LINTAS BUDAYA KONSELOR,
(KAJIAN MATERI DDTK GURU BIMBINGAN
KONSELING)
Oleh
Drs. H. Agus Akhmadi, M.Pd 1
Abstraks
Konselor
sekolah dalam menghadapi beragam perbedaan konseli perlu “mengubah persepsi mereka, belajar mengenai konseling
dan konsultasi terhadap beragam populasi, mencukupkan diri dengan pengetahuan
tentang budaya lain, tentang bentuk rasisme dan mampu berperan sebagai agen
perubahan sosial . Keragaman konseli menuntut k onselor sekolah untuk
menunjukkan ketrampilan profesional dan kualifikasi yang dibutuhkan dalam
memenuhi kebutuhan konseli multibudaya, yang berbeda dan beragam.
Untuk itu kesadaran dan penge tahuan dasar konseling mencakup
kemampuan untuk berkomunikasi secara efektif, mendengarkan dengan penuh
perhatian, dan pengungkapan diri (self-disclosure) semakin diperlukan. Konselor
perlu empati, menghormati perbedaan, pemahaman informasi pribadi.
Perubahan
komunitas konseli yang dimaknai semakin luas akibat beragam budaya berdampak
langsung pada konselor sekolah /madrasah. Keragaman mengakibatkan kebutuhan
layanan konseling berbasis multibudaya bagi konselor professional. Konselor
ditantang mampu menyediakan layanan beragam sebagaimana p erbedaan dan
keragaman konseli.
Kata Kunci: Kesadaran, pengetahuan
konseling multibudaya, konselor sekolah
A. Pendahuluan
Pola perpindahan dan perkembangan penduduk
karena kelahiran, karena pekerjaan
orang tua, atau karena
perpindahan untuk mendapatkan sekolah/ pendidikan telah terjadi
diberbagai tempat.
Perubahan komunitas juga terjadi pada latar pendidikan, siswa yang
berbeda budaya, latar
belakang keluarga, agama, dan etnis berinteraksi dalam layanan di
lembaga sekolah. Saat ini
semakin disadari adanya keberagaman konseli. Keberagaman
karena
karakteristik sosial ekonomi, etnis, agama, demografi dan sikap sosial,
keberagaman
karena karakteristik pribadi seperti
tampilan fisik, kemampuan sosial, perilaku dan kebiasaan
dan
kemampuan intelektual (Redman, A casebook for exploring diversity in K -12
classrooms,
1999) serta keberagaman aspek agama, etnis, gender, latar belakang budaya,
geografi,
ras, abilitas/ disabilitas, usia ( Sue ,1991)
Interaksi
sosial yang terbentuk dalam keberagaman ini memerlukan suatu pemahaman
lintas
budaya (Matsumoto, 1996). Perubahan kompleksitas kehidupan masyarakat ke arah
multibudaya mempengaruhi berbagai aspek
kehidupan. Dalam bidang konseling, keberagaman
budaya menyadarkan
pentingnya konseling yang berbasis multibudaya dan kompetensi
1 Widyaiswara Madya
Spesialisasi Bimbingan Konseling pada Balai Diklat Keagamaan Surabaya
multibudaya bagi konselor profesional.
Konselor sekolah dalam menghadapi beragam perbedaan konseli, menurut
(Holcomb-McCoy, 2004) perlu
“mengubah persepsi mereka,
belajar tentang konseling dan konsultasi, mencukupkan diri dengan pengetahuan
tentang budaya lain, bentuk rasisme dan berperan sebagai agen perubahan sosial.
Dalam masyarakat dinamis yang berubah mensyaratkan para
konselor menjadi fasilitator, ahli perbantuan, advokat dan terampil membuat
kebijakan. K onselor aktif merefleksi atas pertanyaan -pertanyaan, konsultasi
diri secara berkelanjutan dan memantau perkembangan untuk meningkatkan
kompetensi dalam melayani konseli yang beragam budaya (Johannes & Erwin,
2004) .
Dari beberapa pendapat tersebut disimpulkan bahwa terdapat
keberagaman konseli yang perlu sikap proaktif berupa peningkatan kesadaran,
pengetahuan dan ketrampilan konselor terhadap keberagaman konseli. Isu
multiklturalisme menuntut setiap konselor memiliki wawasan yang meyakini bahwa
manusia hidup dengan perbedaan dan keberagaman, menolak terhadap kebenaran
tunggal, memunculkan isu persamaan sosial (social equality), gender,
kelompok minoritas dan marginal dan pemberdayaan. Profesi konselor sekolah
dituntut menumbuhkan pemahaman multibudaya, artinya harus menyikapi keberagaman
secara lebih terbuka, akomodatif, mampu berkolaborasi dengan bidang profesi
lainnya.
B. KEBERAGAMAN KONSELI
DALAM LAYANAN KONSELING
Dengan
meningkatnya kebutuhan layanan sosial -emosional (termasuk kemiskinan,
penyalahgunaan obat, kekerasan), ditambah dengan layanan masyarakat
terpinggirkan (misalnya, privatisasi, restrukturisasi, perubahan kebijakan
publik), konselor sekolah dihadapkan dengan jangkauan l ayanan kesehatan mental
yang lebih luas dibandingkan tahun - tahun sebelumnya. Konselor perlu berubah
untuk pengembangan potensi konseli yang berbeda dan beragam, seperti konseli
dari ekonomi kurang mampu, penyandang cacat, dan berbeda budaya, remaja
perkotaan dan perempuan (Axelson, 1999). Dari perspektif teoritis, menyikapi
keberagaman budaya yang berbeda, maka penggunaan pendekatan konseling
konvensional akan kurang efektif ketika melayani etnis yang beragam (Bemak,
2005), (Toporek, 2001), (Wallace, call for change in multicultural training at
graduate schools of education: Educating to end oppression and for social
justice, 2000) .
Dengan
ditetapkan Undang Undang Sisdiknas 2003, konselor diakui sebagai profes i yang
setara dengan profesi lainnya. Pengakuan tersebut mensyaratkan adanya
kompetensi
dan kualifikasi tertentu, selain memenuhi standar
pendidikan bimbingan konseling S -1, juga dipersyaratkan lulus uji kompetensi,
meningkatkan tingkat pendidikan, mengiku ti pelatihan yang sesuai dengan
kebutuhan layanannya.
C.
KESADARAN DAN PENGETAHUAN KONSELING MULTIBUDAYA
Konselor sekolah
dituntut untuk menunjukkan ketrampilan profesional dan kualifikasi yang
dibutuhkan untuk memenuhi kebutuhan konseli yang beragam perbedaan identitas
dan budaya. Keterampilan dasar konseling mencakup kemampuan untuk berkomunikasi
secara efektif, mendengarkan dengan penuh perhatian, ketrampilan empati,
pengungkapan diri dan pemahaman informasi pribadi (Hayden Davis, 2006).
Konseling
multibudaya membutuhkan integrasi kesadaran, pengetahuan dan keterampilan
multibudaya dan budaya spesifik ke dalam lingkungan konseling, dengan penekanan
pada teknik terapi yang efektif sesuai konteks budaya (Pedersen, 1997). Kode
Etik Konseling Amerika menggambarkan kompetensi multibudaya sebagai
"kapasitas konselor yang memiliki kesadaran dan pengetahuan tentang
keberagaman budaya pada diri sendiri dan orang lain, dan bagaimana kesadaran
dan pengetahuan tersebut ditera pkan secara efektif dalam praktek terhadap
konseli dan kelompok konseli" (APA, 2006). Konseling multibudaya dan
konseling tradisional memiliki konsep yang saling terkait, "kompetensi
konseling multibudaya mencakup pengetahuan dan keterampilan konseling yan g
lebih spesifik dan mumpuni" (Patterson, 2004), (Fuertes, Bartolomeo, &
Matthew, 2001) .
Konseling multibudaya tidak mengabaikan pendekatan tradisional
yang monokultur, melainkan mengintegrasikannya dengan perspektif budaya yang
beragam (Rakhmat, 2008). Tujuannya adalah memperkaya teori dan metode konseling
yang bersesuaian dengan konteks konseling. Konseling multibudaya mengharuskan
konselor mengambil sikap proaktif terhadap perbedaan budaya, mengenali dan
menghargai multibudaya setiap individu serta memiliki pengetahuan dan kesadaran
multibudaya .
Konselor yang
memiliki kompetensi konseling multibudaya dalam layanan konseling menyadari
tantangan pemenuhan layanan beragam konseli. Konselor menghargai dan mampu
berinteraksi dengan beragam konseli, memiliki tata pandang positif terhadap
beragam budaya (Pederson,1988). Konselor memahami manifestasi kultural sebagai
keunikan latar belakang pribadi, sosial dan psikologis. Konselor dapat
mengadaptasi model - model, teori-teori dan teknik-teknik konseling dalam
rangka menghargai, memperlakukan
dan memenuhi keunikan kebutuhan konseli.
Ketrampilan ini dapat membantu konselor sekolah memahami konseli sebagai
individu maupun anggota kelompok kultural tertentu. Menurut Sue, & Sue
(2003) kompetensi konseling multibudaya adalah:
”acquisition
of awareness, knowledge and skill needed to function effectively in a pluralistic
democratic society (ability to communicate, interact, negotiate and intervene
on behalf of clients from diverse back grounds). And on a
organizational/societal level, advocating effectively to develop new theories,
practices,
policies and organizational structures that are more responsive to all groups”
Dari definisi diatas dapat disimpulkan bahwa kompetensi
konseling mu ltibudaya ditunjukkan dengan pemerolehan kesadaran, pengetahuan
dan ketrampilan konselor. Kemampuan tersebut menjadi modal untuk berkomunikasi,
berinteraksi, bernegosiasi dan membantu konseli yang memiliki latar belakang
budaya yang berbeda dalam lingkunga n yang demokratis pluralistik, yang
mendukung secara efektif untuk mengembangkan teori - teori, praktik-praktik,
kebijakan-kebijakan dan struktur organisasi baru yang lebih responsive bagi
semua kelompok.
Dalam profesi
perbantuan , kompetensi multibudaya menu njukkan bahwa a) bentuk
penanganan (treatment) konvensional one-to one untuk memperbaiki
permasalahan yang ada dapat bertentangan dengan pengalaman sosio -politik dan
kultural konseli. b) kompetensi konseling multibudaya dapat dilihat dalam tiga
dimensi, yaitu komponen kesadaran terhadap sikap/kepercayaan (attitudes/beliefs
component ), komponen pengetahuan ( knowledge component) dan
komponen ketrampilan ( skills component). c) kompetensi multibudaya diarahkan
pada tingkat personal/individual dan tingkat orga nisasi/sistem. d) Kompetensi
multibudaya membahas perkembangan alternatif helping.
Menurut Sue & Sue (2003), profesi konseling tidaklah cukup
hanya dengan mendasarkan pada standar lama tanpa memperhatikan/memenuhi
kebutuhan beragam konseli. Masih terdapat kesenjangan antara standar konseling
multibudaya dengan praktek. Kesenjangan ini dapat menghambat layanan konseling
bahkan mengakibatkan mallpraktek dalam layanan. Konseling multibudaya tidak
hanya terbatas pada kelompok minoritas atau kelompok berbeda dari aspek etnis
saja, namun juga pada pengertian multibudaya yang lebih luas, meliputi
keberagaman agama, etnis, gender, latar belakang budaya, geografi, ras,
abilitas dan disabilitas, usia (Sue & Sue, 2003).
Keberagaman
komunitas sekolah menuntut konsel or mampu berperan dalam membantu siswa
mempersiapkan diri dalam kehidupan plural dan multibudaya, dapat
mengembangkan
soft skill untuk membantu diri sendiri dalam memilih dan mengambil keputusan
secara bertanggung jawab, sehingga menjadi manusia yang seha t dan berbudaya
yang mampu hidup berdampingan secara harmonis dengan masyarakat multibudaya
disamping menjadi manusia yang sukses secara akademik/karir. Oleh karena itu
wajar adanya tuntutan peningkatan kompetensi konselor dalam layanannya.
Semakin kompleknya permasalahan konselor di lapangan,
determinasi budaya yang menyebabkan karakteristik konseli yang berbeda dengan
sebelumnya dan berbagai permasalahan konseli yang beragam menyebabkan tugas dan
tanggung jawab konselor semakin berat. Ekspektasi kinerja konselor sebagai reflective
practitioner dituntut selalu meningkatkan pelayanannya (Depdiknas, 2007).
Konselor harus mengenal latar belakang budaya yang dapat mempengaruhi perilaku
konseli, sebab bila konselor tidak mengenal budaya konseli akan terjadi layanan
bias budaya, dan layanan yang tidak peka budaya dapat menyebabkan layanan yang
tidak efektif. Untuk itu, Konselor sekolah dituntut memiliki kompetensi
(Depdiknas, 2007c). “Konselor profesional harus memahami
konseli ya ng dilayani secara mendalam” (Depdiknas,
2007a).
Pengakuan
yuridis formal status profesi konselor d bukan berarti konselor telah memberikan
layanan terbaik kepada konseli, namun ini menjadi bahan evaluasi diri konselor,
beberapa penelitian terdahulu menemukan ketidakpuasan pengguna layanan
konseling kepada kinerja konselor sekolah. Penelitian kompetensi konselor yang
dilakukan oleh Yusuf , (2007), menunjukkan bahwa walaupun secara umum
kompetensi konselor sekolah berada pada kategori tinggi, tetapi setelah
dianalisis lebih lanjut pada setiap item pernyat aan ternyata menunjukkan
kompetensi yang rendah. Temuan tersebut bermakna bahwa perlu adanya upaya
penelitian lebih lanjut pada aspek -aspek kompetensi untuk membenahi dan
meningkatkan kompetensi konselor sesuai dengan standar yang ditentukan.
Beberapa
literatur (misalnya, Bemak, 2005; Ponteretto, 1991; Toporek, 2001; Wallace,
2000) menyatakan keprihatinan atas kompetensi multibudaya konselor sekolah dan
kurangnya persiapan calon konselor dalam program pendidikan. Sebagai kepedulian
terhadap peningkatan kompetensi konselor multibudaya, para peneliti menyusun
sebuah deskripsi dimensi yang lebih definitif dari domain kompetensi (Sue. dkk,
1992). Asosiasi Konseling Amerika mendukung dan menyetujui daftar usulan
kompetensi konseling multibudaya dan standar untuk konselor yang berfokus pada
tiga bidang spesifik: kesadaran terhadap tatapandang budaya sendiri,
pengetahuan tentang budaya konseli yang berbeda dan keterampilan yang
diperlukan untuk bekerja dengan konseli yang berbeda budaya.
Dalam layanan
konseling m ultibudaya, pendekatan konvensional tidaklah cukup, harus
mempertimbangkan aspek -aspek budaya. Seringkali proses konseling kurang
efektif karena konselor kurang peduli terhadap perbedaan budaya pada diri
konseli seperti nilai -nilai yang yang dianut, bahasa, pandangan hidup, agama,
latar belakang keluarga, sikap dan kecerdasan (Ivey, 2003). Dalam konseling
multibudaya, banyak perilaku budaya yang terlibat dan mempengaruhi efektifitas
konseling. Oleh karena itu penting bagi konselor mengetahui informasi spesifik
tentang budaya lain ketika berinteraksi dengan konseli. Pengetahuan tentang
budaya konseli merupakan masukan penting bagi konselor dalam memulai relasi
konseling. APA,(2003) merekomendasikan pengetahuan tentang budaya konseli harus
dijunjung sebagai sesuatu yang sangat etis, Pelaksanaan konseling yang
mengabaikan sensitifitas budaya sebagai sesuatu yang tidak etis (Supriatna
& Nurihsan, 2005) .
D.
PENDIDIKAN DAN PELATIHAN KONSELOR
Penelitian Holcomb-McCoy (2005) menemukan bahwa kegiatan
pelatihan multibudaya, seperti kursus multibudaya dan lokakarya, secara
signifikan meningkatkan kompetensi konseling multibudaya. Selain itu, Sodowsky
(1998) menemukan bahwa pengalaman berkontribusi secara signifikan terhadap
kompetensi konseling multibudaya. Wheaton dan Granello (1998) menemukan adanya
hubungan yang signifikan antara kompetensi konseling multibudaya dengan faktor
pelatihan dan pengalaman. Bellini (2002) melaporkan bahwa konselor yang
partisipasi dalam lokakarya multibudaya memiliki skor keseluruhan yang lebih
tinggi pada inventori konseling multibudaya
Target populasi pelayanan konseling semakin luas tidak hanya
dari latar belakang budaya yang sama. Layanan konseling semakin terbuka untuk
semua tahap perkembangan mulai usia dini sampai lanjut, bahkan d ari
karakteristik individu yang normal maupun yang berkebutuhan khusus, dan berada
dalam berbagai lingkup seperti di sekolah, luar sekolah, keluarga, rumah sakit,
rumah penitipan anak & lembaga pemasyarakatan, oleh karena itu konselor
dituntut memiliki mem ahami kompleksitas interaksi individu -lingkungan dalam
keberagaman budaya.
Collins &
Pieterse (2007) merekomendasikan (a) pendidik konselor semestinya meninjau
kembali dan mengimplementasikan Critical
incident analysis based learning An approach
to training for active racial and cultural awareness yang mempengaruhi aspek kompetensi multibudaya dan
mendukung kesadaran multibudaya, (b) para pendidik konselor dan peneliti
memerlukan pemahaman empiris yang luas dan mendalam tentang proses
kompetensi dan nonkompetensi multibudaya, dan (c) membuat dan
mengimplementasikan pelatihan kompetensi konseling multibudaya.
Temuan penelitian dan kajian teoritis tersebut menjadi dasar
peningkatan kompetensi konseling multibudaya konselor sekolah secara integratif
yai tu, kesadaran, pengetahuan dan keterampilan. Kajian ini menyediakan cara
mempelajari konteks budaya konselor konseli, cara meningkatkan kompetensi,
mengatasi permasalahan yang timbul dalam proses konseling multibudaya. Dengan
demikian, penelitian ini dapat menambah keluasan literatur konseling
multibudaya sebagai bagian integral peningkatan kompetensi konselor sekolah dan
penyempurnaan kurikulum pelatihan konselor.
Mengingat profesi konselor di tanah air telah mendapatkan
pengakuan resmi dan semakin tumbuhnya kesadaran akan perlunya layanan konseling
yang berkualitas, maka perlu peningkatan kompetensi konseling multibudaya bagi
konselor sekolah. Ketiga dimensi tersebut membutuhkan perlakuan .
E. KESIMPULAN
Keragaman konseli sesuatu yang harus disadari oleh konselor.
Perbedaan dan keragaman tidak hanya pada perbedaan etnis/ suku, namun setiap
perbedaan karena jenis kelamin, bahasa, latar belakang sosial ekonomi, pendidikan
orang tua, aliran atau faham keyakinan yang dimiliki. Perkembangan dinamis
komunitas konseli tersebut berdampak pada konselor madrasah. Keragaman
mengakibatkan kebutuhan layanan konseling yang beragam, Konselor ditantang
mampu menyediakan layanan beragam sebagaimana perbedaan dan keragaman budaya
konseli.
Menghadapi
keragaman,konselor
sekolah perlu “mengubah persepsi mereka, belajar tentang konseling dan konsultasi terhadap beragam populasi,
mencukupkan diri dengan pengetahuan tentang budaya lain, tentang bentuk rasisme
dan mampu berperan sebagai agen perubahan sosial. Keragaman konseli menuntut
konselor sekolah untuk menunjukkan ketrampilan profesional dan kualifikasi yang
dibutuhkan dalam memenuhi kebutuhan konseli.
Pendidikan dan pelatihan peningkatan kesadaran, pengetahuan
dan k eterampilan konseling diantaranya kemampuan untuk berkomunikasi secara
efektif, mendengarkan dengan penuh perhatian, dan keterampilan pengungkapan
diri (self -disclosure) terhadap beragam konseli semakin dibutuhkan.
DAFTAR PUSTAKA
Axelson, J. A. (1999). Counseling and development in a
multicultural society. Pacific Grove, CA: Brooks/Cole.
Bemak, F.
(2005). Reflections on multiculturalism, social justice, and empowerment groups
for academic success: A critical discourse for contemporary schools. Professional
School Counseling, 8 , 401-406.
Depdiknas.
(2007a). Naskah Akademik Penataan Pendidikan Profesional Konselor Dan Layanan
Bimbingan Dan Konseling Dalam Jalur Pendidikan Formal. Jakarta: Direktorat
Jenderal Pendidikan Tinggi.
Depdiknas.
(2007c). Sertifikasi Guru dalam jabatan. Jakarta: Dirjen Dikti.
Hayden Davis, A. M. (2006). Multicultural
Counseling Competencies Of School Counselors.
Athens, Georgia: The University Of
Georgia.
Kartadinata, S. (2005). Standardisasi Profesi Bimbingan dan
Konseling. Makalah Konvensi Nasional XIV dan Konggres Nasional X ABKIN. Semarang:
ABKIN.
Matsumoto, D. (1996). Culture and
Psychology. California: Brooks/Cole Publishing Co.Ltd. Rakhmat, C. (2008). Paradigma
Konseling Berbasis Budaya: Metateori yang membumikan
Konseling dalam konteks Buda ya.
Pidato pengukuhan Guru Besar pada FIP UPI.
Bandung : UPI.
Redman, G. L. (1999). A casebook for exploring diversity in
K -12 classrooms. New Jersey: Prentice-Hall, Inc. .
Toporek, R. (2001). Context as a critical dimension of
multicultural counseling: Articulating personal, professional, and
institutional competence. Journal of Multicultural Counseling &
Development, 29(1 , 13-30.
Wallace, B. (2000). call for change in mult icultural training
at graduate schools of education: Educating to end oppression and for social
justice. Teachers College Record, 102 , 1086-1143.
0 komentar:
Posting Komentar