Sabtu, 31 Agustus 2013

Spirulitas dalam Psikologi Transpersonal


Spirulitas dalam Psikologi Transpersonal

Psikologi transpersonal sebenarnya merupakan kelanjutan atau lebih tepatnya pengembanggan dari psikologi humanistik. Aliran psikologi ini disebut aliran keempat psikologi. S.I. Shapiro dan Denise H. Lajoice (1992) menggambarkan psikologi transpersonal sebagai berikut: “Transpersonal psychology is concerned with the study of humanitys highestpotential, and with the recognition, understanding, and realization of unitive, spiritual, and transcendent  states of consciousness.

Dari rumusan di atas terlihat dua unsure penting yang menjadi perhatian psikologis transpersonal, yaitu potensi-potensi luhur (the high-est potentials) dan fenomena kesadaran (state of consciousness) manusia. Dengan perkataan lain, psikologi transpersonal memfokuskan perhatian pada dimensi spiritual dan pengalaman-pengalaman rohaniah manusia.
The states of consciousness atau lebih populernya disebut the altered states of consciousness adalah pengalaman seseorang melewati batas-batas kesadaran biasa, seperti pengalaman-pengalaman alih dimensi, memasuki alam-alam kebatinan, kesatuan mistik, komunikasi batiniah, pengalaman meditasi, dan sebagainya. Demikian juga mengenai potensi-potensi luhur manusia menghasilkan telaah-telaah seperti altered states of consciousness, extra sensory perception, transendensi diri, kerohaniah, potensi luhur dan paripurna, dimensi diatas alam kesadaran, pengalaman mistik, ekstasi, parapsikologi, paranormal, daya-daya baitn,pengalaman spiritual dan praktek-prakte keaamaan di kawasan Timur dan di berbagai belahan dunia lainnya, dan sebagainya.
Psikologi transpersonal berawal dari penelitian-penelitian psikologi kesehatan yang dilakukan oleh Abraham Maslow dalam tahun 1960-an. Maslow melakukan serangkaian penelitian yang intensif dan luas tentang pengalaman-pengalaman keagamaan, seperti “pengalaman-pengalaman puncak” (peak experiences). Laporan-laporan diperoleh dari jawaban atas permintaan untuk memikirkan pengalaman-pengalaman yang sangat indah dalam kehidupan seseorang. Ditemukan bahwa orang-orang yang mengalami pengalaman-pengalaman puncak merasa lebih terintegrasi, lebih bersatu dengan dunia, lebih menjadi raja atas diri mereka sendiri, lebih spontan, kurang menyadari ruang dan waktu, lebih cepat dan mudah mencerap sesuatu, dan sebagainya.
Dari hasil penelitiannya ini, Maslow berkesimpulan bahwa pengalaman keagamaan adalah peak experience, plateau dan farthes reaches of human nature. Oleh sebab itu kata Maslow, psikologi belum sempurna sebelum difokuskan kembali dalam pandangan piritual dan transpersonal. Lebih  jauh Maslow, (1968) menulis: “I should say also that I consider humanistic, Third Forces Psychology, to be transitional, a preparation for a still higher Fourth Psychology, a trasnpersonal, transhuman, centered in the cosmoc rather human need and interest, going beyond humannes, identity, self actualization, and the like.”
Sepanjang sejarah  kemanusiaan, manusia bertanya, “siapakah aku?”. Tradisi keagamaan menjawabnya dengan menukik jauh  ke dalam, “wujud spiritual, ruh.” Psikologi modern menjawab dengan menengok ke dalam (tidak terlalu dalam), self, ego, eksistensi psikologis” dan psikoterapi merupakan perjalanan psikologis untuk menemukan diri ini. Psikologi transpersonal menggabungkan kedua jawaban ini.ia mengambil pelajaran dari semua angkatan psikologi dan kearifan perenial (philosophia perennis) agama. Psikologi transpersonal menunjukkan bahwa di luar biasa potensialnya serta mengajarkan praktik-praktik untuk mengantarkan manusia pasa kesadaran spiritual, di atas id, ego dan superego-­nya Frued.
Agama-agama berbicara tentang kesadaran spiritua yang luas dan multidimensional. Diri kita, eksistensi psikologiskita, hanyalah penampakkan luar jelas tidak memadai. Menyembuhkan gagguan mental dengan menggarap diri lahiriyah sama saja dengan mendorong mobil mogok tanpa memperbaiki mesinnya. Bahkan, sebagaimana disebutkan oleh Cortright (1997), “sedalam apa pun studi tentang genetika, biokimia atau neurologi, pada satu sisi atau sistem keluarga, interaksi ibu-anak dan pengalaman masa keci pada sisi yang lain-atau dengan perkataan lain, tidak ada penjelasan apa pun, yang hanya memperhitungkan penampakan luar dari maslah nature (tabiat) dan nurture (lingkungan)-dapat memberikan jawaban memuaskan pada masalah fundamental manusia. Hanya dengan memandang ke dimensi spiritual, yang memasukkan dan sekaligus mentransendenkan warisan dan lingkungan, kita dapat menemukan jawaban yang tepat untuk masalah eksistensi manusia.”
