Spirulitas
dalam Psikologi Transpersonal
Psikologi transpersonal sebenarnya
merupakan kelanjutan atau lebih tepatnya pengembanggan dari psikologi
humanistik. Aliran psikologi ini disebut aliran keempat psikologi. S.I. Shapiro
dan Denise H. Lajoice (1992) menggambarkan psikologi transpersonal sebagai
berikut: “Transpersonal psychology is
concerned with the study of humanitys highestpotential, and with the
recognition, understanding, and realization of unitive, spiritual, and
transcendent states of consciousness.
Dari rumusan di atas
terlihat dua unsure penting yang menjadi perhatian psikologis transpersonal,
yaitu potensi-potensi luhur (the high-est
potentials) dan fenomena kesadaran (state
of consciousness) manusia. Dengan perkataan lain, psikologi transpersonal
memfokuskan perhatian pada dimensi spiritual dan pengalaman-pengalaman rohaniah
manusia.
The
states of consciousness atau lebih populernya disebut the altered states of consciousness adalah
pengalaman seseorang melewati batas-batas kesadaran biasa, seperti
pengalaman-pengalaman alih dimensi, memasuki alam-alam kebatinan, kesatuan
mistik, komunikasi batiniah, pengalaman meditasi, dan sebagainya. Demikian juga
mengenai potensi-potensi luhur manusia menghasilkan telaah-telaah seperti altered states of consciousness, extra
sensory perception, transendensi diri, kerohaniah, potensi luhur dan
paripurna, dimensi diatas alam kesadaran, pengalaman mistik, ekstasi,
parapsikologi, paranormal, daya-daya baitn,pengalaman spiritual dan praktek-prakte
keaamaan di kawasan Timur dan di berbagai belahan dunia lainnya, dan
sebagainya.
Psikologi transpersonal
berawal dari penelitian-penelitian psikologi kesehatan yang dilakukan oleh
Abraham Maslow dalam tahun 1960-an. Maslow melakukan serangkaian penelitian
yang intensif dan luas tentang pengalaman-pengalaman keagamaan, seperti
“pengalaman-pengalaman puncak” (peak
experiences). Laporan-laporan diperoleh dari jawaban atas permintaan untuk
memikirkan pengalaman-pengalaman yang sangat indah dalam kehidupan seseorang.
Ditemukan bahwa orang-orang yang mengalami pengalaman-pengalaman puncak merasa
lebih terintegrasi, lebih bersatu dengan dunia, lebih menjadi raja atas diri
mereka sendiri, lebih spontan, kurang menyadari ruang dan waktu, lebih cepat
dan mudah mencerap sesuatu, dan sebagainya.
Dari hasil
penelitiannya ini, Maslow berkesimpulan bahwa pengalaman keagamaan adalah peak experience, plateau dan farthes reaches of human nature. Oleh
sebab itu kata Maslow, psikologi belum sempurna sebelum difokuskan kembali
dalam pandangan piritual dan transpersonal. Lebih jauh Maslow, (1968) menulis: “I should say also that I consider
humanistic, Third Forces Psychology, to be transitional, a preparation for a
still higher Fourth Psychology, a trasnpersonal, transhuman, centered in the
cosmoc rather human need and interest, going beyond humannes, identity, self
actualization, and the like.”
Sepanjang sejarah kemanusiaan, manusia bertanya, “siapakah
aku?”. Tradisi keagamaan menjawabnya dengan menukik jauh ke dalam, “wujud spiritual, ruh.” Psikologi
modern menjawab dengan menengok ke dalam (tidak terlalu dalam), self, ego, eksistensi psikologis” dan
psikoterapi merupakan perjalanan psikologis untuk menemukan diri ini. Psikologi
transpersonal menggabungkan kedua jawaban ini.ia mengambil pelajaran dari semua
angkatan psikologi dan kearifan perenial (philosophia
perennis) agama. Psikologi transpersonal menunjukkan bahwa di luar biasa
potensialnya serta mengajarkan praktik-praktik untuk mengantarkan manusia pasa
kesadaran spiritual, di atas id, ego dan
superego-nya Frued.
Agama-agama berbicara
tentang kesadaran spiritua yang luas dan multidimensional. Diri kita,
eksistensi psikologiskita, hanyalah penampakkan luar jelas tidak memadai.
Menyembuhkan gagguan mental dengan menggarap diri lahiriyah sama saja dengan
mendorong mobil mogok tanpa memperbaiki mesinnya. Bahkan, sebagaimana
disebutkan oleh Cortright (1997), “sedalam apa pun studi tentang genetika,
biokimia atau neurologi, pada satu sisi atau sistem keluarga, interaksi
ibu-anak dan pengalaman masa keci pada sisi yang lain-atau dengan perkataan lain,
tidak ada penjelasan apa pun, yang hanya memperhitungkan penampakan luar dari
maslah nature (tabiat) dan nurture (lingkungan)-dapat memberikan
jawaban memuaskan pada masalah fundamental manusia. Hanya dengan memandang ke
dimensi spiritual, yang memasukkan dan sekaligus mentransendenkan warisan dan
lingkungan, kita dapat menemukan jawaban yang tepat untuk masalah eksistensi manusia.”
