Moral
Merupakan suatu ajran-ajaran ataupun
wejangan-wejangan, patokan-patokan, kumpulan peraturan baik lisan maupun
tertulis tentang bagaimana manusia harus hidup dan bertindak agar menjadi
manusia yang baik. (Kaelani, 2010)
Perkembangan
Moral
Adalah perkembangan yang berkaitan
dengan aturan dan konvensi mengenai apa yang seharusnya dilakukan oleh manusia
dalam interaksinya dengan orang lain (Santrok, Perkembangan Peserta Didik
;2009). Anak-anak ketika dilahirkan tidak memiliki moral (immoral), tetapi
dalam dirinya terdapat potensi moral yang siap untuk dikembangkan. Karena itu,
melalui pengalamannya berinteraksi dengan orang lain anak belajar memehami
tenyang perilaku mana yang baik, yang boleh dikerjakan dan tingkahlaku mana
yang buruk, yang tidak boleh dikerjakan.
Teori
Psikoanalisa Tentang Perkembangan Moral
Dalam menggambarkan perkembangan moral,
teori psikoanalisa dengan pembagian struktur kepribadaian manusia atqas tiga,
yaitu id, ego, dan superego. Id adalah struktur kepribadian yang terdiri atas
aspek-aspek biologis yang irasional dan tidak disadari. Ego adalah struktur
kepribadian yang terdiri atas aspek psikologis, yaitu subsistem ego yang
rasional dan disadari, namun tidak memiliki moralitas. Superego adalah struktur
kepribadian yang terdiri atas aspek sosial yang berisikan sistem nilai dan
moral yang benar-benar memperhitungkan mana yang benar dan mana yang salah.
Struktur superego mempunyai dua komponen
yaitu ego ideal kata hati (conscience). Kata hati menggambarkan bagian dalam
atau kehidupan mental seseorang, peraturan-peraturan masyarakat, hukum, etika
dan moral. Pada usia kira-kira 5
tahunperkembangan superego secara khas akan menjadi sempurna. Ketika hal ini
terjadi, maka suara hati akan terbentuk. Ini berarti bahwa pada usia sekitar 5
tahun orang sudah menyelesaikan perkembangan moralnya (Lerner & Hultsch,
1983 dalam Perkembangn Peserta didik (2009).
Teori
belajar sosial tentang perkembangan moral
Teori belajar sosial melihat tingkahlaku
moral sebagai respons atas stimulus. Dalam hal ini proses-proses penguatan,
penghukuman dan peniruan digunakan untuk menjelaskan perilaku moral anak-anak.
Bila anak diberi hadiah atas perilaku yang sesuai dengan peraturan dan kontrak
sosial, mereka akan mengulangi perilaku tersebut. Sebaliknya, bila mereka
dihukum atas perilaku yang tidak bermoral, maka perilaku itu akan berkurang dan
menghilang.
Teori
kognitif Piaget tentang Perkembangan Moral
Teori kognitif Piaget mengenai
perkembangan moral melibatkan prinsip-prinsip dan proses-proses yang sama
dengan pertumbuhan kognitif yang ditemui dalam teorinya tentang perkembangan
intelektual. Bagi Piaget, perkembangan moral digambarkan melalui aturan
permainan. Karena itu, hakikat moralitas adalah kecenderungan untuk menerima
dan mentaati sistem peraturan. Berdasarkan hasil observasinya Piaget
menyimpulkan bahwa pemikiran nak-anak tentang moralitas dapat dibedakan atas
dua tahap yaitu tahap Heteromous morallity dan autonomous morallity (Siefert
& Hoffnung, 1994 dalam Perkembangan Peserta Didik 2009).
Heteromous morallity atau morallity of
Counstrain adalah tahap perkembangan moral yang terjadi pada anak-anak usia
kira-kira 6-9 tahun. Dalam tahap berpikir ini anak-anak menghormati
ketentuan-ketentuan suatu permainan sebagai sesuatu yang bersifat suci dan
tidak dan tidak dapat diubah karenaberasal dari otoritas yang di hormatinya.
Anak-anak pada masa ini yakin akan keadilan immanen, yaitu konsep bahwa bila
suatu aturan di langgar, hukuman akan segera di jatuhkan. Mereka percaya bahwa
pelanggaran diasosiasikan secara otomatis dengan hukuman, dan setiap
pelanggaran akan dihukum menurut tingkat kesalahan yang dilakukan seorang anak
dengan mengabaikan apakah kesalahan itu sengaja atau kebetulan.
Autonomous morallity atau morallity of
coorporation ialah tahap perkembangan moral yang terjadi pada anak-anak usia
kira-kira 9-12 tahun. Pada tahap ini anak-anak mulai sadar bahwa aturan-aturan
dan hukuman-hukuman merupakan ciptaan manusia dan dalam menerapkan suatu
hukuman atas suatu tindakan harus mempertimbangkan maksud perilaku serta
akibat-akibatnya. Bagi anak-anak dalam tahap ini, pereturan-peraturan hanyalah
masalah kenyamanan dan kontrak sosial yang telah dietujui bersama, sehingga
mereka meneria dan mengakui perubahan menurut kesepakatan. Dalam tahap ini anak
juga meninggalkan penghormatan sepihak terhadap otoritas dan mengembangkan
penghormatan kepada teman sebayanya. Mereka nampak membandel kepada otoritas
serta lebih mentaati peraturan kelompok sebaya atau pimpinannya
Teori
Kohlberg tentang Perkembangan Moral
Teori Kohlberg tentang perkembangan
moral merupakan perluasan, modifikasi dan redefeni atas teori Piaget. Teori ini
didasarkan atas analisinya terhadap hasil wawancara dengan anak laiki-laki usia
10-16 tahun yang dihadapkan pada suatu dilema moral dimana mereka harus memilih
antara tindakan mentaati peraturan atau memenuhi kebutuhan hidup dengan cara
yang bertentangan dengan peraturan.
Berdasarkan pertimbangan yang diberikan
atas pertanyaan kasus dilematis yang dihadapi seseorang, Kohlberg
mengklasifikasikan perkembangan moral atas tiga tingkatan, yang kemudian dibagi
lagi menjadi enam tahap. Kohlberg setuju dengan Piaget yang menjelaskan bahwa
sikap moral bukan merupakan hasil sosialisasi atau pelajaran yang diperoleh
dari pengalaman. Tetapi tahap-tahap perkembangan moral diperoleh dari
aktivitas-aktivitas spontan dari anak-anak. Anak-anak memang berkembang melalui
interaksi sosial, namun interaksi ini memiliki corak khusus, dimana faktor
pribadi yaitu aktivitas-aktivitas anak ikut berperan. Hal penting lain dari
teori perkembangan moral Kohlberg adalah orientasinya untuk mengungkapkan moral
yang hanya ada dalam pikiran dan yang dibedakan dengan tingkahlaku moral dalam
arti perbuatan nyata. Semakin tinggi tahap perkembangan moral seseorang, akan
semakin terlihat moralitas yang lebih mantap dan bertanggung jawab dari
perbuatan-perbuatannya.
Tingkatan
:
1. Pra
konvensional moralitas, pada level ini anak mengenal moralitas berdasarkan
dampak yang ditimbulkan oleh suatu perbuatan, yaitu menyenangkan (hadiah) atau menyakitkan
(hukuman). Anak tidak melanggar aturab karna takut akan ancaman hukuman dari
otoritas.
2. Konvensional,
suatu perbuatan dinilai baik oleh anak apabila mematuhi harapan otoritas atau
kelompok sebaya.
3. Pasca
Konvensional, pada level ini aturan dan institusi dari masyarakat tidak
dipandang sebagai tujuan akhir, tetapi diperlukan sebagai subjek. Anak mentaati
peraturan untuk menghindari hukuman kata hati.
