan cinta sejati dengan cinta yang bersifat candu. Berbagai film, sinetron, atau pun lagu-lagu turut andil dalam menyaru-kan kondisi kecanduan cinta dengan cinta sejati. Akibatnya, banyak orang terjebak dalam pengertian yang keliru antara kecanduan cinta dengan cinta sejati. Contoh ekstrimnya, ada orang yang bunuh diri karena ditinggal pergi kekasih - dan orang menilai bahwa cerita ini mencerminkan kisah cinta sejati.

Tanda-Tanda


Pada umumnya individu yang mengalami kecanduan cinta menunjukkan tanda-tanda: 
  1. Adanya pikiran obsesif, misalnya terus-menerus curiga akan kesetiaan pasangan, terus- menerus takut ditinggalkan pasangan sehingga selalu ikut ke mana pun perginya sang kekasih/pasangan.
  2. Selalu menuntut perhatian dari waktu ke waktu, tanpa ada toleransi dan pengertian.
  3. Manipulatif, berbuat sesuatu agar pasangan mengikuti kehendaknya/memenuhi kebutuhannya, misalnya: mengancam akan memutuskan hubungan jika mementingkan hobi-nya.
  4. Selalu bergantung pada pasangan dalam segala hal, apapun juga, mulai dari minta pendapat, mengambil keputusan sampai dengan memilih warna pakaian.
  5. Menuntut waktu, perhatian, pengabdian dan pelayanan total sang kekasih/pasangan. Jadi, pasangan tidak bisa menekuni hobi-nya, jalan-jalan dengan teman-teman kelompoknya, atau bahkan memberikan sebagian waktunya untuk orang tua/keluarga.
  6. Menggunakan sex sebagai alat untuk mengendalikan pasangan.
  7. Menganggap sex adalah cinta dan sarana untuk mengekspresikan cinta.
  8. Tidak bisa memutuskan hubungan, meski merasa amat tertekan karena "berharap" pada janji-janji surga pasangan.
  9. Kehilangan salah satu hal terpenting dalam hidup, misalnya pekerjaan atau keluarga inti demi mempertahankan hubungan.
Jadi, tidak ada istilah "puas" dalam setiap hubungan yang terjalin antara orang yang kecanduan cinta dengan pasangannya; ibaratnya seperti mengisi gelas bocor yang tidak pernah bisa penuh jika diisi, karena begitu airnya dituang lantas langsung keluar lagi dan airnya tidak pernah luber. Demikian juga orang kecanduan cinta, mereka tidak pernah mampu membagikan cinta secara tulus pada orang lain karena selalu merasa kehausan cinta. Oleh sebab itu, banyak di antara mereka yang sering berganti pasangan karena merasa harapan mereka tidak dapat dipenuhi sang kekasih. Padahal, meski puluhan kali mereka berganti pasangan, individu yang kecanduan cinta akan sulit membangun hubungan yang stabil dan abadi. Sayangnya, banyak dari mereka yang tidak sadar, bahwa sumber masalah justru ada pada diri sendiri - mereka lebih sering menyalahkan mantan-mantan kekasihnya/pasangannya.


Penyebab


Sebenarnya, kecanduan cinta itu adalah kecanduan yang bersifat psikologis karena tidak terpenuhinya kebutuhan psikologis (seperti kasih sayang, perhatian, kehangatan dan penerimaan seutuhnya) di masa kecil. Menurut Erik Erikson - seorang pakar perkembangan psikososial, orang  yang pada masa batita-nya tidak mengalami hubungan kelekatan emosional yang stabil, positif dan hangat dengan lingkungannya (baca: orangtua dan keluarga), akan sulit mempercayai orang lain - bahkan sulit mempercayai dirinya sendiri. Selain itu, trauma psikologis yang pernah dialami seperti penyiksaan emosional dan fisik pada usia dini, atau menyaksikan sikap dan tindakan salah satu orang tua yang agresif dan kasar terhadap pasangan, dapat  menghambat proses kematangan identitas kepribadian dan kestabilan emosinya. Pemandangan dan pengalaman tersebut kelak berpotensi mempengaruhi pola interaksinya dengan orang lain.


Keterbatasan respon/ perhatian dari lingkungan pada waktu itu, dipersepsi olehnya sebagai suatu bentuk penolakan; dan penolakan itu (menurut pemahaman seorang anak) disebabkan kekurangan dirinya. Nah, pada banyak orang, masalah ini rupanya tidak terselesaikan dan akibatnya, sepanjang hidup ia berjuang untuk mengendalikan lingkungan atau orang-orang terdekat supaya selalu memperhatikannya. Orang demikian berusaha membuat dirinya diterima dan dimiliki oleh orang lain - meski harus "mengorbankan" diri. Orang ini begitu cemas dan takut jika kehilangan orang yang selama ini memilikinya; karena perasaan "dimiliki" ini identik dengan harga dirinya - dan sebaliknya ia akan kehilangan harga diri jika kehilangan pemilik.


Dampak


Akibat kecanduan cinta bisa dirasakan secara langsung oleh yang bersangkutan, karena orang itu tidak dapat menikmati hubungan yang terjalin karena pikiran dan perasaannya selalu diliputi ketakutan. Dan tidak jarang ketakutan tersebut makin tidak rasional dan melahirkan tindakan yang tidak rasional pula, misalnya tidak memperbolehkan pasangannya pergi kerja karena takut direbut orang.

Bagi Individu Bersangkutan

Akibat jangka menengah dan jangka panjang adalah individu yang bersangkutan akan berada dalam kondisi emosi yang labil dan menjadi terlalu sensitif.  Individu tersebut mudah curiga pada teman, sahabat, kegiatan, pekerjaan, bahkan keluarga pasangannya. Selain itu  ia menjadi mudah marah, cepat tersinggung dan bagi sebagian orang bahkan ada yang bertindak agresif dan kasar demi mengendalikan keinginan dan kehidupan pasangannya. Pasangannya tidak diijinkan untuk punya agenda tersendiri; pokoknya harus mengikuti keinginannya dan 100% memperhatikannya. Individu tersebut juga mudah merasa lemah, lelah dan lemas. Pasalnya, seluruh energinya sudah dipergunakan untuk mengantisipasi ketakutan yang tidak beralasan dan melakukan tindakan untuk menjaga pertahanannya. Nah, kehidupan demikian membuat dirinya menjadi manusia tidak produktif. Sehari-hari yang dipikirkan dan diusahkan hanyalah bagaimana supaya "miliknya terjaga".

Bagi Pasangan

Banyak orang yang tidak sadar kalau dirinya terlibat dalam pola hubungan yang addictive sampai akhirnya ia merasa stress, tertekan namun tidak berani/takut/tidak berdaya untuk memutuskan hubungan yang sudah berjalan beberapa waktu. Bagi sebagian orang yang cukup sadar dan mempunyai kekuatan pribadi, ia akan berani mengambil sikap tegas dalam menentukan arahnya sendiri. Namun, banyak pula orang yang "memilih" untuk tetap dalam lingkaran demand-supply tersebut karena ternyata dirinya sendiri juga mengalami masalah dan kebutuhan yang sama. Jika demikian halnya, maka hubungan yang ada bukannya mengembangkan dan mendewasakan kedua belah pihak, namun malah semakin memperkuat ketergantungan cinta keduanya. Situasi ini lah yang sering dikaburkan dengan hubungan yang romantis dan cinta buta.