Sejak tahun 1969, ketika Journal of Transpersonal Psychology terbit untuk pertama kalinya, psikologi mulai mengarahkan perhatiannya pada dimensi spiritual manusia. Penelitian dilakukan untuk memahami gejala-gejala rohaniah, seperti peak experience, pengalaman mistis, ekstasi, kesadaran rohaniah, kesadaran kosmis, aktualisasi transpersonal, pengalaman spiritual, dan akhirnya kecerdasan spiritual (Rahmat, 2001).
Psikologi transpersonal, seperti halnya psikologi humanistik, menaruh perhatian pada dimensi spiritual manusia yang ternyata mengandung berbaggai potensi dan kemampuan luar biasa yang sejauh ini terabaikan dari telaah psikologi kontemporer. Bedanya adalah; psikologi humanistik lebih memanfaatkan pootensi-potensi ini untuk peningkatan hubungan antar manusia, sedangkan psikologi transpersonal lebih tertarik untuk meneliti pengalaman subjektif-transpersonal, serta pengalaman luar biasa dari potnsi spiritual ini (Bastaman,1997).
Gambaran selintas mengenai psikologi transpersonal menunjukkan bahwa aliran ini mencoba untuk menjajagi dan melakukan telaah ilmiah terhadap suatu dimensi yang sejauh ini lebih dianggap sebagai bidang garapan kaum kebatinan, rohaniawan, agamawan,  dan mistikus. Sekalipun masih dalam taraf telaah awal, psikologi transpersonal menunjukkan bahwa di luar alam kesadaran biasa terdapat ragam dimensi lain yang luar biasa pontensialnya.

Dimensi-Dimensi Spiritualitas
Meskipun para peneliti tentang spiritual yang sehat mencatat bahwa spiritual harus dipahami dalam multidimensional, namun Ingersoll (1994) menggambarkan spiritualitas dalam tujuh dimensi, yaitu makna (meaning), konsep tentang ketuhanan (cocception of divinity), hubungan (relationship), misteri (mystery), pengalaman (experience), perbuatan atau permainan (play), dan integrasi (integration).
Meaning. Meaning atau makna merupakan dimensi terpnting dari spiritualalitas. Meskipun makna tidak mungkin digambarkan dalam cara-cara yang umum, namun ia dapat dipahami sebagai sesuatu yang dialami individu yang membuat kehidupannya lebih bernilai atau berharga. Manusia mengisi hidupnya bukan untuk suatu tujuan yan sia-sia. Pasti ada yang menjadi sasaran dan ada nergi yang menggerakkan dirinya secara dinamis untuk dapat mencapai sasaran tersebut. Sasaran merupakan wujud kriterium yang ingin dan akan dicapai seseorang. Ia dapat bermakna, tapi juga berpeluang untuk menjadi  tanpa makna. Bila ia bermakna, maka   secara psikologis sasaran ini memberi kepuasan bagi seseorang. Seperti tiga konsep dasar yang diuraikan Viktor Frankl: “life has a meaning under all circumstances to active the will to meaning, people have freedom under all circumstances to active the will to meaning and to find.” Setiap orang ingin mengisi kehidupannya menjadi bermakna, dan ia memiliki kebebasan yang bertanggung jawab untuk menentukan sikap bagaimana ia akan mencapai makna ini, yang berkembang sesuai dengan pengalaman yang mengasah dirinya.
Conception of divinity. Dimensi kedua dari spiritualitas adalah konsep tentang ketuhanan. Bagaimana konseptualisasi seseorang tentang Tuhan mungkin bermacam-macam. Fox (1983) mengategorikan konsep individu tentang Tuhan atas teistik, ateistik, pantheistik, atau panetheistik. Secara teistikal individu berhubungan dengan kekuatan atau wujud transenden yang utama. Secara ateistik seseorang menyangkal (refute) atau menolak (resist) konsepsi tentang Ketuhanan. Dalam hubungan pantheistik individu berhubungan dengan suatu kekuatan absolut yang bersemayam dalam semua keberadaan, termasuk dalam individu itu sendiri. Dalam hubungan pantheistik, kekuatan atau wujud ketuhanan meliputi (flows) seluruh yang ada dan secara paradox melebihi semua yang ada.
Relationship. Dimensi spiritualitas yang ketiga adalah dimensi hubungan. Salah satu tujuan dari semua mitologi, termasuk sistem agama adalah untuk menemukan hubungan (Campbell,1990). Hubungan ini mencakup bagaimana individu berhubungan dengan konsepnya tentang ketuhanan dan dengan orang lain. Dalam hal ini Nelson (1988) mengatakan: “by spirituality I mean the ways and patterns by which the person-intellectually, emotionally, and physically-relates to that which is ultimately real and worthful for him or her.”
Burns (1989) kemudian mengembangkan gagasan tentang hubungan dalam spiritualittas dengan mendefinisikannya sebagai suatu pejuangan untuk dan penyatuan dengan realitas  dari interkoneksi antar-diri, orang lain, dan dengan Zat Yang Maha Kuasa (Infine) atau yang bersifat ketuhanan (Divine). Burns mencatat bahwa hubungan terjadi selama mengalami pengalaman batin dan menghasilkan suatu perubahan dalam kehidupan, dan kemudian hubungan tersebut meningkatkan sense of connectedness seseorang dengan Zat yang dianggap Tuhan serta dengan semua kehidupan yang ada.
Mystery. Misteri juga merupakan salah satu dimensi spiritualitas yang penting. Banyak  upaya untuk mengambarkan spiritualitas menyinggung maslah misteri atau ambiguitas dari spiritual. Banks (1980), dalam menguraikan dimensi misteri ini mencatat bahwa spiritualitas merupakan dimensi yang secara tipikal dirasakan sebagai sesuatu yang tidak bisa dipahami dan tidak bisa dilukiskan. Ketika orang berbicara tentang kekuatan transenden, pengalaman fenomenologis tentang makna, atau kesadarn akan alam yang tidak bisa dilukiskan seperti interkoneksi antar-individual, mereka sampai pada batas-batas yang tak terkatakan dan misterius. Misteri dan toleransi baginya, merupakan bagian dari semua tradisi spiritual. Sejumlah deskripsi tentang spiritualitas harus mengikutsertakan (provide) beberapa kosa kata yang  mengakui misterius dan harus juga memperlengkapi orang dengan cara untuk menyebutnya.
Experience. Di samping  konsep tentang tak terbatas, kesadaran tentang makna dinamika hubungan, dan dimensi misteri, terdapat kebutuhan untuk menjelaskan bagaimana semua ini dimanifestasikan dalam pengalaman (experince) individual. Campbell (dalam Cousineau, 1990) menekankan pentingnya pengalaman spiritual, di mana orang menceritakan tentang pencarian makna hidup; apa yang sesungguhnya mereka cari tidak lain adalah pengalaman hidup. Campbell menyatakan bahwa makna diperoleh dari pengalaman. Moberg (1971) bahwa menyatakan bahwa spiritualitas sering dihubungkan dengan pengalaman yan terjadi  dalam kehidupan dan dapat menggarisbawahi sejumlah besar pengalaman estatik manusia seperti orgasme seksual dan asthetik getaran nada. Belakangan, pemahaman tentang pengalaman sama dengan apa yang disebut oleh Maslow peak experiences (pengalaman puncak). Maslow menyatakan bahwa elemen spiritual dari peak experiences dipengaruhi oleh nilai-nilai yang berkembang di dunia sekular dan kerinduan akan makna (yearning for meaning).
Meskipun Cambell (1988) menyatakan bahwa fungsi dari semua mitologi adalah untuk membantu individu untuk memperoleh pengalaman dari keberadaannya, namun ini tidak tepat dipahami sebgai peak experiences, tetapi juga ordinary experiences (pengalaman biasa) yang dialami sehari-hari dan berhubungan dengan tingkah laku mereka.
Dimentional Integration. Keenam dimensi spiritual yang telah dijelaskan di atas, sebenarnya tidak berdiri sendiri, melainkan saling berinterasi dan merupakan satu kesatuan yang tidak terpisahkan. Sheldrake (1992) menekankanbahwa spiritualitas adalah suatu integrasi dari semua aspek pengalaman dan kehidupan manusia. Demikian juga Moberg (1984) menyatakan bahwa “The spiritual prevades every aspect of a person’s life.”
Berdasarka uraian di atas, dapat dipahami bahwa spiritualitas sesungguhnya merupakan gabungan dari semua dimensi: 1) sense of meaning, 2) concept of divine, absolute, or force greater than one’s self, 3) relationship with Divinity and other beings, 4) tolerance or negative capability for mystery, 5) peak and ordinary experiences engaged to enhance spirituality (may include rituals or spiritual disciplines), dan 6) spirituality as systemic force that acts to integrate all the dimencions of one’s life.
Berbeda dengan Ingersoll, Burkhardt (dalam Achir Yani s Hamis, 2000), menyebutkan empat dimensi spiritualitas, yaitu:
1.      Berhubungan dengan sesuatu yang tidak diketahui atau ketidakpastian dalam kehidupan.
2.      Menemukan arti atau makna hidup.
3.      Menyadari kemampuan untuk menggunakan sumber dan kekuatan dalam diri sendiri. 
4.      Mempunyai perasaan keterikatan dengan diri sendiri dan dengan Tuhan Yang Maha Tinggi.

Karakteristik Perkembangan Spiritualitas Peserta Didik
Dalam studi perkembangan, tema tentang spiritualitas tidak banyak dibahas oleh para ahli psikologi. Kalau pun ada beberapa buku yang menempatkan spiritualitas atau agama sebagai aspek penting dari perkembangan manusia, tetapi pembahasannya sangat sederhana dan tidak banyak didukung oleh data penelitian. Dalam uraian berikut akan dikemukakan perkembangan spiritualitas yang diajukan oleh James W. Fowler.
Teori Perkembangan Spiritual Fowler
Dewasa ini salah satu teori tentang perkembangan spiritualitas dan kepercayaan yang banyak dijadikan acuan dalam mempelajari perkembangan kehidupan spiritual atau agama manusia adalah stages of faith development dari James Fowler. Fowler adalah perintis teori mengenai tahap perkembangan kepercayaan, yang dimaksudkan untuk menunjukkan penelitian empiris dan refleksi teoritis yang sementara ini diakui secara International sebagai psikologi agama yang sangat penting (Cremers, 1995). Dalam tulisannya yang sama,Cremers (1995) memposisikan psikologi perkembangan paradigmatis yang paling berpengaruh dewasa ini, yaitu psikologi perkembangan konotatif yang bercorak struktural konstruktif.
Konsep tentang spiritualitas dan kepercayaan yang digunakan Fowler merujuk pada apa yang dikemukakan oleh Wilfred Cantwell Smith, bahwa kepercayaan eksistensial merupakan kualitas pribadi, yaitu suatu orientasi kepribadian seseorang yang menanggapi nilai dan kekuasaan tresenden, orientasi terhadap dirinya, sesamanya dan alam semesta yang dilihat dan dipahami lewat bentuk-bentuk tradisi kumulatif. Kepercayaan itu sendiri menurut Smith (dalam Fowler, 1981) menyatakan bersifat universal yang dimiliki bersama oleh semua umat manusia. Artinya kepercayaan bagi manusia merupakan satu kodrat, alamiah, yang dimiliki manusia. Dalam kaitannya dengan hal ini Smith (1981) menyatakan bahwa manusia standar adalah manusia yang berkepercayaan.
Fowler (1978) menyebut kepercayaan sebagai sesuatu yang universal, ciri dari seluruh hidup, tindakan pengertian diri semua manusia, entah mereka menyatakan diri sebagai orang yang percaya danorang berkeagamaan atau sebagai orang yang tidak percaya pada apapun. Dalam hal ini tampak kepercayaan tidak harus dipahami sebagai kepercayaan religius semata, tetapi terutama sebagai kepercayaan hidup atau yang oleh Fowler disebut sebagai kepercayaan eksistensial atau dalam bahasa agama disebut sebagai Iman.
Dalam teorinya, Fowler mengusulkan tahap perkembangan spiritual dan keyakinan yang dibangun atas dasar teori-teori perkembangan dari Erikson, Piaget, Kohlberg, Perry, Giligan dan Levinson.
Fowler  percaya bahwa spiritualitas dan kepercayaan dapat berkembang hanya dalam lingkup perkembangan intelektual dan emosional yang dicapai oleh seseorang. Ketujuh tahap perkembangan agama itu adalah: (1) Primal faith; (2) intuitive-projective faith; (3) mythic-literal faith; (4) synthetic-conventional faith; (5) individuative-reflective faith; (6) conjuctive faith; (7) universalizing faith (Dacey & Kenny, 1997).
Tahap primal faith. Tahap  kepercayaan ini  terjadi pada usia 0 tahun sampai 2 tahun, yang ditandai dengan rasa percaya dan setia anak pada pengasuhnya. Kepercayaan ini tumbuh dari pengalaman relasi mutual, berupa saling memberi dan menerima yang diritualisasikan dalam interaksi antara anak dan pengasuhnya.
Tahap intuitive-projective faith, yang berlangsung antara usia 2-7 tahun. Pada tahap ini kepercayaan anak bersifat peniruan, karena kepercayaan yang dimilikinya masih merupakan gabungan hasil pengajaran dan contoh-contoh signifikan dari orang dewasa.  Melalui cara meniru kepercayaan orang dewasa, anak kemudian berhasil merangsang, membentuk, menyalurkan dan mengarahkan perhatian spontan serta gambaran intuitif dan proyektifnyapada Ilahi.
Tahap mythic-literal faith,yang dimulai usia 7-11 tahun. Pada tahap ini, sesuai dengan tahap perkembangan kognitifnya, anak ssecara sistematis mulai mengambil makna dari tradisi masyarakatnya. Gambaran tentang Tuhan diibaratkan sebagai seorang pribadi, orangtua atau penguasa, yang bertindak dengan sikap memerhatikan secara konsekuen, tegas dan jika perlu tegas.
Tahap synthetic-conventional faith, yang terjadi pada usia 12-akhir masa remaja atau awal masa dewasa. Kepercayaan remaja pada tahap ini ditandai dengan kesadaran tentang simbolisme dan memiliki lebih dari satu cara untuk mengetahui kebenaran. Sistem kepercayaan remaja mencerminkan pola kepercayaan masyarakat pada umumnya, namun kesadaran kritisnya sesuai dengan tahap operasional formal, sehingga menjadikan remaja melakukan kritik atas ajaran-ajaran yang diberikan oleh lembaga keagamaan resmi kepadanya. Pada tahap ini, remaja juga mulai mencapai pengalaman bersatu dengan Yan Transenden melalui simbol dan upacara keagamaan yang dianggapnya sakral. Simbol-simbol identik dengan kedalaman arti itu sendiri. Allah dipandang sebagai “pribadi lain” yang berperan penting dalam kehidupan mereka. Lebih  dari itu, Allah juga dipandang sebagai sahabat yang paling intim, yang dianggap paling mengenal dan mengetahui dirinya, serta mencintainya tanpa syarat. Selanjutnya, muncul pengakuan bahwa Allah lebih dekat dengan dirinya daripada remaja itu dengan dirinya sendiri. Kesadaran ini kemudian mmunculkan pengakuan rasa komitmen dalam diri remaja terhadap Sang Khalik.
Tahap individuative-reflective faith, yang terjadi usia 19 tahun atau pada masa dewasa awal. Pada tahap ini mulai muncul sintesis kepercayaan dan tanggung jawab individual terhadap kepercayaan tersebut. Pengalaman personal pada tahap ini memainkan peranan penting dalam kepercayaan seseorang. Menurut Fowler, tahap ini ditandai dengan: a) adanya kesadaran terhadap relativitas pandangan dunia yang diberikan orang lain, individu mengambil jarak kritis terhadap asumsi-asumsi sistem nilai terdahulu; b) mengabaikan kepercayaan terhadap otoritas eksternal dengan munculnya “ego eksekutif” sebagai tanggung jawab dalam memilih antara prioritas dan komitmen yang akan membantunya membentuk identitas diri.
Tahap conjunctive-faith, disebut juga paradoxical-consolidation faith, yang dimulai pada usia 30 tahun sampai dewasa akhir. Tahap ini ditandai dengan perasaan terintegrasi dengan simbol-simbol, ritual-ritual dan keyakinan agama. Dalam tahap ini seseorang juga lebih terbuka terhadap pandangan-pandangan yang paradoks dan berbentangan, yang berasal dari kesadaran akan keterbatasan dan pembatasan seseorang.
Tahap universalizing faith, yang berkembang pada usia lanjut.perkembangan agama pada masa ini ditandai dengan munculnya sistem kepercayaan transendental untuk mencapai perasaan ketuhanan, serta adanya desentrasasi diri dan pengosongan diri. Peristiwa-peristiwa konflik tidak selamanya dipandangan sebagai paradoks. Sebaliknya, pada tahap ini orang mulai berusaha mencari kebenaran universal.  Dalam proses pencarian kebenaran ini, seseoran akan menerima banyak kebenaran dari banyak titik pandang yang berbeda serta berusaha menyelaraskan perspektifnya  sendiri dengan perspektif orang lain yang masuk dalam jangkauan universal yang paling luas.

Karakteristik Perkembangan Spiritualitas Anak Usia Sekolah
Tahap mythic-literal faith, yang dimulai usia 7-11 tahun. Menurut Fowler (dalam Muhammad Idrus, 2006), pada tahap ini, sesuai dengan tahap perkembangan kognitifnya, anak mulai dapat berpikir logis dan mengatur duniat dengan kategori-kategori baru. Pada tahap ini anak secara sistematis mulai mengambil makna dari tradisi masyarakatnya, dan secara khusus menemukan koherensi serta makna pada bentuk-bentuk naratif.
Lebih jauh Fowler menjelaskan bahwa orientsi pada hal yang naratif dan cerita menjadi orientasi pokok tahap ini, karena cerita dipilih sebagai sarana utama untuk menyatukan dan menilai pengalaman. Dengan sarana ini anak menciptakan, menyusun dan menyimpan serta menyampaikan seluruh  arti eksistensi. Dengan bantuan cerita, anak mampu memberikan arti dan kesatuan pada seluruh cakrawala pengalamannya. Cerita naratif tersebut dapat berupa mitos, cerita drama, ataupun cerita-cerita dalam ktab suci.
Sebagai anak yang tengah berada dalam tahap pemikiran operasional konkret, maka anak-anak usia sekolah dasar akan emahami segala sesuatu yang abstrak dengan interpretasi secara konkret. Hal ii juga berpengaruh terhadappemahamannya mengenai konsep-konsep  keagamaan. Gambaran tentang Tuhan sebagai sebuah konsep konkret-anthropomorfis, yang mempunyai perwujudan riil serta memiliki sifat-sifat pribadi seperti manusia. Namun, seiring perkembangan kognitifnya, konsep ketuhanan yang bersifat konkret ini dimulai berubah menjadi abstrak. Dengan demikian, gagasan-gagasan keagamaan yang bersifat abstrak yang tadinya dipahami secara konkret, seperti Tuhan itu satu, Tuhan itu amat dekat, Tuhan ada di ana-mana, mulai dapat dipahami secara abstrak.

Karakteristik Perkembangan Spiritualitas Remaja
Dibandingkan dengan masa awal anak-anak misalnya,  keyakinan agama remaja telah mengalami perkembangan yang cukup berarti. Kalau pada masa awal anak-anak-ketika mereka baru memiliki kemampuan berpikir simbolik-Tuhan dibayangkan sebagai person yang berada di awan, maka pada masa remaja mereka mungkin berusaha mencari sebuah konsep yang lebih mendalam tentang Tuhan dan eksistensi. Perkembangan pemahaman rmaja terhadap keyakinan agama ini sangat dipengaruhi oleh perkembangan kognitifnya.
Oleh sebab itu, meskipun pada masa awal anak-anak ia telah diajarkan agama oleh orangtua mereka, namun karena pada masa remaja mereka mengalami kemajuan dalam perkembangan kognitif, mereka mungin mempertanyakan tentang kebenaran keyakinan agama mereka sendiri. Sehubungan dengan pengaruh perkembangan kognitif terhadap perkembangan agama selama masa remaja ini, Seifert & Hoffnung (1994) menulis:
During adolescence, cognitive development affect both spesific religious beliefs and overall religious orientation. In general, specific beliefs become more sophisticated or complex than they were during childhood. The concept of religious denomination, for example, evolves from relatively superficial to more accurate and abstract notions.

Dalam suatu studi yang dilakukan Goldman (1962) tentang perkembangan pemahaman agama anak-anak dan remaja dengan latar belakang teori perkembangan kognitif Piaget, ditemukan bahwa perkembangan pemahaman agama remaja berada pada tahap 3, yaitu formal operational religious thought,  du mana remaja memperlihatkan pemahaman agama yang lebih abstrak dan hipotetis. Peneliti lain jua menemukan bahwa remaja usia sekitar 17 atau 18 tahun makin meningkat ulasannya tentang kebebadan, pemahaman, dan pengharpan –konsep-konsep abstrak-ketika membuat pertimbangan tentang agama.
Mengacu pada teori perkembangan spiritualitas Fowler, remaja berada dalam tahap synthetic-conventional fait, tahap di mana remaja mulai bersifat konformistis dan melakukan penyesuaian-penyesuaian diri dengan harapan-harapan sosial. Karena itu, sistem kepercayaan remaja mencerminkan pola kepercayaan masyarakat pada umumnya. Menurut Muhammad Idrus, (2006), pola kepercayaan yang dibangun remaja bersifat konvensional, sebab secara kognitif, afektif dan soaila, remaja mulai menyesuaikan diri dengan orang lain yang berarti  baginya (sig-nificant others) dan dengan mayoritas lainnya.
Pada tahap ini, remaja juga mulai mencapai pengalaman bersatu dengan Yang Transenden malalui simbol dan upacara keagamaan yang dianggapnya sakral. Simbol-simbol identik dengan kedalaman arti itu sendiri. Allah dipandang sebagai “pribadi lain” yang berperan penting dalam kehidupan mereka. Lebih dari itu, Allah juga dipandang sebagai sahabat yang paling intim, yang dianggap paling mengenal dan mengetahui dirinya, serta mencintainya tanpa syarat. Selanjutnya, muncul pengakuan bahwa Allah lebih dekat dengan dirinya daripada remaja itu dengan dirinya sendiri. Kesadaran ini kemudian memunculkan pengakuan rasa komitmen dalam diri remaja terhadap Sang Khalik.
Di samping menunjukkan minat yang kuat terhadap hal-hal spiritual, fenomena keberagamaan remaja juga sering ditandai dengan keraguan beragama (religuous doubt). Penelitian al-Maligy (Nizar, 1992) menemukan bahwa keraguan remaja pada agamanya mulai banyak dialami remaja yang berusia 17 tahun dan  kemudian menurun usia 21 tahun. Hasilpenelitian yang dilakukan Hutsebaut dan Verhouven (1991) menyimpulkan bahwa presentase subjek yang tidak percaya pada Tuhan semakin meningkat pada usia akhir remaja, sedangkan presentase mereka sangat percaya menurun pada usia yang sama.
Menurut Clark (1958) keragu-raguan beragama (religious doubt) memang merupakan salah satu karakteristik kehidupan beragama pada masa remaja yang sangat menonjol. Keraguan dan konflik remaja dalam hal beragama memang menjadi hal yang serius, manakala remaja yang bersangkutan tidak dapat menyelesaikan krisis yang terjadi. Artinya jika merujuk pada prinsip epigenetik yang diajukan Erikson (1968) bahwa keberhasilan penyelesaian krisis pada awal akan menjadi landasan bagi keberhasilan untuk mengatasi krisis pada tahap berikutnya. Maka kegagalan individu untuk meraih kematangan dalam beragama disebabkan kegagalan mengatasi krisis pada tahap sebelumnya.
Mengambil analogi dari teori Erikson (1968) yang menggunakan prinsip epigenetik maka perkembangan tahap kepercayaan individu juga akan mengalami situasi yang sama sebagaimana perkembangan siklus hidup. Artinya kematangan pada tahap sebelumnya seiring dengan bertambahnya usia akan menjadi dasar bagi perkembangan kepercayaan individu. Jika pada tahap sebelumnya individu tidak megalami kematangan dalam satu tahap kepercayaan eksistensialnya, maka diyakini yang bersangkutan tidak dapat meningkat pada tahap kepercayaan eksistensial berikutnya. Hasil  penelitian Sanders (1998) menunjukkan bahwa individu yang tidak matang dalam satu tahap psikososial sebagaimana diajukan Erikson akan berdampak pada rendahnya keyakinan dalam beragama.
Bilasatu tahap perkembangannya seseorang menghadapi krisis hidup dan gagal menghadapinya, maka hal ini akan dapat memengaruhi kepercayaannya. Pada  setiap tahap perkembangan kehidupan, seseorang akan dihadapkan pada dua titik ekstrim sebagaimana dipaparkan oleh Erikson (1993) pada setiap tahap selalu terjadi krisis antara dua posisi ekstrim, positif dan negatif dan individu akan melakukan komitmen-komitmen tertentu dalam usaha menyelesaikan konfliknya.
Ketidakmampuan untuk menyelesaikan krisis yang terjdai pada satu tahap akan dengan sendirinya mengganggu perkembangan tahap berikutnya. Ketidakmampuan tersebut pada akhirnya juga akan memengaruhi tingkat kepercayaan eksistensial seseorang. Rasionalnya, seharusnya individu telah berkembang tingkat kepercayaan eksistensialnya, hanya saja karena kegagalan penyelesaian krisis dengan sendirinya mengganggu siklus kehidupannya, maka individu tersebut juga akan mengalami hambatan untuk meningkatkan dari tingkat kepercayaan eksistensial yang saat itu dialaminya.
Hasil penelitian yang dilakukan Sanders (1998) menunjukkan bahwa individu dengan status difusi (tanpa eskplorasi dan tanpa komitmen) ternyata memiliki tingkat kematangan yang rendah dalamhalkeyakinan beragama. Artinya individu dengan status difusi yang tidak mampu menyelesaikan krisis pada tahap difusi ternyata tidak dapat pula mengembangkan kepercayaan beragamanya.
Kegagalan mengenani krisis internal di atas, bila bertemu dengan lingkungan eksternal yang tidak mendukung perkembangan kepercayaan, akan menjadikan remaja terseret dalam pengaruh lingkungan. Seseorang individu hidup dalam lingkungan sosial yang lebih luas dan dirinya tidak mungkin melepaskan lingkungan tersebut. Bila pengaruh lingkungan itu kuat dan bersifat mendukung kepercayaan atau keyakinanyang dimiliki remaja, maka remaja akan terbantu dan menyelesaikan krisisnya. Sebaliknya bila pengaruh lingkungan itu kuat dan tidak membantu atau malah mengganggu proses penyelesaian krisis kepercayaan kepada Tuhan yang dialami remaja, maka akan mengakibatkan remaja akan mengalami krisis kepercayaan kepada Tuhanyang tidak terselesaikan. Keraguannya kepada Tuhan dapat mengakibatkan menjadi ingkar kepada Tuhan. Apa yang terjadi pada kisah putra Nabi Nuh dapat membenarkan pandangan ini. Nabi Nuh telah menanamkan keyakinan kepada Tuhan sedemikian rupa anaknya, namun saat anaknya memperoleh pengaruh dari luar, keyakinan yang ditanamakan Nabi Nuh masuk dalam kelompok orang yang tidak lagi kepada Tuhan yang dipercaya Nabi Nuh kepada Kekuasaan Tuhan, menyebabkan ia enggan mengikuti kkapal yang dibangun ayahnya dan saat banjir datang ia termasuk serang yang menjadi korban (Muhammad Idrus, 2006).
Faktor terakhir yang oleh Fowler (1988) diidentifikasikan berpengaruh terhadap perkembangan kepercayaan eksistensial adalah keanggotaan dalam kelompok biasanya biasanya setiap individu akan memiliki reference group yang menjadi pusat aktivitas bai dirinya. Ikatan yang muncul dari konsekuensi logis keanggotaannya pada kelompok tersebut, akan dengan sendirinya memengaruhi perilaku yang harus ditampilkannya. Lingren (tt) menyatakan bahwa teman sebaya memainkan peranan penting dalam kehidupan remaja dan secara khas menggantikan keluarga sebagai pusat aktivitas sosial remaja.
Begitu juga dalam aktivitas beragamanya, kelompok akan memengaruhi cara seseorang beragama. Jika kelompok tersebut membangun iklim beragama yang sehat, maka dimungkinkan individu menjadi anggotanya akan terdorong untuk melakukan aktivitas agama yang semakin lama cenderung meningkat. Krisis kepercayaan terhadap Tuhan akan dibantu kelompok tersebut kurang memerhatikan masalah religiusitas, maka kecenderungan antireligiusitas, maka kecenderungan yang muncul adalah anggota akan larut pada aktivitas yang sepi dari nuansa agama bahkan menentang agama. Krisis kepada Tuhan yang dialami oleh seseorang remaja tidak dibantu oleh kelompok untuk mendapatkan penyelesaiannya.

Implikasi Perkembangan Moral dan Spiritual terhadap Pendidikan
Memerhatikan uraian tentang perkembangan moral dan spiritual sebagimana dipaparkan di atas, maka sekolah sebagai lembaga pendidikan dituntut untuk membantu peserta didik dalam mengembangkan moral dan spiritual mereka, sehingga mereka dapat menjadi manusia yang moralis dan religius. Berikut ini akan dikemukakan beberapa strategi yang mungkin dapat dilakukan guru di sekolah dalam membantu perkembangan moral dan spiritual peserta didik.
1.      Memberikan pendidikan moral dan keagamaan melalui kurikulu tersembunyi (hidden curriculum), yakni menjadi sekolah sebagai atmosfer moral dan agama secara keseluruhan. Atmosfer di sini termasuk peraturan sekolah dan kelas, sikap terhadap kegiatan akademik dan ekstrakurikuler, orientasi moral yang dimiliki guru dan pegawai serta materi teks yang digunakan.terutama guru dalam hal ini harus mampu menjadi model tingkah laku yang mencerminkan nilai-nilai moral dan agama. Tanpa adanya model tingkah laku yang baik dari guru, maka pendidikan moral dan agama yang diberikan di sekolah tidak akan efektif menjadi peserta didik sebagai seorang yang moralis dan religius.
2.      Memberikan pendidikan moral langsung (direct moral education), yakni pendidikan moral dengan pendekatan pada nilai dan juga sifat selama jangkan waktu tertentu atau menyatukan nilai-nilai dan sifat-sifat tersebut ke dalam kurikulum. Dalam pendekatan ini, instruksi dalam konsep moral tertentu dapat mengambil bentuk dalamcontoh dan definisi, diskusi kelas dan bermain peran, atau memberi reward kepada siswa yang berperilaku secara tepat.
3.      Memberikan pendekatan moral melalui pendekatan klarifikasi nilai (values clarification) yaitu pendekatan pendidikan moral tidak langsung yang berfokus pada upaya membantu siswa untuk memperoleh kejelasan mengenai tujuan hidup mereka dan apa yang berharga untuk dicari. Dalam klarifikasi nilai, kepada siswa diberikan pertanyaan atau dilema, danmereka diharapkan untuk memberi tangapan, baik secara individual maupun secara kelompok. Tujuannya dalah untuk menolong siswa menentukan nilai mereka sendiridan menjadi peka terhadap nilai yang dianut orang lain.
4.      Menjadikan pendidikan wahana yang kondusif bagi peserta didik untuk menhayati agamanya, tidak hanya sekedar bersifat teoritis, tetapi penghayatan yang benar-benar dikontruksi  dari pengalamankeberagaman. Oleh sebab itu, pendidikan agama yang dilangsungkan di sekolah harus lebih menekankan pada penempatan peserta didik untuk mencari pengalaman keberagaman (religiousity). Dengan pendekatan demikian, maka yang ditonjolkan dalam pendidikan aama adalah ajaran dasar agama yang sarat dengan nilai-nilai spiritualitas dan moralitas, seperti kedamain dan keadilan.
5.      Membantu peserta didik mengembangkan rasa ketuhanan melalui pendekatan spiritual parenting, seperti:
Ø  Memupuk hubungan sadar anak dengan Tuhan melalui doa setiap hari.
Ø  Menanyakan kepada anak bagaimana Tuhan terlibat dalam aktivitasnya sehari-hari.
Ø  Memberikan kesadaran kepada anak bahwa Tuhan akan membimbing kita apabila kita meminta.
Ø  Menyuruh anak merenungkan bahwaTuhan itu ada dalam jiwa mereka dengan cara menjelaskan bahwa mereka tidak dapat melihat diri mereka tumbuh atau mendengar darah mereka mengalir, tetapi tahu bahwa semua itu sungguh-sungguh terjadi sekalipun mereka tidak melihat apapun.

0 komentar: