Kamis, 11 Juli 2013

MENINGKATKAN KESADARAN DAN PENGETAHUAN KONSELING LINTAS BUDAYA KONSELOR


MENINGKATKAN KESADARAN DAN PENGETAHUAN KONSELING

LINTAS BUDAYA KONSELOR,

(KAJIAN MATERI DDTK GURU BIMBINGAN KONSELING)

Oleh
Drs. H. Agus Akhmadi, M.Pd 1

Abstraks

Konselor sekolah dalam menghadapi beragam perbedaan konseli perlu “mengubah persepsi mereka, belajar mengenai konseling dan konsultasi terhadap beragam populasi, mencukupkan diri dengan pengetahuan tentang budaya lain, tentang bentuk rasisme dan mampu berperan sebagai agen perubahan sosial . Keragaman konseli menuntut k onselor sekolah untuk menunjukkan ketrampilan profesional dan kualifikasi yang dibutuhkan dalam memenuhi kebutuhan konseli multibudaya, yang berbeda dan beragam.
Untuk itu kesadaran dan penge tahuan dasar konseling mencakup kemampuan untuk berkomunikasi secara efektif, mendengarkan dengan penuh perhatian, dan pengungkapan diri (self-disclosure) semakin diperlukan. Konselor perlu empati, menghormati perbedaan, pemahaman informasi pribadi.


Perubahan komunitas konseli yang dimaknai semakin luas akibat beragam budaya berdampak langsung pada konselor sekolah /madrasah. Keragaman mengakibatkan kebutuhan layanan konseling berbasis multibudaya bagi konselor professional. Konselor ditantang mampu menyediakan layanan beragam sebagaimana p erbedaan dan keragaman konseli.

Kata Kunci: Kesadaran, pengetahuan konseling multibudaya, konselor sekolah

A. Pendahuluan

Pola perpindahan dan perkembangan penduduk karena kelahiran, karena pekerjaan

orang tua, atau karena perpindahan untuk mendapatkan sekolah/ pendidikan telah terjadi

diberbagai tempat. Perubahan komunitas juga terjadi pada latar pendidikan, siswa yang

berbeda budaya, latar belakang keluarga, agama, dan etnis berinteraksi dalam layanan di

lembaga sekolah. Saat ini semakin disadari adanya keberagaman konseli. Keberagaman

karena karakteristik sosial ekonomi, etnis, agama, demografi dan sikap sosial, keberagaman

karena karakteristik pribadi seperti tampilan fisik, kemampuan sosial, perilaku dan kebiasaan

dan kemampuan intelektual (Redman, A casebook for exploring diversity in K -12

classrooms, 1999) serta keberagaman aspek agama, etnis, gender, latar belakang budaya,

geografi, ras, abilitas/ disabilitas, usia ( Sue ,1991)

Interaksi sosial yang terbentuk dalam keberagaman ini memerlukan suatu pemahaman

lintas budaya (Matsumoto, 1996). Perubahan kompleksitas kehidupan masyarakat ke arah

multibudaya mempengaruhi berbagai aspek kehidupan. Dalam bidang konseling, keberagaman

budaya menyadarkan pentingnya konseling yang berbasis multibudaya dan kompetensi


1 Widyaiswara Madya Spesialisasi Bimbingan Konseling pada Balai Diklat Keagamaan Surabaya

2


multibudaya bagi konselor profesional. Konselor sekolah dalam menghadapi beragam perbedaan konseli, menurut (Holcomb-McCoy, 2004) perlu “mengubah persepsi mereka, belajar tentang konseling dan konsultasi, mencukupkan diri dengan pengetahuan tentang budaya lain, bentuk rasisme dan berperan sebagai agen perubahan sosial.

Dalam masyarakat dinamis yang berubah mensyaratkan para konselor menjadi fasilitator, ahli perbantuan, advokat dan terampil membuat kebijakan. K onselor aktif merefleksi atas pertanyaan -pertanyaan, konsultasi diri secara berkelanjutan dan memantau perkembangan untuk meningkatkan kompetensi dalam melayani konseli yang beragam budaya (Johannes & Erwin, 2004) .

