A. Strategi Dasar Pendidikan Budi
Pekerti dalam Hubungannya dengan Pendekatan Pendidikan Budi Pekerti.
Agar
pendekatan yang digunakan dalam pendidikan Budi Pekerti mampu mewujudkan tujuan
dari pendidikan Budi Pekerti itu sendiri, maka perlu ditekankan strategi yang
akan digunakan sebagai acuan.
Sesuai
dengan visi pendidikan budi pekerti, pelaksanaan pendidikan budi pekerti yang
selama ini banyak dimaknai secara tradisional dan lokal telah
direkonseptualisasi dan direposisi menjadi “pendidikan budi pekerti” yang
diyakini akan memberi kontribusi yang bermakna dalam upaya pembentukan “Manusia
Seutuhnya”.
Pola
pikir akademis dan pedagogis tersebut, diyakini sangatlah tepat karena memang
secara substantif dan praksis budi pekerti tidak bisa dilepaskan dari tujuan,
instrumentasi, dan praksis kurikuler dan pedagogis mata pelajaran keagamaan,
sosial, dan humaniora.Semua mata pelajaran tersebut secara esensial mengandung
pengembangan kognisi, afeksi, dan keterampilan sosial yang diyakini sangat
potensial dalam mengembangkan individu.
Atas
dasar pertimbangan hal-hal di atas, maka dalam penyelenggaraan pendidikan budi
pekerti ditetapkan strategi dasar sebagai berikut.
Ø Pendidikan
budi pekerti sebagai substansi dan praksis pendidikan di lingkungan
persekolahan, terintegrasi dalam sejumlah mata pelajaran yang relevan dan iklim
sosial budaya sekolah.
Ø Pengorganisasian
pendidikan budi pekerti dalam kurikulum dunia persekolahan dapat dilakukan
melalui beberapa alternatif, antara lain:
a)
Mulai dari taman kanak-kanak (TK) sampai
dengan sekolah menengah atas (SMA) pendidikan budi pekerti diintegrasikan ke
dalam mata pelajaran yang relevan; atau
b)
Di TK diintegrasikan ke dalam bidang
yang relevan, di SD diintegrasikan ke dalam pendidikan agama dan pendidikan
kewarganegaraan, serta pendidikan bahasa Indonesia/daerah.
c)
Di SMP dan SMA diintegrasikan ke dalam
pendidikan agama dan pendidikan kewarganegaraan, pendidikan IPS serta
pendidikan bahasa Indonesia/daerah, dan mata pelajaran yang relevan.
Ø Keterlibatan
seluruh komponen penyelenggaraan pendidikan, khususnya guru, kepala sekolah,
administrator pendidikan, pengembang kurikulum, penulis buku teks dan lembaga
pendidikan tenaga keguruan sesuai dengan kedudukan, peran, dan tanggung
jawabnya.
Secara
kurikuler dan pedagogis nilai-nilai esensial dan operasional budi pekerti yang
menjadi isi pendidikan budi pekerti, selanjutnya dikembangkan dan diterapkan
secara adaptif dalam pengembangan perangkat pembelajaran dan perwujudan praktis
pendidikan budi pekerti.Dengan demikian, pengembangan butir-butir nilai budi
pekerti luhur oleh dan dalam masing-masing mata pelajaran yang relevan tidak
terjadi over lapping atau timpang tindih tidak perlu dan potensial menimbulkan
kebosanan dikalangan peserta didik dan guru.
Wahana
dalam konteks ini dimaknai sebagai isi dan proses mata pelajaran yang relevan,
yang dirancang untuk mengintegrasikan pendidikan budi pekerti. Sebagai contoh
antar lain ahlak dalam pendidikan agama; demokrasi dan HAM dalam PPKn.
Pemilihan mata pelajaran pendidikan agama dan PPKn sebagai wahana untuk
pendidikan budi pekerti, dinilai sangat tepat karena secara konstitusional
negara Indonesia merupakan sila-sila Pancasila sebagai pondasi dan sekaligus
muara dari keseluruhan upaya pendidikan untuk mencerdaskan bangsa. Secara
instrumental kurikuler, karena pendidikan budi pekerti termasuk kedalam
pendidikan nilai, maka berlaku paradigma pedagogis bahwa nilai tidak semata
mata diajarkan atau ditangkap sendiri, tetapi lebih jauh dari itu nilai
dipelajari dan diamati. Oleh karena itu, pendekatan pendidikannya harus berubah
dari pendekatan didaktis (didassien/didasei = saya mengajar) menjadi pendekatan
belajar, yang lebih menekankan kedudukan dan peran peserta didik sebagai subjek
ajar dan bukan sebaliknya sebagai objek ajar.
B. Metode Pendidikan Budi Pekerti
Pendidikan budi pekerti bukanlah suatu hal yang mudah
dilakukan.Pelaksanaannya membutuhkan suatu strategi jitu agar bisa mendapatkan
hasil sesuai dengan diharapkan. Salah satu aspek penting dalam strategi
tersebut diantaranya adalah aspek metode penyampaian.Sebagai seorang guru harus
pintar-pintar memilih metode yang digunakan sesuai dengan kondisi
siswa-siswanya.
Menurut Paul Suparno, dkk (2002: 45-52) ada beberapa metode
penyampaian pendidikan budi pekerti, antara lain :
1)
Metode Demokratis
Metode demokratis menekankan pencarian secara bebas dan
penghayatan nilai-nilai hidup dengan langsung melibatkan anak untuk menentukan
nilai-nilai tersebut dalam pendampingan dan pengarahan guru. Anak diberi
kesempatan untuk memberikan tanggapan, pendapat, dan penilaian terhadap
nilai-nilai yang ditemukan. Guru tidak bersikap sebagai pemberi informasi satu-satunya.
Guru berperan sebagai penjaga garis atau koridor dalam penemuan nilai hidup
tersebut. Nilai-nilai yang dapat ditanamkan dari metode ini adalah keterbukaan,
kejujuran, penghargaan pendapat orang lain, sportivitas, kerendahan hati, dan
toleransi. Pencarian nilai-nilai tersebut bisa dilakukan dengan mengamati
secara langsung kasus-kasus yang ada di lingkungan sekolah kemudian siswa
diminta menentukan dampak positif dan negatif terhadap masyarakat
sekitar. Dari dampak-dampak tersebut kemudian siswa dituntut untuk menentukan
nilai-nilai yang terkandung dalam kasus yang mereka amati.
2)
Metode Pencarian Bersama
Metode ini menekankan pada pencarian bersama
yang melibatkan siswa dan guru. Pencarian bersama lebih berorientasi pada
diskusi atas soal-soal yang aktual dalam masyarakat, dimana dalam proses ini
diharapkan menumbuhkan sikap berpikir logis, analitis, sistematis, argumentatif
untuk dapat mengambil nilai-nilai hidup dari masalah yang diolah bersama.
Melalui metode ini siswa diajak aktif mencari dan menemukan tema yang sedang
berkembang dan menjadi perhatian bersama.Dengan menemukan permasalahan,
mengkritisi dan mengolahnya anak diharpkan dapat menemukan nilai-nilai yang ada
dan menerapkannya dalam kehidupan mereka.Anak diajak untuk secara kritis
mengolah sebab akibat dari permasalahan yang muncul tersebut.Anak diajari untuk
tidak cepat menyimpulkan apalagi mengambil sikap, namun dengan cermat dan
hati-hati melihat duduk permasalahan untuk sampai pada pengambilan sikap.
3)
Metode Siswa Aktif
Metode siswa aktif menekankan pada proses yang melibatkan
anak sejak awal pembelajaran. Guru memberikan pokok bahasan dan anak dalam
kelompok mencari dan mengembangkan proses selanjutnya. Anak membuat pengamatan,
pembahasan analisis sampai pada proses penyimpulan atas kegiatan mereka. Metode
ini ingin mendorong anak untuk mempunyai kreatifitas, ketelitian, kecintaan
terhadap ilmu pengetahuan, kerja sama, kejujuran, dan daya juang.
4)
Metode Keteladanan
Anak belajar dari lingkungan terdekat dan mempunyai intensitas
rasional yang tinggi. Proses pembentukan pekerti pada anak dimulai dengan
melihat orang yang akan diteladani. Anak melihat apa yang dilakukan oleh guru
kemudian merekam dan menirunya. Dengan keteladanan guru dapat membimbing anak
untuk membentuk sikap yang kokoh. Keselarasan antara kata dan tindakan dari
guru akan amat berarti berarti bagi siswa. Anak akan berpikir bahwa apa yang
mereka ajarkan itu benar dan bisa ditiru. Akan tetapi jika tidak terjadi
kecocokan antara kata dan tindakan yang dilakukan guru maka siswa akan
menganggap nilai yang mereka ajarkan itu tidak benar. Akan berbahaya jika
perilaku guru yang salah itu ditiru siswa.Maka ini berarti bahwa guru
menjerumuskan siswa.Oleh karena itu dituntut ketulusan, keteguhan,
kekonsistenan hidup seorang guru.Budi pekerti adalah sikap hidup yang disadari,
diyakini, dan dihayati dalam tingkat tingkah laku kehidupan.Kesatuan antara
pikiran, perkataan dan perbuatan.
5)
Metode Live
In
Metode live
in atau pengalaman langsung
dimaksudkan agar siswa mempunyai pengalaman hidup bersama orang lain langsung
dalam situasi yang berbeda dari kehidupan sehari-harinya. Dengan pengalaman
langsung anak dapat mengenal lingkungan hidup yang berbeda dalam cara berpikir,
tantangan, permasalahan termasuk tentang nilai-nilai hidupnya. Live in tidak harus berhari-hari secara
berturut-turut dilaksanakan. Misalnya anak diajak berkunjung dan membantu suatu
panti asuhan anak-anak cacat.Siswa diajak terlibat dalam melaksanakan tugas-tugas
harian yang bisa mereka jalankan, tidak membutuhkan keahlian khusus, dan tidak
berbahaya bagi kedua belah pihak. Membantu dan melayani anggota panti asuhan
yang tergantung pada orang lain akan memberi pengalaman khusus bagi siswa dan
bisa meningkatkan rasa syukur mereka karena bisa hidup dengan lebih baik.
6)
Metode Penjernihan Nilai
Metode penjernihan nilai dilakukan dengan dialog afektif
dalam bentuk sharing atau diskusi yang mendalam dan intensif. Berbagai latar
belakang sosial kehidupan, pendidikan, dan pengalaman dapat membawa perbedaan
pemahaman dan penerapan nilai-nilai hidup.Adanya berbagai pandangan hidup dalam
masyarakat bisa membuat seorang anak bingung. Apabila kebingungan ini tidak
dapat terungkap dengan baik dan tidak mendapat pendampingan yang baik pula maka
anak bisa mengalami pembelokan nilai hidup.oleh karena itulah proses
penjernihan nilai penting untuk dilakukan. Misalnya, pada mata pelajaran
kewarganegaraan siswa diajak membahas kasus korupsi yang sedang marak di
Indonesia. Tahap demi tahap anak diajak untuk melihat dan menilai apa yang
terjadi dalam masyarakatdan akhirnya pada apa yang mereka lakukan. Siswa diajak
untuk melihat bahwa tindakan salah dan benar tidak tergantung pada banyak
sedikitnya pelaku namun pada nilai tindakan itu sendiri.Pada akhirnya siswa
siswa bisa menentukan dan berani mengambil sikap yang baik dalam hidupnya.
Inovasi-inovasi dilakukan bergantung kreativitas guru
masing-masing sesuai dengan karakteristik siswa masing-masing, lingkungan
sekolah serta situasi dan kondisi yang ada.
C.
Penilaian
Pendidikan Budi Pekerti
a)
Tujuan penilaian budi pekerti.
Untuk mengukur seberapa jauh nilai budi pekerti telah dipahami, dihayati,
dan diterapkan siswa dalam kehidupan sehari-hari, sekurang-kurangnya dapat
terlihat dilingkungan sekolah.
b)
Aspek
penilaian pendidikan budi pekerti
Ø Kerapian :
penampilan.
Ø Kerajinan
: Presensi.
Ø Kelakuan :
Sikap.
·
Aspek nilai dalam kelakuan :
1. Religiositas
: mampu berterimaksih dan bersyukur, mmenghormati, dan mencintai Tuhan.
2. Sosial :
Bertoleransi dalam kegiatan, tidak mau menang sendiri, memperbaiki diri lewat
saran orang lain.
3. Gender :
Bersikap positif terhadap perempuan, tidak meremehkan perempuan, apresiatif
terhadap tamu perempuan.
4. Keadilan :
Sikap tidak memihak, menghargai hak orang lain, mengedepankan kewajiban diri.
5. Demokrasi
: Menghargai pendapat dan usaha orang lain, tidak menganggap diri paling benar,
berpikir positif terhadap orang lain, menerima perbedaan pendapat.
6. Kejujuran:
Tidak berbohong, mengakui kelebihan orang lain, mengakui kesalahan,
keterbatasan, dan kekurangan diri sendiri, memilih cra terpuji dalam tugas,
ujian, dan kegiatan lain.
7. Kemandirian:
Berinisiatif, bertanggung jawab pada diri sendiri secara konsekuen, tidak tergantung
pada orang lain, tidak terpengaruh ucapan atau perbuatan orang lain.
8. Daya juang:
Gigih dan percaya diri dalam mengerjakan setiap hal, menghindari tindakan
sia-sia, optimal mewujudkan keinginannya tidak putus asa, tidak malas.
9. Tanggung
jawab: mengerjakan tugas dengan semestinya, menghindarkan diri dari sikap
menyalahkan orang lain, tidak melemparkan persoalan pada orang lain, memahami
dan menerima resiko suatu tindakan.
10. Penghaegaan
terhadap alam: Menjaga kebersihan kelas dan lingkungan sekolah, menghindarkan
diri dari corat-coret meja atau dinding kelas, memperhatikan sampah dan tanaman
disekitarnya.
c)
Model
penilaian.
1.
Model penilaian kuantitatif.
Penyajian
hasil penilaian dengan menggunakan angka dan biasanya berpegang pada rentangan
angka satu (1) sampai sepuluh (10).Hasil Hasil penilaian model ini langsung
menyentuh kecerdasan moralitas siswa.Kelemahan model ini tidak membangun
kesadaran moral siswa berkembang dari dalam. Bahkan bisa jadi akan lebih
menyuburkan suasana ketidak jujuran dan subyektifitas penilai, serta
pendangkalan budi pekerti siswa.
2.
Model penilaian kualitatif.
Penyajian
hasil penilaian dengan menggunakan bentuk pernyataan verbal seperti baik
sekali, baik, sedang, kurang, atau kurang sekali.Rumusan penilaian model ini
bersifat deskriptif, mengungkapka hal-hal positif dari sebuah aspek perilaku,
kemudian menunjukkan kekurangan dan upaya perbaikan yang mesti dilakukan.Memuat
juga tentang perilaku yang sudah dicapai, yang harus dipertahankan, yang kurang
dan harus diperjuangkan.
0 komentar:
Posting Komentar