Pendahuluan
Dalam
kehidupan sehari-hari, kita tidak bisa melepaskan diri dari aktivitasaktivitas
yang bernuansa hukum. Selama kita melakukan suatu aktivitas, kita berarti
melakukan tindakan hukum. Permasalahannya adalah, tidak banyak orang yang
menyadari bahwa dirinya telah melakukan aktivitas hukum. Agar kita menyadari
dan memahami bahwa kita telah melakukan aktivitas hukum, maka kita harus
memahami apa dan bagaimana sebenarnya hukum itu.
Setiap
Muslim seharusnya (atau bisa dikatakan wajib) memahami hukum dan
permasalahannya, khususnya hukum Islam. Aktivitas seorang Muslim sehari-hari
tidak bisa lepas dari permasalahan hukum Islam, baik ketika dia melakukan
ibadah kepada Allah atau ketika dia melakukan hubungan sosial (muamalah) di
tengahtengah masyarakat. Permaslahan yang muncul sama seperti di atas, yakni
tidak sedikit kaum Muslim yang belum memahami hukum Islam, bahkan sama sekali
tidak memahaminya, sehingga aktivitasnya banyak yang belum sesuai atau
bertentangan dengan ketentuan hukum Islam.
Memahami
hukum Islam secara mendalam bukanlah pekerjaan yang mudah. Dibutuhkan
kualifikasi yang cukup untuk melakukan hal itu dan juga membutuhkan waktu yang
tidak sebentar. Untuk melaksanakan hukum Islam diperlukan pemahaman yang benar
terhadap hukum Islam. Pemahaman terhadap hukum Islam masih menyisakan berbagai
persoalan, mulai dari pemahaman istilah atau konsep hukum Islam itu sendiri dan
beragamnya pendapat yang ada dalam setiap persoalan hukum Islam.
Pengertian Hukum Islam
Ada
beberapa istilah penting yang bisa digunakan untuk memahami pengertian hukum
Islam. Istilah-istilah tersebut adalah syariah, fikih, dan hukum Islam sendiri.
Ketiga istilah ini sering dipahami secara tidak tepat, sehingga terkadang
ketiganya saling tertukar. Untuk itu, perlu dijelaskan dulu masing-masing dari
ketiga istilah tersebut dan hubungan antara ketiganya, terutama hubungan antara
syariah dan fikih.
Syariah
berasal dari kata al- syari’ah yang berarti ‘jalan ke sumber air’ atau
jalan yang harus diikuti, yakni jalan ke arah sumber pokok bagi kehidupan
(Al-Fairuzabadiy, 1995: 659). Syariah disamakan dengan jalan air mengingat
bahwa barang siapa yang mengikuti syariah, ia akan mengalir dan bersih jiwanya
(AmirSyarifuddin, 1999, I: 1). Secara terminologis, syariah didefinisikan
dengan sebagai aturan-aturan yang ditetapkan oleh Allah agar digunakan oleh
manusia dalam hubungannya dengan Tuhannya, dengan saudaranya sesama Muslim,
dengan saudaranya sesama manusia, dengan alam, dan dalam kaitannya dengan kehidupannya
(Syaltut, 1966: 12). Muhammad Yusuf Musa mengartikan syariah sebagai semua
peraturan agama yang ditetapkan oleh Allah untuk kaum Muslim baik yang
ditetapkan dengan Alquran maupun dengan Sunnah Rasul (Musa, 1988: 31). Dari dua
definisi syariah di atas dapat dipahami bahwa syariah adalah aturan-aturan
Allah dan Rasulullah yang mengatur manusia dalam berhubungan dengan Tuhannya
maupun dengan sesamanya.
Adapun
kata ‘fikih’ berasal dari kata al-fiqh yang berarti pemahaman
ataupengetahuan tentang sesuatu (Al-Fairuzabadiy, 1995: 1126). Secara
terminologis fikih didefinisikan sebagai ilmu tentang hukum-hukum syara’ yang
bersifat amaliyah (praktis) yang digali dari dalil-dalil terperinci (Khallaf,
1978: 11; Zahrah, 1958: 6). Dari definisi ini dapat diambil beberapa pengertian
bahwa fikih merupakan suatu ilmu yang membahas hukum-hukum syara’ terutama yang
bersifat amaliyah dengan mendasarkan pada dalil-dalil terperinci dari Alquran
dan hadis.
Dengan
demikian jelaslah bahwa pengertian fikih berbeda dengan syariah baik dari segi
etimologis maupun terminologis. Syariah merupakan seperangkat aturan yang
bersumber dari Allah Swt. dan Rasulullah Saw. untuk mengatur tingkah laku manusia
baik dalam rangka berhubungan dengan Tuhannya (beribadah) maupun dalam rangka
berhubungan dengan sesamanya (bermuamalah). Sedangkan fikih merupakan
penjelasan atau uraian yang lebih rinci dari apa yang sudah ditetapkan oleh
syariah.
Adapun
istilah hukum Islam berasal dari dua kata dasar, yaitu ‘hukum’ dan ‘Islam’.
Hukum bisa diartikan dengan peraturan dan undang-undang (Tim Penyusun, 2001:
410). Secara sederhana hukum dapat dipahami sebagai peraturan-peraturan atau
norma-norma yang mengatur tingkah laku manusia dalam suatu masyarakat, baik
peraturan atau norma itu berupa kenyataan yang tumbuh dan berkembang dalam masyarakat
maupun peraturan atau norma yang dibuat dengan cara tertentu dan ditegakkan
oleh penguasa (Ali, 1996: 38). Adapun kata yang kedua, yaitu ‘Islam’, adalah
agama Allah yang diamanatkan kepada Nabi Muhammad Saw. Untuk mengajarkan
dasar-dasar dan syariatnya dan juga mendakwahkannya kepada semua manusia serta
mengajak mereka untuk memeluknya (Syaltut, 1966: 9). Dengan pengertian yang
sederhana, Islam berarti agama Allah yang dibawa oleh Nabi Muhammad Saw. untuk
disampaikan kepada umat manusia untuk mencapai kesejahteraan hidupnya baik di
dunia maupun di akhirat kelak. Dari gabungan dua kata ‘hukum’ dan ‘Islam’
itulah muncul istilah hukum Islam. Dengan kalimat yang lebih singkat, hukum
Islam dapat diartikan sebagai hukum yang bersumber dari ajaran Islam.
Dari
penjelasan di atas dapat dipahami bahwa kata hukum Islam yang sering ditemukan
pada literatur hukum yang berbahasa Indonesia secara umum mencakup syariah dan
fikih, bahkan terkadang juga mencakup ushul fikih (dasar-dasar fikih). Namun,
harus dipahami pula bahwa hukum Islam itu tidak sama persis dengan syariah dan
sekaligus tidak sama persis dengan fikih. Tetapi juga tidak berarti bahwa hukum
Islam itu berbeda sama sekali dengan syariah dan fikih. Yang dapat dikatakan
adalah pengertian hukum Islam itu mencakup pengertian syariah dan fikih, karena
hukum Islam yang dipahami di Indonesia ini terkadang dalam bentuk syariah dan
terkadang dalam bentuk fikih, sehingga kalau seseorang mengatakan hukum Islam,
harus dicari dulu kepastian maksudnya, apakah yang berbentuk syariah ataukah
yang berbentuk fikih. Hal inilah yang tidak dipahami oleh sebagian besar bangsa
Indonesia, termasuk sebagian besar kaum Muslim, sehingga hukum Islam terkadang
dipahami dengan kurang tepat, bahkan salah.
Hubungan
antara syariah dan fikih sangat erat dan tidak dapat dipisahkan. Syariah
merupakan sumber atau landasan fikih, sedangkan fikih merupakan pemahaman
terhadap syariah. Secara umum syariah adalah hukum Islam yang bersumber dari
Alquran dan Sunnah yang belum dicampuri daya nalar (ijtihad), sedangkan fikih
adalah hukum Islam yang bersumber dari pemahaman terhadap syariah atau
pemahaman terhadap nash, baik Alquran maupun Sunnah. Asaf A.A. Fyzee
membedakan kedua istilah tersebut dengan mengatakan bahwa syariah adalah sebuah
lingkaran yang besar yang wilayahnya meliputi semua perilaku dan perbuatan
manusia, sedang fikih adalah lingkaran kecil yang mengurusi apa yang umumnya
dipahami sebagai tindakan umum. Syariah selalu mengingatkan kita akan wahyu, ‘ilmu
(pengetahuan) yang tidak akan pernah diperoleh seandainya tidak ada Alquran
dan Sunnah; dalam fikih ditekankan penalaran dan deduksi yang dilandaskan pada
ilmu terus-menerus dikutip dengan
persetujuan. Jalan syariah digariskan oleh Allah dan Rasul-Nya, bangunan fikih ditegakkan
oleh usaha manusia. Dalam fikih satu tindakan dapat digolongkan pada sah atau
tidak sah, yajuzu wa ma la yajuzu (boleh atau tidak boleh). Dalam
syariah terdapat berbagai tingkat pembolehan atau pelarangan. Fikih adalah
istilah yang digunakan bagi hukum sebagai suatu ilmu, sedang syariah bagi hukum
sebagai jalan kesalehan yang dikaruniakan dari langit (Fyzee, 1974: 21).
Sumber Hukum
Islam
Secara
umum, sumber-sumber materi pokok hukum Islam adalah Alquran dan Sunnah Nabi
Muhammad Saw. Otoritas keduanya tidak berubah dalam setiap waktu dan keadaan.
Ijtihad dengan ra’yu (akal) sesungguhnya adalah alat atau jalan untuk menyusun
legislasi mengenai masalah-masalah baru yang tidak ditemukan bimbingan langsung
dari Alquran dan Sunnah untuk menyelesaikannya. Oleh karena itu, jelaslah bahwa
ijtihad dengan berbagai metodenya dipandang sebagai sumber hukum yang
berkewenangan dengan kedudukan di bawah Alquran dan Sunnah. Keotentikan
sumber-sumber pembantu yang merupakan penjabaran dari ijtihad hanyalah
ditentukan dengan derajat kecocokannya dengan dua sumber utama hukum yang
mula-mula dan tidak ditentang otoritasnya. Jika dirinci lebih khusus, yakni
dalam arti syariah dan fikih sebagai dua konsep yang berbeda, maka sumber hukum
bagi masing-masing berbeda. Syariah, secara khusus, bersumber kepada Alquran
dan Sunnah semata, sedang fikih bersumber kepada pemahaman (ijtihad) manusia
(mujtahid) dengan tetap mendasarkan pada dalil-dalil terperinci dari Alquran
dan Sunnah.
Secara
harfiah kata Alquran berasal dari bahasa Arab al-qur`an yang berarti
pembacaan atau bacaan (Munawwir, 1984: 1185). Sedang menurut istilah, Alquran
adalah kalam Allah yang diturunkan kepada Nabi Muhammad Saw. Melalui Malaikat
Jibril dengan menggunakan bahasa Arab sebagai hujjah (bukti) atas
kerasulan Nabi Muhammad dan sebagai pedoman hidup bagi manusia serta sebagai
media dalam mendekatkan diri kepada Allah dengan membacanya (Khallaf, 1978:
23).
Menurut
Ahmad Hasan (1984: 39), Alquran bukanlah suatu undang-undang hukum dalam
pengertian modern ataupun sebuah kumpulan etika. Tujuan utama Alquran adalah
meletakkan suatu way of life yang mengatur hubungan manusiadengan
manusia dan hubungan manusia dengan Allah. Alquran memberikan arahan bagi
kehidupan sosial manusia maupun tuntunan berkomunikasi dengan penciptanya.
Hukum perkawinan dan perceraian, hukum waris, ketentuan perang dan damai,
hukuman bagi pencurian, pelacuran, dan pembunuhan, semuanya dimaksudkan untuk
mengatur hubungan antara manusia dengan sesamnya. Selain aturan-aturan hukum
yang khusus itu Alquran juga mengandung ajaran moral yang cukup banyak. Oleh
karena itu, tidaklah benar kalau N.J. Coulson mengatakan bahwa tujuan utama
Alquran bukanlah mengatur hubungan manusia dengan sesamnya, tetapi hubungan
manusia dengan penciptanya saja (Coulson, 1964: 12).
Bila
dipahami secara mendalam, ternyata Allah tidak menurunkan Alquran dalam suatu
kehampaan, tetapi sebagai suatu tuntunan bagi seorang Rasul yang hidup dan
terlibat dalam suatu perjuangan yang nyata. Alquran lebih banyak memberikan rinisp-prinsip
dasar yang membawa seorang Muslim pada arah tertentu dapat menemukan jawaban
usahanya sendiri. Selanjutnya Alquran menyajikan hukumhukum atau dasar-dasar
Islam secara global yang sesuai dengan situasi dan kondisi yang selalu berubah
di segala tempat dan zaman. Jadi, bisa dikatakan bahwa Alquran adalah sebagai
tuntunan (hidayat), dan bukan kitab hukum. Alquran menunjukkan dan
menggariskan batas-batas dari berbagai aspek kehidupan. Tugas Nabi Muhammad
Saw. adalah untuk memberikan ukuran-ukuran kehidupan praktis yang ideal dalam
sinaran batas-batas yang dinyatakan Alquran. Sebenarnya perjalanan hukum Islam
menempuh proses yang panjang. Penafsiran Alquran pada masa-masa awal tidaklah
demikian rumit dan pelik sebagaimana masa-masa berikutnya. Metodologi
pengambilan kesimpulan dari Alquran tumbuh semakin lama semakin rumit dan
filosofis dengan dilakukannya kajian Alquran yang mendalam dan mendetail oleh
para ahli hukum pada masa-masa berikutnya. Batang tubuh hukum Islam kaya akan
contoh-contoh persoalan yang menjadikan para ulama berbeda pendapat di dalam
mengambil dasar hukumnya, sebagian mereka mendasarkan pada Alquran dan sebagian
yang lain mendasarkan pada Sunnah atau pendapat pribadinya, karena yang
terakhir ini menganggap bahwa ayat-ayat Alquran yang diajukan tidak relevan
dengan permasalahan yang sedang dibicarakan. Inilah yang kemudian membawa
kepada terjadinya perbedaan pendapat dalam fikih Islam.
Perlu
diketahui bahwa posisi Alquran sebagai sumber pertama dan terpenting bagi teori
hukum tidaklah berarti bahwa Alquran menangani setiap persoalan secara jelimet
(pelik) dan terperinci. Alquran, sebagaimana kita ketahui, pada dasarnya bukan
kitab undang-undang hukum, tetapi merupakan dokumen tuntunan spiritual dan
moral. Contoh-contoh yang sering dikutip oleh para orientalis, seperti yang diwakili
oleh Schacht, lebih banyak berkaitan dengan kasus-kasus yang aplikasinya secara
mendetail tidak diberikan oleh Alquran, seperti dalam hukum keluarga, hukum waris,
bahkan cara-cara beribadah dan yang berhubungan dengan masalah ritual lainnya
(Schacht, 1950). Walaupun pada umumnya ayat-ayat Alquran yang menyangkut hukum
bersifat pasti, tetapi selalu terbuka bagi penafsiran, dan aturanaturan yang
berbeda dapat diturunkan dari suatu yang sama atas dasar ijtihad. Inilah alasan
bagi perbedaan pendapat di antara ahli hukum dalam kasus-kasus seperti yang
disebut oleh Schacht.
Dari
uraian di atas dapat disimpulkan bahwa kedudukan Alquran sebagai sumber utama
hukum Islam berarti bahwa Alquran menjadi sumber dari segala sumber hukum dalam
Islam. Hal ini juga berarti bahwa penggunaan sumber lain dalam Islam harus
sesuai dengan petunjuk Alquran dan tidak boleh bertentangan dengan apa yang
ditetapkan oleh Alquran. Sumber
hukum Islam yang kedua adalah sunnah. Secara etimologis, kata sunnah berasal
dari kata berbahasa Arab al-sunnah yang berarti cara, adat istiadat
(kebiasaan), dan perjalanan hidup (sirah) yang tidak dibedakan antara
yang baik dan yang buruk. Ini bisa dipahami dari sabda Nabi yang diriwayatkan
oleh Muslim, “Barang siapa yang membuat cara (kebiasaan) yang baik dalam Islam,
maka dia akan memeroleh pahalanya dan pahala orang yang mengikutinya, dan
barang siapa yang membuat cara yang buruk dalam Islam, maka dia akan memeroleh
dosanya dan dosa orang yang mengikutinya” (Al-Zabidiy, t.t.: 244; Munawwir,
1984: 716; Al-Khathib, 1989: 17). Sunnah pada dasarnya berarti perilaku teladan
dari seseorang. Dalam konteks hukum Islam, Sunnah merujuk kepada model perilaku
Nabi Muhammad Saw. Karena Alquran memerintahkan kaum Muslim untuk menyontoh
perilaku Rasulullah, yang dinyatakan sebagai teladan yang agung, maka perilaku
Nabi menjadi ‘ideal’ bagi umat Islam (QS. al-Ahzab (33): 21 dan QS. al-Qalam
(68): 4).
Secara
terminologis, ada beberapa pemahaman tentang Sunnah. Menurut ahli hadis, Sunnah
berarti sesuatu yang berasal dari Nabi Saw. yang berupa perkataan, perbuatan,
penetapan, sifat, dan perjalanan hidup beliau baik pada waktu sebelum diutus
menjadi Nabi maupun sesudahnya (al-Khathib, 1989: 19).
Alquran
meminta kepada Rasulullah untuk memutuskan persoalan-persoalan yang dihadapi
kaum Muslimin dengan dasar wahyu (QS. al-Maidah [5]: 48-49). Meskipun demikian,
Alquran menyatakan bahwa Rasulullah adalah penafsir ayatayat Alquran (QS. al-Nahl
[16]: 44). Selanjutnya Alquran menegaskan fungsi Rasulullah, yaitu mengumumkan
wahyu kepada orang banyak, memberikan didikan moral kepada mereka, dan
mengajarkan kepada mereka kitab suci dan kearifan atau hikmah (QS. Ali
‘Imran [3]: 164). Alquran juga menjelaskan bahwa patuh dan cinta kepada Allah
harus dibuktikan dengan patuh kepada Rasul dan sebaliknya durhaka kepada Rasul
berarti durhaka kepada Allah (QS. Ali ‘Imran [3]: 31-32; QS. al-Nisa’ [4]: 80;
dan QS. al-Ahzab [33]: 36). Dengan demikian, Sunnah terkait erat dengan
Alquran, dan karenanya agak sulit untuk mengatakan bahwa keduanya adalah sumber
yang terpisah. Sunnahlah yang memberikan bentuk konkrit pada ajaran-ajaran
Alquran. Alquran misalnya menyebutkan perintah shalat dan zakat, tetapi tidak memberikan
perinciannya. Nabi Muhammadlah yang menjelaskannya dalam bentuk praktik.
Mengingat taat dan patuh kepada Nabi sebagai kewajiban, maka Sunnah, yaitu
model perilaku dari Nabi baik dalam bentuk ajaran maupun contoh, menjadi sumber
hukum. Istilah lain yang sering digunakan untuk menyebut Sunnah adalah hadis,
dan terkadang digunakan juga istilah khabar dan atsar (al-Khathib, 1989; al-
Shalih, 1988).
Bentuk
Sunnah bisa bermacam-macam. Sesuai dengan definisinya, bentuk Sunnah ada tiga
macam, yaitu ada yang berbentuk sabda Nabi (sunnah qauliyyah), ada yang
berbentuk perilaku Nabi (sunnah fi’liyyah), dan ada yang berbentu
penetapan Nabi atas perilaku sabahat (sunnah taqririyyah). Dari segi
derajatnya, Sunnah ada yang shauhih, hasan, dan dla’if, bahkan
ada yang maudlu’ (Sunnah palsu). Sedang dilihat dari segi jumlah
penyampainya, Sunnah ada yang mutawātir, masyhur, dan
ahad. Dan masih banyak lagi pembagian lain dari Sunnah atau hadis ini.
Sebagai
sumber hukum Islam kedua setelah Alquran, fungsi Sunnah adalah sebagai bayan
atau penjelas terhadap Alquran. Fungsi bayan ini bisa berupa salah
satu dari tiga fungsi, yaitu:
1)
menetapkan dan menegaskan hukum-hukum
yang ada dalam Alquran, seperti sabda Nabi tentang rukun Islam yang lima
merupakan ketegasan dari firman Allah Swt. yang memerintahkan shalat, zakat,
puasa, dan haji
2)
memberikan penjelasan arti yang masih
samar dalam Alquran atau memerinci apaapa yang dalam Alquran disebutkan secara
garis besar (tafshil), mengkhususkan apaapa yang dalam Alquran disebut
dalam bentuk umum (takhshish), atau memberi batasan terhadap apa yang
disampaikan Allah secara mutlak (taqyid), seperti perincian cara-cara
shalat yang diberikan oleh Nabi yang merupakan penjelasan dari perintah
melakukan shalat secara global dalam Alquran.
3)
menetapkan suatu hukum yang belum
ditetapkan oleh Alquran (tasyri’), seperti haramnya mengawini seorang perempuan
sekaligus mengawini bibinya secara bersamaan (Khallaf, 1978: 39-40).
Seiring
dengan dijadikannya Sunnah sebagai sumber hukum bagi kaum Muslim, maka pendapat
dan praktik dari para sahabat pun banyak yang dijadikan sumber hukum, dengan
alasan bahwa para sahabat adalah para pengamat langsung dari Sunnah Nabi.
Karena mereka bertahun-tahun lamanya bersama Nabi, diharapkan mereka tentu
mengetahui tidak hanya perkataan dan perilaku Nabi, tetapi juga ruh dan
karakter dari ‘Sunnah ideal’ yang ditinggalkan Nabi bagi generasi selanjutnya.
Meskipun pendapat mereka berbeda-beda, tetapi tetap ada pada ruh Sunnah Nabi,
dan dengan demikian tidak dapat dipisahkan dari Sunnah Nabi. Itulah sebabnya
mengapa para ahli hukum mazhab-mazhab awal sering berargumentasi atas dasar
keputusankeputusan hukum para sahabat. Inilah yang biasa dilakukan oleh Imam
Malik dan Imam Syafi’i misalnya (Ahmad Hasan, 1984: 47-48). Generasi
berikutnya, yaitu para tabi’in, juga memainkan peran yang penting dalam
perkembangan hukum Islam, karena mereka memiliki hubungan dengan para sahabat.
Keputusan-keputusan hukum mereka merupakan sumber hukum bagi mazhab-mazhab
awal. Imam Malik, misalnya, mengutip praktik dan pendapat para tabi’in setelah
mengutip Sunnah Nabi, dan begitu juga fuqaha’ awal lainnya.
Sumber
hukum Islam yang ketiga adalah ijtihad. Secara etimologis, kata ijtihad berasal
dari kata al-ijtihad yang berarti penumpahan segala upaya dan kemampuan
atau berusaha dengan sungguh-sungguh (Munawwir, 1984: 234). Secara
terminologis, ijtihad berarti mencurahkan kesanggupan dalam mengeluarkan hukum
syara’ yang bersifat ‘amaliyyah dari dalil-dalilnya yang terperinci baik
dalam Alquran maupun Sunnah (Khallaf, 1978: 216; Zahrah, 1958: 379). Dasar
hukum dibolehkannya ijtihad adalah Alquran, Sunnah, dan logika. Nash Alquran
dan Sunnah sangat terbatas jika dibandingkan dengan banyaknya peristiwa yang
dihadapi oleh umat manusia, sehingga perlu ditetapkannya aturan baru untuk
menghukumi semua permasalahan yang muncul dan belum diatur oleh Alquran dan
Sunnah. Pada prinsipnya ijtihad
bisa digunakan dalam dua hal. Pertama, dalam hal-hal yang tidak ada nash-nya
sama sekali. Dalam hal ini mujtahid dapat menemukan hukum secara murni dan
tidak berbenturan dengan ketentuan nash yang sudah ada, karena memang
belum ada nash-nya. Kedua, ijtihad dapat digunakan dalam hal-hal
yang sudah diatur oleh nash, tetapi penunjukannya terhadap hukum tidak
pasti (zhanniy al-dalalah). Nash hukum dalam bentuk ini bisa
memberikan kemungkinan-kemungkinan pemahaman. Dalam hal ini ijtihad berperan di
dalam menemukan kemungkinan-kemungkinan tersebut. Cara atau metode yang
ditempuh dalam rangka berijtihad bermacam-macam, yakni: ijma’, qiyas,
istihsan, mashlahah mursalah, istishhab, ‘urf, mazhab shahabiy, dan syar’u
man qablana.
Ruang Lingkup
Hukum Islam
Ruang
lingkup di sini berarti objek kajian hukum Islam atau bidang-bidang hukum yang
menjadi bagian dari hukum Islam. Ruang lingkup hukum Islam sangat berbeda
dengan hukum Barat yang membagi hukum menjadi hukum privat (hukum perdata) dan
hukum publik. Sama halnya dengan hukum adat di Indonesia, hukum Islam tidak
membedakan hukum privat dan hukum publik. Pembagian bidang-bidang kajian hukum
Islam lebih dititikberatkan pada bentuk aktivitas manusia dalam melakukan
hubungan. Dengan melihat bentuk hubungan ini, dapat diketahui bahwa ruang
lingkup hukum Islam ada dua, yaitu hubungan manusia dengan Tuhan (hablun
minallah) dan hubungan manusia dengan sesamanya (hablun minannas).
Bentuk hubungan yang pertama disebut ibadah dan bentuk hubungan yang kedua
disebut muamalah.
Dengan
mendasarkan pada hukum-hukum yang terdapat dalam Alquran, ‘Abd al-Wahhab
Khallaf membagi hukum menjadi tiga, yaitu hukum-hukum i’tiqadiyyah
(keimanan), hukum-hukum khuluqiyyah (akhlak), dan hukum-hukum ‘amaliyyah
(aktivitas baik ucapan maupun perbuatan). Hukum-hukum ‘amaliyyah inilah
yang identik dengan hukum Islam yang dimaksud di sini. Khallaf membagi
hukum-hukum ‘amaliyyah menjadi dua, yaitu hukum-hukum ibadah yang
mengatur hubungan manusia dengan Tuhannya dan hukum-hukum muamalah yang
mengatur hubungan manusia dengan sesamanya (Khallaf, 1978: 32).
Hakikat
ibadah menurut para ahli adalah ketundukan jiwa yang timbul karena hati
merasakan cinta akan yang disembah (Tuhan) dan merasakan keagungan-Nya, karena
meyakini bahwa dalam alam ini ada kekuasaan yang hakikatnya tidak diketahui
oleh akal (Ash Shiddieqy, 1985: 8). Karena ibadah merupakan perintah Allah dan
sekaligus hak-Nya, maka ibadah yang dilakukan oleh manusia harus mengikuti
aturan-aturan yang dibuat oleh Allah. Allah mensyaratkan ibadah harus dilakukan
dengan ikhlas (QS. al-Zumar [39]: 11) dan harus dilakukan secara sah sesuai
dengan petunjuk syara’ (QS. al-Kahfi [18]: 110). Dalam masalah ibadah berlaku
ketentuan, tidak boleh ditambah-tambah atau dikurangi. Allah telah mengatur
ibadah dan diperjelas oleh Rasul-Nya. Karena ibadah bersifat tertutup (dalam
arti terbatas), maka dalam ibadah berlaku asas umum, yakni pada dasarnya semua
perbuatan ibadah dilarang untuk dilakukan kecuali perbuatan-perbuatan itu
dengan tegas diperintahkan (Ali, 1996: 49).
Berbeda
dengan masalah ibadah, ketetapan-ketetapan Allah dalam masalah muamalah
terbatas pada yang pokok-pokok saja. Penjelasan Nabi Saw., kalaupun ada, tidak
terperinci seperti halnya dalam bidang ibadah. Oleh karena itu, bidang muamalah
terbuka sifatnya untuk dikembangkan melalui ijtihad. Karena sifatnya yang
terbuka tersebut, dalam bidang muamalah berlaku asas umum, yakni pada dasarnya
semua akad dan muamalah boleh dilakukan, kecuali ada dalil yang membatalkan dan
melarangnya (Ash Shiddieqy, 1985: 91). Dari prinsip dasar ini dapat dipahami
bahwa semua perbuatan yang termasuk dalam kategori muamalah boleh saja
dilakukan selama tidak ada ketentuan atau nash yang melarangnya. Oleh
karena itu, kaidah-kaidah dalam bidang muamalah dapat saja berubah seiring
dengan perubahan zaman, asal tidak bertentangan dengan ruh Islam. Dilihat dari
segi bagianbagiannya, ruang lingkup hukum Islam dalam bidang muamalah, menurut
‘Abd al-Wahhab Khallaf (1978: 32-33), meliputi:
1) hukum-hukum
masalah perorangan/ keluarga
2) hukum-hukum
perdata
3) hukum-hukum
pidana
4) hukum-hukum
acara peradilan
5) hukum-hukum
perundang-undangan
6) hukum-hukum
kenegaraan
7) hukum-hukum
ekonomi dan harta.
Karakteristik
Hukum Islam
Sebagai
suatu sistem hukum tersendiri, hukum Islam memiliki beberapa karakteristik dan
watak tersendiri yang membedakannya dari berbagai sistem hukum yang ada di
dunia. Di antara karaktersitik hukum Islam ini ada yang merupakan produk dari
watak hukum Islam itu sendiri, dan ada yang disebabkan oleh evolusinya dalam
mencapai tujuan yang diridoi Allah.
Secara
umum Muhammad Yusuf Musa (1988: 160-179) mengemukakan enam karakteristik dasar
dari hukum Islam, yaitu :
1.
Dasar-dasarnya yang umum berasal dari
wahyu Allah
2.
Aturan-aturan hukum Islam dibuat dengan
dorongan agama dan moral
3.
Balasan hukum Islam didapatkan di dunia
dan akhirat
4.
Kecenderungan hukum Islam komunal
5.
Dapat berkembang sesuai dengan
lingkungan, waktu, dan tempat
6.
Tujuan hukum Islam mengatur dan
memberikan kemudahan bagi kehidupan privat dan publik dan membahagiakan dunia
seluruhnya.
Sementara
itu, Fathurrahman Djamil mengemukakan lima sifat dan karakteristik hukum Islam,
yaitu:
1.
Sempurna
2.
Elastis
3.
universal dan dinamis
4.
sistematis
5.
bersifat ta’aqquli dan ta’abbudi
Dari
dua pendapat tentang karakteristik hukum Islam di atas dapat disimpulkan bahwa
hukum Islam mempunyai sifat, watak, dan karakteristik yang membedakannya dengan
sistem hukum manapun di dunia. Selanjutnya M. Yusuf Musa mengemukakan tiga
prinsip dasar hukum Islam, yaitu:
1.
tidak mempersulit dan memberatkan
2.
memperhatikan kesejahteraan manusia
secara keseluruhan
3.
mewujudkan keadilan secara menyeluruh
Sedang
Fathurrahman Djamil mengemukakan lima prinsip dasar hukum Islam, yaitu:
1.
meniadakan kepicikan dan tidak
memberatkan
2.
menyedikitkan beban
3.
ditetapkan secara bertahap
4.
memperhatikan kemaslahatan manusia
5.
mewujudkan keadilan yang merata
Tujuan Hukum
Islam
Dalam
khazanah ilmu ushul fikih, tujuan hukum Islam sering disebut maqashid
al-syari’ah. Yang menjadi bahasan utama dalam maqashid al-syari’ah adalah
masalah hikmah dan ‘illah ditetapkannya suatu hukum (Djamil, 1997:
123). Kajian maqashid al-syari’ah merupakan kajian yang penting dan
menarik dalam bidang ushul fikih. Dalam perkembangan selanjutnya, kajian
ini merupakan kajian utama dalam filsafat hukum Islam, sehingga pada
akhirnya istilah maqashid al-syari’ah identik dengan filsafat hukum
Islam.
Tujuan
hukum Islam harus diketahui oleh mujtahid (orang yang melakukan ijtihad) dalam
rangka mengembangkan pemikiran hukum dalam Islam secara umum dan menjawab
persoalan-persoalan hukum kontemporer yang kasusnya tidak diatur secara
eksplisit oleh Alquran dan Sunnah. Semua ketentuan hukum Islam (syariah) baik
yang berupa perintah maupun larangan, sebagaimana tertera dalam Alquran dan
Sunnah, mempunyai tujuan tertentu. Tidak ada satu ketentuan pun dalam syariah
yang tidak mempunyai tujuan. Hukum Islam datang ke dunia membawa missi yang
sangat mulia, yaitu sebagai rahmat bagi seluruh manusia di muka bumi (QS. Yunus
[10]: 57; QS. al-Anbiya’ [21]: 107). Pembuat syariah (Allah dan Rasul-Nya)
menetapkan syariah bertujuan untuk merealisasikan kemaslahatan umum, memberikan
kemanfaatan, dan menghindarkan kemafsadatan bagi umat manusia (Yahya dan
Fathurrahman, 1993: 333). Terkait dengan ini, Abu Zahrah mengatakan bahwa
setiap hukum Islam memiliki tujuan yang hakiki, yaitu kemaslahatan. Tidak ada
perintah dalam Alquran dan Sunnah yang tidak memiliki kemaslahatan yang hakiki,
meskipun kemaslahatan itu tidak tampak dengan jelas. Kemaslahatan di sini
adalah kemaslahatan hakiki yang bersifat umum dan tidak didasarkan pada
pemenuhan hawa nafsu (Zahrah, 1958: 366).
Dengan
diketahuinya tujuan hukum Islam, dapat ditarik suatu peristiwa yang sudah ada
nashnya secara tepat dan benar dan selanjutnya dapat ditetapkan hukum peristiwa
yang tidak ada nashnya. Senada dengan pendapat di atas, al-Syathibi, seorang
pakar hukum Islam dari kalangan Mazhab Maliki, mengembangkan doktrin maqashid
al-syari’ah dengan menjelaskan bahwa tujuan akhir hukum Islam adalah satu,
yaitu kemaslahatan atau kebaikan dan kesejahteraan umat manusia. Pendapat
al-Syathibi didasarkan pada prinsip bahwa Tuhan melembagakan syariah (hukum
Islam) demi kemaslahatan manusia, baik jangka pendek maupun jangka panjang
(Mas’ud, 1995: 225).
Dalam
rangka mewujudkan kemaslahatan di dunia dan di akhirat, berdasarkan penelitian
para ahli ushul fikih, ada lima unsur pokok yang harus dipelihara dan
diwujudkan. Kelima unsur pokok itu adalah agama, jiwa, akal, keturunan, dan
harta. Seorang yang memelihara lima hal tersebut akan memperoleh
kemaslahatan, sedang yang tidak dapat memeliharanya akan mendapatkan kerusakan.
Prinsip
itulah yang dikembangkan oleh al-Syathibi dalam bukunya al- Muwafaqat fi
Ushul al-Ahkam. Dalam buku ini al-Syathibi memerinci dengan panjang
lebar doktrin maqashid al-syari’ah yang didasarkan pada al-kulliyyat
alkhams (lima kebutuhan pokok) seperti di atas. Lima kebutuhan pokok ini
masih dibagi menjadi tiga tingkatan, yaitu dlaruriyyat (kebutuhan
primer), hajjiyyat (kebutuhan sekunder), dan tahsiniyyat (kebutuhan
tertier). Kebutuhan primer adalah sesuatu yang harus ada untuk kemaslahatan
manusia. Jika kebutuhan ini tidak dipenuhi kehidupan manusia akan
menjadi kacau balau, kemaslahatan tidak tercapai, dan kebahagiaan
ukhrawi tidak bakal dapat diraih. Kebutuhan sekunder merupakan kebutuhan yang sangat dibutuhkan manusia
bukan untuk memelihara salah satu dari kebutuhan pokok yang lima, tetapi untuk
menghilangkan kesulitan-kesulitan dan kesempitan atau kekhawatiran dalam
menjaga kelima kebutuhan pokok (Zahrah, 1958: 371). Jika kebutuhan ini tidak
ada, tidak sampai membawa tata aturan hidup manusia berantakan dan kacau,
tetapi hanya membawa kesulitan. Oleh karena itu, prinsip utama kebutuhan
sekunder ini adalah untuk menghilangkan kesulitan, meringankan beban taklif,
dan memudahkan manusia dalam melakukan muamalah dan tukar-menukar manfaat
(Yahya dan Fathurrahman, 1993: 335). Adapun kebutuhan tertier merupakan
kebutuhan pelengkap bagi manusia dalam menunjang pemenuhan kebutuhan primer dan
sekunder. Tujuannya bukan untuk mewujudkan eksistensi kebutuhan yang lima atau
menghindari kesulitan dalam memelihara kebutuhan yang lima, akan tetapi untuk
menghilangkan ketakutan dan menjaga kemuliaan dalam memelihara kebutuhan yang
lima (Zahrah, 1958: 372). Pemenuhan terhadap kebutuhan tertier ini tidak
berimplikasi adanya hukum wajib pada yang diperintah dan hukum haram pada yang
dilarang sebagaimana yang berlaku pada dua tingkat lainnya (dlaruriyyat dan
hajjiyyat). Segala usaha untuk memenuhi kebutuhan tertier (tahsiniyyat)
ini menimbulkan hukum sunnah dan pengabaian kebutuhan ini menimbulkan hukum
makruh.
Penutup
Itulah
beberapa hal penting terkait dengan hukum Islam. Memahami hukum Islam secara
utuh membutuhkan perhatian dan keseriusan khusus. Tidak sedikit dari umat Islam
yang tidak peduli dengan masalah ini, meskipun sebenarnya setiap Muslim
dituntut untuk memiliki pemahaman yang cukup tentang hukum Islam, minimal untuk
mendasarinya dalam melaksanakan kewajiban-kewajiban agama. Apa yang diuraikan
di atas bukanlah dasar-dasar pokok untuk melaksanakan aturanaturan hukum Islam,
akan tetapi hanyalah sebagai pengantar untuk dapat memahami hakikat hukum
Islam. Karena itu, dibutuhkan perhatian khusus untuk dapat mengungkap
aturan-aturan hukum Islam yang lebih rinci lagi.
0 komentar:
Posting Komentar