Sejak tahun 1969,
ketika Journal of Transpersonal
Psychology terbit untuk pertama kalinya, psikologi mulai mengarahkan
perhatiannya pada dimensi spiritual manusia. Penelitian dilakukan untuk
memahami gejala-gejala rohaniah, seperti peak
experience, pengalaman mistis, ekstasi, kesadaran rohaniah, kesadaran
kosmis, aktualisasi transpersonal, pengalaman spiritual, dan akhirnya
kecerdasan spiritual (Rahmat, 2001).
Psikologi transpersonal,
seperti halnya psikologi humanistik, menaruh perhatian pada dimensi spiritual
manusia yang ternyata mengandung berbaggai potensi dan kemampuan luar biasa
yang sejauh ini terabaikan dari telaah psikologi kontemporer. Bedanya adalah;
psikologi humanistik lebih memanfaatkan pootensi-potensi ini untuk peningkatan
hubungan antar manusia, sedangkan psikologi transpersonal lebih tertarik untuk
meneliti pengalaman subjektif-transpersonal, serta pengalaman luar biasa dari
potnsi spiritual ini (Bastaman,1997).
Gambaran selintas
mengenai psikologi transpersonal menunjukkan bahwa aliran ini mencoba untuk
menjajagi dan melakukan telaah ilmiah terhadap suatu dimensi yang sejauh ini
lebih dianggap sebagai bidang garapan kaum kebatinan, rohaniawan,
agamawan, dan mistikus. Sekalipun masih
dalam taraf telaah awal, psikologi transpersonal menunjukkan bahwa di luar alam
kesadaran biasa terdapat ragam dimensi lain yang luar biasa pontensialnya.
Dimensi-Dimensi
Spiritualitas
Meskipun para peneliti tentang spiritual
yang sehat mencatat bahwa spiritual harus dipahami dalam multidimensional,
namun Ingersoll (1994) menggambarkan spiritualitas dalam tujuh dimensi, yaitu
makna (meaning), konsep tentang
ketuhanan (cocception of divinity),
hubungan (relationship), misteri (mystery), pengalaman (experience), perbuatan atau permainan (play), dan integrasi (integration).
Meaning.
Meaning atau makna merupakan dimensi terpnting dari
spiritualalitas. Meskipun makna tidak mungkin digambarkan dalam cara-cara yang
umum, namun ia dapat dipahami sebagai sesuatu yang dialami individu yang membuat
kehidupannya lebih bernilai atau berharga. Manusia mengisi hidupnya bukan untuk
suatu tujuan yan sia-sia. Pasti ada yang menjadi sasaran dan ada nergi yang
menggerakkan dirinya secara dinamis untuk dapat mencapai sasaran tersebut.
Sasaran merupakan wujud kriterium yang ingin dan akan dicapai seseorang. Ia
dapat bermakna, tapi juga berpeluang untuk menjadi tanpa makna. Bila ia bermakna, maka secara psikologis sasaran ini memberi
kepuasan bagi seseorang. Seperti tiga konsep dasar yang diuraikan Viktor Frankl:
“life has a meaning under all
circumstances to active the will to meaning, people have freedom under all
circumstances to active the will to meaning and to find.” Setiap orang
ingin mengisi kehidupannya menjadi bermakna, dan ia memiliki kebebasan yang
bertanggung jawab untuk menentukan sikap bagaimana ia akan mencapai makna ini,
yang berkembang sesuai dengan pengalaman yang mengasah dirinya.
Conception of divinity. Dimensi
kedua dari spiritualitas adalah konsep tentang ketuhanan. Bagaimana
konseptualisasi seseorang tentang Tuhan mungkin bermacam-macam. Fox (1983)
mengategorikan konsep individu tentang Tuhan atas teistik, ateistik,
pantheistik, atau panetheistik. Secara teistikal individu berhubungan dengan
kekuatan atau wujud transenden yang utama. Secara ateistik seseorang menyangkal
(refute) atau menolak (resist) konsepsi tentang Ketuhanan.
Dalam hubungan pantheistik individu berhubungan dengan suatu kekuatan absolut
yang bersemayam dalam semua keberadaan, termasuk dalam individu itu sendiri.
Dalam hubungan pantheistik, kekuatan atau wujud ketuhanan meliputi (flows) seluruh yang ada dan secara
paradox melebihi semua yang ada.
Relationship. Dimensi
spiritualitas yang ketiga adalah dimensi hubungan. Salah satu tujuan dari semua
mitologi, termasuk sistem agama adalah untuk menemukan hubungan
(Campbell,1990). Hubungan ini mencakup bagaimana individu berhubungan dengan
konsepnya tentang ketuhanan dan dengan orang lain. Dalam hal ini Nelson (1988)
mengatakan: “by spirituality I mean the
ways and patterns by which the person-intellectually, emotionally, and
physically-relates to that which is ultimately real and worthful for him or
her.”
Burns (1989) kemudian
mengembangkan gagasan tentang hubungan dalam spiritualittas dengan
mendefinisikannya sebagai suatu pejuangan untuk dan penyatuan dengan
realitas dari interkoneksi antar-diri,
orang lain, dan dengan Zat Yang Maha Kuasa (Infine)
atau yang bersifat ketuhanan (Divine).
Burns mencatat bahwa hubungan terjadi selama mengalami pengalaman batin dan
menghasilkan suatu perubahan dalam kehidupan, dan kemudian hubungan tersebut
meningkatkan sense of connectedness seseorang
dengan Zat yang dianggap Tuhan serta dengan semua kehidupan yang ada.
Mystery. Misteri
juga merupakan salah satu dimensi spiritualitas yang penting. Banyak upaya untuk mengambarkan spiritualitas
menyinggung maslah misteri atau ambiguitas dari spiritual. Banks (1980), dalam
menguraikan dimensi misteri ini mencatat bahwa spiritualitas merupakan dimensi
yang secara tipikal dirasakan sebagai sesuatu yang tidak bisa dipahami dan
tidak bisa dilukiskan. Ketika orang berbicara tentang kekuatan transenden,
pengalaman fenomenologis tentang makna, atau kesadarn akan alam yang tidak bisa
dilukiskan seperti interkoneksi antar-individual, mereka sampai pada
batas-batas yang tak terkatakan dan misterius. Misteri dan toleransi baginya,
merupakan bagian dari semua tradisi spiritual. Sejumlah deskripsi tentang
spiritualitas harus mengikutsertakan (provide)
beberapa kosa kata yang mengakui
misterius dan harus juga memperlengkapi orang dengan cara untuk menyebutnya.
Experience. Di
samping konsep tentang tak terbatas,
kesadaran tentang makna dinamika hubungan, dan dimensi misteri, terdapat
kebutuhan untuk menjelaskan bagaimana semua ini dimanifestasikan dalam
pengalaman (experince) individual. Campbell (dalam Cousineau, 1990) menekankan pentingnya pengalaman spiritual, di
mana orang menceritakan tentang pencarian makna hidup; apa yang sesungguhnya mereka
cari tidak lain adalah pengalaman hidup. Campbell menyatakan bahwa makna
diperoleh dari pengalaman. Moberg (1971) bahwa menyatakan bahwa spiritualitas
sering dihubungkan dengan pengalaman yan terjadi dalam kehidupan dan dapat menggarisbawahi
sejumlah besar pengalaman estatik manusia seperti orgasme seksual dan asthetik
getaran nada. Belakangan, pemahaman tentang pengalaman sama dengan apa yang
disebut oleh Maslow peak experiences (pengalaman
puncak). Maslow menyatakan bahwa elemen spiritual dari peak experiences dipengaruhi oleh nilai-nilai yang berkembang di
dunia sekular dan kerinduan akan makna (yearning
for meaning).
Meskipun Cambell (1988)
menyatakan bahwa fungsi dari semua mitologi adalah untuk membantu individu
untuk memperoleh pengalaman dari keberadaannya, namun ini tidak tepat dipahami
sebgai peak experiences, tetapi juga ordinary experiences (pengalaman biasa)
yang dialami sehari-hari dan berhubungan dengan tingkah laku mereka.
Dimentional Integration. Keenam
dimensi spiritual yang telah dijelaskan di atas, sebenarnya tidak berdiri
sendiri, melainkan saling berinterasi dan merupakan satu kesatuan yang tidak
terpisahkan. Sheldrake (1992) menekankanbahwa spiritualitas adalah suatu
integrasi dari semua aspek pengalaman dan kehidupan manusia. Demikian juga
Moberg (1984) menyatakan bahwa “The
spiritual prevades every aspect of a person’s life.”
Berdasarka uraian di
atas, dapat dipahami bahwa spiritualitas sesungguhnya merupakan gabungan dari
semua dimensi: 1) sense of meaning, 2)
concept of divine, absolute, or force greater
than one’s self, 3) relationship with
Divinity and other beings, 4) tolerance
or negative capability for mystery, 5) peak
and ordinary experiences engaged to enhance spirituality (may include rituals or spiritual disciplines),
dan 6) spirituality as systemic force
that acts to integrate all the dimencions of one’s life.
Berbeda dengan
Ingersoll, Burkhardt (dalam Achir Yani s Hamis, 2000), menyebutkan empat
dimensi spiritualitas, yaitu:
1. Berhubungan
dengan sesuatu yang tidak diketahui atau ketidakpastian dalam kehidupan.
2. Menemukan
arti atau makna hidup.
3. Menyadari
kemampuan untuk menggunakan sumber dan kekuatan dalam diri sendiri.
4. Mempunyai
perasaan keterikatan dengan diri sendiri dan dengan Tuhan Yang Maha Tinggi.
Karakteristik
Perkembangan Spiritualitas Peserta Didik
Dalam studi perkembangan, tema tentang
spiritualitas tidak banyak dibahas oleh para ahli psikologi. Kalau pun ada
beberapa buku yang menempatkan spiritualitas atau agama sebagai aspek penting
dari perkembangan manusia, tetapi pembahasannya sangat sederhana dan tidak
banyak didukung oleh data penelitian. Dalam uraian berikut akan dikemukakan
perkembangan spiritualitas yang diajukan oleh James W. Fowler.
Teori
Perkembangan Spiritual Fowler
Dewasa ini salah satu teori tentang
perkembangan spiritualitas dan kepercayaan yang banyak dijadikan acuan dalam
mempelajari perkembangan kehidupan spiritual atau agama manusia adalah stages of faith development dari James
Fowler. Fowler adalah perintis teori mengenai tahap perkembangan kepercayaan, yang
dimaksudkan untuk menunjukkan penelitian empiris dan refleksi teoritis yang
sementara ini diakui secara International sebagai psikologi agama yang sangat
penting (Cremers, 1995). Dalam tulisannya yang sama,Cremers (1995) memposisikan
psikologi perkembangan paradigmatis yang paling berpengaruh dewasa ini, yaitu psikologi
perkembangan konotatif yang bercorak struktural konstruktif.
Konsep tentang
spiritualitas dan kepercayaan yang digunakan Fowler merujuk pada apa yang
dikemukakan oleh Wilfred Cantwell Smith, bahwa kepercayaan eksistensial
merupakan kualitas pribadi, yaitu suatu orientasi kepribadian seseorang yang
menanggapi nilai dan kekuasaan tresenden, orientasi terhadap dirinya, sesamanya
dan alam semesta yang dilihat dan dipahami lewat bentuk-bentuk tradisi
kumulatif. Kepercayaan itu sendiri menurut Smith (dalam Fowler, 1981)
menyatakan bersifat universal yang dimiliki bersama oleh semua umat manusia.
Artinya kepercayaan bagi manusia merupakan satu kodrat, alamiah, yang dimiliki
manusia. Dalam kaitannya dengan hal ini Smith (1981) menyatakan bahwa manusia
standar adalah manusia yang berkepercayaan.
Fowler (1978) menyebut
kepercayaan sebagai sesuatu yang universal, ciri dari seluruh hidup, tindakan
pengertian diri semua manusia, entah mereka menyatakan diri sebagai orang yang
percaya danorang berkeagamaan atau sebagai orang yang tidak percaya pada
apapun. Dalam hal ini tampak kepercayaan tidak harus dipahami sebagai
kepercayaan religius semata, tetapi terutama sebagai kepercayaan hidup atau
yang oleh Fowler disebut sebagai kepercayaan eksistensial atau dalam bahasa
agama disebut sebagai Iman.
Dalam teorinya, Fowler
mengusulkan tahap perkembangan spiritual dan keyakinan yang dibangun atas dasar
teori-teori perkembangan dari Erikson, Piaget, Kohlberg, Perry, Giligan dan
Levinson.
Fowler percaya bahwa spiritualitas dan kepercayaan
dapat berkembang hanya dalam lingkup perkembangan intelektual dan emosional
yang dicapai oleh seseorang. Ketujuh tahap perkembangan agama itu adalah: (1) Primal faith; (2) intuitive-projective faith; (3) mythic-literal
faith; (4) synthetic-conventional
faith; (5) individuative-reflective
faith; (6) conjuctive faith; (7) universalizing faith (Dacey & Kenny,
1997).
Tahap primal faith. Tahap kepercayaan ini terjadi pada usia 0 tahun sampai 2 tahun,
yang ditandai dengan rasa percaya dan setia anak pada pengasuhnya. Kepercayaan
ini tumbuh dari pengalaman relasi mutual, berupa saling memberi dan menerima
yang diritualisasikan dalam interaksi antara anak dan pengasuhnya.
Tahap intuitive-projective faith, yang
berlangsung antara usia 2-7 tahun. Pada tahap ini kepercayaan anak bersifat
peniruan, karena kepercayaan yang dimilikinya masih merupakan gabungan hasil
pengajaran dan contoh-contoh signifikan dari orang dewasa. Melalui cara meniru kepercayaan orang dewasa,
anak kemudian berhasil merangsang, membentuk, menyalurkan dan mengarahkan
perhatian spontan serta gambaran intuitif dan proyektifnyapada Ilahi.
Tahap mythic-literal faith,yang dimulai usia
7-11 tahun. Pada tahap ini, sesuai dengan tahap perkembangan kognitifnya, anak
ssecara sistematis mulai mengambil makna dari tradisi masyarakatnya. Gambaran
tentang Tuhan diibaratkan sebagai seorang pribadi, orangtua atau penguasa, yang
bertindak dengan sikap memerhatikan secara konsekuen, tegas dan jika perlu
tegas.
Tahap synthetic-conventional faith, yang
terjadi pada usia 12-akhir masa remaja atau awal masa dewasa. Kepercayaan
remaja pada tahap ini ditandai dengan kesadaran tentang simbolisme dan memiliki
lebih dari satu cara untuk mengetahui kebenaran. Sistem kepercayaan remaja
mencerminkan pola kepercayaan masyarakat pada umumnya, namun kesadaran
kritisnya sesuai dengan tahap operasional formal, sehingga menjadikan remaja
melakukan kritik atas ajaran-ajaran yang diberikan oleh lembaga keagamaan resmi
kepadanya. Pada tahap ini, remaja juga mulai mencapai pengalaman bersatu dengan
Yan Transenden melalui simbol dan upacara keagamaan yang dianggapnya sakral.
Simbol-simbol identik dengan kedalaman arti itu sendiri. Allah dipandang
sebagai “pribadi lain” yang berperan penting dalam kehidupan mereka. Lebih dari itu, Allah juga dipandang sebagai sahabat
yang paling intim, yang dianggap paling mengenal dan mengetahui dirinya, serta
mencintainya tanpa syarat. Selanjutnya, muncul pengakuan bahwa Allah lebih
dekat dengan dirinya daripada remaja itu dengan dirinya sendiri. Kesadaran ini
kemudian mmunculkan pengakuan rasa komitmen dalam diri remaja terhadap Sang
Khalik.
Tahap individuative-reflective faith, yang
terjadi usia 19 tahun atau pada masa dewasa awal. Pada tahap ini mulai muncul
sintesis kepercayaan dan tanggung jawab individual terhadap kepercayaan
tersebut. Pengalaman personal pada tahap ini memainkan peranan penting dalam kepercayaan
seseorang. Menurut Fowler, tahap ini ditandai dengan: a) adanya kesadaran
terhadap relativitas pandangan dunia yang diberikan orang lain, individu
mengambil jarak kritis terhadap asumsi-asumsi sistem nilai terdahulu; b)
mengabaikan kepercayaan terhadap otoritas eksternal dengan munculnya “ego
eksekutif” sebagai tanggung jawab dalam memilih antara prioritas dan komitmen
yang akan membantunya membentuk identitas diri.
Tahap conjunctive-faith, disebut juga paradoxical-consolidation faith, yang
dimulai pada usia 30 tahun sampai dewasa akhir. Tahap ini ditandai dengan
perasaan terintegrasi dengan simbol-simbol, ritual-ritual dan keyakinan agama.
Dalam tahap ini seseorang juga lebih terbuka terhadap pandangan-pandangan yang
paradoks dan berbentangan, yang berasal dari kesadaran akan keterbatasan dan
pembatasan seseorang.
Tahap universalizing faith, yang berkembang
pada usia lanjut.perkembangan agama pada masa ini ditandai dengan munculnya sistem
kepercayaan transendental untuk mencapai perasaan ketuhanan, serta adanya
desentrasasi diri dan pengosongan diri. Peristiwa-peristiwa konflik tidak
selamanya dipandangan sebagai paradoks. Sebaliknya, pada tahap ini orang mulai
berusaha mencari kebenaran universal.
Dalam proses pencarian kebenaran ini, seseoran akan menerima banyak
kebenaran dari banyak titik pandang yang berbeda serta berusaha menyelaraskan
perspektifnya sendiri dengan perspektif
orang lain yang masuk dalam jangkauan universal yang paling luas.
Karakteristik
Perkembangan Spiritualitas Anak Usia Sekolah
Tahap mythic-literal faith, yang dimulai usia 7-11 tahun. Menurut Fowler
(dalam Muhammad Idrus, 2006), pada tahap ini, sesuai dengan tahap perkembangan
kognitifnya, anak mulai dapat berpikir logis dan mengatur duniat dengan
kategori-kategori baru. Pada tahap ini anak secara sistematis mulai mengambil
makna dari tradisi masyarakatnya, dan secara khusus menemukan koherensi serta
makna pada bentuk-bentuk naratif.
Lebih jauh Fowler
menjelaskan bahwa orientsi pada hal yang naratif dan cerita menjadi orientasi
pokok tahap ini, karena cerita dipilih sebagai sarana utama untuk menyatukan
dan menilai pengalaman. Dengan sarana ini anak menciptakan, menyusun dan menyimpan
serta menyampaikan seluruh arti
eksistensi. Dengan bantuan cerita, anak mampu memberikan arti dan kesatuan pada
seluruh cakrawala pengalamannya. Cerita naratif tersebut dapat berupa mitos,
cerita drama, ataupun cerita-cerita dalam ktab suci.
Sebagai anak yang
tengah berada dalam tahap pemikiran operasional konkret, maka anak-anak usia
sekolah dasar akan emahami segala sesuatu yang abstrak dengan interpretasi
secara konkret. Hal ii juga berpengaruh terhadappemahamannya mengenai
konsep-konsep keagamaan. Gambaran
tentang Tuhan sebagai sebuah konsep konkret-anthropomorfis, yang mempunyai perwujudan
riil serta memiliki sifat-sifat pribadi seperti manusia. Namun, seiring
perkembangan kognitifnya, konsep ketuhanan yang bersifat konkret ini dimulai
berubah menjadi abstrak. Dengan demikian, gagasan-gagasan keagamaan yang
bersifat abstrak yang tadinya dipahami secara konkret, seperti Tuhan itu satu,
Tuhan itu amat dekat, Tuhan ada di ana-mana, mulai dapat dipahami secara
abstrak.
Karakteristik
Perkembangan Spiritualitas Remaja
Dibandingkan dengan masa awal anak-anak
misalnya, keyakinan agama remaja telah
mengalami perkembangan yang cukup berarti. Kalau pada masa awal
anak-anak-ketika mereka baru memiliki kemampuan berpikir simbolik-Tuhan
dibayangkan sebagai person yang berada di awan, maka pada masa remaja mereka
mungkin berusaha mencari sebuah konsep yang lebih mendalam tentang Tuhan dan
eksistensi. Perkembangan pemahaman rmaja terhadap keyakinan agama ini sangat
dipengaruhi oleh perkembangan kognitifnya.
Oleh sebab itu,
meskipun pada masa awal anak-anak ia telah diajarkan agama oleh orangtua
mereka, namun karena pada masa remaja mereka mengalami kemajuan dalam
perkembangan kognitif, mereka mungin mempertanyakan tentang kebenaran keyakinan
agama mereka sendiri. Sehubungan dengan pengaruh perkembangan kognitif terhadap
perkembangan agama selama masa remaja ini, Seifert & Hoffnung (1994)
menulis:
During adolescence, cognitive development affect
both spesific religious beliefs and overall religious orientation. In general,
specific beliefs become more sophisticated or complex than they were during
childhood. The concept of religious denomination, for example, evolves from
relatively superficial to more accurate and abstract notions.
Dalam suatu studi yang
dilakukan Goldman (1962) tentang perkembangan pemahaman agama anak-anak dan
remaja dengan latar belakang teori perkembangan kognitif Piaget, ditemukan
bahwa perkembangan pemahaman agama remaja berada pada tahap 3, yaitu formal operational religious thought, du mana remaja memperlihatkan pemahaman agama
yang lebih abstrak dan hipotetis. Peneliti lain jua menemukan bahwa remaja usia
sekitar 17 atau 18 tahun makin meningkat ulasannya tentang kebebadan,
pemahaman, dan pengharpan –konsep-konsep abstrak-ketika membuat pertimbangan
tentang agama.
Mengacu pada teori
perkembangan spiritualitas Fowler, remaja berada dalam tahap synthetic-conventional fait, tahap di
mana remaja mulai bersifat konformistis dan melakukan penyesuaian-penyesuaian
diri dengan harapan-harapan sosial. Karena itu, sistem kepercayaan remaja mencerminkan
pola kepercayaan masyarakat pada umumnya. Menurut Muhammad Idrus, (2006), pola
kepercayaan yang dibangun remaja bersifat konvensional, sebab secara kognitif,
afektif dan soaila, remaja mulai menyesuaikan diri dengan orang lain yang
berarti baginya (sig-nificant others) dan dengan mayoritas lainnya.
Pada tahap ini, remaja
juga mulai mencapai pengalaman bersatu dengan Yang Transenden malalui simbol
dan upacara keagamaan yang dianggapnya sakral. Simbol-simbol identik dengan
kedalaman arti itu sendiri. Allah dipandang sebagai “pribadi lain” yang
berperan penting dalam kehidupan mereka. Lebih dari itu, Allah juga dipandang
sebagai sahabat yang paling intim, yang dianggap paling mengenal dan mengetahui
dirinya, serta mencintainya tanpa syarat. Selanjutnya, muncul pengakuan bahwa
Allah lebih dekat dengan dirinya daripada remaja itu dengan dirinya sendiri.
Kesadaran ini kemudian memunculkan pengakuan rasa komitmen dalam diri remaja
terhadap Sang Khalik.
Di samping menunjukkan
minat yang kuat terhadap hal-hal spiritual, fenomena keberagamaan remaja juga
sering ditandai dengan keraguan beragama (religuous
doubt). Penelitian al-Maligy (Nizar, 1992) menemukan bahwa keraguan remaja
pada agamanya mulai banyak dialami remaja yang berusia 17 tahun dan kemudian menurun usia 21 tahun.
Hasilpenelitian yang dilakukan Hutsebaut dan Verhouven (1991) menyimpulkan
bahwa presentase subjek yang tidak percaya pada Tuhan semakin meningkat pada
usia akhir remaja, sedangkan presentase mereka sangat percaya menurun pada usia
yang sama.
Menurut Clark (1958) keragu-raguan
beragama (religious doubt) memang
merupakan salah satu karakteristik kehidupan beragama pada masa remaja yang
sangat menonjol. Keraguan dan konflik remaja dalam hal beragama memang menjadi
hal yang serius, manakala remaja yang bersangkutan tidak dapat menyelesaikan
krisis yang terjadi. Artinya jika merujuk pada prinsip epigenetik yang diajukan
Erikson (1968) bahwa keberhasilan penyelesaian krisis pada awal akan menjadi
landasan bagi keberhasilan untuk mengatasi krisis pada tahap berikutnya. Maka
kegagalan individu untuk meraih kematangan dalam beragama disebabkan kegagalan
mengatasi krisis pada tahap sebelumnya.
Mengambil analogi dari
teori Erikson (1968) yang menggunakan prinsip epigenetik maka perkembangan tahap kepercayaan individu juga akan
mengalami situasi yang sama sebagaimana perkembangan siklus hidup. Artinya
kematangan pada tahap sebelumnya seiring dengan bertambahnya usia akan menjadi
dasar bagi perkembangan kepercayaan individu. Jika pada tahap sebelumnya
individu tidak megalami kematangan dalam satu tahap kepercayaan
eksistensialnya, maka diyakini yang bersangkutan tidak dapat meningkat pada
tahap kepercayaan eksistensial berikutnya. Hasil penelitian Sanders (1998) menunjukkan bahwa
individu yang tidak matang dalam satu tahap psikososial sebagaimana diajukan
Erikson akan berdampak pada rendahnya keyakinan dalam beragama.
Bilasatu tahap
perkembangannya seseorang menghadapi krisis hidup dan gagal menghadapinya, maka
hal ini akan dapat memengaruhi kepercayaannya. Pada setiap tahap perkembangan kehidupan,
seseorang akan dihadapkan pada dua titik ekstrim sebagaimana dipaparkan oleh
Erikson (1993) pada setiap tahap selalu terjadi krisis antara dua posisi
ekstrim, positif dan negatif dan individu akan melakukan komitmen-komitmen
tertentu dalam usaha menyelesaikan konfliknya.
Ketidakmampuan untuk
menyelesaikan krisis yang terjdai pada satu tahap akan dengan sendirinya
mengganggu perkembangan tahap berikutnya. Ketidakmampuan tersebut pada akhirnya
juga akan memengaruhi tingkat kepercayaan eksistensial seseorang. Rasionalnya,
seharusnya individu telah berkembang tingkat kepercayaan eksistensialnya, hanya
saja karena kegagalan penyelesaian krisis dengan sendirinya mengganggu siklus
kehidupannya, maka individu tersebut juga akan mengalami hambatan untuk
meningkatkan dari tingkat kepercayaan eksistensial yang saat itu dialaminya.
Hasil penelitian yang
dilakukan Sanders (1998) menunjukkan bahwa individu dengan status difusi (tanpa
eskplorasi dan tanpa komitmen) ternyata memiliki tingkat kematangan yang rendah
dalamhalkeyakinan beragama. Artinya individu dengan status difusi yang tidak mampu
menyelesaikan krisis pada tahap difusi ternyata tidak dapat pula mengembangkan
kepercayaan beragamanya.
Kegagalan mengenani
krisis internal di atas, bila bertemu dengan lingkungan eksternal yang tidak
mendukung perkembangan kepercayaan, akan menjadikan remaja terseret dalam
pengaruh lingkungan. Seseorang individu hidup dalam lingkungan sosial yang
lebih luas dan dirinya tidak mungkin melepaskan lingkungan tersebut. Bila
pengaruh lingkungan itu kuat dan bersifat mendukung kepercayaan atau
keyakinanyang dimiliki remaja, maka remaja akan terbantu dan menyelesaikan
krisisnya. Sebaliknya bila pengaruh lingkungan itu kuat dan tidak membantu atau
malah mengganggu proses penyelesaian krisis kepercayaan kepada Tuhan yang
dialami remaja, maka akan mengakibatkan remaja akan mengalami krisis
kepercayaan kepada Tuhanyang tidak terselesaikan. Keraguannya kepada Tuhan
dapat mengakibatkan menjadi ingkar kepada Tuhan. Apa yang terjadi pada kisah
putra Nabi Nuh dapat membenarkan pandangan ini. Nabi Nuh telah menanamkan
keyakinan kepada Tuhan sedemikian rupa anaknya, namun saat anaknya memperoleh
pengaruh dari luar, keyakinan yang ditanamakan Nabi Nuh masuk dalam kelompok
orang yang tidak lagi kepada Tuhan yang dipercaya Nabi Nuh kepada Kekuasaan Tuhan,
menyebabkan ia enggan mengikuti kkapal yang dibangun ayahnya dan saat banjir
datang ia termasuk serang yang menjadi korban (Muhammad Idrus, 2006).
Faktor terakhir yang
oleh Fowler (1988) diidentifikasikan berpengaruh terhadap perkembangan
kepercayaan eksistensial adalah keanggotaan dalam kelompok biasanya biasanya
setiap individu akan memiliki reference
group yang menjadi pusat aktivitas bai dirinya. Ikatan yang muncul dari
konsekuensi logis keanggotaannya pada kelompok tersebut, akan dengan sendirinya
memengaruhi perilaku yang harus ditampilkannya. Lingren (tt) menyatakan bahwa
teman sebaya memainkan peranan penting dalam kehidupan remaja dan secara khas
menggantikan keluarga sebagai pusat aktivitas sosial remaja.
Begitu juga dalam
aktivitas beragamanya, kelompok akan memengaruhi cara seseorang beragama. Jika
kelompok tersebut membangun iklim beragama yang sehat, maka dimungkinkan
individu menjadi anggotanya akan terdorong untuk melakukan aktivitas agama yang
semakin lama cenderung meningkat. Krisis kepercayaan terhadap Tuhan akan
dibantu kelompok tersebut kurang memerhatikan masalah religiusitas, maka
kecenderungan antireligiusitas, maka kecenderungan yang muncul adalah anggota
akan larut pada aktivitas yang sepi dari nuansa agama bahkan menentang agama.
Krisis kepada Tuhan yang dialami oleh seseorang remaja tidak dibantu oleh
kelompok untuk mendapatkan penyelesaiannya.
Implikasi
Perkembangan Moral dan Spiritual terhadap Pendidikan
Memerhatikan uraian tentang perkembangan
moral dan spiritual sebagimana dipaparkan di atas, maka sekolah sebagai lembaga
pendidikan dituntut untuk membantu peserta didik dalam mengembangkan moral dan
spiritual mereka, sehingga mereka dapat menjadi manusia yang moralis dan
religius. Berikut ini akan dikemukakan beberapa strategi yang mungkin dapat
dilakukan guru di sekolah dalam membantu perkembangan moral dan spiritual
peserta didik.
1. Memberikan
pendidikan moral dan keagamaan melalui kurikulu tersembunyi (hidden curriculum), yakni menjadi
sekolah sebagai atmosfer moral dan agama secara keseluruhan. Atmosfer di sini
termasuk peraturan sekolah dan kelas, sikap terhadap kegiatan akademik dan
ekstrakurikuler, orientasi moral yang dimiliki guru dan pegawai serta materi
teks yang digunakan.terutama guru dalam hal ini harus mampu menjadi model
tingkah laku yang mencerminkan nilai-nilai moral dan agama. Tanpa adanya model
tingkah laku yang baik dari guru, maka pendidikan moral dan agama yang
diberikan di sekolah tidak akan efektif menjadi peserta didik sebagai seorang
yang moralis dan religius.
2. Memberikan
pendidikan moral langsung (direct moral
education), yakni pendidikan moral dengan pendekatan pada nilai dan juga
sifat selama jangkan waktu tertentu atau menyatukan nilai-nilai dan sifat-sifat
tersebut ke dalam kurikulum. Dalam pendekatan ini, instruksi dalam konsep moral
tertentu dapat mengambil bentuk dalamcontoh dan definisi, diskusi kelas dan
bermain peran, atau memberi reward kepada
siswa yang berperilaku secara tepat.
3. Memberikan
pendekatan moral melalui pendekatan klarifikasi nilai (values clarification) yaitu pendekatan pendidikan moral tidak
langsung yang berfokus pada upaya membantu siswa untuk memperoleh kejelasan
mengenai tujuan hidup mereka dan apa yang berharga untuk dicari. Dalam
klarifikasi nilai, kepada siswa diberikan pertanyaan atau dilema, danmereka
diharapkan untuk memberi tangapan, baik secara individual maupun secara
kelompok. Tujuannya dalah untuk menolong siswa menentukan nilai mereka
sendiridan menjadi peka terhadap nilai yang dianut orang lain.
4. Menjadikan
pendidikan wahana yang kondusif bagi peserta didik untuk menhayati agamanya,
tidak hanya sekedar bersifat teoritis, tetapi penghayatan yang benar-benar dikontruksi dari pengalamankeberagaman. Oleh sebab itu,
pendidikan agama yang dilangsungkan di sekolah harus lebih menekankan pada
penempatan peserta didik untuk mencari pengalaman keberagaman (religiousity). Dengan pendekatan
demikian, maka yang ditonjolkan dalam pendidikan aama adalah ajaran dasar agama
yang sarat dengan nilai-nilai spiritualitas dan moralitas, seperti kedamain dan
keadilan.
5. Membantu
peserta didik mengembangkan rasa ketuhanan melalui pendekatan spiritual parenting, seperti:
Ø Memupuk
hubungan sadar anak dengan Tuhan melalui doa setiap hari.
Ø Menanyakan
kepada anak bagaimana Tuhan terlibat dalam aktivitasnya sehari-hari.
Ø Memberikan
kesadaran kepada anak bahwa Tuhan akan membimbing kita apabila kita meminta.
Ø Menyuruh
anak merenungkan bahwaTuhan itu ada dalam jiwa mereka dengan cara menjelaskan
bahwa mereka tidak dapat melihat diri mereka tumbuh atau mendengar darah mereka
mengalir, tetapi tahu bahwa semua itu sungguh-sungguh terjadi sekalipun mereka
tidak melihat apapun.
0 komentar:
Posting Komentar