Dari beberapa pendapat tersebut disimpulkan bahwa terdapat keberagaman konseli yang perlu sikap proaktif berupa peningkatan kesadaran, pengetahuan dan ketrampilan konselor terhadap keberagaman konseli. Isu multiklturalisme menuntut setiap konselor memiliki wawasan yang meyakini bahwa manusia hidup dengan perbedaan dan keberagaman, menolak terhadap kebenaran tunggal, memunculkan isu persamaan sosial (social equality), gender, kelompok minoritas dan marginal dan pemberdayaan. Profesi konselor sekolah dituntut menumbuhkan pemahaman multibudaya, artinya harus menyikapi keberagaman secara lebih terbuka, akomodatif, mampu berkolaborasi dengan bidang profesi lainnya.

B. KEBERAGAMAN KONSELI DALAM LAYANAN KONSELING


Dengan meningkatnya kebutuhan layanan sosial -emosional (termasuk kemiskinan, penyalahgunaan obat, kekerasan), ditambah dengan layanan masyarakat terpinggirkan (misalnya, privatisasi, restrukturisasi, perubahan kebijakan publik), konselor sekolah dihadapkan dengan jangkauan l ayanan kesehatan mental yang lebih luas dibandingkan tahun - tahun sebelumnya. Konselor perlu berubah untuk pengembangan potensi konseli yang berbeda dan beragam, seperti konseli dari ekonomi kurang mampu, penyandang cacat, dan berbeda budaya, remaja perkotaan dan perempuan (Axelson, 1999). Dari perspektif teoritis, menyikapi keberagaman budaya yang berbeda, maka penggunaan pendekatan konseling konvensional akan kurang efektif ketika melayani etnis yang beragam (Bemak, 2005), (Toporek, 2001), (Wallace, call for change in multicultural training at graduate schools of education: Educating to end oppression and for social justice, 2000) .

Dengan ditetapkan Undang Undang Sisdiknas 2003, konselor diakui sebagai profes i yang setara dengan profesi lainnya. Pengakuan tersebut mensyaratkan adanya kompetensi

3


dan kualifikasi tertentu, selain memenuhi standar pendidikan bimbingan konseling S -1, juga dipersyaratkan lulus uji kompetensi, meningkatkan tingkat pendidikan, mengiku ti pelatihan yang sesuai dengan kebutuhan layanannya.

C.  KESADARAN DAN PENGETAHUAN KONSELING MULTIBUDAYA


Konselor sekolah dituntut untuk menunjukkan ketrampilan profesional dan kualifikasi yang dibutuhkan untuk memenuhi kebutuhan konseli yang beragam perbedaan identitas dan budaya. Keterampilan dasar konseling mencakup kemampuan untuk berkomunikasi secara efektif, mendengarkan dengan penuh perhatian, ketrampilan empati, pengungkapan diri dan pemahaman informasi pribadi (Hayden Davis, 2006).

Konseling multibudaya membutuhkan integrasi kesadaran, pengetahuan dan keterampilan multibudaya dan budaya spesifik ke dalam lingkungan konseling, dengan penekanan pada teknik terapi yang efektif sesuai konteks budaya (Pedersen, 1997). Kode Etik Konseling Amerika menggambarkan kompetensi multibudaya sebagai "kapasitas konselor yang memiliki kesadaran dan pengetahuan tentang keberagaman budaya pada diri sendiri dan orang lain, dan bagaimana kesadaran dan pengetahuan tersebut ditera pkan secara efektif dalam praktek terhadap konseli dan kelompok konseli" (APA, 2006). Konseling multibudaya dan konseling tradisional memiliki konsep yang saling terkait, "kompetensi konseling multibudaya mencakup pengetahuan dan keterampilan konseling yan g lebih spesifik dan mumpuni" (Patterson, 2004), (Fuertes, Bartolomeo, & Matthew, 2001) .

Konseling multibudaya tidak mengabaikan pendekatan tradisional yang monokultur, melainkan mengintegrasikannya dengan perspektif budaya yang beragam (Rakhmat, 2008). Tujuannya adalah memperkaya teori dan metode konseling yang bersesuaian dengan konteks konseling. Konseling multibudaya mengharuskan konselor mengambil sikap proaktif terhadap perbedaan budaya, mengenali dan menghargai multibudaya setiap individu serta memiliki pengetahuan dan kesadaran multibudaya .

