BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar
Belakang
Manusia adalah mahkluk ciptaan Tuhan
yang sangat kompleks. Dalam kehidupan sehari-haripun kita selalu bersinggungan
dengan manusia-manusia lain. Karena kodrat manusia sebagai mahkluk sosial,
yaitu mahkluk yang tidak dapat hidup sendiri. Sadar atau tidak sadar setiap hari
sebenarnya kita sering di hadapkan dengan berbagai macam karakter manusia. Kita
seringkali berjumpa dan bersinggungan dengan orang yang bermacam-macam
karakter. Sesungguhanya karakter manusia itu di pengaruhi oleh berbagai macam
faktor. Untuk itu dalam pembahasan kali ini kita akan sama-sama membahas
tentang perilaku dan perkembangan manusia.
B. Tujuan
Tujuan dari makalah ini tidak lain
adalah untuk mengetahui seperti apa sajakah perilaku manusia itu. Faktor apa
saja yang mempengaruhi. Agar kita bisa memahami berbagai karakter manusia
supaya semakin mudah kita bersosialisasi dengan manusia lainnya.
BAB II
PEMBAHASAN
·
PENGERTIAN
Perkembangan adalah suatu proses pada
manusia yang tidak akan pernah berhenti. Manusia akan terus-menerus berkembang
atau berubah di pengaruhi oleh pengalaman atau belajar semasa hidupnya (Yusuf :
2008). Perkemabangan adalah proses yang
pasti akan dialami oleh setiap individu. Baik perkembangan yang arahnya ke arah
positif atau ke arah yang negatif.
Setiap
organisme, baik manusia maupun hewan, pasti mengalami peristiwa perkembangan
selama hidupnya. Perkembangan ini meliputi seluruh bagian dengan keadaan yang
dimiliki oleh organisme tersebut, baik yang bersifat konkret maupun yang
bersifat abstrak. Jadi, arti peristiwa perkembangan itu khususnya perkembangan
manusia tidak hanya tertuju pada aspek psikologis saja, tetapi juga aspek
biologis. Karena setiap aspek perkembangan individu, baik fisik, emosi,
inteligensi maupun sosial, satu sama lain saling mempengaruhi. Terdapat
hubungan atau korelasi yang positif diantara aspek tersebut. Apabila seorang
anak dalam pertumbuhan fisiknya mengalami gangguan (sering sakit-sakitan), maka
dia akan mengalami kemandegan dalam perkembangan aspek lainnya, seperti
kecerdasannya kurang berkembang dan mengalami kelabilan emosional.
1.
Perkembangan Fisik dan Perilaku Psikomotorik
a. Perkembangan fisik
Fisik atau tubuh manusia merupakan
sistem organ yang kompleks dan sangat mengagumkan. Semua organ ini terbentuk
pada periode pranatal (dalam kandungan). Berkaitan dengan perkembangan fisik
ini Kuhlen dan Thompson (Hurlock, 1956) mengemukakan bahwa perkembangan fisik
individu meliputi empat aspek, yaitu :
1)
Sistem syaraf, yang sangat
mempengaruhi perkembangan kecerdasan dan emosi.
2)
Otot-otot, yang mempengaruhi
perkembangan kekuatan dan kemampuan motorik.
3)
Kelenjar Endokrin, yang menyebabkan
munculnya pola-pola tingkah laku baru, seperti pada usia remaja berkembang
perasaan senang untuk aktif dalam suatu kegiatan, yang sebagian anggotanya terdiri
atas lawan jenis.
4)
Struktur Fisik/Tubuh, yang meliputi
tinggi, berat, dan proporsi.
Awal dari
perkembangan pribadi seseorang asasnya bersifat biologis. Dalam taraf-taraf
perkembangan selanjutnya, normlitas dari konstitusi, struktur dan kondisi
talian dengan masalah Body-Image, self-concept, self-esteem dan rasa harga
dirinya. Perkembangannya fisik ini mencakup aspek-aspek sebagai berikut:
1. Perkembangan anatomis
Perkembangan
anatomis ditunjukkan dengan adanya perubahan kuantitatif pada struktur tulang
belulang. Indeks tinggi dan berat badan, proporsi tinggi kepala dengan tinggi
garis keajegan badan badan secara keseluruhan.
2. Perkembangan fisiologi
Perkembangan fisiologis
ditandai dengan adanya perubahan-perubahan secara kuantitatif, kualitatif dan
fungsional dari sistem-sistem kerja hayati seperti konstraksi otot, peredaran
darah dan pernafasan, persyaratan, sekresi kelenjcar dan pencernaan.
b. Perkembangan perilaku psikomotorik
Perilaku
psikomotorik memerlukan koordinasi fungsional antara neuronmuscular system
(persyarafan dan otot) dan fungsi psikis (kognitif, afektif, dan konatif).
Loree (1970 : 75) menyatakan bahwa ada dua macam perilaku psikomotorik utama
yang bersifat universal harus di kuasai oleh setiap individu pada masa bayi
atau awal masa kanak-kanaknya ialah berjalan (walking) dan memegang
benda (prehension). Kedua jenis keterampilan psikomotorik ini merupakan
basis bagi perkembangan keterampilan yang lebih kompleks seperti yang kita
kenal dengan sebutan bermain (playing) dan bekerja (working).
Dua prinsip perkembangan utama yang
tampak dalam semua bentuk perilaku psikomotorik ialah (1) bahwa perkembangan
itu berlangsung dan yang sederhana kepada yang kompleks, dan (2) dan yang kasar
dan global (gross bodily movements) kepada yang halus dan spesifik
tetapi terkoordinasikan (finely coordinated movements).
(1) Berjalan dan Memegang Benda
Keterampilan berjalan diawali dengan
gerakan-gerakan psikomotor dasar (locomotion) yang harus dikuasainya
selama tahun pertama dari kehidupannya. Perkembangan psikomotorik dasar itu
berlangsung secara sekuensial, sebagai berikut: (1) keterampilan bergulir (roil
over) dan telentang menjadi telungkup (5 : 8 bulan), (2) gerak duduk (sit
up) yang bebas (8,3 bulan), (3) berdiri bebas (9,0 bulan) berjalan dengan
bebas (13,8 bulan) (Lorre, 1970: 75).
Dengan demikian, maka dalam
gerakan-gerakan psikornotorik dasar itu tingkatan perkembangan penguasaannya
sudah dapat diprediksi. Kalau teradi kelambatan-kelambatan dan ukuran
normalitas waktu di atas, berarti menandakan adanya kelainan tertentu.
Keterampilan memegang benda, sampai dengan 6, bulan pertama dan kelahirannya
barulah merupakan gerakan meraih benda-benda yang ditarik ke dekat badannya
dengan seluruh lengannya. Baru mulai pada masa enam bulan kedua dan
kelahirannya, jari-jemarinya dapat berangsur digunakan memungut dan memegang
erat-erat benda, seraya memasukkan ke mulutnya. Keterampilan memegang secara
bebas baru dicapai pula setelah keterampilan berjalan bebas dikuasai.
(2) Bermain dan Bekerja
Dengan dikuasainya keterampilan berjalan,
anak bergerak sepanjang han ke segenap ruangan dan halaman rumah nya seperti
tidak mengenal lelah, kadang-kadang berjalan, berlari, memanjat, melompat, dan
sebagainya. Hampir setiap benda yang ada di sekitarnya disentuhnya, diguncang,
dirobek, atau dilemparnya. Kalau kepada mereka diberikan atau disediakan
alat-alat mainan tertentu mulailah mereka menyusunnya menyerupai konstruksi
tertentu.
Mulai usia 4-5 tahun bermain konstruksi
yang fantastik itu dapat beralih kepada berbagai bentuk gerakan bermain yang
ritmis dan dinamis, tetapi belum terikat dengan aturan-aturan tertentu yang
ketat. Pada usia masa anak sekolah, permainan fantastik berkembang kepada
permainan yang realistik yang melibatkan gerakan-gerakan yang lebih kompleks
disertai aturan-aturan yang ketat. Pada usia remaja kegiatan motorik sudah
tertuju kepada persiapan-persiapan kerja, keterampilan-keterampilan menulis,
mengetik, menjahit, dan sebagainya sangat tepat saatnya mulai dikembangkan.
(3) Proses Perkembangan Motorik
Di samping faktor-faktor hereditas,
faktor-faktor lingkungan alamiah, sosial, kultural, nutrisi dan gizi serta
kesempatan dan latihan merupakan hal-hal yang sangat berpengaruh terhadap proses
dan produk perkembangan fisik dan perilaku psikomotorik.
2.
Perkembangan Bahasa dan Perilaku Kognitif
a. Perkembangan Bahasa
Bahasa merupakan kemampuan untuk
berkomunikasi dengan orang lain. Dalam pengertian ini tercakup semua cara untuk
berkomunikasi, dimana pikiran dan perasaan dinyatakan dalam bentuk lambang atau
simbol untuk mengungkapkan sesuatu pengertian, seperti dengan menggunakan
lisan, tulisan, isyarat, bilangan, lukisan, dan mimik muka.
Bahasa merupakan faktor hakiki yang
membedakan manusia dengan hewan. Bahasa merupakan anugerah dari Allah Swt, yang
dengannya manusia dapat mengenal atau memahami dirinya, sesama manusia, alam,
dan penciptanya serta mampu memposisikan dirinya sebagai makhluk berbudaya dan
mengembangkan budayanya.
Bahasa sangat erat kaitannya dengan
perkembangan berpikir individu. Perkembangan pikiran individu tampak dalam
perkembangan bahasanya yaitu kemampuan membentuk pengertian, menyusun pendapat,
dan menarik kesimpulan. Perkembangan pikiran itu dimulai pada usia 1,6-2,0
tahun, yaitu pada saat anak dapat menyusun kalimat dua atau tiga kata. Laju perkembangan
itu sebagai berikut :
a. Usia 1,6
tahun, anak dapat menyusun pendapat positif, seperti: “bapak makan”.
b. Usia 2,6
tahun, anak dapat menyusun pendapat negatif (menyangkal), seperti: “Bapak tidak
makan”.
c. Pada usia
selanjutnya, anak dapat menyusun pendapat:
1) Kritikan:
“ini tidak boleh, ini tidak baik”.
2)
Keragu-raguan: barangkali, mungkin, bisa jadi, ini terjadi apabila anak sudah
menyadari akan kemungkinan ke khilafannya.
3) Menarik
kesimpulan analogi, seperti: anak melihat ayahnya tidur karena sakit, pada
waktu lain anak melihat ibunya tidur, dia mengatakan bahwa ibu tidur karena
sakit.
Dalam
berbahasa, anak dituntut untuk menuntaskan atau menguasai empat tugas pokok
yang satu sama lainnya saling berkaitan. Apabila anak berhasil menuntaskan
tugas yang satu, maka berarti juga ia dapat menuntaskan tugas-tugas yang
lainnya. Keempat tugas itu adalah sebagai berikut:
1.
Pemahaman, yaitu kemampuan memahami
makna ucapan orang lain. Bayi memahami bahasa orang lain, bukan memahami
kata-kata yang diucapkannya, tetapi dengan memahami kegiatan /gerakan atau
gesturenya (bahasa tubuhnya).
2.
Pengembangan Perbendaharaan kata-kata anak berkembang dimulai secara lambat
pada usia dua tahun pertama, kemudian mengalami tempo yang cepat pada usia
pra-sekolah dan terus meningkat setelah anak masuk sekolah.
3.
Penyusunan Kata-kata menjadt kalimat, kemampuan menyusun kata-kata menjadi
kalimat pada umumnya berkembang sebelum usia dua tahun. Bentuk kalimat pertama
adalah kalimat tunggal (kalimat satu kata) dengan disertai: “gesture”
untuk melengkapi cara benpikirnya.
4. Ucapan. Kemampuan kata-kata merupakan hasil belajar
melalui imitasi (peniruan) terhadap suara-suara yang didengar anak dan orang
lain (terutama orangtuanya). Pada usia bayi, antara 11-18 bulan, pada umumnya
mereka belum dapat berbicara atau mengucapkan kata-kata secara jelas, sehingga
sering tidak dimengerti maksudnya. Kejelasan ucapan itu baru tercapai pada usia
sekitar tiga tahun. Hasil studi tentang suara dan kombinasi suara menunjukkan
bahwa anak mengalami kemudahan dan kesulitan dalam huruf-huruf tertentu.
Ada dua tipe
perkembangan bahasa anak, yaitu Eqocentric Speech dan Socialized Speech.
Berbicara monolog (egocentric speech) berfungsi untuk mengembangkan
kemampuan berpikir anak yang pada umumnya di lakukan oleh anak berusia 2-3
tahun; sementara yang “sociaized speech” mengembangkan kemampuan penyesuaian
sosial (social adjustment).
Perkembangan bahasa dipengaruhi oleh faktor-faktor sebagai berikut yaitu:
1. Faktor
Kesehatan. Kesehatan merupakan faktor yang sangat mempengaruhi perkembangan
bahasa anak, terutama pada usia awal kehidupannya. Apabila pada usia dua tahun
pertama, anak mengalami sakit terus-menerus, maka anak tersebut cenderung akan
mengalami kelambatan atau kesulitan dalam perkembangan bahasanya. Oleh karena
itu, untuk memelihara perkembangan bahasa anak secara normal, orangtua perlu
memper hatikan kondisi kesehatan anak. Upaya yang dapat ditempuh adalah dengan
cara memberikan ASI, makanan yang bergizi, memelihara kebersihan tubuh anak
atau secara reguler memeriksakan anak ke dokter atau ke puskesmas.
2.
Inteligensi Perkembangan bahasa anak dapat dilihat dari tingkat inteligensinya.
Anak yang perkembangan bahasanya cepat, pada umumnya mempunyai inteligensi
normal atau di atas normal.).
3. Status
Sosial Ekonorni Keluarga. Beberapa studi tentang hubungan antara perkembangan
bahasa dengan status sosial ekonomi keluarga menunjukkan bahwa anak yang
berasal dari keluarga miskin mengalami kelambatan dalam perkembangan bahasa
dibandingkan dengan anak yang berasal dari keluarga yang lebih baik. Kondisi
ini terjadi mungkin disebabkan oleh perbedaan kecerdasan atau kesempatan
belajar (keluarga miskin diduga kurang memperhatikan perkembangan bahasa
anaknya), atau kedua-duanya (Hetzer & Reindorf dalam E. Hurlock. 1956).
4. Jenis
kelamin (Sex). Pada tahun pertama usia anak, tidak ada perbedaan dalam
vokalisasi antara pria dengan wanita. Namun mulai usia dua tahun, anak wanita
menunjukkan perkembangan yang lebih cepat dari anak pria.
5. Hubungan
Keluarga. Hubungan ini dimaknai sebagai proses pengalaman berinteraksi dan
berkomunikasi dengan lingkungan keluarga, terutama dengan orangtua yang
mengajar, melatih dan memberikan contoh berbahasa kepada anak.
b.
Perkembangan Bahasa dan Perilaku Kognitif
Istilah “cognitive” berasal
dari kata cognition yang padanannya knowing, berarti mengetahui.
Dalam arti yang luas, cognition (kognisi) ialah perolehan, penataan, dan
penggunaan pengetahuan (Neisser, 1976). Dalam perkembangan selanjutnya, istilah
kognitif menjadi populer sebagai salah satu domain atau wilayah/ranah
psikologis manusia yang meliputi setiap perilaku mental yang berhubungan dengan
pemahaman, pertimbangan, pengolahan informasi, pemecahan masalah, kesengajaan,
dan keyakinan. Ranah kejiwaan yang berpusat di otak ini juga berhubungan dengan
konasi (kehendak) dan afeksi (perasaan) yang bertalian dengan ranah rasa
(Chaplin, 1972).
Sebagian besar psikolog terutama
kognitivis (ahli psikologi kognitif) berkeyakinan bahwa proses perkembangan
kognitif manusia mulai berlangsung sejak ia baru lahir. Bekal dan modal dasar
perkembangan manusia, yakni kapasitas motor dan kapasitas sensori seperti yang
telah penyusun uraikan di muka, ternyata sampai batas tertentu, juga
dipengaruhi oleh aktivitas ranah kognitif. Pada poin 1 bagian ini telah
penyusun utarakan, bahwa campur tangan sel-sel otak terhadap perkembangan bayi
baru dimulai setelah ia berusia 5 bulan saat kemampuan sensorinya (seperti
melihat dan mendengar) benar-benar mulai tampak.
Menurut para ahli psikologi kognitif,
pendayagunaan kapasitas ranah kognitif sudah mulai berjalan sejak manusia itu
mulai mendaya unakan kapasitas motor dan sensorinya. Hanya, cara dan intensitas
pendayagunaan kapasitas ranah kognitif tersebut tentu masih belum jelas benar.
Argumen yang dikemukakan para ahli mengenai hal mi antara lain ialah bahwa kapasitas
sensori dan jasmani seorang bayi yang baru lahir tidak mungkin dapat diaktifkan
tanpa aktivitas pengendalian sel-sel otak bayi tersebut. Sebagai bukti, jika
seorang bayi lahir dengan cacat atau berkelainan otak, kecil sekali kemungkinan
bayi tersebut dapat mengotomatisasikan refleks-refieks motorde dan daya-daya
sensorinya. Otomatisasi refleks dan sensori, menurut para ahli, tidak pernah
terlepas sama sekali dan aktivitas ranah kognitif, sebab pusat refleks sendiri
terdapat dalam otak, sedangkan otak adalah pusat ranah kognitif manusia.
Selanjutnya, seorang pakar terkemuka
dalam disiplin psikologi kognitif dari anak, Jean Piaget (sebut: Jin Piasye),
yang hidup antara tahun 1896 sampai tahun 1980, mengklasifikasikan perkembangan
kognitif anak menjadi empat tahapan, yaitu :
·
Tahap sensory-motor yakni
perkembangan ranah kognitif yang terjadi pada usia 0-2 tahun.
·
Tahap pre-operational, yakni
perkembangan ranah kognitif yang terjadi pada usia 2-7 tahun.
·
Tahap concrete-operational,
yang terjadi pada usia 7-11 tahun.
·
Tahap formal-operational,
yakni perkembangan ranah kognitif yang terjadi pada usia 11-15 tahun (Daehler
& Bukatko, 1985; Best, 1989; Anderson, 1990).
Istilah-istilah
khusus dan arti-artinya yang berhubungan dengan prose perkembangan kognitif
anak versi Piaget tersebut:
1. Sensory-motor
schema (skema sensori-motor) ialah sebuah atau serangkaian perilaku terbuka
yang tersusun secara sistematis untuk merespons lingkungan (barang, orang,
keadaan, kejadian).
2. Cognitive
schema (skema kognitif), ialah perilaku tertutup berupa tatanan
langkah-langkah kognitif (operations) yang berfungsi memahami apa yang tersirat
atau menyimpulkan lingkungan yang direspons.
3. Object
permanance (ketetapan benda) yakni anggapan bahwa sebuah benda akan tetap
ada walaupun sudah ditinggalkan atau tidak dilihat lagi;
4. Assimilation
(asimilasi), yakni proses aktif dalam menggunakan skema untuk merespons
lingkungan.
5. Accomodation
(akomodasi), yakni penyesuajan aplikasi skema yang cocok dengan lingkungan yang
direspons.
6. Equilibrium
(ekuilibrium), yakni keseimbangan antara skema yang digunakan dengan lingkungan
yang direspons sebagai hasil ketepatan akomodasi.
Terdapat
hubungan yang amat erat antara perkembangan bahasa dan perilaku kognitif. Taraf-taraf
penguasaan keterampilan berbahasa dipengaruhi, bahkan bergantung pada
tingkat-tingkat kematangan dalam kemampuan intelektual. Sebaliknya, bahasa
merupakan sarana dan alat yang strategis bagi 1ajunya perkembangan perilaku
kognitif. Perkembangan fungsi-fungsi dan perilaku kognitif itu menurut
Loree.(1970:77), dapat dideskripsikan dengan dua cara dua ialah secara
kualitatif dan secara kuantitatif.
(1)
Perkembangan Fungsi-Fungsi Kognitif
secara Kuantitatif
Perkembangan
fungsi-fungsi kognitif secara kuantitatif dapat dikembangkan berdasarkan basil
laporan berbagai studi pengukuran dengan menggunakan tes inteligensi sebagai
alat ukurnya, yang dilakukan secara longitudinal terhadap sekelompok subjek dan
sampai ke tingkatan usia tertentu (3-5 tahun sampai usia 30-35 tahun, misalnya)
secara test-retest yang alat ukurnya disusun secara sekuensial (Standford
Revision Binet Test). Dengan menggunakan hasil pengukuran tes yang rnencakup
General Information and Verbal Analogies, Jones and Conrad (Loree, 1970:78)
telah mengembangkan sebuah kurva perkembangan inteligensi, yang dapat
ditafsirkan antara lain sebagai berikut:
(a) Laju
perkembangan inteligensi berlangsung sangat pesat sampai ,masa remaja awal,
setelah itu kepesatan nya berangsur menurun.
(b) Puncak
perkembangan pada umumnya dicapai di penghujung masa remaja akhir (sekitar usia
dua puluhan); perubahan-perubahan yang amat tipis sampai usia 50 tahun, setelah
itu terjadi plateau (mapan) sampai usia 60 tahun, untuk selanjutnya berangsur
menurun (deklinasi).
(c)Terdapat variasi dalam saatnya dan laju kecepatan
deklinasi menurut jenis-jenis kecakapan khusus tertentu.
(2) Perkembangan Perilaku Kognitif
secara Kualitatif
Piaget
membagi proses perkembangan fungsi dan peri itu ke dalam empat tahapan utama
yang secara kualitatif setiap tahapan menunjukkan karakteristik yang
berbeda-beda.
(a) Sensorimotor periode. Periode ini
ditandai penggunaan sensorimotorik (dalam pengamatan penginderaan) yang
intensif terhadap dunia sekitar. Prestasi intelektual yang dicapai dalam
periode ini ialah perkembangan bahasa, hubungan tentang obyek kontrol skema,
kerangka berpikir, pembentukan pengertian, pengenalan hubungan sebab-akibat.
Perilaku kognitif tampak yaitu sensitive terhadap rangsangan suara dan cahaya,mencoba
bertahan pada pengalaman-pengalaman yang menarik,mendefinisikan objek/benda
dengan manipulasinya mulai memahami ketetapan makna suatu objek meskipun lokasi
dan posisinya berubah.
(b) Preoperational.
Periode ini terbagi ke dalam dua tahapan ialah preconceptual dan intuitive. Periode preconceptual
ditandai dengan cara berpikir yang bersifat transduktif. Periode intuitif
ditandai oleh dominasi pengamatan yang bersifat egocentric (belum memahami cara
orang lain memandang objek yang sama), seperti searah (selancar). Perilaku
kognitif yang tampak ayaitu self-centered dalam memandang dunianya, dapat
mengklasifikasikan objek-objek atas dasar satu ciri tertentu yang memiliki ciri
yang sama, mungkin pula memiliki perbedaan dalam hal yang lainnya, dapat melakukan
koleksi benda-benda berdasarkan suatu ciri atau kriteria tertentu, dapat menyusun benda-benda, tetapi belum
dapat menarik inferensi dan dua benda yang tidak her sentuhan meskipun terdapat
dalam susunan yang sama.
(c) Concrete
erational
Tiga kemampuan dan kecakapan yang
baru yang menandai periode ini, ialah rnengklasifikasikan angka-angka atau
bilangan. Dalam periode mi anak mulai pula mengkonservasi pengetahuan tertentu.
Perilaku kognitif yang tampak pada periode ini ialah kemampuannya dalam proses
berpikir untuk mengoperasikan kaidah-kaidah logika meskipun masih terikat
dengan objek-objek yang bersifat konkret.
(d) Formal operational periode
Periode ini
ditandai dengan kernampuan untuk mengoperasikan kaidah-kaidah logika formal
yang tidak terikat lagi oleh objek-objek yang bersifat konkrit. Pen laku
kognitif yang tampak pada kita yaitu, kemampuan berpikir hipotetis-deduktif, kemampuan
mengembangkan suatu kemungkinan berdasarkan dua atau lebih kemungkinan yang ada
kemampuan mengembangkan suatu proporsi atau dasar proporsi-proporsi yang diketahui,
kemampuan menarik generalisasi dan inferensasi dan berbagai kategori objek yang
beragam.
Tokoh
lain yang melakukan studi terhadap masalah ini secara mendalam ialah Jerome
Bruner (1966) ia membagi proses perkembangan perilaku kognitif ke dalam tiga
periode ialah:
(1) enactive
stage, merupakan suatu masa ketika individu berusaha memahami lingkungannya.
tahap mi mirip dengan sensorimotor period dan Piaget.
(2) iconic
stage, yang mendekati kepada preoperational periode Piaget
(3) symbolic
stage, yang juga mendekati ciri-ciri formal operational peniode dan Piaget.
Dari
telaahan kita terhadap perkembangan bahasa dan perilaku serta fungsi-fungsi
kognitif itu, jelaslah mempunyai implikasi yang sangat penting bagi
pengernbangan sistem dan praktik pendidikan seperti yang disarankan oleh Gage
& Berliner (1975:375-378), antara lain para pendidik seyogyanya mampu untuk
melaksanakan intellectual empathy,using concrete objects, using inductive
approach, sequencing instruction,taking amount of fit of new experience,applying
student self-regulation principles, developing cognitive values of interaction.
3.
Perkembangan Perilaku Sosial, Moralitas dan Keagamaan
a. Perkembangan Perilaku sosial
Secara potensial (fitriah) manusia
dilahirkan sebagai makhluk sosial (zoon politicon), kata Plato.Namun, untuk
mewujudkan potensi tersebut ia harus berada dalam interaksi dengan lingkungan
manusia-manusia lain (ingat kisah Singh Zingh di India dan Itard di Perancis,
bayi yang disusui dan dibesarkan binatang tidak dapat dididik kembali untuk
menjadi manusia biasa).
1) Proses
sosialisasi dan perkembangan sosial
Secepat individu menyadari bahwa di luar
dirinya itu ada orang lain, maka mulailah pula menyadari bahwa ia harus belajar
apa yang seyogianya ia perbuat seperti yang diharapkan orang lain. Proses
belajar untuk menjadi makhluk sosial ini disebut sosialisasi.
Loree (1970:86) dengan menyitir pendapat
English & English (1958) menjelaskan lebih lanjut bahwa sosialisasi itu
merupakan suatu proses di mana individu (terutama anak) melatih kepekaan
dirinya terhadap rangsangan-rangsangan sosial terutama tekanan-tekanan dan
tuntutan kehidupan (kelornpoknya); belajar bergaul dengan dan bertingkah laku
seperti orang lain, bertingkah laku di dalam lingkungan sosio-kulturalnya.
Perkembangan sosial, dengan demikian dapat
diartikan sebagai sequence dari perubahan yang bersinambungan dalam perilaku
individu untuk menjadi rnakhluk sosial yang dewasa. Charlotte Buhier mengidentifikasikan
perkembangan sosial ini dalam term kesadaran hubungan aku engkau atau hubungan
subjektif-objektif. Proses perkembangannya berlangsung secara berirama.
2)
Kecenderungan Pola Orientasi Sosial
Branson (Loree, 1970:87-89)
mengidentifikasi berdasarkan hasil studi longitudinalnya terhadap anak usia
5-16 tahun bahwa ada tiga pola kecenderungan sosial pada anak, ialah (1)
withdrawal-expansive, (2) reactivity-placidity dan passivity-dominance. Kalau
seseorang telah memperhatikan orientasinya pada salah satu pola tersebut, maka
cenderung diikutinya sampai dewasa.
b. Perkembangan Moralitas
1.
Perkembangan Moral
Istilah moral berasal dari kata Latin
“mos” (Moris), yang berarti adat istiadat peraturan/nilai-nilai atau tatacara
kehidupan. Sedangkan moralitas merupakan kemauan untuk menerima dan melakukan
peraturan, nilai-nilai atau prinsip-prinsip moral. Nilai-nilai moral itu,
seperti (a) seruan untuk berbuat baik kepada orang lain, memelihara ketertiban
dan keamanan, memelihara kebersihan dan memelihara hak orang lain, dan (b)
larangan mencuri, berzina, membunuh, meminum minuman keras dan berjudi.
Seseorang dapat dikatakan bermoral, apabila tingkah laku tersebut sesuai dengan
nilai-nilai moral yang dijunjung tingi kelompok sosialnya.
2.
Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Perkembangan Moral
Perkembangan moral seorang anak banyak
dipengaruhi oleh lingkungan Anak memperoleh nilai-nilai moral dan lingkungannya
dan orangtuanya. Dia belajar untuk mengenal nilai-nilai sesuai dengan
nilai-nilai tersebut. Dalam mengembangkan moral anak, peranan orangtua
sangatlah penting, terutama pada waktu anak masih kecil. Beberapa sikap
orangtua yang perlu diperhatikan sehubungan dengan Perkembangan moral anak, di
antaranya sebagai berikut.
a. Konsisten
dalam mendidik anak
Ayah dan ibu harus memiliki sikap dan
perlakuan yang sama dalam melarang atau membolehkan tingkah laku tertentu ke
pada anak. Suatu tingkah laku anak yang dilarang oleh orangtua pada suatu
waktu, harus juga dilarang apabila dilakukan kembali pada waktu lain.
b. Sikap
orangtua dalarn keluarga
Secara tidak langsung, sikap orangtua terhadap anak, sikap ayah dan ibu,
atau sebaliknya, dapat mempengaruhi perkembangan moral anak, yaitu melalui
proses peniruan (imitasi) Sikap orangtua yang keras (otoriter) cenderung
melahirkan sikap disiplin semu pada anak, sedangkan sikap yang acuh tak acuh,
atau sikap masa bodoh cenderung mengembangkan sikap kurang bertanggung jawab
dan kurang mempedulikan norma pada din anak. Sikap yang sebaiknya dimiliki oleh
orangtua adalah sikap kasih sayang keterbukaan, musyawarah (dialogis), dan
konsisten.
c.
Penghayatan dan pengamalan agama yang dianut
Orang tua merupakan panutan (teladan)
bagi anak, termasuk di sini panutan dalam mengamalkan ajaran agama. Orangtua
yang menciptakan iklim yang religius (agamis) dengan cara membersihkan ajaran
atau bimbingan tentang nilai-nilai agama kepada anak, maka anak akan mengalami
Perkembangan moral yang baik.
d. Sikap
orangtua dalam menerapkan norma
Orang yang tidak menghendaki anaknya
berbohong, atau berlaku tidak jujur, maka mereka harus menjauhka dirinya dan
Perilaku berbohong atau tidak jujur.
3. Proses
Perkembangan Moral
Perkembangan
moral anak dapat berlangsung melalui beberapa cara, sebagai berikut.
1.
Pendidikan langsung, yaitu melalui penanaman pengertian tentang tingkah laku
yang benar dan salah, atau baik dan buruk oleh orangtua, guru atau orang dewasa
lainnya. Di samping itu, yang paling penting dalam pendidikan moral mi, adalah
keteladanan dan orangtua, guru atau orang dewasa lainnya dalam melakukan
nilai-nilai moral
2.
Identifikasi, yaitu dengan cara mengidentifikasi atau meniru penampilan atau
tingkah laku moral seseorang yang menjadi idolanya (seperti orangtua, guru,
kiai, artis atau orang dewasa lainnya).
3. Proses
coba-coba (trial & error), yaitu dengan cara mengembangkan tingkah laku
moral secara coba-coba. Tingkah laku yang mendatangkan pujian atau penghargaan
akan terus .di kembangkan, sementara tingkah laku yang mendatangkan hukuman
atau celaan akan dihentikannya.
c. Perkembangan Penghayatan
Keagamaan
1. Tahapan
Perkembangan Penghayatan Keagamaan
Sejalan perkembangan kesadaran moralitas,
perkembangan penghayatan keagarnaan, yang erat hubungannya dengan perkembangan
intelektual di samping emosional dan volisional (konatifl, mengalami
perkembangan. Para ahli umumnya (Zakiah Daradjat, Starbuch, William James)
sependapat bahwa pada garis besarnya per kembangan penghayatan keagamaan itu
dapat dibagi dalam tiga tahapan yang secara kualitatif menunjukkan
karakteristik yang berbeda. Tahapan-tahapan itu ialah sebagai berikut.
(a) Pertama.
Masa kanak-kanak (sampai usia tujuh tahun) yang ditandai, antara lain oleh sikap
keagamaan reseptif meskipun banyak bertanya,pandangan ke-Tuhan-an yang
dipersonifikasikafi, penghayatan secara rohaniah masih belum mendalam meskipun
mereka telah melakukan atau partisipasi dalam berbagai kegiatan ritual, hal
ke-Tuhan-an dipahamkan secara ideosyncritic (menurut khayalan pribadinya)
sesuai dengan taraf kemampuan kognitifnya yang masih bersifat ego centric
(memandang segala sesuatu dan sudut dirinya).
(b) Kedua, masa
anak sekolah (7-8 sampai 11-12 tahun), yang ditandai antara lain oleh sikap
keagamaan bersifat reseptif tetapi disertai pengertian,pandangan dan paham
ke-Tuhan-an diterangkan secara rasional berdasarkan kaidah-kaidah logika yang
bersumber pada indikator alam semesta sebagai manifestasi dan eksistensi dan
keagungan-Nya,penghayatan secara rohaniah makin mendalam, melaksanakan kegiatan
ritual diterima sebagai keharusan moral.
(c) Ketiga.
Masa remaja (12-18 tahun) yang dapat dibagi ke dalam dua sub tahapan, ialah:
(1) masa
remaja awal, yang ditandai, antara lain, oleh:
·
sikap negatif (meskipun tidak selalu
terang-terangan) disebabkan alam pikirannya yang kritis melihat kenyataan
orang-orang her agama secara hypocrit (pura-pura) yang pengakuan dan ucapannya
tidak selalu selaras dengan perbuatannya.
·
pandangan dalam hal ke-Tuhan-annya
menjadi kacau karena ia banyak membaca atau mende ngar berbagai konsep dan
pemikiran atau aliran paham banyak yang tidak cocok atau bertentangan satu sama
lain;
·
penghayatan rohaniahnya cenderung
skeptic (diliputi rasa waswas) sehingga banyak yang enggan melakukan berbagai
kegiatan ritual yang selama mi dilakukannya dengan penuh kepatuhan.
(2) masa
remaja akhir, yang ditandai, antara lain, oleh:
(a) sikap
kembali, pada umumnya, ke arab positif dengan tercapainya kedewasaan
intelektual, bahkan agama dapat menjadi pegangan hidup nya menjelang dewasa.
(b)
pandangan dalam hal ke-Tuhan-an dipahamkannya dalam konteks agama yang dianut
dan dipilihnya.
(c)
penghayatan rohaniahnya kembali tenang setelah melalui proses identifikasi dan
merindu puja ia dapat membedakan antara agama sebagai doktrin atau ajaran dan
manusia penganutnya, yang baik (saleh) dan yang tidak. Ta juga memahami bahwa
terdapat berbagai aliran paham dan jenis keagamaan yang penuh toleransi
seyogianya diterima sebagai kenyataan dunia ini.
2. Proses
Pertumbuhan Penghayatan Keagamaan
Para ahli (Zakiah, Starbuch, dan
lain-lain) juga sependapat bahwa meskipun tahapan proses perkembangan seperti
di atas merupakan gej ala yang universal, namun terdapat variasi yang luas,
pada tingkat individual maupun pada tingkat kelompok (keluarga, daerah, aliran,
paham) tertentu. Peranan lingkungan keluarga sangat penting dalam pembinaan
penghayatan keagamaan mi (Zakiah Daradjat, 1970:4-102).
4. Perkembangan
Perilaku Afektif, Kongnitif dan Kepribadian
a. Perkembangan Fungsi-Fungsi
Konatif dan Hubungannya dengan Pembentukan
Fungsi konatif atau motivasi itu
merupakan faktor penggerak perilaku manusia yang bersumber terutama pada
kebutuhan-kebutuhan dasarnya (basic needs). Jenis-jenis kebutuhan manusia itu
berkembang mulai dari sifat yang alami (misalnya, kebutuhan dasar biologis)
sampai kepada yang bersifat dipelajari sebagai pengalaman interaksi dengan
lingkungannya. Di dalam kenyataan yang berkembang itu bukanlah jenis motif atau
kebutuhan, melainkan beberapa sifatnya, misalnya objek dan caranya,
itensitasnya, dan sebagainya.
b. Perkembangan Emosional dan
Perilaku Afektif
Emosi itu dapat didefinisikan
sebagai suatu suasana yang kompleks ( a complex feeling state) dan getaran jiwa
(a strid up state) yang menyertai atau muncul sebelum /sesudah terjadinya
perilaku. Aspek emosional dari suatu perilaku, pada umumnya, selalu melibatkan
tiga variabel, yaitu rangsangan yang menimbulkan emosi (the stimulus
variable), perubahan-perubahan fisiologis, yang terjadi bila mengalami
emosi (the organismic variable), dan pola sambutan ekspresi atau
terjadinya pengalaman emosional itu (the response variable).
Emosi sebagai suatu peristiwa
psikologis ciri-cirinya adalah lebih bersifat subjektif daripada peristiwa
psikologis lainnya, seperti pengamatan dan berpikir. Bersifat fluktuatif (tidak
tetap). Banyak bersangkut paut dengan peristiwa pengenalan panca indera
Emosi dapat dikelompokkan ke dalam
dua bagian, yaitu emosi sensoris dan emosi kejiwaan (psikis). Emosi sensoris,
yaitu emosi yang ditimbulkan oleh rangsangan dan luar terhadap tubuh, seperti:
rasa dingin, manis, sakit, lelah, kenyang, dan lapar.Sedangkan Emosi psikis, di antaranya adalah :
1) Perasaan
Intelektual, yaitu yang mempunyai sangkut paut dengan ruang lingkup kebenaran.
2) Perasaan
Sosial, yaitu perasaan yang menyangkut hubungan dengan orang lain, baik
bersifat perorangan maupun kelompok.
3) Perasaan
Susila, yaitu perasaan yang berhubungan dengan nilai-nilai baik dan buruk atau
etika moral.
4) Perasaan
Keindahan (estetis), yaitu perasaan yang berkaitan erat dengan keindahan dan
sesuatu, baik bersifat kebendaan maupun kerohanian.
5) Perasaan
Ketuhanan. Salah satu kelebihan manusia sebagai makhluk Tuhan, dianugerahi
fitrah (kemampuan atau perasaan) untuk mengenal Tuhannya.
c. Perkembangan Kepribadian
1. Pengertian Kepribadian
Istilah kepribadian merupakan terjemahan
dari Bahasa Inggris (personality). Istilah personality secara etimologis
berasal dan bahasa Latin “person” (kedok) dan “personare” (menembus). Persona
biasanya dipakai oleh para pemain sandiwara pada zaman kuno untuk memerankan
satu bentuk tingkah laku dan karakter pribadi Sedangkan yang dimaksud dengan
personare adalah bahwa pemain sandiwara itu dengan melalui kedoknya berusaha
menembus keluar untuk mengekspresikan satu bentuk gambaran manusia tertentu.
Misalnya seorang pemurung, pendiam, periang, peramah, pemarah, dan sebagainya.
Jadi persona itu bukan pribadi pemain itu sendiri, tetapi gambaran pribadi dan
tipe manusia tertentu dengan melalui kedok yang dipakainya.
Kepribadian dapat juga diartikan sebagai
“kualitas perilaku individu dalam melakukan penyesuaian dirinya terhadap
lingkungan secara unik” Keunikan penyesuaian tersebut sangat berkaitan dengan
aspek-aspek kepribadian itu sendiri, yaitu meliputi hal-hal berikut.
1) Karakter,
yaitu konsekuen tidaknya dalam mematuhi etika pen laku, konsisten atau teguh
tidaknya dalam memegang pendirian atau pendapat.
2)Temperamen,
yaitu disposisi reaktif seseorang, atau cepat/lambatnya mereaksi terhadap
rangsangan-rangsangan yang datang dari lingkungan.
3)Sikap
terhadap objek (orang, benda, peristiwa, norma dan sebagainya yang bersifat
positif, negatif atau ambivalen (ragu-ragu).
4)Stabilitas
emosi, yaitu kadar kestabilan reaksi emosional terhadap rangsangan dan
lingkungan. Seperti: mudah tidaknya tersinggung marah, sedih atau putus asa.
5)ResponsibilitaS
(tanggung jawab), kesiapan untuk menerima risiko dan tindakan atau perbuatan
yang dilakukan. Seperti: mau menerima risiko secara wajar, cuci tangan, atau
melarikan diri risiko yang dihadapi.
6)Sosiabilitas,
yaitu disposisi pribadi yang berkaitan dengan hubungan interpersonal. Disposisi
ini seperti tampak dalam sifat pribadi yang tertutup atau terbuka dan kemampuan
berkomunikasi dengan orang lain.
2.
Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Kepribadian
Kepribadian
dipengaruhi oleh berbagai faktor, baik hereditas (pembawaan) maupun lingkungan
(seperti: fisik, sosial, kebudayaan, spiritual).
a. Fisik.
Faktor yang dipandang mempengaruhi perkembangai kepribadian adalah postur tubuh
(langsing, gemuk, pendek atau tinggi), kecantikan (cantik atau tidak cantik),
kesehatan (sehat atau sakit-sakitan), keutuhan tubuh (utuh atau cacat), dan
keberfungsian organ tubuh.
b.
Inteligensi. Tingkat intelegensi individu dapat mempengaruhi perkembangan
kepribadiannya. Individu yang inteligensinya tinggi atau normal biasa mampu
menyesuaikan din dengan lingkungannya secara wajar, sedangkan yang rendah
biasanya sering mengalami hambatan atau kendala dalam menyesuaikan diri dengan
lingkungan.
c. Keluarga.
Suasana atau iklim keluarga sangat penting bagi perkembangan kepribadian anak.
Seorang anak yang dibesar kan dalam Iingkungan keluarga yang harmonis dan
agamis dalam arti, orangtua memberikan curahan kasih sayang, perhatian serta
bimbingan dalam kehidupan berkeluarga, maka perkembangan kepribadian anak tersebut
cenderung positif. Adapun anak yang dikembangkan dalam lingkungan keluarga yang
broken home, kurang harmonis, orangtua bersikap keras terhadap anak atau tidak
memperhatikan nilai-nilai agama dalam keluarga, maka perkembangan
kepribadiannya cenderung akan mengalami distorsi atau mengalami kelainan dalam
penyesuaian dirinya (maladjustment).
d. Teman
sebaya. Setelah masuk sekolah, anak mulai bergaul dengan teman sebayanya dan
menjadi anggota dan kelompoknya. Pada saat inilah dia mulai mengalihkan
perhatiannya untuk mengembangkan sifat-sifat atau perilaku yang cocok atau
dikagumi oleh teman-temannya, walaupun mungkin tidak sesuai dengan harapan
orangtuanya. Melalui hubungan ini terpersonal dengan teman sebaya, anak belajar
menilai dirinya sendiri dan kedudukannya dalam kelompok. Bagi anak yang kurang
mendapat kasih sayang dan bimbingan keagamaan atau etika dan orangtuanya,
biasanya kurang memiliki kemampuan selektif dalam memilih teman dan mudah
sekali terpengaruh oleh sifat dan perilaku kelompoknya.
e. Kebudayaan.
Setiap kelompok masyarakat (bangsa, ras, atau suku bangsa) memiliki tnadisi,
adat, atau kebudaya yang khas.
3. Perubahan
Keprbadian
faktor-faktor
yang menyebabkan terjadinya perubaha ke dalam tiga kategori, yaitu:
a. Faktor
organik, seperti: makanan, obat, infeksi, dan gangguan organik.
b. Faktor
lingkungan sosial budaya, seperti: pendidikan, nekreasi dan partisipasi sosial.
c. Faktor
dari dalam individu itu sendiri, seperti: tekanan emosional identifikasi
terhadap orang lain, dan imitasi.
4. Karakteristik
Kepribadian
E.B. Hurlock (1986) mengemukakan bahwa
penyesuaian yang sehat atau kepribadian yang sehat (healthy personality)
ditandai dengan karakteristik sebagai berikut.
a. Mampu
menilai diri secara realities
b. Mampu
menilai situasi secara realistik.
c. Mampu
menilai prestasi yang diperoleh secara realistik.
d. Menerima
tanggung jawab.
e.
Kemandirian (autonomi).
f. Dapat
mengontrol emosi.
g.
Berorientasi tujuan.
h.
Berorientasi keluar.
i.
Penerimaan sosial.
j. Memiliki
filsafat hidup.
k.
Berbahagia.
BAB III
SIMPULAN
Perkembangan adalah suatu proses
pada manusia yang tidak akan pernah berhenti. Manusia akan terus-menerus
berkembang atau berubah di pengaruhi oleh pengalaman atau belajar semasa
hidupnya. Perkembangan ada banyak macamnya seperti perkembangan Perkembangan Fisik, Perkembangan Bahasa,
Perkembangan Bahasa, Perkembangan Perilaku Kognitif, Perkembangan Perilaku Sosial, Moralitas dan Keagamaan, Perkembangan
Perilaku Afektif, Kongnitif dan Kepribadian. Perkembangan di prngaruhi oleh
berbagai faktor yaitu faktor kesehatan, intelegensi, status sosial ekonomi
keluarga, jenis kelamin, lingkungan, agama. Semua faktor memang saling dan
sangat berpengaruh terhadap perkembangan pada setiap individu. Namun faktor
lingkungan dan agama adalah faktor yang sangat mempengaruhi perkembangan
perilaku setiap individu. Untuk itu menciptakan suasana lingkungan yang kondusif
dan nyaman untuk perkembangan anak sangatlah penting agar perkembangannya dapat
berjalan dengan baik. Agama adalah faktor perkembangan perilaku yang tidak bisa
dianggap biasa, karena agama itu sangat besar pengaruhnya pada perkembangan
perilaku dan kepribadian individu. Dengan agama dan iman yang kuat maka hampir
bisa di pastikan individu akan memiliki perilaku yang terarah, sopan, santun
dan tidak menyimpang. untuk itu penting bagi pendidiki, orangtua khususnya
untuk menanamkan nilai-nilai keagamaan sejak dini kepada setiap anak didiknya
agar perilaku anak didik tidak menyimpang dari norma yang berlaku di
masyarakat.
DAFTAR
PUSTAKA
Sungkar, Farida
Salim.2011. Psikologi Perkembangan
1.Yogyakarta.
0 komentar:
Posting Komentar