Penanggulangan


Menurut para ahli psikologi dan kesehatan mental, salah satu syarat utama untuk dapat menjalin hubungan yang sehat dan sekaligus menjalani kehidupan yang produktif adalah mempunyai kesehatan mental yang sehat dan identitas diri yang solid. Kondisi positif demikian akan menumbuhkan rasa percaya diri yang kuat sehingga orang tersebut tidak membutuhkan dukungan dan pengakuan orang lain untuk memperkuat sense of self-nya. Jadi, untuk mengembalikan seseorang pada bentuk hubungan yang sehat, langkah awal yang diperlukan adalah memperkuat pribadinya terlebih dahulu. Dengan meningkatkan sumber kekuatan psikologis secara internal, akan mengurangi ketergantungannya pada kekuatan eksternal. Orang itu harus merasa aman dan percaya dengan dirinya sendiri untuk bisa merasa aman dalam setiap jalinan hubungan dengan orang lain. Ada kalanya, orang-orang demikian membutuhkan bantuan para profesional untuk membimbing dan mengarahkan mereka membangun pribadi yang positif.

Antara Pasrah Pada Tuhan dan Pasrah Pada Realitas


Dua Model Kepasrahan

Negeri kita tiba-tiba mendapatkan sebutan baru. Kali ini bukan sebutan seperti misalnya: Macan Asia, Tinggal Landas, Gemah Ripah Loh Jinawe, atau sebutan yang semisal. Negeri kita adalah negeri lautan musibah.Wow! Menakutkan, mengerikan dan mengancam.

Terlepas kita terima atau tidak, tapi memang beberapa tahun terakhir ini banyak ancaman yang muncul di luar kontrol. Ini misalnya tsunami di Aceh, di Sumatera, di Jawa Barat. Ancaman gunung meletus terjadi berkali-kali di beberapa daerah. Kecelakan transportasi terjadi berkali-kali juga. Bahkan, kata seorang wartawan, kapal yang sudah menjadi bangkai saja masih menelan nyawa. Yang terbaru dan mudah-mudahan yang terakhir adalah banjir dan angin ganas.

Indonesia yang hampir seluruh masyarakatkan beragama, tentu sudah tak asing lagi dengan doktrin pasrah pada Tuhan. Kita sepertinya sama-sama setuju kalau dikatakan bahwa tidak ada kalimat yang pas untuk menghadapi musibah itu kecuali pasrah pada Tuhan. Pasrah pada Tuhan adalah doktrin hidup positif. Kenapa? Sebelumnya, mari kita klarifikasi lebih dulu.

Kalau melihat praktek hidup, tidak semua kepasrahan itu bisa dimasukkan dalam pengertian pasrah pada Tuhan. Ada pasrah pada Tuhan dan ada pasrah pada realitas. Meski kita terbiasa mengucapkan pasrah pada Tuhan, namun prakteknya belum tentu. Kalau tidak awas, bisa-bisa kita terjebak dalam kepasrahan kedua atau pasrah pada realitas. Pasrah pada realitas adalah fatalisme yang ditentang oleh akal sehat, ajaran ilmu pengetahuan dan ajaran agama.

Pasrah pada Tuhan artinya adalah kesediaan untuk mengikuti apa yang diperintahkan dan apa yang dilarang. Tentu saja, karena Tuhan itu adalah kebaikan, kebenaran atau kemasalahatan (positif), maka kepasrahan di sini adalah bentuk kepasrahan yang aktif, dinamis dan konstruktif. Kepasrahan pada Tuhan adalah bentuk kepasrahan yang menentang fatalisme, pasrah-isme, dan isme-isme destruktif lainnya.

Lalu bagaimana dengan kepasrahan pada realitas? Pasrah pada realitas berarti kita membiarkan atau menolak memperbaiki realitas buruk yang terjadi. Kalau kita sedang menghadapi realitas buruk, entah itu karena ulah kita sendiri, ulah orang lain atau ulah keadaan / alam, tapi kita membiarkannya atau menolak memperbaiki dan mengantisipasinya, maka yang kita lakukan sejatinya bukan pasrah pada Tuhan, tetapi pasrah pada realitas.

Pasrah pada realitas sangat dekat dengan fatalisme, kemunduran, atau kejumudan. Pasrah pada realitas hampir identik dengan mengingkari tanggung jawab hidup (self-responsibility). Karena itu, Washington Irvin menyimpulkan,"90 % penyebab kegagalan manusia dalah kepasrahan terhadap realitas." 

Pendapat ini klop dengan analisis seorang tokoh agama yang saya dengar beberapa tahun lalu dalam sebuah seminar. Katanya, salah satu penyebab kemunduran bangsa ini karena pemahaman doktrin agama yang lemah. Doktrin agama yang mestinya mencerahkan itu menjadi menggelapkan karena dipahami dengan pikiran yang tertutup dan mentalitas yang lemah (kepasrahan pada realitas).

Perlu kita catat, perbedaan antara pasrah pada Tuhan dan pasrah pada realitas itu terkadang tidak kelihatan dan tidak terdengar. Ini karena perbedaan itu terletak pada intensi (niat) dan aksi (program yang kita jalankan), bukan pada ucapan mulut.


Bentuk Kepasrahan Pada Tuhan

Secara garis besar, bentuk-bentuk kepasrahan pada Tuhan itu bisa dijelaskan melalui istilah-istilah di bawah ini. Tapi ini perlu disesuaikan dengan kapasitas, posisi, peranan, dan tanggung jawab kita sebagai individu dan sosial. Misalnya saja tentang banjir. Tentu saja kita punya tanggung jawab yang berbeda dengan Pak Sutiyoso. Ini karena kita rakyat, sementara beliau adalah gubernur. 

Beberapa istilah yang saya maksudkan itu antara lain:

Pertamaantisipasi. Kepasrahan pada Tuhan perlu direalisasikan ke dalam bentuk-bentuk aksi-aksi antisipatif. Sebagai individu, kalau kita tidak mau gagal di usaha, di karir, atau di studi, maka yang perlu kita lakukan adalah langkah-langkah antisipasi. Jika ini tidak kita lakukan, maka kepasrahan yang kita lakukan mungkin saja adalah kepasrahan pada realitas. Kenapa? Karena Tuhan menyuruh kita mengantisipasi hal-hal buruk yang berpotensi terjadi.

Begitu juga dengan predikat kita sebagai makhluk sosial. Kalau kita tidak ingin kebanjiran, maka kepasrahan itu perlu direalisasikan dalam bentuk langkah antisipasi, misalnya menjaga kebersihan sosial, menjaga keteraturan ekosistem, dan lain-lain. Karena makhluk sosial itu tidak jalan sendiri, makanya dibutuhkan leadership yang merumuskan kebijakan, peraturan, program, dan lain-lain. Jika leadership ini tidak jalan atau berjalan asal-asalan, ya langkah antisipasinya tidak jalan juga. Akibatnya, ya banjir lagi dan banjir lagi.