Konselor yang memiliki kompetensi konseling multibudaya dalam layanan konseling menyadari tantangan pemenuhan layanan beragam konseli. Konselor menghargai dan mampu berinteraksi dengan beragam konseli, memiliki tata pandang positif terhadap beragam budaya (Pederson,1988). Konselor memahami manifestasi kultural sebagai keunikan latar belakang pribadi, sosial dan psikologis. Konselor dapat mengadaptasi model - model, teori-teori dan teknik-teknik konseling dalam rangka menghargai, memperlakukan

4


dan memenuhi keunikan kebutuhan konseli. Ketrampilan ini dapat membantu konselor sekolah memahami konseli sebagai individu maupun anggota kelompok kultural tertentu. Menurut Sue, & Sue (2003) kompetensi konseling multibudaya adalah:

”acquisition of awareness, knowledge and skill needed to function effectively in a pluralistic democratic society (ability to communicate, interact, negotiate and intervene on behalf of clients from diverse back grounds). And on a organizational/societal level, advocating effectively to develop new theories,

practices, policies and organizational structures that are more responsive to all groups”

Dari definisi diatas dapat disimpulkan bahwa kompetensi konseling mu ltibudaya ditunjukkan dengan pemerolehan kesadaran, pengetahuan dan ketrampilan konselor. Kemampuan tersebut menjadi modal untuk berkomunikasi, berinteraksi, bernegosiasi dan membantu konseli yang memiliki latar belakang budaya yang berbeda dalam lingkunga n yang demokratis pluralistik, yang mendukung secara efektif untuk mengembangkan teori - teori, praktik-praktik, kebijakan-kebijakan dan struktur organisasi baru yang lebih responsive bagi semua kelompok.

Dalam profesi perbantuan , kompetensi multibudaya menu njukkan bahwa a) bentuk penanganan (treatment) konvensional one-to one untuk memperbaiki permasalahan yang ada dapat bertentangan dengan pengalaman sosio -politik dan kultural konseli. b) kompetensi konseling multibudaya dapat dilihat dalam tiga dimensi, yaitu komponen kesadaran terhadap sikap/kepercayaan (attitudes/beliefs component ), komponen pengetahuan ( knowledge component) dan komponen ketrampilan ( skills component). c) kompetensi multibudaya diarahkan pada tingkat personal/individual dan tingkat orga nisasi/sistem. d) Kompetensi multibudaya membahas perkembangan alternatif helping.

Menurut Sue & Sue (2003), profesi konseling tidaklah cukup hanya dengan mendasarkan pada standar lama tanpa memperhatikan/memenuhi kebutuhan beragam konseli. Masih terdapat kesenjangan antara standar konseling multibudaya dengan praktek. Kesenjangan ini dapat menghambat layanan konseling bahkan mengakibatkan mallpraktek dalam layanan. Konseling multibudaya tidak hanya terbatas pada kelompok minoritas atau kelompok berbeda dari aspek etnis saja, namun juga pada pengertian multibudaya yang lebih luas, meliputi keberagaman agama, etnis, gender, latar belakang budaya, geografi, ras, abilitas dan disabilitas, usia (Sue & Sue, 2003).

Keberagaman komunitas sekolah menuntut konsel or mampu berperan dalam membantu siswa mempersiapkan diri dalam kehidupan plural dan multibudaya, dapat

5


mengembangkan soft skill untuk membantu diri sendiri dalam memilih dan mengambil keputusan secara bertanggung jawab, sehingga menjadi manusia yang seha t dan berbudaya yang mampu hidup berdampingan secara harmonis dengan masyarakat multibudaya disamping menjadi manusia yang sukses secara akademik/karir. Oleh karena itu wajar adanya tuntutan peningkatan kompetensi konselor dalam layanannya.

Semakin kompleknya permasalahan konselor di lapangan, determinasi budaya yang menyebabkan karakteristik konseli yang berbeda dengan sebelumnya dan berbagai permasalahan konseli yang beragam menyebabkan tugas dan tanggung jawab konselor semakin berat. Ekspektasi kinerja konselor sebagai reflective practitioner dituntut selalu meningkatkan pelayanannya (Depdiknas, 2007). Konselor harus mengenal latar belakang budaya yang dapat mempengaruhi perilaku konseli, sebab bila konselor tidak mengenal budaya konseli akan terjadi layanan bias budaya, dan layanan yang tidak peka budaya dapat menyebabkan layanan yang tidak efektif. Untuk itu, Konselor sekolah dituntut memiliki kompetensi (Depdiknas, 2007c). “Konselor profesional harus memahami konseli ya ng dilayani secara mendalam” (Depdiknas, 2007a).