Tahap
:
1. Orientasi
kepatuhan dan hukuman pemahaman anak tentang baik dan buruk ditentukan oleh otoritas.
Kepatuhan terhadap peraturan adalah untuk menghindari hukuman dari otoritas.
2. Orientasi
Hedonistik-instrumental, suatu perbuatan dinilai baik apabila berfungsi sebagai
instrumen untuk memenui kebutuhan atau kepuasan diri.
3. Orientasi
anak yang baik tindakan yang berorientasi pada orang lain. Suatu perbuatan
dinilai baik apabila menyenangkan bagi orang lain.
4. Orientasi
keteraturan dan otoritas perilaku yang dinilai baik adalah menunaikan
kewajiban, menghormati otoritas dan memelihara ketertiban sosial.
5. Orientasi
kontrol sosial-legalistik ada semacam perjanjian antara dirinya dan lingkungan
sosial. Perbuatan dinilai baik apabila sesuai dengan perundang-undangan yang
berlaku.
6. Orientasi
kata hati, kebenaran ditentukan oleh kata hati, sesuai dengan prinsip-prinsip
etika universal yang bersifat abstrak dan penghormatan terhadap martabat
manusia.
(sumber : Lerner & Hultsch, 1983; Hetherington
& Parke, 1979 dalam Perkembangan Peserta Didik, 2009)
Penalaran
Moral
Moral merupakn suatu kebutuhan penting
bagi remaja, terutama sebagai pedoman menemukan idenditas dirinya,
mengembangkan hubungan personal yang harmonis dan menghindari konflik-konflik
peran yang selalu terjadi dalam masa transisi. Meskipun moral erat kaitannya
dengan hubungan interpersonal, namun sejak lama ia telah menjadi wilayaj
pembahasan dalam filsafat. Oleh sebab itu Lawrence Kohlberg menempatkan moral
sebagai fenomena kognitif dalam kajian Psikologi. Apa yang disebut dengan moral
menurut Kohlberg adalah bagian dari penalaran moral )moral reasoning).
Penalaran atau pertimbangan tersebut berkenaan dengan keluasaan wawasan
mengenai relasi antara diri dan orang lain, hak dan kewajiban. Relasi diri
dengan orang lain ini didasarkan atas prinsip equality, artinya orang lain sama derajatnya dengan diri. Jadi
antara diri dan diri orang lain dapat dipertukarkan. Ini disebut prinsip reciprocity. Moralitas pada hakikatnya
adalah penyelesaian konflik antara diri dan diri orang lain, antara hak dan
kewajiban (Setiono;1994, dalam Perkembangan Peserta Didik 2009).
Dengan demikian, orang yang bertindak
sesuai dengan moral adalah orang yang mendasarkan tindakannya atas penilaiaan
baik buruknya sesuatu. Karena lebih bersifat penalaran, maka perkembangan moral
menurul Kohlberg sejalan dengan perkembangan nalar sebagaimana yang telah
dikemukakan oleh Piaget. Makin tinggi tingkat penalaran seseorang menurut
tahap-tahap perkembangan Piaget tersebut, makin tinggi pula tingkat moralnya.
Dengan penekanannya pada penalaran ini, berarti Kohlberg ingin melihat struktur
proses kognitif yang mendasari jawaban ataupun perbuatan-perbuatan moral.
Sesuai dengan tahp-tahap perkembangan
moral menurut Kohlberg, tingkat penalaran moral remaja berada pada tahap
konvensional. Hal ini adalah karena dibandingkan dengan anak-anak tingkat
moralitas remaja lebih matang. Mereka sudah mulai mengenal konsep-konsep
moralitas seperti kejujuran, keadilan, kesopanan, kedisiplinan, dan sebagainya.
Walaupun anak remaja tidak selalu mengikuti prinsip-prinsip moralitas mereka
sendiri, namun riset menyatakan bahwa prinsip-prinsip tersebut menggambarkan
keyakinan yang sebenarnya dari pemikiran moral konvensional.
Perkembangan
Spiritualitas
Pengertian
Spiritualitas
Kata spiritualitas berasal dari bahasa
Inggris yaitu “spirituallity” kata dasarnya adalah “spirit” yang berarti: “roh,
jiwa, semangat” (Echols & Shadily;1997 dalam Perkembangan Peserta
Didik;2009). Kata “spirit” sendiri berasal dari bahasa latin “spiritus” yang
berarti: “luas atau dalam (breath), keteguhan hati atau keyakinan (courage),
energi atau semangat (vigor) dan kehidupan (Ingersol;1994 dalam Perkembangan
Peserta Didik;2009). Kata sifat spiritual berasal dari kata latin “spitualitas”
yang berarti “of the spirit” (kerohanian).
Ingersoll (1994) mengartikan
spiritualitas sebagi wujud dari karakter spiritual, kualitas atau sifat dasar.
Belakangan arti spiritualitas meliputi komunikasi dengan Tuhan (Fox;1989 dalam
Perkembangan Peserta Didik; 2009) dan upaya seseorang untuk bersatu dengan
Tuhan (Magill & McGreal;1988 dalam Perkembangan Peserta Didik;2009).
Tillich (1959) menulis bahwa spiritualitas merupakan persoalan pokok manusia
dan pemberi makna substansi dari kebudayaan.
Menurut Aliah B. Purwakania Hasan
(2006), spiritualitas memiliki ruang lingkup dan makna pribadi yang luas. Hanya
saja, spiritualitas mungkin dapat dimengerti dengan membahas kata kunci yang
sering muncul ketika orang-orang menggambarkan arti spiritualitas bagi mereka.
Mengutip hasil penelitian Martsolf dan Mickley, Aliah B. Purwakania Hasan
menyebutkan beberapa kata kunci yang bisa dipertimbangkan, yaitu :
1. Meaning (makna). Makna
merupakan sesuatu yang signifikan dalam kehidupan manusia, merasakan situasi,
memiliki dan mengarah pada suatu tujuan.
2. Values (nilai-nilai). Nilai-nilai
adalah kepercayaan, standart dan etika yang dihargai.
3. Transcendence
(transendensi). Transendensi merupakan pengalaman,
kesadaran dan penghargaan terhadap dimensi transendental bagi kegidupan diatas
diri seseorang.
4. Connecting
(bersambung). Bersambung adalah meningkatkan
kesadaran terhadap hubungan dengan diri sendiri, orang lain, tuhan dan alam.
5. Becoming (menjadi).
Menjadi adalah membuka kehidupan yang menurut refleksi dan pengalaman, termasuk
siapa seseorang dan bagimana seseorang mengetahui.
Spiritualitas
dan religiusitas
Untuk lebih memahami pengertian
spiritualitas, perlu juga diuraikan tentang hubungannya dengan religiusitas.
Agama memang tidak mudah untuk didefinisikan secara tepat, karena agama
mengambil bentuk bermacam-macam diantara suku-suku dan bangsa-bangsa di dunia
ini. secara etimologi agama (religion) berasal dari Religio, yang berarti suatu
hubungan manusia dengan Tuhan. Berbeda dengan agama, spiritualitas lebih banyak
melihat aspek dalam lubuk hati, riak getaran hati nurani pribadi, sikap
personal yang bagi banyak orang lain merupakan misteri karena merupakan
intimitas jiwa. Dalam hal ini spiritualitas mencakup citra rasa totalitas
kedalaman pribadi manusia. berdasarkan pemahaman ini spiritualitas tampak lebih
ekstrim, lebih dalam dari agama yang cenderung lebih eksoterik formal dan kaku.
Meskipun keduanya (agama dan
spiritualitas) terlanjur dipisahkan, namun untuk pemenuhan makna hidup manusia
yang sejati nampaknya harus ada upaya pemaduan antara spiritualitas dan agama.
“agama memang tidak sama dengan spiritualitas, namun agama merupakan bentuk
spiritualitas yang hidup dalam peradaban”. Agama merupakan salah satu dimensi
dari spiritualitas, disamping dimensi eksistensial. Dimensi eksistensial dari
spiritualitas berfokus pada tujuan dan makna hidup, sedangkan dimensi agama
dari spiritualitas berfokus pada hubungan seseorang dengan Tuhan. Singkatnya,
agam tidak bisa disamakan dengan spiritualitas tetapi keduanya tidak bisa
dipisahkan. Betapapun agama tanpa
spiritualitas adalah kering, dan spiritualitas tanpa agama itu lumpuh.
Wacana
Spiritual dalam Psikologi Kontemporer
Terjadinya peningkatan
penggunaan kata spiritualitas dalam disiplin akademis dan literatur-literatur
populer, telah menjelmakan suatu konsep spiritualitas untuk menggambarkan
bermacam-macam kapasitas.
Menurut
Ingersoll (2004), dalam literatur terapeutik masalah spiritualitas cenderung
diabaikan. Setidaknya terdapat dua alasan mengapa spiritualitas kurang mendapat
perhatian dalam kajian-kajian psikologi umumnya, yaitu: pertama, sebagaimana dinyatakan oleh Shafranske dan Gorsuch (1984),
relatif kurangnya perhatian terhadap studi tentang spiritual dalam psikologi
mungkin dapat dilacak pada akar historis profesi tersebut yang berusaha
memisahkan diri dari disiplin filosofis non-empirik. Hal ini diperburuk oleh
fakta bahwa konsep spiritual sendiri bersifat dinamis dan secara historis telah
mengalami banyak perubahan bentuk dalam kaitannya dengan institusi religius,
struktur politik, dan pergerakan sosial.
Kedua, dalam hubungan dengan praktik
klinis, diskusi tentang spiritualitas yang terjadi dalam konseling sering
berhadapan dengan kenyataan bahwa kerangka acuan yang digunakan therapist sering bertentangan dengan apa
yang dialami oleh klien. Meskipun demikian, para profesional dalam bidang
psikologi mengambil secara serius Riset Bergin’s (1980) mengenai dampak
penilaian konselor dalam psikoterapi, suatu usaha bertanggung jawab yang harus
dilakukan untuk menjelaskan bagaimana pemahaman tentang spiritual memengaruhi
penilaian tersebut. Seperti apa yang dikemukakan oleh Tjeltveit (1989) bahwa
kegagalan dalam memahami semua model manusia (termasuk model spiritual)
merupakan suatu bentuk pengabaian risiko aspek kunci dari pengalaman dan
perilaku manusia. Sayangnya, problem yang banyak muncul dari data-data yang ada
adalah di sekitar konsep yang telah dinyatakan dalam konseptual, versus
kuantitatif, bentuk keragu-raguan ilmiah yang terus dipromosikan.
Spiritual
dalam Psikologi Humanistik
Para
teoritikus humanistik, seperti Carl Rogers (1902-1987) dan Abraham Maslow
(1908-1970) meyakini bahwa tingkah laku manusia tidak dapat dijelaskan sebagai
hasil dari konflik-konflik yang tidak disadari maupun sebagai hasil pengkondisian
(conditioning) yang sederhana. Teori ini menyiratkan penolakan terhadap
pendapat bahwa tingkah laku manusia semata-mata ditentukan oleh faktor diluar
dirinya. Sebaliknya, bukan reaktor terhadap insting atau tekanan lingkungan.
Berbeda dengan psikoanalisis
yang memandang buruk hakikat manusia, dan psikologi behavior yang memandang
netral, psikologi humanistik berasumsi bahwa manusia pada dasarnya memiliki
potensi-potensi yang baik, minimal lebih banyak baiknya daripada buruknya.
Psikologi humanistik memusatkan perhatian untuk menelaah kualitas-kualitas
insani, yakni sifat-sifat dan kemampuan khusus manusia yang terpatri pada
eksistensinya, seperti kemampuan abstraksi, daya analisis dan sintesis,
imajinasi, kreativitas, kebebasan berkehendak, tanggung jawab, aktualisasi
diri, makna hidup, pengembangan pribadi, humor, sikap etis dam rasa estetika.
Di
samping itu, psikologi humanistik memandang manusia sebagai makhluk yang
memiliki otoritas atas kehidupan dirinya sendiri. Asumsi ini menunjukkan bahwa
manusia adalah makhluk yang sadar, mandiri, pelaku aktif yang dapat menentukan
hampir segalanya. Ia adalah makhluk dengan julukan the self determining being
yang mampu sepenuhnya menentukan tujuan-tujuan
yang paling diinginkannya dan cara-cara mencapai tujuan itu yang
dianggapnya paling tepat.
Sesuai
dengan akar kata “logos” yang dalam bahasa Yunani berarti “meaning” (makna) dan juga spirituality”
(kerohanian), maka logoterapi merupakan aliran psikologi yang mengakui adanya
dimensi kerohanian atas spiritualitas di samping dimensi-dimensi ragawi,
kejiwaan dan lingkungan sosial budaya.
Logoterapi
mengajarkan bahwa manusia harus dipandang sebagai kesatuan fisik, psikologis
dan spiritual yang tidak terpisahkan. Dimensi spiritual, yang disebut Frankl
sebagai noos merupakan dimensi yang
menjadi sumber kekuatan dan kesehatan bagi manusia dalam melakukan terapi
secara baik. Dimensi ini mengandung semua sifat khas manusia, seperti keinginan
untuk memberi makna, orientasi tujuan, kreativitas, imajinasi, intuisi, keimanan,
visi akan menjadi apa, kemampuan untuk mencintai di luar kecintaan yang
visio-psikologis, kemampuan mendengarkan hati nurani di luar kendali superego,
selera humor. Didalamnya juga terkandung pembebasan diri dan transendensi diri
atau kemampuan untuk menggapai orang yang kita cintai atau mengejar tujuan yang
kita yakini. Di dalam dunia spirit, kita tidak di pandu, tetapi kita adalah
pemandu, pengambil keputusan. Reservoir kesehatan ada pada setiap orang, apapun
agama dan keyakinannya.
Menurut
Frankl, pengertian spiritual disini sama sekali tidak mengandung konotasi
agama, tetapi dimensi ini dianggap sebagai inti kemanusiaan dan merupakan
sumber makna hidup dan potensi dari berbagai kemampuan dan sifat luhur manusia
yang luar biasa yang sejauh ini terabaikan dari telaah psikologi.
Spirulitas
dalam Psikologi Transpersonal
Psikologi
transpersonal sebenarnya merupakan kelanjutan atau lebih tepatnya pengembanggan
dari psikologi humanistik. Aliran psikologi ini disebut aliran keempat
psikologi. S.I. Shapiro dan Denise H. Lajoice (1992) menggambarkan psikologi
transpersonal sebagai berikut: “Transpersonal
psychology is concerned with the study of humanitys highestpotential, and with
the recognition, understanding, and realization of unitive, spiritual, and
transcendent states of consciousness.
Dari
rumusan di atas terlihat dua unsure penting yang menjadi perhatian psikologis
transpersonal, yaitu potensi-potensi luhur (the
high-est potentials) dan fenomena kesadaran (state of consciousness) manusia. Dengan perkataan lain, psikologi
transpersonal memfokuskan perhatian pada dimensi spiritual dan
pengalaman-pengalaman rohaniah manusia.
The states of
consciousness atau lebih populernya disebut the altered states of consciousness adalah
pengalaman seseorang melewati batas-batas kesadaran biasa, seperti
pengalaman-pengalaman alih dimensi, memasuki alam-alam kebatinan, kesatuan
mistik, komunikasi batiniah, pengalaman meditasi, dan sebagainya. Demikian juga
mengenai potensi-potensi luhur manusia menghasilkan telaah-telaah seperti altered states of consciousness, extra
sensory perception, transendensi diri, kerohaniah, potensi luhur dan
paripurna, dimensi diatas alam kesadaran, pengalaman mistik, ekstasi,
parapsikologi, paranormal, daya-daya baitn,pengalaman spiritual dan
praktek-prakte keaamaan di kawasan Timur dan di berbagai belahan dunia lainnya,
dan sebagainya.
Psikologi
transpersonal berawal dari penelitian-penelitian psikologi kesehatan yang
dilakukan oleh Abraham Maslow dalam tahun 1960-an. Maslow melakukan serangkaian
penelitian yang intensif dan luas tentang pengalaman-pengalaman keagamaan,
seperti “pengalaman-pengalaman puncak” (peak
experiences). Laporan-laporan diperoleh dari jawaban atas permintaan untuk
memikirkan pengalaman-pengalaman yang sangat indah dalam kehidupan seseorang.
Ditemukan bahwa orang-orang yang mengalami pengalaman-pengalaman puncak merasa
lebih terintegrasi, lebih bersatu dengan dunia, lebih menjadi raja atas diri
mereka sendiri, lebih spontan, kurang menyadari ruang dan waktu, lebih cepat
dan mudah mencerap sesuatu, dan sebagainya.
Dari
hasil penelitiannya ini, Maslow berkesimpulan bahwa pengalaman keagamaan adalah
peak experience, plateau dan farthes reaches of human nature. Oleh
sebab itu kata Maslow, psikologi belum sempurna sebelum difokuskan kembali
dalam pandangan piritual dan transpersonal. Lebih jauh Maslow, (1968) menulis: “I should say also that I consider
humanistic, Third Forces Psychology, to be transitional, a preparation for a
still higher Fourth Psychology, a trasnpersonal, transhuman, centered in the
cosmoc rather human need and interest, going beyond humannes, identity, self
actualization, and the like.”
Sepanjang
sejarah kemanusiaan, manusia bertanya,
“siapakah aku?”. Tradisi keagamaan menjawabnya dengan menukik jauh ke dalam, “wujud spiritual, ruh.” Psikologi
modern menjawab dengan menengok ke dalam (tidak terlalu dalam), self, ego, eksistensi psikologis” dan
psikoterapi merupakan perjalanan psikologis untuk menemukan diri ini. Psikologi
transpersonal menggabungkan kedua jawaban ini.ia mengambil pelajaran dari semua
angkatan psikologi dan kearifan perenial (philosophia
perennis) agama. Psikologi transpersonal menunjukkan bahwa di luar biasa
potensialnya serta mengajarkan praktik-praktik untuk mengantarkan manusia pasa
kesadaran spiritual, di atas id, ego dan
superego-nya Frued.
Agama-agama
berbicara tentang kesadaran spiritua yang luas dan multidimensional. Diri kita,
eksistensi psikologiskita, hanyalah penampakkan luar jelas tidak memadai.
Menyembuhkan gagguan mental dengan menggarap diri lahiriyah sama saja dengan
mendorong mobil mogok tanpa memperbaiki mesinnya. Bahkan, sebagaimana
disebutkan oleh Cortright (1997), “sedalam apa pun studi tentang genetika,
biokimia atau neurologi, pada satu sisi atau sistem keluarga, interaksi
ibu-anak dan pengalaman masa keci pada sisi yang lain-atau dengan perkataan
lain, tidak ada penjelasan apa pun, yang hanya memperhitungkan penampakan luar
dari maslah nature (tabiat) dan nurture (lingkungan)-dapat memberikan
jawaban memuaskan pada masalah fundamental manusia. Hanya dengan memandang ke
dimensi spiritual, yang memasukkan dan sekaligus mentransendenkan warisan dan
lingkungan, kita dapat menemukan jawaban yang tepat untuk masalah eksistensi
manusia.”
Sejak
tahun 1969, ketika Journal of
Transpersonal Psychology terbit untuk pertama kalinya, psikologi mulai
mengarahkan perhatiannya pada dimensi spiritual manusia. Penelitian dilakukan
untuk memahami gejala-gejala rohaniah, seperti peak experience, pengalaman mistis, ekstasi, kesadaran rohaniah,
kesadaran kosmis, aktualisasi transpersonal, pengalaman spiritual, dan akhirnya
kecerdasan spiritual (Rahmat, 2001).
Psikologi
transpersonal, seperti halnya psikologi humanistik, menaruh perhatian pada
dimensi spiritual manusia yang ternyata mengandung berbaggai potensi dan
kemampuan luar biasa yang sejauh ini terabaikan dari telaah psikologi
kontemporer. Bedanya adalah; psikologi humanistik lebih memanfaatkan
pootensi-potensi ini untuk peningkatan hubungan antar manusia, sedangkan
psikologi transpersonal lebih tertarik untuk meneliti pengalaman
subjektif-transpersonal, serta pengalaman luar biasa dari potnsi spiritual ini
(Bastaman,1997).
Gambaran
selintas mengenai psikologi transpersonal menunjukkan bahwa aliran ini mencoba
untuk menjajagi dan melakukan telaah ilmiah terhadap suatu dimensi yang sejauh
ini lebih dianggap sebagai bidang garapan kaum kebatinan, rohaniawan,
agamawan, dan mistikus. Sekalipun masih
dalam taraf telaah awal, psikologi transpersonal menunjukkan bahwa di luar alam
kesadaran biasa terdapat ragam dimensi lain yang luar biasa pontensialnya.
Dimensi-Dimensi Spiritualitas
Meskipun
para peneliti tentang spiritual yang sehat mencatat bahwa spiritual harus
dipahami dalam multidimensional, namun Ingersoll (1994) menggambarkan
spiritualitas dalam tujuh dimensi, yaitu makna (meaning), konsep tentang ketuhanan (cocception of divinity), hubungan (relationship), misteri (mystery),
pengalaman (experience), perbuatan
atau permainan (play), dan integrasi
(integration).
Meaning. Meaning atau
makna merupakan dimensi terpnting dari spiritualalitas. Meskipun makna tidak
mungkin digambarkan dalam cara-cara yang umum, namun ia dapat dipahami sebagai
sesuatu yang dialami individu yang membuat kehidupannya lebih bernilai atau
berharga. Manusia mengisi hidupnya bukan untuk suatu tujuan yan sia-sia. Pasti
ada yang menjadi sasaran dan ada nergi yang menggerakkan dirinya secara dinamis
untuk dapat mencapai sasaran tersebut. Sasaran merupakan wujud kriterium yang
ingin dan akan dicapai seseorang. Ia dapat bermakna, tapi juga berpeluang untuk
menjadi tanpa makna. Bila ia bermakna,
maka secara psikologis sasaran ini
memberi kepuasan bagi seseorang. Seperti tiga konsep dasar yang diuraikan
Viktor Frankl: “life has a meaning under
all circumstances to active the will to meaning, people have freedom under all
circumstances to active the will to meaning and to find.” Setiap orang
ingin mengisi kehidupannya menjadi bermakna, dan ia memiliki kebebasan yang
bertanggung jawab untuk menentukan sikap bagaimana ia akan mencapai makna ini,
yang berkembang sesuai dengan pengalaman yang mengasah dirinya.
Conception
of divinity. Dimensi kedua dari spiritualitas
adalah konsep tentang ketuhanan. Bagaimana konseptualisasi seseorang tentang
Tuhan mungkin bermacam-macam. Fox (1983) mengategorikan konsep individu tentang
Tuhan atas teistik, ateistik, pantheistik, atau panetheistik. Secara teistikal
individu berhubungan dengan kekuatan atau wujud transenden yang utama. Secara
ateistik seseorang menyangkal (refute)
atau menolak (resist) konsepsi
tentang Ketuhanan. Dalam hubungan pantheistik individu berhubungan dengan suatu
kekuatan absolut yang bersemayam dalam semua keberadaan, termasuk dalam
individu itu sendiri. Dalam hubungan pantheistik, kekuatan atau wujud ketuhanan
meliputi (flows) seluruh yang ada dan
secara paradox melebihi semua yang ada.
Relationship.
Dimensi spiritualitas yang ketiga adalah
dimensi hubungan. Salah satu tujuan dari semua mitologi, termasuk sistem agama
adalah untuk menemukan hubungan (Campbell,1990). Hubungan ini mencakup
bagaimana individu berhubungan dengan konsepnya tentang ketuhanan dan dengan
orang lain. Dalam hal ini Nelson (1988) mengatakan: “by spirituality I mean the ways and patterns by which the
person-intellectually, emotionally, and physically-relates to that which is
ultimately real and worthful for him or her.”
Burns
(1989) kemudian mengembangkan gagasan tentang hubungan dalam spiritualittas
dengan mendefinisikannya sebagai suatu pejuangan untuk dan penyatuan dengan
realitas dari interkoneksi antar-diri,
orang lain, dan dengan Zat Yang Maha Kuasa (Infine)
atau yang bersifat ketuhanan (Divine).
Burns mencatat bahwa hubungan terjadi selama mengalami pengalaman batin dan
menghasilkan suatu perubahan dalam kehidupan, dan kemudian hubungan tersebut
meningkatkan sense of connectedness seseorang
dengan Zat yang dianggap Tuhan serta dengan semua kehidupan yang ada.
Mystery.
Misteri juga merupakan salah satu
dimensi spiritualitas yang penting. Banyak
upaya untuk mengambarkan spiritualitas menyinggung maslah misteri atau
ambiguitas dari spiritual. Banks (1980), dalam menguraikan dimensi misteri ini
mencatat bahwa spiritualitas merupakan dimensi yang secara tipikal dirasakan
sebagai sesuatu yang tidak bisa dipahami dan tidak bisa dilukiskan. Ketika
orang berbicara tentang kekuatan transenden, pengalaman fenomenologis tentang
makna, atau kesadarn akan alam yang tidak bisa dilukiskan seperti interkoneksi
antar-individual, mereka sampai pada batas-batas yang tak terkatakan dan
misterius. Misteri dan toleransi baginya, merupakan bagian dari semua tradisi
spiritual. Sejumlah deskripsi tentang spiritualitas harus mengikutsertakan (provide) beberapa kosa kata yang mengakui misterius dan harus juga
memperlengkapi orang dengan cara untuk menyebutnya.
Experience.
Di samping konsep tentang tak terbatas, kesadaran
tentang makna dinamika hubungan, dan dimensi misteri, terdapat kebutuhan untuk
menjelaskan bagaimana semua ini dimanifestasikan dalam pengalaman (experince) individual. Campbell (dalam Cousineau, 1990) menekankan pentingnya pengalaman spiritual, di
mana orang menceritakan tentang pencarian makna hidup; apa yang sesungguhnya
mereka cari tidak lain adalah pengalaman hidup. Campbell menyatakan bahwa makna
diperoleh dari pengalaman. Moberg (1971) bahwa menyatakan bahwa spiritualitas
sering dihubungkan dengan pengalaman yan terjadi dalam kehidupan dan dapat menggarisbawahi
sejumlah besar pengalaman estatik manusia seperti orgasme seksual dan asthetik
getaran nada. Belakangan, pemahaman tentang pengalaman sama dengan apa yang
disebut oleh Maslow peak experiences (pengalaman
puncak). Maslow menyatakan bahwa elemen spiritual dari peak experiences dipengaruhi oleh nilai-nilai yang berkembang di
dunia sekular dan kerinduan akan makna (yearning
for meaning).
Meskipun
Cambell (1988) menyatakan bahwa fungsi dari semua mitologi adalah untuk
membantu individu untuk memperoleh pengalaman dari keberadaannya, namun ini
tidak tepat dipahami sebgai peak
experiences, tetapi juga ordinary
experiences (pengalaman biasa) yang dialami sehari-hari dan berhubungan
dengan tingkah laku mereka.
Dimentional
Integration. Keenam dimensi spiritual yang telah
dijelaskan di atas, sebenarnya tidak berdiri sendiri, melainkan saling
berinterasi dan merupakan satu kesatuan yang tidak terpisahkan. Sheldrake
(1992) menekankanbahwa spiritualitas adalah suatu integrasi dari semua aspek
pengalaman dan kehidupan manusia. Demikian juga Moberg (1984) menyatakan bahwa
“The spiritual prevades every aspect of a
person’s life.”
Berdasarka
uraian di atas, dapat dipahami bahwa spiritualitas sesungguhnya merupakan
gabungan dari semua dimensi: 1) sense of
meaning, 2) concept of divine,
absolute, or force greater than one’s self, 3) relationship with Divinity and other beings, 4) tolerance or negative capability for
mystery, 5) peak and ordinary
experiences engaged to enhance spirituality (may include rituals or spiritual disciplines), dan 6) spirituality as systemic force that acts to
integrate all the dimencions of one’s life.
Berbeda
dengan Ingersoll, Burkhardt (dalam Achir Yani s Hamis, 2000), menyebutkan empat
dimensi spiritualitas, yaitu:
1. Berhubungan
dengan sesuatu yang tidak diketahui atau ketidakpastian dalam kehidupan.
2. Menemukan
arti atau makna hidup.
3. Menyadari
kemampuan untuk menggunakan sumber dan kekuatan dalam diri sendiri.
4. Mempunyai
perasaan keterikatan dengan diri sendiri dan dengan Tuhan Yang Maha Tinggi.
Karakteristik Perkembangan Spiritualitas Peserta
Didik
Dalam
studi perkembangan, tema tentang spiritualitas tidak banyak dibahas oleh para
ahli psikologi. Kalau pun ada beberapa buku yang menempatkan spiritualitas atau
agama sebagai aspek penting dari perkembangan manusia, tetapi pembahasannya
sangat sederhana dan tidak banyak didukung oleh data penelitian. Dalam uraian
berikut akan dikemukakan perkembangan spiritualitas yang diajukan oleh James W.
Fowler.
Teori Perkembangan Spiritual Fowler
Dewasa
ini salah satu teori tentang perkembangan spiritualitas dan kepercayaan yang
banyak dijadikan acuan dalam mempelajari perkembangan kehidupan spiritual atau
agama manusia adalah stages of faith
development dari James Fowler. Fowler adalah perintis teori mengenai tahap
perkembangan kepercayaan, yang dimaksudkan untuk menunjukkan penelitian empiris
dan refleksi teoritis yang sementara ini diakui secara International sebagai
psikologi agama yang sangat penting (Cremers, 1995). Dalam tulisannya yang
sama,Cremers (1995) memposisikan psikologi perkembangan paradigmatis yang
paling berpengaruh dewasa ini, yaitu psikologi perkembangan konotatif yang
bercorak struktural konstruktif.
Konsep
tentang spiritualitas dan kepercayaan yang digunakan Fowler merujuk pada apa
yang dikemukakan oleh Wilfred Cantwell Smith, bahwa kepercayaan eksistensial
merupakan kualitas pribadi, yaitu suatu orientasi kepribadian seseorang yang
menanggapi nilai dan kekuasaan tresenden, orientasi terhadap dirinya, sesamanya
dan alam semesta yang dilihat dan dipahami lewat bentuk-bentuk tradisi
kumulatif. Kepercayaan itu sendiri menurut Smith (dalam Fowler, 1981)
menyatakan bersifat universal yang dimiliki bersama oleh semua umat manusia.
Artinya kepercayaan bagi manusia merupakan satu kodrat, alamiah, yang dimiliki
manusia. Dalam kaitannya dengan hal ini Smith (1981) menyatakan bahwa manusia
standar adalah manusia yang berkepercayaan.
Fowler
(1978) menyebut kepercayaan sebagai sesuatu yang universal, ciri dari seluruh
hidup, tindakan pengertian diri semua manusia, entah mereka menyatakan diri
sebagai orang yang percaya danorang berkeagamaan atau sebagai orang yang tidak
percaya pada apapun. Dalam hal ini tampak kepercayaan tidak harus dipahami
sebagai kepercayaan religius semata, tetapi terutama sebagai kepercayaan hidup
atau yang oleh Fowler disebut sebagai kepercayaan eksistensial atau dalam
bahasa agama disebut sebagai Iman.
Dalam
teorinya, Fowler mengusulkan tahap perkembangan spiritual dan keyakinan yang
dibangun atas dasar teori-teori perkembangan dari Erikson, Piaget, Kohlberg,
Perry, Giligan dan Levinson.
Fowler percaya bahwa spiritualitas dan kepercayaan
dapat berkembang hanya dalam lingkup perkembangan intelektual dan emosional
yang dicapai oleh seseorang. Ketujuh tahap perkembangan agama itu adalah: (1) Primal faith; (2) intuitive-projective faith; (3) mythic-literal
faith; (4) synthetic-conventional
faith; (5) individuative-reflective
faith; (6) conjuctive faith; (7) universalizing faith (Dacey & Kenny,
1997).
Tahap
primal faith. Tahap kepercayaan ini terjadi pada usia 0 tahun sampai 2 tahun,
yang ditandai dengan rasa percaya dan setia anak pada pengasuhnya. Kepercayaan
ini tumbuh dari pengalaman relasi mutual, berupa saling memberi dan menerima
yang diritualisasikan dalam interaksi antara anak dan pengasuhnya.
Tahap
intuitive-projective faith, yang
berlangsung antara usia 2-7 tahun. Pada tahap ini kepercayaan anak bersifat
peniruan, karena kepercayaan yang dimilikinya masih merupakan gabungan hasil
pengajaran dan contoh-contoh signifikan dari orang dewasa. Melalui cara meniru kepercayaan orang dewasa,
anak kemudian berhasil merangsang, membentuk, menyalurkan dan mengarahkan
perhatian spontan serta gambaran intuitif dan proyektifnyapada Ilahi.
Tahap
mythic-literal faith,yang dimulai
usia 7-11 tahun. Pada tahap ini, sesuai dengan tahap perkembangan kognitifnya,
anak ssecara sistematis mulai mengambil makna dari tradisi masyarakatnya.
Gambaran tentang Tuhan diibaratkan sebagai seorang pribadi, orangtua atau penguasa,
yang bertindak dengan sikap memerhatikan secara konsekuen, tegas dan jika perlu
tegas.
Tahap
synthetic-conventional faith, yang
terjadi pada usia 12-akhir masa remaja atau awal masa dewasa. Kepercayaan
remaja pada tahap ini ditandai dengan kesadaran tentang simbolisme dan memiliki
lebih dari satu cara untuk mengetahui kebenaran. Sistem kepercayaan remaja
mencerminkan pola kepercayaan masyarakat pada umumnya, namun kesadaran
kritisnya sesuai dengan tahap operasional formal, sehingga menjadikan remaja melakukan
kritik atas ajaran-ajaran yang diberikan oleh lembaga keagamaan resmi
kepadanya. Pada tahap ini, remaja juga mulai mencapai pengalaman bersatu dengan
Yan Transenden melalui simbol dan upacara keagamaan yang dianggapnya sakral.
Simbol-simbol identik dengan kedalaman arti itu sendiri. Allah dipandang
sebagai “pribadi lain” yang berperan penting dalam kehidupan mereka. Lebih dari itu, Allah juga dipandang sebagai
sahabat yang paling intim, yang dianggap paling mengenal dan mengetahui
dirinya, serta mencintainya tanpa syarat. Selanjutnya, muncul pengakuan bahwa
Allah lebih dekat dengan dirinya daripada remaja itu dengan dirinya sendiri.
Kesadaran ini kemudian mmunculkan pengakuan rasa komitmen dalam diri remaja
terhadap Sang Khalik.
Tahap
individuative-reflective faith, yang
terjadi usia 19 tahun atau pada masa dewasa awal. Pada tahap ini mulai muncul
sintesis kepercayaan dan tanggung jawab individual terhadap kepercayaan
tersebut. Pengalaman personal pada tahap ini memainkan peranan penting dalam
kepercayaan seseorang. Menurut Fowler, tahap ini ditandai dengan: a) adanya
kesadaran terhadap relativitas pandangan dunia yang diberikan orang lain,
individu mengambil jarak kritis terhadap asumsi-asumsi sistem nilai terdahulu;
b) mengabaikan kepercayaan terhadap otoritas eksternal dengan munculnya “ego
eksekutif” sebagai tanggung jawab dalam memilih antara prioritas dan komitmen
yang akan membantunya membentuk identitas diri.
Tahap
conjunctive-faith, disebut juga paradoxical-consolidation faith, yang
dimulai pada usia 30 tahun sampai dewasa akhir. Tahap ini ditandai dengan
perasaan terintegrasi dengan simbol-simbol, ritual-ritual dan keyakinan agama.
Dalam tahap ini seseorang juga lebih terbuka terhadap pandangan-pandangan yang
paradoks dan berbentangan, yang berasal dari kesadaran akan keterbatasan dan
pembatasan seseorang.
Tahap
universalizing faith, yang berkembang
pada usia lanjut.perkembangan agama pada masa ini ditandai dengan munculnya
sistem kepercayaan transendental untuk mencapai perasaan ketuhanan, serta
adanya desentrasasi diri dan pengosongan diri. Peristiwa-peristiwa konflik
tidak selamanya dipandangan sebagai paradoks. Sebaliknya, pada tahap ini orang
mulai berusaha mencari kebenaran universal.
Dalam proses pencarian kebenaran ini, seseoran akan menerima banyak
kebenaran dari banyak titik pandang yang berbeda serta berusaha menyelaraskan
perspektifnya sendiri dengan perspektif
orang lain yang masuk dalam jangkauan universal yang paling luas.
Karakteristik Perkembangan Spiritualitas Anak Usia
Sekolah
Tahap
mythic-literal faith, yang dimulai
usia 7-11 tahun. Menurut Fowler (dalam Muhammad Idrus, 2006), pada tahap ini,
sesuai dengan tahap perkembangan kognitifnya, anak mulai dapat berpikir logis
dan mengatur duniat dengan kategori-kategori baru. Pada tahap ini anak secara
sistematis mulai mengambil makna dari tradisi masyarakatnya, dan secara khusus
menemukan koherensi serta makna pada bentuk-bentuk naratif.
Lebih
jauh Fowler menjelaskan bahwa orientsi pada hal yang naratif dan cerita menjadi
orientasi pokok tahap ini, karena cerita dipilih sebagai sarana utama untuk
menyatukan dan menilai pengalaman. Dengan sarana ini anak menciptakan, menyusun
dan menyimpan serta menyampaikan seluruh
arti eksistensi. Dengan bantuan cerita, anak mampu memberikan arti dan
kesatuan pada seluruh cakrawala pengalamannya. Cerita naratif tersebut dapat
berupa mitos, cerita drama, ataupun cerita-cerita dalam ktab suci.
Sebagai
anak yang tengah berada dalam tahap pemikiran operasional konkret, maka
anak-anak usia sekolah dasar akan emahami segala sesuatu yang abstrak dengan
interpretasi secara konkret. Hal ii juga berpengaruh terhadappemahamannya
mengenai konsep-konsep keagamaan.
Gambaran tentang Tuhan sebagai sebuah konsep konkret-anthropomorfis, yang
mempunyai perwujudan riil serta memiliki sifat-sifat pribadi seperti manusia.
Namun, seiring perkembangan kognitifnya, konsep ketuhanan yang bersifat konkret
ini dimulai berubah menjadi abstrak. Dengan demikian, gagasan-gagasan keagamaan
yang bersifat abstrak yang tadinya dipahami secara konkret, seperti Tuhan itu
satu, Tuhan itu amat dekat, Tuhan ada di ana-mana, mulai dapat dipahami secara
abstrak.
Karakteristik Perkembangan Spiritualitas Remaja
Dibandingkan
dengan masa awal anak-anak misalnya,
keyakinan agama remaja telah mengalami perkembangan yang cukup berarti.
Kalau pada masa awal anak-anak-ketika mereka baru memiliki kemampuan berpikir
simbolik-Tuhan dibayangkan sebagai person yang berada di awan, maka pada masa
remaja mereka mungkin berusaha mencari sebuah konsep yang lebih mendalam
tentang Tuhan dan eksistensi. Perkembangan pemahaman rmaja terhadap keyakinan
agama ini sangat dipengaruhi oleh perkembangan kognitifnya.
Oleh
sebab itu, meskipun pada masa awal anak-anak ia telah diajarkan agama oleh
orangtua mereka, namun karena pada masa remaja mereka mengalami kemajuan dalam
perkembangan kognitif, mereka mungin mempertanyakan tentang kebenaran keyakinan
agama mereka sendiri. Sehubungan dengan pengaruh perkembangan kognitif terhadap
perkembangan agama selama masa remaja ini, Seifert & Hoffnung (1994)
menulis:
During
adolescence, cognitive development affect both spesific religious beliefs and
overall religious orientation. In general, specific beliefs become more
sophisticated or complex than they were during childhood. The concept of
religious denomination, for example, evolves from relatively superficial to
more accurate and abstract notions.
Dalam
suatu studi yang dilakukan Goldman (1962) tentang perkembangan pemahaman agama
anak-anak dan remaja dengan latar belakang teori perkembangan kognitif Piaget,
ditemukan bahwa perkembangan pemahaman agama remaja berada pada tahap 3, yaitu formal operational religious thought, du mana remaja memperlihatkan pemahaman agama
yang lebih abstrak dan hipotetis. Peneliti lain jua menemukan bahwa remaja usia
sekitar 17 atau 18 tahun makin meningkat ulasannya tentang kebebadan,
pemahaman, dan pengharpan –konsep-konsep abstrak-ketika membuat pertimbangan
tentang agama.
Mengacu
pada teori perkembangan spiritualitas Fowler, remaja berada dalam tahap synthetic-conventional fait, tahap di
mana remaja mulai bersifat konformistis dan melakukan penyesuaian-penyesuaian
diri dengan harapan-harapan sosial. Karena itu, sistem kepercayaan remaja
mencerminkan pola kepercayaan masyarakat pada umumnya. Menurut Muhammad Idrus,
(2006), pola kepercayaan yang dibangun remaja bersifat konvensional, sebab
secara kognitif, afektif dan soaila, remaja mulai menyesuaikan diri dengan
orang lain yang berarti baginya (sig-nificant others) dan dengan
mayoritas lainnya.
Pada
tahap ini, remaja juga mulai mencapai pengalaman bersatu dengan Yang Transenden
malalui simbol dan upacara keagamaan yang dianggapnya sakral. Simbol-simbol
identik dengan kedalaman arti itu sendiri. Allah dipandang sebagai “pribadi
lain” yang berperan penting dalam kehidupan mereka. Lebih dari itu, Allah juga
dipandang sebagai sahabat yang paling intim, yang dianggap paling mengenal dan
mengetahui dirinya, serta mencintainya tanpa syarat. Selanjutnya, muncul
pengakuan bahwa Allah lebih dekat dengan dirinya daripada remaja itu dengan
dirinya sendiri. Kesadaran ini kemudian memunculkan pengakuan rasa komitmen
dalam diri remaja terhadap Sang Khalik.
Di
samping menunjukkan minat yang kuat terhadap hal-hal spiritual, fenomena
keberagamaan remaja juga sering ditandai dengan keraguan beragama (religuous doubt). Penelitian al-Maligy
(Nizar, 1992) menemukan bahwa keraguan remaja pada agamanya mulai banyak
dialami remaja yang berusia 17 tahun dan
kemudian menurun usia 21 tahun. Hasilpenelitian yang dilakukan Hutsebaut
dan Verhouven (1991) menyimpulkan bahwa presentase subjek yang tidak percaya
pada Tuhan semakin meningkat pada usia akhir remaja, sedangkan presentase
mereka sangat percaya menurun pada usia yang sama.
Menurut
Clark (1958) keragu-raguan beragama (religious
doubt) memang merupakan salah satu karakteristik kehidupan beragama pada
masa remaja yang sangat menonjol. Keraguan dan konflik remaja dalam hal
beragama memang menjadi hal yang serius, manakala remaja yang bersangkutan
tidak dapat menyelesaikan krisis yang terjadi. Artinya jika merujuk pada
prinsip epigenetik yang diajukan Erikson (1968) bahwa keberhasilan penyelesaian
krisis pada awal akan menjadi landasan bagi keberhasilan untuk mengatasi krisis
pada tahap berikutnya. Maka kegagalan individu untuk meraih kematangan dalam
beragama disebabkan kegagalan mengatasi krisis pada tahap sebelumnya.
Mengambil
analogi dari teori Erikson (1968) yang menggunakan prinsip epigenetik maka perkembangan tahap kepercayaan individu juga akan
mengalami situasi yang sama sebagaimana perkembangan siklus hidup. Artinya
kematangan pada tahap sebelumnya seiring dengan bertambahnya usia akan menjadi
dasar bagi perkembangan kepercayaan individu. Jika pada tahap sebelumnya
individu tidak megalami kematangan dalam satu tahap kepercayaan
eksistensialnya, maka diyakini yang bersangkutan tidak dapat meningkat pada
tahap kepercayaan eksistensial berikutnya. Hasil penelitian Sanders (1998) menunjukkan bahwa
individu yang tidak matang dalam satu tahap psikososial sebagaimana diajukan
Erikson akan berdampak pada rendahnya keyakinan dalam beragama.
Bilasatu
tahap perkembangannya seseorang menghadapi krisis hidup dan gagal
menghadapinya, maka hal ini akan dapat memengaruhi kepercayaannya. Pada setiap tahap perkembangan kehidupan,
seseorang akan dihadapkan pada dua titik ekstrim sebagaimana dipaparkan oleh
Erikson (1993) pada setiap tahap selalu terjadi krisis antara dua posisi
ekstrim, positif dan negatif dan individu akan melakukan komitmen-komitmen
tertentu dalam usaha menyelesaikan konfliknya.
Ketidakmampuan
untuk menyelesaikan krisis yang terjdai pada satu tahap akan dengan sendirinya
mengganggu perkembangan tahap berikutnya. Ketidakmampuan tersebut pada akhirnya
juga akan memengaruhi tingkat kepercayaan eksistensial seseorang. Rasionalnya,
seharusnya individu telah berkembang tingkat kepercayaan eksistensialnya, hanya
saja karena kegagalan penyelesaian krisis dengan sendirinya mengganggu siklus
kehidupannya, maka individu tersebut juga akan mengalami hambatan untuk
meningkatkan dari tingkat kepercayaan eksistensial yang saat itu dialaminya.
Hasil
penelitian yang dilakukan Sanders (1998) menunjukkan bahwa individu dengan
status difusi (tanpa eskplorasi dan tanpa komitmen) ternyata memiliki tingkat
kematangan yang rendah dalamhalkeyakinan beragama. Artinya individu dengan
status difusi yang tidak mampu menyelesaikan krisis pada tahap difusi ternyata
tidak dapat pula mengembangkan kepercayaan beragamanya.
Kegagalan
mengenani krisis internal di atas, bila bertemu dengan lingkungan eksternal
yang tidak mendukung perkembangan kepercayaan, akan menjadikan remaja terseret
dalam pengaruh lingkungan. Seseorang individu hidup dalam lingkungan sosial
yang lebih luas dan dirinya tidak mungkin melepaskan lingkungan tersebut. Bila
pengaruh lingkungan itu kuat dan bersifat mendukung kepercayaan atau
keyakinanyang dimiliki remaja, maka remaja akan terbantu dan menyelesaikan
krisisnya. Sebaliknya bila pengaruh lingkungan itu kuat dan tidak membantu atau
malah mengganggu proses penyelesaian krisis kepercayaan kepada Tuhan yang
dialami remaja, maka akan mengakibatkan remaja akan mengalami krisis
kepercayaan kepada Tuhanyang tidak terselesaikan. Keraguannya kepada Tuhan
dapat mengakibatkan menjadi ingkar kepada Tuhan. Apa yang terjadi pada kisah
putra Nabi Nuh dapat membenarkan pandangan ini. Nabi Nuh telah menanamkan
keyakinan kepada Tuhan sedemikian rupa anaknya, namun saat anaknya memperoleh
pengaruh dari luar, keyakinan yang ditanamakan Nabi Nuh masuk dalam kelompok
orang yang tidak lagi kepada Tuhan yang dipercaya Nabi Nuh kepada Kekuasaan
Tuhan, menyebabkan ia enggan mengikuti kkapal yang dibangun ayahnya dan saat
banjir datang ia termasuk serang yang menjadi korban (Muhammad Idrus, 2006).
Faktor
terakhir yang oleh Fowler (1988) diidentifikasikan berpengaruh terhadap
perkembangan kepercayaan eksistensial adalah keanggotaan dalam kelompok
biasanya biasanya setiap individu akan memiliki reference group yang menjadi pusat aktivitas bai dirinya. Ikatan
yang muncul dari konsekuensi logis keanggotaannya pada kelompok tersebut, akan
dengan sendirinya memengaruhi perilaku yang harus ditampilkannya. Lingren (tt)
menyatakan bahwa teman sebaya memainkan peranan penting dalam kehidupan remaja
dan secara khas menggantikan keluarga sebagai pusat aktivitas sosial remaja.
Begitu
juga dalam aktivitas beragamanya, kelompok akan memengaruhi cara seseorang
beragama. Jika kelompok tersebut membangun iklim beragama yang sehat, maka
dimungkinkan individu menjadi anggotanya akan terdorong untuk melakukan
aktivitas agama yang semakin lama cenderung meningkat. Krisis kepercayaan
terhadap Tuhan akan dibantu kelompok tersebut kurang memerhatikan masalah
religiusitas, maka kecenderungan antireligiusitas, maka kecenderungan yang
muncul adalah anggota akan larut pada aktivitas yang sepi dari nuansa agama
bahkan menentang agama. Krisis kepada Tuhan yang dialami oleh seseorang remaja
tidak dibantu oleh kelompok untuk mendapatkan penyelesaiannya.
Implikasi Perkembangan Moral dan Spiritual terhadap
Pendidikan
Memerhatikan
uraian tentang perkembangan moral dan spiritual sebagimana dipaparkan di atas,
maka sekolah sebagai lembaga pendidikan dituntut untuk membantu peserta didik
dalam mengembangkan moral dan spiritual mereka, sehingga mereka dapat menjadi
manusia yang moralis dan religius. Berikut ini akan dikemukakan beberapa
strategi yang mungkin dapat dilakukan guru di sekolah dalam membantu
perkembangan moral dan spiritual peserta didik.
1. Memberikan
pendidikan moral dan keagamaan melalui kurikulu tersembunyi (hidden curriculum), yakni menjadi
sekolah sebagai atmosfer moral dan agama secara keseluruhan. Atmosfer di sini
termasuk peraturan sekolah dan kelas, sikap terhadap kegiatan akademik dan
ekstrakurikuler, orientasi moral yang dimiliki guru dan pegawai serta materi
teks yang digunakan.terutama guru dalam hal ini harus mampu menjadi model
tingkah laku yang mencerminkan nilai-nilai moral dan agama. Tanpa adanya model
tingkah laku yang baik dari guru, maka pendidikan moral dan agama yang
diberikan di sekolah tidak akan efektif menjadi peserta didik sebagai seorang
yang moralis dan religius.
2. Memberikan
pendidikan moral langsung (direct moral
education), yakni pendidikan moral dengan pendekatan pada nilai dan juga
sifat selama jangkan waktu tertentu atau menyatukan nilai-nilai dan sifat-sifat
tersebut ke dalam kurikulum. Dalam pendekatan ini, instruksi dalam konsep moral
tertentu dapat mengambil bentuk dalamcontoh dan definisi, diskusi kelas dan
bermain peran, atau memberi reward kepada
siswa yang berperilaku secara tepat.
3. Memberikan
pendekatan moral melalui pendekatan klarifikasi nilai (values clarification) yaitu pendekatan pendidikan moral tidak
langsung yang berfokus pada upaya membantu siswa untuk memperoleh kejelasan
mengenai tujuan hidup mereka dan apa yang berharga untuk dicari. Dalam
klarifikasi nilai, kepada siswa diberikan pertanyaan atau dilema, danmereka
diharapkan untuk memberi tangapan, baik secara individual maupun secara
kelompok. Tujuannya dalah untuk menolong siswa menentukan nilai mereka
sendiridan menjadi peka terhadap nilai yang dianut orang lain.
4. Menjadikan
pendidikan wahana yang kondusif bagi peserta didik untuk menhayati agamanya,
tidak hanya sekedar bersifat teoritis, tetapi penghayatan yang benar-benar
dikontruksi dari pengalamankeberagaman.
Oleh sebab itu, pendidikan agama yang dilangsungkan di sekolah harus lebih
menekankan pada penempatan peserta didik untuk mencari pengalaman keberagaman (religiousity). Dengan pendekatan
demikian, maka yang ditonjolkan dalam pendidikan aama adalah ajaran dasar agama
yang sarat dengan nilai-nilai spiritualitas dan moralitas, seperti kedamain dan
keadilan.
5. Membantu
peserta didik mengembangkan rasa ketuhanan melalui pendekatan spiritual parenting, seperti:
Ø Memupuk
hubungan sadar anak dengan Tuhan melalui doa setiap hari.
Ø Menanyakan
kepada anak bagaimana Tuhan terlibat dalam aktivitasnya sehari-hari.
Ø Memberikan
kesadaran kepada anak bahwa Tuhan akan membimbing kita apabila kita meminta.
Ø Menyuruh
anak merenungkan bahwaTuhan itu ada dalam jiwa mereka dengan cara menjelaskan
bahwa mereka tidak dapat melihat diri mereka tumbuh atau mendengar darah mereka
mengalir, tetapi tahu bahwa semua itu sungguh-sungguh terjadi sekalipun mereka
tidak melihat apapun.
0 komentar:
Posting Komentar