Kedua, mencari solusi positif. Tidak semua musibah itu bisa diprediksi atau bisa diantisipasi berdasarkan pengetahuan kita. Ada beberapa musibah yang kedatangannya seperti seorang petinju yang melancarkan pukulan mendadak. Tahu-tahu musibah itu sudah ada di depan mata. Contoh-contohnya banyaklah musibah yang seperti ini. Pasrah seperti apa yang dibutuhkan? Kalau acuannya adalah perintah Tuhan, kepasrahan yang diperlukan adalah kepasrahan dalam bentuk mencari solusi yang positif atau solusi alternatif (ikhtiyar: menjatuhkan pilihan positif).

Kalau mata kepala kita sudah nyata-nyata melihat nama kita tidak masuk di daftar mahasiswa yang diterima atau pegawai negeri yang lolos, ya secepat mungkin kita merumuskan solusi alternatif. Begitu juga kalau usaha kita rugi gara-gara banjir kemarin yang memang sudah sulit dihindari.

Kenapa mencari solusi positif dan alternatif ini termasuk kepasrahan pada Tuhan? Alasannya jelas. Tuhan tidak menyuruh kita putus asa menghadapi realitas buruk. Setanlah yang menyuruh kita putus asa. Realitaslah yang menggoda kita untuk putus asa. Tuhan menyuruh kita mengeksplorasi rahmat-rahmat-Nya yang tersebar di muka bumi ini. Bila ada satu pintu rahmat yang tertutup untuk kita, berarti sudah ada pintu rahmat lain yang sudah dibuka untuk kita. Soal di mana pintu yang sudah terbuka itu, ini yang perlu kita cari.

Intinya, kepasrahan pada Tuhan itu bisa dikelompokkan menjadi dua. Ketika musibah itu belum terjadi atau baru berpotensi terjadi, yang perlu kita lakukan adalah antisipasi. Tetapi ketika sudah terjadi, yang perlu kita lakukan adalah mencari solusi positif atau solusi alternatif.

Kalau melihat teori-teori Psikologi, kepasrahan pada Tuhan ini adalah bentuk kepasrahan yang lebih scientific dan lebih sehat. Kalau kita terkena musibah yang cukup menyakitkan, misalnya saja: bencana alam, peperangan, kecelakaan, penyerangan, pemerkosaan, dan lain-lain, biasanya ini menimbulkan dampak psikologis tertentu, seperti stress berat, depresi atau trauma.

Langkah ilmiah yang disarankan untuk kita lakukan antara lain adalah:

§         Menerima kenyataan sebagai fakta yang sudah nyata-nyata ada. Menerima di sini bukan pasrah pada realitas, tetapi lebih ke arah membuka kesadaran tentang hidup kita. Tujuannya apa? Dengan menerima akan membuat kita punya persepketif yang lebih banyak dan lebih sehat. Selain itu, kalau kita menyangkal (denial), ini malah membuat kita semakin buruk.

§         Melakukan terapi kognitif secara mandiri. Ini misalnya kita membaca buku atau melakukan kajian personal untuk menemukan alasan yang logis, penjelasan yang logis dan solusi yang logis dari musibah yang menimpa.

§         Melakukan terapi kelompok. Ini misalnya kita mengikuti program pemerintah atau NGO yag memang dirancang untuk memperbaiki diri paska musibah.

Di atas dari semua itu, yang terpenting adalah menciptakan pikiran positif, penyikapan positif, dan aksi positif. Seperti yang ditulis Dr. Felice Leonardo Buscaglia, "Trauma yang  abadi di adalah penderitaan yang tidak diikuti dengan perbaikan." Artinya, meskipun musibah itu hanya numpang lewat beberapa detik, tapi ini akan membekaskan rasa sakit yang abadi kalau kita menolak mengubah diri ke arah yang lebih baik. Mengubah diri ke arah yang lebih baik adalah bentuk kepasrahan pada Tuhan.


Memahami Sifat Takdir Dengan Akal Sehat

Takdir lebih sering kita temukan dalam kasanah keagamaan dan ini biasanya sangat erat pemakaiannya dengan kepasrahan pada Tuhan. Sebagai masyarakat yang beragama, pasti kita sudah tahu apa arti takdir itu. Takdir itu ketentuan Tuhan atau kadar-kadar yang telah ditetapkan dalam teori Hukum Tuhan.

Meski kita tahu arti takdir itu demikian, tetapi yang berbeda adalah pemahaman (understanding) yang kita ciptakan. Pemahaman ini terkait dengan proses transformasi diri. Perbedaan pemahaman terhadap takdir itu, misalnya: a) ada orang yang mengangkat dirinya sebagai penyebab, cause, atas takdir yang menimpanya, dan b) ada orang yang memahami dirinya sebagai akibat, effect, atas takdir yang menimpanya.

Contoh orang yang memahami dirinya sebagai penyebab itu misalnya kalau kita menempuh sebab-sebab tertentu maka takdir kita (akibat) akan sesuai dengan sebab-sebab itu. Malas akan menghasilkan takdir buruk, bodoh akan menghasilkan takdir buruk, dan lain-lain. Sedangkan orang yang memahami dirinya sebagai akibat itu misalnya dia berkesimpulan bahwa semua nasib buruk yang menimpanya itu karena kiriman / cetakan dari Tuhan, keadaan atau orang lain.

Pemahaman manakah yang paling benar? Kalau kita membicarakan ini pada tataran teori atau wacana keagamaan dan keilmuan, tentu ini tidak akan ada titiknya sampai kiamat. Masing-masing pasti punya pembenar. Karena itu, akan lebih bermanfaat kalau kita menggunakan akal sehat berdasarkan bukti-bukti dari praktek hidup.

Berangkat dari sini, ada satu hal yang perlu kita ingat ketika menerapkan pemahaman tentang takdir.  Satu hal di sini adalah memahami sifat-sifat  takdir itu. Apa saja sifat-sifat takdir yang perlu kita sadari?

Pertamatakdir itu dinamis. Dinamis di sini maksudnya antara lain: berubah, sementara, berdasarkan sebab yang kita tempuh, dan lain-lain. Jika kita tinggal di daerah banjir maka takdir kita adalah pasti kebanjiran. Jika sebab-sebab banjir itu kemudian bisa ditangani, maka takdir kita tidak akan kebanjiran. Jika kita pindah di daerah yang jauh dari banjir, maka takdir kita tidak akan kebanjiran. Takdir di sini adalah Hukum Tuhan dalam arti "the cause and effect", sebab-akibat.

Kalau kita tidak menambah keahlian kerja, keahlian mental dan jaringan kerja, maka takdir karir kita adalah mandek. Inilah Hukum Tuhan. Kemudian, jika kita berhasil mengubahnya lantas kemajuan karir kita bagus, ini juga Hukum Tuhan atau takdir. Jika ada orang ingin bahagia tetapi yang dipilihnya adalah hal-hal yang membuat hidupnya nestapa, maka takdirnya adalah kenestapaan.

Kedua, takdir itu memiliki kuantum. Orang yang memulai usaha dengan modal dengkul dan orang yang memulai usaha dengan modal uang dan keahlian, pasti akan berbeda takdirnya. Orang yang punya resource sedikit akan punya takdir berbeda dengan orang yang punya resource banyak. Orang yang punya kemauan keras akan punya takdir yang berbeda dengan orang yang punya kemauan sedikit. Negara yang telah memasang early warning system pasti punya takdir yang berbeda dengan negara yang belum memasang alat itu untuk mereduksi korban tsunami atau gempa. Ini semua adalah hukum Tuhan (takdir).

Ketiga, takdir itu pilihan kita. Hidup ini memang sangatlah luas untuk ukuran manusia. Karena itu, teori filsafatnya mengatakan bahwa sejauh apapun kita sanggup mengungkap kehidupan, pasti di sana masih tersisa wilayah yang tak terjamahkan (uncharted island). Termasuk dalam takdir ini. Kita memahami takdir itu sebagai akibat ketentuan Tuhan atau sebab-sebab yang menghasilkan ketentuan Tuhan, itu sah-sah saja.

Cuma saja, di sana kita harus menghadapi ketentuan Tuhan yang lain, yaitu kebebasan memilih pilihan dan ketidakbebasan memilih konsekuensi pilihan. Ini juga hukum Tuhan (takdir).  Kalau kita memilih pasrah pada realitas, dalam pengertian seperti di atas, maka konsekuensinya ya kalah sama realitas. Tetapi kalau kita memilih pasrah pada Tuhan, maka konsekuensinya adalah menang melawan realitas.

Karena itu, ada pesan yang mungkin patut kita ingat. " Anda memang diberi kebebasan memilih apa saja, tetapi anda tidak diberi kebebasan memilih konsekuensi atas pilihan anda." Semoga bermanfaat !!!

Kekerasan Terhadap Perempuan Pada Masa Pacaran


X adalah seorang remaja yang telah memiliki seorang pacar. Namun, pacar X adalah seorang pengangguran dan suka mengkonsumsi alkohol, tidak hanya itu, pacar X juga selalu menekan X untuk memberikan uang saku yang diberikan orangtua X. Jika X tidak menuruti keinginan pacarnya maka pacar X selalu mengancam akan meninggalkan X. Demi mempertahankan hubungan dengan pacarnya, X rela menuruti semua keinginan pacarnya, apalagi X juga telah melakukan hubungan seks pranikah dengan pacarnya. X juga sering dipukul, dicaci maki dan masih banyak kekerasan yang dialami X. Akibat dari kekerasan yang dialaminya ini, X tidak hanya mengalami psikologis tetapi juga mengalami penurunan prestasi belajar.

Kekerasan terhadap perempuan pada masa pacaran adalah sebuah bahasan yang mungkin masih asing di telinga beberapa pembaca. Kita memang tidak dapat memungkiri bahwa kekerasan pada perempuan, seolah-olah dianggap sebagai hal yang biasa. Namun akibatnya luar biasa sekali. Pacaran merupakan suatu hal yang lazim dikalangan remaja saat ini. Namun, sedikit sekali orangtua dan remaja yang mengetahui bagaimana pacaran yang sehat agar tidak mengalami kekerasan pada masa pacaran. Kurangnya informasi dan pengetahuan mengenai hal ini menyebabkan cukup banyak remaja putri yang mengalami kekerasan dari pacarnya,  Namun seringkali para remaja ini menganggap kekerasan yang mereka alami adalah sebagai hal yang biasa, demi cinta terhadap sang pacar.

Melihat pada fenomena ini, maka apakah sebenarnya kekerasan pada masa pacaran itu? Kekerasan pada masa pacaran  (Dating Violence) merupakan salah satu bentuk kekerasan terhadap perempuan. Berdasarkan data dari LSM Mitra Perempuan bahwa di Jakarta pada tahun 2000, sekitar 11,6 % perempuan mengalami kekerasan pada masa pacaran dan pada tahun 2000 mengalami peningkatan sekitar 11,11 %. Selain itu, berdasarkan data dari Rifka Annisa Women Crisis Center dari tahun 2000 hingga tahun 2002, sekitar 264 perempuan melaporkan bahwa dirinya mengalami kekerasan pada masa pacaran. Jika dilihat secara menyeluruh, rata-rata sekitar 1 dari 10 perempuan mengalami kekerasan pada masa pacaran. Oleh karena itu, kekerasan  pada masa pacaran merupakan suatu masalah yang perlu mendapat perhatian karena berkaitan dengan cara perempuan dan berinteraksi dengan pacarnya.

Kekerasan pada masa pacaran adalah suatu bentuk kekerasan yang terjadi pada saat perempuan memasuki ikatan pacaran, maka pihak laki-laki dapat menjadi orang yang melakukan kekerasan dan pihak perempuan dapat menjadi korban kekerasan. Lalu, apa saja bentuk-bentuk kekerasan pada masa pacaran? Kekerasan pada masa pacaran dapat berupa kekerasan fisik, psikis hingga kekerasan seksual.
1.    Kekerasan fisik
Kekerasan fisik adalah suatu tindakan kekerasan yang mengakibatkan cedera / luka pada tubuh perempuan, seperti: tindakan memukul, menampar, dan menjambak.
2.    Kekerasan Psikis
Kekerasan psikis adalah suatu tindakan kekerasan yang berupa ucapan yang mengakibatkan menurunnya rasa percaya diri dan meningkatnya rasa tidak berdaya, seperti memanipulasi pasangan, cemburu yang berlebihan, melarang pasangan untuk berinteraksi dengan orang lain, melakukan pengawasan berlebihan terhadap pasangan.
3.    Kekerasan Seksual
Kekerasan seksual adalah suatu tindakan yang berkaitan dengan pelecehan seksual tanpa persetujuan korban seperti: memaksa pasangan untuk melakukan tindakan seksual yang menjijikkan, dan memaksa pasangan untuk melakukan hubungan seksual.

    Sebenarnya, apa 'sih' yang menyebabkan seorang laki-laki melakukan kekerasan terhadap perempuan pada masa pacaran? Bukankah mereka berpacaran karena cinta? Ternyata, beberapa penyebab laki-laki melakukan kekerasan pada perempuan pada masa pacaran, antara lain:
  1. Laki-laki melakukan intimidasi terhadap sikap orang tua mereka dalam memperlakukan orang lain.
  2. Laki-laki mengalami kekerasan dalam rumah tangga pada masa kanak-kanaknya.
  3. Adanya persepsi bahwa hanya sedikit orang yang menyadari akibat dari kekerasan yang dilakukan.
  4. Laki-laki berusaha menjaga citra laki-laki yang ?%u20AC%u02DCmacho?%u20AC%u2122 dan hal ini mendapat dukungan dari masyarakat.

Memang tak dapat dipungkiri bahwa budaya kekerasan pada perempuan memang masih melekat dalam diri sebagian besar masyarakat. Sayangnya hal tersebut dianggap sebagai hal yang biasa dan akhirnya tidak berusaha untuk mencari pertolongan, seperti misalnya: datang kepada Psikolog. Kemudian yang menjadi pertanyaannya sekarang adalah: "Jika perempuan mengetahui bahwa kekerasan yang dilakukan oleh pacarnya merupakan suatu hal yang tidak seharusnya terjadi dan telah melanggar HAM, tetapi mengapa perempuan menerima begitu saja kekerasan yang dilakukan oleh pacarnya? Apakah demi cinta ataukah ada hal yang lain?"

Beberapa penyebab perempuan menerima kekerasan yang dilakukan oleh pasangannya, antara lain:
  1. Perempuan memiliki keyakinan bahwa kekerasan yang dilakukan oleh pasangannya merupakan hal yang wajar
  2. Perempuan mempersepsi bahwa lebih baik memiliki pasangan yang sesekali melakukan kekerasan daripada tidak memiliki pasangan sama sekali.
  3. Perempuan takut apabila pacarnya membalas dendam.
  4. Perempuan berharap pada suatu hari nanti pacaranya akan berubah.
  5. Perempuan mempersepsi bahwa kekerasan akan lenyap apabila sudah memiliki anak.

Setelah Anda mengetahui apa penyebab laki-laki melakukan kekerasan dan perempuan sebagai pacar juga menerima begitu saja perlakuan pacarnya maka Anda perlu segera mengoreksi diri anda sendiri, apakah anda juga sedang mengalami hal ini? Ingat! Kekerasan terhadap perempuan dapat terjadi pada siapa saja.

    Apakah ada dampak dari kekerasan pada masa pacaran? Tentu saja jawabannya adalah ada, Dan apakah dampak tersebut berbahaya pada perempuan? Kekerasan akan selalu berdampak negatif dan akibat yang paling fatal adalah luka psikologis yang memerlukan waktu penyembuhan yang cukup lama dan tidak dapat dipastikan. Berikut ini adalah beberapa dampak kekerasan pada masa pacaran, antara lain:
  1. Menurunnya rasa percaya diri.
  2. Meningkatnya rasa tidak berdaya.
  3. Meningkatnya rasa cemas.
  4. Menurunnya produktivitas kerja atau prestasi.
  5. Mengalami sakit fisik


Bagaimana Mengatasi Kekerasan pada Masa Pacaran

Sebenarnya solusi yang dilakukan akan berhasil jika pasangan yang sedang berpacaran saling mengerti sifat masing-masing dan dapat mengatakan ?tidak untuk kekerasan. Selain itu, solusi untuk mengatasi kekerasan pada masa pacaran dapat dilakukan dengan membantu pasangan yang melakukan kekerasan untuk memiliki rasa percaya diri (biasanya pasangan yang melakukan kekerasan memiliki riwayat kekerasan dan kekurangan kebutuhan kasih sayang / afiliasi) dan bersikap tegas pada pasangan yang melakukan kekerasan (menolak kekerasan yang dilakukan oleh pasangan). Jika pasangan tetap melakukan kekerasan, sebaiknya Anda berpikir 2x untuk meneruskan hubungan dengannya karena Anda dapat terjebak dalam 'lingkaran setan'. Selain itu, Anda sebagai pelaku kekerasan sebaiknya segera meminta bantuan pada Psikolog untuk mendapatkan terapi yang tepat untuk mengatasi pikiran-pikiran irasional, mungkin anda mengalami kecanduan cinta sehingga melakukan kekerasan pada pacar Anda.

Bagaimana cara untuk mencegah terjadinya kekerasan pada masa pacaran? Untuk mencegah terjadinya kekerasan pada masa pacaran, anda perlu membuat komitmen dengan pacar Anda dan menerapkan pacaran yang sehat. Adapun, pacaran yang sehat meliputi hal-hal sebagai berikut:
  1. Adanya rasa saling percaya.
  2. Adanya rasa saling menghargai.
  3. Adanya waktu untuk dihabiskan oleh mereka berdua tetapi juga menghargai waktu untuk saling sendiri.
  4. Tidak mengisolasi pasangan.
  5. Tidak memanipulasi pasangan.
  6. Adanya rasa saling memahami perasaan masing-masing.
  7. Hubungan pacaran juga disertai dengan hubungan pertemanan yang akrab di antara mereka berdua.

Akhirnya, menutup artikel ini, saya berharap semoga uraian di atas berguna bagi para pembaca sehingga pembaca turut berpartisipasi untuk menghentikan budaya kekerasan yang terjadi masyarakat kita.
  
Daftar pustaka:
Venny A (2003). Memahami Kekerasan terhadap Perempuan. Jakarta: Yayasan Jurnal Perempuan.

Apakah Saya Orang Aneh ?


Keanehan Positif & Negatif 
Dalam prakteknya, tidak semua kata "aneh" yang kita alamatkan ke orang lain atau yang dialamatkan ke kita itu positif atau negatif. Konon, ketika pendiri perusahaan air minum kemasan yang kini kita kenal Aqua itu dulu ingin meluncurkan produknya, banyak yang mengatakan ini ide aneh. "Masak air putih dijual?" mungkin begitu komentarnya.

Bukan hanya masyarakat awam saja yang mengatakan seperti itu. Konon, seperti yang ditulis Pak Hermawan Kertajaya, survei pasar yang dilakukan orang-orang yang disuruh perusahaan saat itu juga menghasilkan rekomendasi yang sama. Tapi, si pendiri rupayanya tak mau begitu saja percaya dengan omongan orang dan hasil survei.

Ia akhirnya lebih memilih mendengarkan naluri bisnisnya. Ia tetap akan menjual air putih yang dikemas itu, seperti yang ia lihat di luar negeri. Setelah menjalankan idenya, ternyata kenyataan berkata lain. Air putih kemasan itu kini menjadi kebutuhan orang. Bukan hanya orang kota saja yang membutuhkan. Orang di kampung yang punya hajatan juga membelinya.

Dalam bisnis, keanehan seperti itu sangat positif. Makanya, sebutan untuk orang seperti itu bukan orang aneh, tetapi sebutan-sebutan yang memuliakan, misalnya kreatif, inovatif, dan percaya diri. Ini semua adalah sebutan untuk orang yang memiliki konstruksi mental yang bagus: punya ide yang di luar "box" masyarakat, berani menjalankan, bisa dijalankan dengan tidak melanggar, dan mendatangkan benefit atau profit.

Menurut ukuran nilai tertentu, bisalah keanehan semacam itu dikatakan positif. Lalu, keanehan yang negatif itu seperti apa? Dalam prakteknya, ada atribut aneh yang konotasinya sangat negatif atau negatif. Ini biasanya dialamatkan untuk menyebut perilaku seseorang yang bertentangan dengan standar normalnya akal sehat manusia yang normal, tidak menambah nilai plus apapun bagi pelakunya atau orang di sekitarnya, dan seringkali merugikan atau mencelakakan orang.

Hampir secara umum, perilaku aneh demikian disebabkan, antara lain oleh kebodohon, ketidaksadaran, dan kekacauan psikis. Bodoh di sini bukan tidak punya pengetahuan atau tidak pernah sekolah. Bodoh adalah menutup diri dari pencerahan atau keras kepala dengan egoisme kebenaran sendiri yang bertentangan dengan kebenaran universal.

Misalnya kita memedomani filsafat hidup tertentu atau pemahaman keagamaan tertentu yang secara riil dan secara akal sehat tidak menambah nilai plus apa-apa buat kita dan orang sekitar, bahkan sering merugikan, tetapi itu kita pertahankan habis-habisan atas dasar kebenaran-sendiri. Lama kelamaan kita akan menjadi orang aneh menurut normalnya orang yang normal.

Sedangkan ketidaksadaran di sini mengarah pada pengertian rendahnya sensitivitas pada kebutuhan, keinginan, dan harapan orang di sekitar (low sensitivity of feeling). Kalau umumnya orang butuh waktu sekitar 15 menit-an untuk mandi, tapi kita butuh satu jam lebih, sampai pada tingkat yang sangat merugikan banyak pihak,  bisa-bisa kita jadi orang aneh. Merokok, atau parkir sembarangan termasuk ciri sensitivitas yang rendah.

Dalam literatur Psikologi, ada beberapa istilah yang bisa kita jadikan rujukan untuk menjelaskan berbagai bentuk kepribadian dan perilaku yang aneh itu. Misalnya saja ada istilah normal, abnormal, atau personality disorderUntuk mengecek perilaku kita sehari-hari, mari kita lihat satu persatu. 


Normal & Abnormal
Standar untuk menyebut apakah seseorang itu normal atau abnormal dalam psikologinya terasa cukup tinggi dari yang kita bayangkan. Seperti yang dijelaskan oleh Philip G. Zimbardo dalam bukunya Psychology and Life (1979), seseorang disebut normal apabila memenuhi kriteria sebagai berikut:

  1. Punya kemampuan beradaptasi secara efektif dan positif terhadap tuntutan situasi.  Jika kita selalu bilang pusing memikirkan pekerjaan di kantor, mungkin kenormalan kita perlu ditingkatkan. Kenapa? Yang namanya kantor itu pasti situasinya menuntut, entah dengan deadline atau target. Lain soal kalau itu terjadi secara insidentil.   
  2. Bisa perform atau berperilaku yang selaras dengan kapasitas. Kalau kita secara fakta tidak / belum memiliki kapasitas untuk memperjuangkan aspirasi masyarakat yang kita wakili, tapi kita ngotot ingin jadi caleg, bahkan sampai rela "buang-buang duit" dan itu masih jauh dari kemungkinan untuk "pasti jadi", mungkin kenormalan kita perlu ditingkatkan.
  3. Punya keseimbangan mental, sikap, emosi, dan tempramen dalam meresponi lingkungan / keadaan.

Entah tanggal berapa di bulan Juni tahun ini, saya hampir mau menabrak mobil yang mendadak berhenti di depan saya dengan jarak dekat. Di malam yang hujan dan jalan lagi lengang, orang itu berhenti mendadak dan langsung mengeluarkan senjata tajam kemudian diacungkan ke orang yang di depannya. Anak dan istrinya keluar untuk melerai. Terjadilah percekcokan yang mengundang kerumunan massa.

Setelah tanya-tanya, ternyata sebabnya adalah terserempet kaca spion. Kalau berpikir normal, pasti cara demikian tidak akan kita tempuh. Kenapa? Potensi adanya bahaya terlalu besar dibanding dengan sumber masalah. Di samping itu juga akan membayakan dan menggangu orang lain yang tidak punya urusan. Padahal, pasti ada cara yang tidak se-berbahaya itu.


Personality Disorder
Dalam Psikologi  juga dikenal istilah Personality Disorder? Istilah ini dipakai untuk menjelaskan salah satu tanda adanya pola perilaku yang melebihi batas normal atau kurang dari nomal (Psychology & Life). Sebagian kategorinya bisa dijelaskan seperti berikut:  
  • Inadequate personality (ketidaksanggupan): perilaku yang tidak efektif, tanggungjawab yang rendah, atau kematangan emosi dan berpikir yang di bawah normal. Sedikit-dikit ingin pindah kerja, ingin cerai dengan pasangan setiap ada persoalan, atau ingin mati saja.    
  • Explosive personality: cepat meledak meski terkadang tampil sebagai orang yang enak diajak bergaul, main pukul, sedikit-sedikit konflik dengan siapa saja.
  • Passive-agressive personality:  keras kepala diam-diam, mendendam diam-diam, atau cepat mengekspresikan permusuhan dengan cara tertutup.
  • Obsessive-compulsive personality: terlalu rigid dalam mengontrol-diri atau mengatur orang lain sehingga hidupnya menjadi sangat ruwet atau terlalu perfeksionis dalam menilai diri dan orang lain. Satu jam sekali menelpon keberadaan pasangan setiap hari dan bertanya sampai ke hal yang paling kecil seperti polisi.
  • Antisocial personality: kerap memunculkan prilaku yang memancing permusuhan dengan orang lain, semaunya sendiri tanpa peduli dengan norma yang berlaku pada grup, lingkungan atau masyarakat, egois, dan sering merasa tak berdosa dengan kesalahannya atau mungkin malah merasa benar.

Nah, tentu saja dalam prakteknya, setiap kategori di atas memiliki gradasi atau stadium yang berbeda-beda, dari mulai yang paling rendah sampai ke yang paling parah.  Selain itu perlu dibedakan juga, apakah perilaku di atas muncul sebagai reaksi yang sifatnya temporer dan insidentil ataukah sudah menjadi tabiat dan sifat.


Selalu Ada Permulaan Yang Tepat
Baik itu ke-abnormal-an atau personality disorder, biasanya dikategorikan sebagai mental illness. Mengobati penyakit mental dengan penyakit fisik itu ada sedikit perbedaan. Untuk penyakit fisik, obatnya sebagian besar dari luar, entah dari dokter, ramuan tradisional atau lainnya. Sama seperti kebutuhan fisiologis manusia.

Tapi, untuk penyakit mental, terutama dalam hal ini personality disorder, obatnya sebagian besar harus dari dalam. Artinya, sejauh kita ingin memperbaikinya, berarti selalu ada permulaan yang tepat untuk melakukannya. Keinginan atau dorongan untuk berubah inilah yang menjadi kunci. Semakin kuat dorongan kita, berarti semakin besar potensi keberhasilannya.

Mungkin ada pertanyaan, darimana dorongan itu dapat diperkuat? Dorongan dapat diperkuat dengan senantiasa memunculkan ketidakpuasan dari apa yang kita rasakan terhadap diri kita; ketidakpuasan karena merasa "belum berbuat apa-apa, belum melakukan apa-apa" dan bukan tidak puas karena merasa  "tidak punya apa-apa".  Jangan sampai kita gunakan ketidakpuasan itu sebagai pemicu konflik diri. Gunakan ketidakpuasan itu untuk memperkuat dorongan berubah ke arah yang lebih baik.

Selain itu, ciptakan pola berpikir yang terbuka. Berpikir terbuka bukan semata bisa menerima pandangan orang lain. Berpikir terbuka adalah kemauan untuk belajar dari orang lain atau menghilangkan egoisme  "kebenaran sendiri". Banyak orang yang tidak sanggup mengubah dirinya karena selalu merasa paling atau sudah benar atau tidak merasa kurang.

Kenapa Saya Gagal Mengubah Hidup


Isu Paling Dekat
Biasanya, sehabis melewati momen-momen yang kita anggap penting, seperti sehabis Lebaran, Natal, Tahun Baru, atau bahkan ulang tahun, kita memiliki planning untuk mengubah diri supaya lebih baik atau lebih dari yang kemarin, di hal-hal yang kita anggap utama, misalnya pekerjaan, keluarga, kualitas hidup pribadi, dan lain-lain.

Dipikir-pikir, memang kebiasaan semacam itu sudah pas. Sejumlah momen yang kita rayakan itu, pada umumnya mengandung pesan untuk melakukan perubahan. Sebut saja misalnya Idul Fitri. Id artinya kembali, sedangkan Fitri bisa diartikan suci, bersih, naluri, atau menang. Natal artinya lahir, symbol dari hidup baru. Secara naluri, memang kita ini pemenang atau bersih. Supaya kualitas itu terjaga selalu, tentu butuh pembaruan dan perubahan. Selain memang ada momen yang hakekatnya mengandung pesan untuk  berubah itu, secara naluri pun kita punya suara dan dorongan batin yang sama. Mana ada sih manusia yang ingin melihat hidupnya tidak berubah? Pasti semua manusia ingin melihat ada perubahan yang terjadi dalam hidupnya, entah apa atau dalam hal apa.
 
Di samping itu, terkait dengan perubahan, ada kekuatan lain yang kerap memaksa orang untuk berubah, walaupun pada akhirnya kekuatan itu tetap menawarkan pilihan antara mau berubah atau tetap tidak berubah. Ini misalnya saja masalah atau problem yang kita hadapi sehari-hari. Sejatinya, ini menawarkan perubahan. Kalau kita gagal, kegagalan itu menyuruh kita mengubah diri, entah tekniknya, caranya, memilih momennya, dan lain-lain.
 
Kekuatan eksternal lain yang juga menawarkan perubahan adalah fase pertumbuhan alamiah yang harus kita lalui. Menurut ukuran normalnya, mau tidak mau kita akan berkeluarga, mau tidak mau kita akan jadi dewasa senior atau menjadi tua, dan seterusnya. Ini semua adalah fase pertumbuhan yang menawarkan perubahan, entah perubahan paradigma atau prestasi. 
 
Dilihat dari penjelasan seperti di atas, berarti perubahan itu sebetulnya adalah isu yang paling dekat persoalan hidup manusia. Cuma, walaupun paling dekat, namun hubungan kita dengan makhluk yang bernama perubahan itu, seringkali tidak jelas dan mengandung sekian paradok. Buktinya, yang kita takuti justru perubahan, meski kita menginginkan perubahan. Yang tidak kita maui adalah mengubah diri, walaupun kita selalu berdoa agar ada perubahan dalam diri.
 
 
Apa yang Perlu Diaudit?
Meski perubahan itu isu paling dekat atau keinginan yang muncul pada ranking atas di pikiran manusia, tapi jika dilihat dari prakteknya, banyak orang yang kecewa atau malah patah semangat untuk berubah. Mungkin malu sama janji diri yang sudah ditulis ribuan kali di agenda, namun hasilnya menyebalkan; tak ada perubahan apapun. So, what?%u20AC%u2122s the next? Kalau melihat hukum kehidupannya, jika ada kebaikan yang benar-benar kita inginkan, namun tak berjalan sesuai rencana, berarti ada sesuatu yang perlu kita audit ulang. Hal-hal yang perlu diaudit itu antara lain:
 
Pertama, menjalani proses. Meminjam istilah dalam ajaran Tao, kreasi manusia itu diciptakan oleh dua hal, yaitu: a) prinsip dan b) proses. Prinsipnya, jika kita ingin melihat ada perubahan dalam hidup kita, maka kita harus berubah. Prinsip ini tidak bisa diganggu-gugat, mutlak. Supaya perubahan itu terjadi, kita harus menjalani proses perubahan. Soal itu harus kontinyu atau tidak, berat atau ringan, radikal atau incremental,  ini tergantung skala perubahan yang kita inginkan.
 
Dalam menjalani proses itu, ada pesan agama yang pas untuk kita ingat.  Umumnya, sebelum kita melihat perubahan yang menyenangkan, kita akan diuji dengan beberapa hal yang kurang menyenangkan. Ujian itu dimaksudkan untuk membuktikan level kesabaran, kesungguhan, dan karakter (bukti diri); apakah kita hanya sekedar mengkhayalkan perubahan atau menjalani prosesnya.
 
Kedua, struktur langkah. Kalau meminjam istilah dalam manajemen, objek yang kita ingin ubah itu dikelompokkan menjadi dua, yaitu: a) Yang mudah diubah, dan b) Yang sulit diubah.  Ingin mengubah nasib tidak bisa dipahami seperti kita ingin mengubah berhenti merokok. Secara teori, berhenti merokok itu mungkin hanya butuh tekad dan tindakan. Tapi, mengubah nasib tak cukup hanya itu. Butuh tekad, sikap mental, tindakan, pengetahuan, keahlian, lingkungan, dan itu berjalan secara kontinyu, tidak on-off.
 
Ketiga, menemukan kesesuaian. Hampir semua perubahan fundamental itu menghadapi keterbatasan, entah materi, finansial, orang yang kita kenal, atau keterbatasan yang muncul dari keadaan eksternal tertentu. Keterbatasan itu sejatinya tidak menuntut kita mundur (kecuali kita memilihnya), melainkan menuntut upaya untuk menemukan format perubahan yang benar-benar ?%u20AC%u0153gue banget?%u20AC?. Intinya, semua orang bisa menciptakan perubahan, asalkan menggunakan kreativitasnya untuk melihat dirinya dan lingkungannya.
 
 
Sinergi Antara Logika Dan Iman
Kalau melihat dari susahnya, memang mengubah diri itu banyak susahnya. Karena itu, secara motivasi, kita disarankan jangan melihat susahnya, melainkan melihat hasilnya. Bayangkan sesering mungkin keindahan hidup yang akan kita nikmati jika perubahan itu berhasil kita lakukan!
 
Supaya kita terus bisa membayangkan, biasanya tak cukup hanya bermodalkan kalkulasi logis, melainkan butuh kalkulasi iman, harapan optimisme, keyakinan, atau modal mental. Jika kita terus menghitung kesusahannya secara logika semata, bisa-bisa kita kalah perang dulu. Tapi jika kita hanya mengandalkan modal iman tanpa akal (logika), ini juga kurang sempurna proses dan hasilnya. Intinya, harus sinergis.
 
Kalkulasi logis itu kita butuhkan untuk menyikapi persoalan yang sifatnya harus diselesaikan dengan nalar. Misalnya kita butuh dana untuk perubahan. Tentu tak cukup hanya berdoa, melainkan perlu ada upaya yang berbasiskan nalar. Sedangkan kalkulasi iman itu sangat dibutuhkan untuk menyikapi persoalan yang sifatnya hanya bisa dijalani berdasarkan prinsip yang sudah mutlak benarnya, misalnya ketekunan, ketelatenan, komitmen pada yang baik, dan seterusnya.
 
Selama bulan puasa kemarin, sempat beberapa kali saya bertemu dengan seseorang yang punya jabatan publik sebagai bupati. Menurut kalkulasi nalar, orang ini tidak bisa sekolah, boro-boro jadi bupati. Dari umur 5 tahun, dia harus mencari makan sendiri dengan berjualan apa saja. Bahkan sempat mau ikut-ikutan ngamen di lampu merah. Di setiap jenjang pendidikan yang dilalui, selalu mendapatkan ancaman DO karena tidak bisa bayar. Cuma, kakeknya mengajarkan kalkulasi iman. ?%u20AC%u0153Kalau orang jahat saja dikasih jalan oleh Tuhan, masak kamu yang mau baik tidak dikasih??%u20AC? Ini kalkulasi iman yang bisa ditiru. Entah prosesnya seperti apa, tapi prinsipnya, bapak ini lulus sampai S1. Bahkan sekarang ini sedang menyelesaikan S3-nya di universitas ternama di Jawa Barat.
 
 
Jangan Sampai Melemahkan Diri
Yang payah adalah ketika kita membias, mengada-ada atau terlalu menjadikan kesusahan sebagai pembenar untuk berhenti menginisiatifkan perubahan. Meminjam istilah dalam agama, manusia itu dikelompokkan menjadi dua. Pertama adalah orang yang melemahkan dirinya. Misalnya, kita ini sebetulnya punya kapasitas dan kesempatan untuk berubah karena ada sekian fasilitas yang bisa kita gunakan, entah di rumah, di kantor, atau dimana saja dan tidak ada juga orang yang melarang kita.
 
Namun, kitanya selalu membikin alasan yang mengada-ada, tidak punya inilah, tidak ada itulah, dan seterusnya. Padahal, semua itu adalah kemalasan kita sendiri. Orang semacam ini disebutnya orang yang menindas dirinya sendiri. Kepada malaikat, Tuhan menyuruh untuk menolak alasan-alasan yang mengada-ada itu.
 
Kedua adalah orang yang dilemahkan oleh kekuatan zalim. Misalnya pada saat era penjajahan dimana sekolah dibatasi, perpustakaan ditutup, perjuangan dikebiri, buku dibatasi, dan seterusnya. Ini namanya orang yang menindas orang lain. Doanya dikabulkan dan dosanya dimaafkan. Lebih-lebih jika orang itu tetap mau berjuang demi perubahan, meski dihimpit keterbatasan, seperti para pahlawan kita, seperti para penulis yang bisa menyelesaikan karyanya di penjara. Wah, ini luar biasa istimewanya.
 
Cuma, menurut kritiknya Tuhan, kebanyakan manusia itu suka menindas, entah kepada dirinya atau kepada orang lain, dan suka mengingkari nikmat. Buktinya cukup banyak. Misalnya, kita merasa sudah mati langkah untuk mengubah diri padahal tidak ada satu pun yang menghalangi kita untuk mengembangkan diri. Kita bebas cari informasi, bertanya ke siapa saja, belajar dengan cara apa saja, dan seterusnya. Kalau meminjam istilahnya Pak Bob Sadino, jangan sampai kita ini jadi orang yang  cepat terkendala. Kita ingin jadi pengusaha, tapi tidak punya modal. Begitu dikasih modal, kita nyerah lagi karena karena kekurangan koneksi. Begitu dikasih koneksi, kita nyerah lagi, karena merasa tidak mudah mengelola koneksi itu, dan seterusnya dan seterusnya.
 
Ada ungkapan lama yang pas untuk kita ingat dalam kaitannya dengan bahasan kita ini. Kata ungkapan itu, hidup kita menjadi payah bukan karena ada banyak orang yang menjahati kita, tetapi lebih karena ada sekian ide kita yang melemahkan kita sendiri (menindas diri sendiri). Orang jahat memang bikin payah kita juga, tetapi sejauh kita tidak menindas diri sendiri, efek kejahatannya tidak sampai total.
 
 
Beberapa Modal Psikologis
Kalau mengikuti sarannya Paulo Coelho, penasehat spiritual UNESCO, lebih baik kita pernah gagal dan terus mengagendakan perubahan, ketimbang kita gagal karena tidak pernah menginisiatifkan perubahan, entah takut atau banyak alasan. Cuma, untuk hasil yang lebih baik, kita perlu memperbaiki modal psikologis guna mendapatkan berbagai modal yang kita inginkan.
 
Beberapa modal psikologi yang sudah sering kita bahas di sini antara lain: kreatif (banyak akal), percaya diri (meyakini bahwa kitalah yang bertanggung jawab atas nasib kita), memperbaiki pengelolaan stress (menggunakan ketidakpuasan untuk perubahan), membangun koneksi, menambah keahlian dan kesalehan, memunculkan komitmen intrinsik, memiliki motivasi yang tinggi, dan kesediaan untuklearning, baik itu secara generative atau adaptative.
 
Dengan semua modal itu, tidak berarti kesulitan akan hilang. Ini tidak realistis. Tapi, jika modal kita makin bagus, bantuan yang ?%u20AC%u0153tak terduga-duga?%u20AC? akan semakin mudah datang. Itulah kenapa banyak studi yang akhirnya menyimpulkan bahwa faktor penyebab kegagalan tertinggi dalam perubahan itu bukan hambatannya, keterbatasannya, atau kesulitannya, melainkan sikap mentalnya.
 
Sikap mental yang paling berperan menggagalkan adalah sikap ?%u20AC%u0153Yes I am, But I am?%u20AC?. Kita selalu mengatakan ?%u20AC%u0153Yes?%u20AC? ketika ditanya soal ingin berubah atau tidak. Setiap saat kita mendambakan perubahan. Tapi, giliran ditanya proses apa yang sudah kita jalani, selalu kita mengatakan ?%u20AC%u0153But I am?%u20AC?, atau ada sekian alasan yang kita kemukakan sebagai pembenar kenapa kita belum menjalaninya.  Padahal, yang diperintahkan adalah begitu kita menginginkan perubahan-diri, nyatakan keinginan itu dengan tekad yang bulat (akan pasti kita jalankan), lalu bertawakal (menjalankan apa saja yang bisa kita jalankan lalu memasrahkan). Dengan cara ini, perubahan pasti terjadi, mungkin lebih baik, mungkin sama, atau mungkin baru sebagiannya.