Pengakuan yuridis formal status profesi konselor d bukan berarti konselor telah memberikan layanan terbaik kepada konseli, namun ini menjadi bahan evaluasi diri konselor, beberapa penelitian terdahulu menemukan ketidakpuasan pengguna layanan konseling kepada kinerja konselor sekolah. Penelitian kompetensi konselor yang dilakukan oleh Yusuf , (2007), menunjukkan bahwa walaupun secara umum kompetensi konselor sekolah berada pada kategori tinggi, tetapi setelah dianalisis lebih lanjut pada setiap item pernyat aan ternyata menunjukkan kompetensi yang rendah. Temuan tersebut bermakna bahwa perlu adanya upaya penelitian lebih lanjut pada aspek -aspek kompetensi untuk membenahi dan meningkatkan kompetensi konselor sesuai dengan standar yang ditentukan.

Beberapa literatur (misalnya, Bemak, 2005; Ponteretto, 1991; Toporek, 2001; Wallace, 2000) menyatakan keprihatinan atas kompetensi multibudaya konselor sekolah dan kurangnya persiapan calon konselor dalam program pendidikan. Sebagai kepedulian terhadap peningkatan kompetensi konselor multibudaya, para peneliti menyusun sebuah deskripsi dimensi yang lebih definitif dari domain kompetensi (Sue. dkk, 1992). Asosiasi Konseling Amerika mendukung dan menyetujui daftar usulan kompetensi konseling multibudaya dan standar untuk konselor yang berfokus pada tiga bidang spesifik: kesadaran terhadap tatapandang budaya sendiri, pengetahuan tentang budaya konseli yang berbeda dan keterampilan yang diperlukan untuk bekerja dengan konseli yang berbeda budaya.

6


Dalam layanan konseling m ultibudaya, pendekatan konvensional tidaklah cukup, harus mempertimbangkan aspek -aspek budaya. Seringkali proses konseling kurang efektif karena konselor kurang peduli terhadap perbedaan budaya pada diri konseli seperti nilai -nilai yang yang dianut, bahasa, pandangan hidup, agama, latar belakang keluarga, sikap dan kecerdasan (Ivey, 2003). Dalam konseling multibudaya, banyak perilaku budaya yang terlibat dan mempengaruhi efektifitas konseling. Oleh karena itu penting bagi konselor mengetahui informasi spesifik tentang budaya lain ketika berinteraksi dengan konseli. Pengetahuan tentang budaya konseli merupakan masukan penting bagi konselor dalam memulai relasi konseling. APA,(2003) merekomendasikan pengetahuan tentang budaya konseli harus dijunjung sebagai sesuatu yang sangat etis, Pelaksanaan konseling yang mengabaikan sensitifitas budaya sebagai sesuatu yang tidak etis (Supriatna & Nurihsan, 2005) .

D.  PENDIDIKAN DAN PELATIHAN KONSELOR


Penelitian Holcomb-McCoy (2005) menemukan bahwa kegiatan pelatihan multibudaya, seperti kursus multibudaya dan lokakarya, secara signifikan meningkatkan kompetensi konseling multibudaya. Selain itu, Sodowsky (1998) menemukan bahwa pengalaman berkontribusi secara signifikan terhadap kompetensi konseling multibudaya. Wheaton dan Granello (1998) menemukan adanya hubungan yang signifikan antara kompetensi konseling multibudaya dengan faktor pelatihan dan pengalaman. Bellini (2002) melaporkan bahwa konselor yang partisipasi dalam lokakarya multibudaya memiliki skor keseluruhan yang lebih tinggi pada inventori konseling multibudaya

Target populasi pelayanan konseling semakin luas tidak hanya dari latar belakang budaya yang sama. Layanan konseling semakin terbuka untuk semua tahap perkembangan mulai usia dini sampai lanjut, bahkan d ari karakteristik individu yang normal maupun yang berkebutuhan khusus, dan berada dalam berbagai lingkup seperti di sekolah, luar sekolah, keluarga, rumah sakit, rumah penitipan anak & lembaga pemasyarakatan, oleh karena itu konselor dituntut memiliki mem ahami kompleksitas interaksi individu -lingkungan dalam keberagaman budaya.

Collins & Pieterse (2007) merekomendasikan (a) pendidik konselor semestinya meninjau kembali dan mengimplementasikan Critical incident analysis based learning An approach to training for active racial and cultural awareness yang mempengaruhi aspek kompetensi multibudaya dan mendukung kesadaran multibudaya, (b) para pendidik konselor dan peneliti memerlukan pemahaman empiris yang luas dan mendalam tentang proses

7


kompetensi dan nonkompetensi multibudaya, dan (c) membuat dan mengimplementasikan pelatihan kompetensi konseling multibudaya.

Temuan penelitian dan kajian teoritis tersebut menjadi dasar peningkatan kompetensi konseling multibudaya konselor sekolah secara integratif yai tu, kesadaran, pengetahuan dan keterampilan. Kajian ini menyediakan cara mempelajari konteks budaya konselor konseli, cara meningkatkan kompetensi, mengatasi permasalahan yang timbul dalam proses konseling multibudaya. Dengan demikian, penelitian ini dapat menambah keluasan literatur konseling multibudaya sebagai bagian integral peningkatan kompetensi konselor sekolah dan penyempurnaan kurikulum pelatihan konselor.

Mengingat profesi konselor di tanah air telah mendapatkan pengakuan resmi dan semakin tumbuhnya kesadaran akan perlunya layanan konseling yang berkualitas, maka perlu peningkatan kompetensi konseling multibudaya bagi konselor sekolah. Ketiga dimensi tersebut membutuhkan perlakuan .


E. KESIMPULAN

Keragaman konseli sesuatu yang harus disadari oleh konselor. Perbedaan dan keragaman tidak hanya pada perbedaan etnis/ suku, namun setiap perbedaan karena jenis kelamin, bahasa, latar belakang sosial ekonomi, pendidikan orang tua, aliran atau faham keyakinan yang dimiliki. Perkembangan dinamis komunitas konseli tersebut berdampak pada konselor madrasah. Keragaman mengakibatkan kebutuhan layanan konseling yang beragam, Konselor ditantang mampu menyediakan layanan beragam sebagaimana perbedaan dan keragaman budaya konseli.
Menghadapi keragaman,konselor sekolah perlu “mengubah persepsi mereka, belajar tentang konseling dan konsultasi terhadap beragam populasi, mencukupkan diri dengan pengetahuan tentang budaya lain, tentang bentuk rasisme dan mampu berperan sebagai agen perubahan sosial. Keragaman konseli menuntut konselor sekolah untuk menunjukkan ketrampilan profesional dan kualifikasi yang dibutuhkan dalam memenuhi kebutuhan konseli.

Pendidikan dan pelatihan peningkatan kesadaran, pengetahuan dan k eterampilan konseling diantaranya kemampuan untuk berkomunikasi secara efektif, mendengarkan dengan penuh perhatian, dan keterampilan pengungkapan diri (self -disclosure) terhadap beragam konseli semakin dibutuhkan.

8


DAFTAR PUSTAKA


Axelson, J. A. (1999). Counseling and development in a multicultural society. Pacific Grove, CA: Brooks/Cole.

Bemak, F. (2005). Reflections on multiculturalism, social justice, and empowerment groups for academic success: A critical discourse for contemporary schools. Professional School Counseling, 8 , 401-406.

Depdiknas. (2007a). Naskah Akademik Penataan Pendidikan Profesional Konselor Dan Layanan Bimbingan Dan Konseling Dalam Jalur Pendidikan Formal. Jakarta: Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi.
Depdiknas. (2007c). Sertifikasi Guru dalam jabatan. Jakarta: Dirjen Dikti.

Hayden Davis, A. M. (2006). Multicultural Counseling Competencies Of School Counselors.
Athens, Georgia: The University Of Georgia.

Kartadinata, S. (2005). Standardisasi Profesi Bimbingan dan Konseling. Makalah Konvensi Nasional XIV dan Konggres Nasional X ABKIN. Semarang: ABKIN.

Matsumoto, D. (1996). Culture and Psychology. California: Brooks/Cole Publishing Co.Ltd. Rakhmat, C. (2008). Paradigma Konseling Berbasis Budaya: Metateori yang membumikan
Konseling dalam konteks Buda ya. Pidato pengukuhan Guru Besar pada FIP UPI.
Bandung : UPI.

Redman, G. L. (1999). A casebook for exploring diversity in K -12 classrooms. New Jersey: Prentice-Hall, Inc. .

Toporek, R. (2001). Context as a critical dimension of multicultural counseling: Articulating personal, professional, and institutional competence. Journal of Multicultural Counseling & Development, 29(1 , 13-30.

Wallace, B. (2000). call for change in mult icultural training at graduate schools of education: Educating to end oppression and for social justice. Teachers College Record, 102 , 1086-1143.

0 komentar: