DAFTAR
ISI
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah............................................................... 1
B. Rumusan Masalah ....................................................................... 2
C. Tujuan .......................................................................................... 2
BAB II PEMBAHASAN
1. Pengertian Perkembangan............................................................ 3
2. Perkembangan Moral.................................................................... 4
3. Teori-Teori Tentang Perkembangan Sosial .................................. 5
4. Penalaran Moral............................................................................ 11
5. Pengertian Spiritualitas................................................................. 12
6. Spiritualitas dan Religiusitas........................................................ 14
7. Karakteristik Spiritual.................................................................. 15
8. Wacana Spiritualitas Dalam Psikologi Kontemporer................... 19
9. Spiritualitas Dalam Psikologi Humanistik.................................... 21
10. Spiritualitas Dalam Psikologi Transpersonal................................ 22
11. Dimensi-Dimensi Spiritual........................................................... 26
12. Karakteristik PerkembanganSpiritualitas Peserta Didik............... 31
13. Karakteristik PerkembanganSpiritualitas Anak Usia Sekolah...... 35
14. Karakteristik PerkembanganSpiritualitas Remaja........................ 37
15. Implikasi Perkembangan Moral dan Spiritual Terhadap
Pendidikan................................................................................... 43
BAB III SIMPULAN
A.
Kesimpulan.................................................................................. 46
B.
Saran............................................................................................ 47
DAFTAR PUSTAKA.................................................................................... 49
BAB I
PENDAHULUAN
1. Latar
Belakang
Manusia dalam perspektif merupakan individu, keluarga atau
masyarakat yang memiliki masalah moral, spirual dan membutuhkan bantuan untuk
dapat memelihara, mempertahankan dan meningkatkan spiritualnya dalam kondisi
optimal. Sebagai seorang manusia, manusia memiliki beberapa peran dan fungsi
seperti sebagai makhluk individu, makhluk sosial, dan makhluk Tuhan.
Berdasarkan hakikat tersebut, maka perkembangan memandang manusia sebagai
mahluk yang holistik yang terdiri atas aspek fisiologis, psikologis,
sosiologis, kultural dan spiritual.
Tidak terpenuhinya kebutuhan manusia pada salah satu diantara
dimensi di atas akan menyebabkan ketidaksejahteraan atau keadaan tidak sehat.
Kondisi tersebut dapat dipahami mengingat dimensi fisik, psikologis, sosial,
spiritual, dan kultural merupakan satu kesatuan yang saling berhubungan. Tiap
bagian dari individu tersebut tidaklah akan mencapai kesejahteraan tanpa
keseluruhan bagian tersebut sejahtera. Kesadaran akan pemahaman tersebut
melahirkan keyakinan dalam psikologi perkembangan anak bahwa pemberian asuhan
spiritual hendaknya bersifat komprehensif atau holistik, yang tidak saja
memenuhi kebutuhan fisik, psikologis, sosial, dan kultural tetapi juga
kebutuhan spiritual manusia. Sehingga, pada nantinya manusia akan dapat
merasakan kesejahteraan yang tidak hanya terfokus pada fisik maupun psikologis
saja, tetapi juga kesejateraan dalam aspek spiritual. Kesejahteraan spiritual
adalah suatu faktor yang terintegrasi dalam diri seorang individu secara
keseluruhan, yang ditandai oleh makna dan harapan. Spiritualitas memiliki
dimensi yang luas dalam kehidupan seseorang sehingga dibutuhkan pemahaman yang
baik dari psikologi sehingga mereka dapat mengaplikasikannya dalam pemberian
asuhan psikologi kepada manusia.
2. Rumusan
Masalah
·
Bagaimana perkembamngan
moral peserta didik ?
·
Bagaimana perkembangan
spiritual peserta didik ?
·
Bagaiman implikasi
perkembangan moral dan spiritual terhadap pendidikan ?
3. Tujuan
·
Mengetahui bagaimana
perkembamngan moral peserta didik
·
Mengetahui bagaimana
perkembangan spiritual peserta didik
·
Mengetahui bagaiman
implikasi perkembangan moral dan spiritual terhadap pendidikan.
BAB
II
PEMBAHASAN
1.
PENGERTIAN
PERKEMBANGAN
Menurut Schneirla (1957), perkembangan
adalah perubahan-perubahan progresif dalam organisasi organisme, dan organisme
ini dilihat sebagai sistem fungsional dan adaptif sepanjang hidupnya.
Perkembangan-perkembangan progresif ini meliputi dua faktor yaitu kematangan
dan pengalaman (Schneirla dalam Perkembangan Peserta didik ;1995). Menurut
ReniAkbar (2001), perkembangan secara
luas menunjuk pada proses perubahan dari potensi yang dimiliki individu dan
tampil dalam kualitas kemampuan, sifat dan ciri-ciri baru (Reni Akbar dalam
Psikologi Perkembangan 1 ;2011)
Chaplin (2002) mengartikan perkembangan sebagai : a)
perubahan yang berkesinambungan dan progresif dalam organisme dari lahir sampai
mati, b)pertumbuhan, c)perubahan dalam bentuk dan dalam integritas dari
bagian-bagian jasmaniah kedalam bagian-bagian fungsional d) kedewasaan dalam
pola tingkah laku yang tidak dipelajari (chaplin dalam psikologi perkembangan
1;2011). Dari beberapa definisi diatas dapat ditarik kesimpulan bahwa
perkembangan tidaklah terbatas pada pengertian pertumbuhan yang semakin
membesar , melainkan didalamnya juga terkandung serangkaian perubahan yang
berlangsung secara terus-menerus dan bersifat
tetap dari fungsi-fungsi
jasmaniah dan rohaniah yang dimiliki individu menuju ke tahap kematangan
melalui pertumbuhan, kemasakan dan belajar (desmita; 2009).
2.
PERKEMBANGAN
MORAL
Kata Moral berasal
dari kata latin “mos” yang berarti kebiasaan.
Begitu pula kata moralis dalam dunia ilmu lalu dihubungkan dengan scientia dan berbunyi scientis
moralis, atau philosophia moralis. Karena biasanya orag-orang telah mengetahui
bahwa pemakaian selalu berhubungan deangan kata-kata yang mempunyai arti ilmu. Maka untuk mudahnya disingkat jadi moral.
Perkembangan moral adalah perkembangan yang berkaitan dengan aturan mengenai
apa yang seharusnya dilakukan oleh manusia dalam interaksinya dengan orang lain
(Santroch, 1995) . Moral sendiri
merupakan suatu ajran-ajaran ataupun wejangan-wejangan, patokan-patokan,
kumpulan peraturan baik lisan maupun tertulis tentang bagaimana manusia harus
hidup dan bertindak agar menjadi manusia yang baik. (Kaelani, 2010).
Perkembangan
moral adalah perkembangan yang berkaitan
dengan aturan dan konvensi mengenai apa yang seharusnya dilakukan oleh manusia
dalam interaksinya dengan orang lain (Santrok, Perkembangan Peserta Didik
;2009). Anak-anak ketika dilahirkan tidak memiliki moral (immoral), tetapi
dalam dirinya terdapat potensi moral yang siap untuk dikembangkan. Karena itu,
melalui pengalamannya berinteraksi dengan orang lain anak belajar memehami
tenyang perilaku mana yang baik, yang boleh dikerjakan dan tingkahlaku mana
yang buruk, yang tidak boleh dikerjakan. Anak-anak ketika dilahirkan tidak
memiliki moral (imoral) akan tetapi dalam dirinya terdapat potensi moral yang
siap untuk dikembangkan. Karena itu, melalui pengalamannya berinteraksi dengan
orang lain (orang tua, saudara, teman sebaya atau guru), anak belajarr memahami
tingkah laku mana yang buruk atau tidak boleh dilakkan dan mana yang baik atau
boleh dilakukan.
3.
TEORI-TEORI
TENTANG PERKEMBANGAN MORAL
·
Teori
Psikoanalisa
Dalam
menggambarkan perkembangan moral, teori psikoanalisa dengan pembagian struktur
kepribadaian manusia atqas tiga, yaitu id, ego, dan superego. Id adalah
struktur kepribadian yang terdiri atas aspek-aspek biologis yang irasional dan
tidak disadari. Ego adalah struktur kepribadian yang terdiri atas aspek
psikologis, yaitu subsistem ego yang rasional dan disadari, namun tidak
memiliki moralitas. Superego adalah struktur kepribadian yang terdiri atas
aspek sosial yang berisikan sistem nilai dan moral yang benar-benar
memperhitungkan mana yang benar dan mana yang salah. Struktur superego mempunyai dua komponen yaitu ego ideal kata hati
(conscience). Kata hati menggambarkan bagian dalam atau kehidupan mental
seseorang, peraturan-peraturan masyarakat, hukum, etika dan moral. Pada usia kira-kira 5
tahunperkembangan superego secara khas akan menjadi sempurna. Ketika hal ini
terjadi, maka suara hati akan terbentuk. Ini berarti bahwa pada usia sekitar 5
tahun orang sudah menyelesaikan perkembangan moralnya (Lerner & Hultsch,
1983 dalam Perkembangn Peserta didik (2009).
·
Teori
belajar sosial
Teori
belajar sosial melihat tingkahlaku moral sebagai respons atas stimulus. Dalam
hal ini proses-proses penguatan, penghukuman dan peniruan digunakan untuk
menjelaskan perilaku moral anak-anak. Bila anak diberi hadiah atas perilaku
yang sesuai dengan peraturan dan kontrak sosial, mereka akan mengulangi
perilaku tersebut. Sebaliknya, bila mereka dihukum atas perilaku yang tidak
bermoral, maka perilaku itu akan berkurang dan menghilang.
·
Teori
kognitif Piaget
Teori
kognitif Piaget mengenai perkembangan moral melibatkan prinsip-prinsip dan
proses-proses yang sama dengan pertumbuhan kognitif yang ditemui dalam teorinya
tentang perkembangan intelektual. Bagi Piaget, perkembangan moral digambarkan
melalui aturan permainan. Karena itu, hakikat moralitas adalah kecenderungan
untuk menerima dan mentaati sistem peraturan. Berdasarkan hasil observasinya
Piaget menyimpulkan bahwa pemikiran nak-anak tentang moralitas dapat dibedakan
atas dua tahap yaitu tahap Heteromous morallity dan autonomous morallity
(Siefert & Hoffnung, 1994 dalam Perkembangan Peserta Didik 2009).
Heteromous morallity
atau morallity of Counstrain adalah tahap perkembangan moral yang terjadi pada
anak-anak usia kira-kira 6-9 tahun. Dalam tahap berpikir ini anak-anak
menghormati ketentuan-ketentuan suatu permainan sebagai sesuatu yang bersifat
suci dan tidak dan tidak dapat diubah karenaberasal dari otoritas yang di
hormatinya. Anak-anak pada masa ini yakin akan keadilan immanen, yaitu konsep
bahwa bila suatu aturan di langgar, hukuman akan segera di jatuhkan. Mereka
percaya bahwa pelanggaran diasosiasikan secara otomatis dengan hukuman, dan
setiap pelanggaran akan dihukum menurut tingkat kesalahan yang dilakukan
seorang anak dengan mengabaikan apakah kesalahan itu sengaja atau kebetulan.
Autonomous
morallity atau morallity of coorporation ialah tahap perkembangan moral yang
terjadi pada anak-anak usia kira-kira 9-12 tahun. Pada tahap ini anak-anak
mulai sadar bahwa aturan-aturan dan hukuman-hukuman merupakan ciptaan manusia
dan dalam menerapkan suatu hukuman atas suatu tindakan harus mempertimbangkan
maksud perilaku serta akibat-akibatnya. Bagi anak-anak dalam tahap ini,
pereturan-peraturan hanyalah masalah kenyamanan dan kontrak sosial yang telah
dietujui bersama, sehingga mereka meneria dan mengakui perubahan menurut
kesepakatan. Dalam tahap ini anak juga meninggalkan penghormatan sepihak
terhadap otoritas dan mengembangkan penghormatan kepada teman sebayanya. Mereka
nampak membandel kepada otoritas serta lebih mentaati peraturan kelompok sebaya
atau pimpinannya.
·
Teori
Kohlberg
Teori
Kohlberg tentang perkembangan moral merupakan perluasan, modifikasi dan
redefeni atas teori Piaget. Teori ini didasarkan atas analisinya terhadap hasil
wawancara dengan anak laiki-laki usia 10-16 tahun yang dihadapkan pada suatu
dilema moral dimana mereka harus memilih antara tindakan mentaati peraturan
atau memenuhi kebutuhan hidup dengan cara yang bertentangan dengan peraturan.
Berdasarkan
pertimbangan yang diberikan atas pertanyaan kasus dilematis yang dihadapi
seseorang, Kohlberg mengklasifikasikan perkembangan moral atas tiga tingkatan,
yang kemudian dibagi lagi menjadi enam tahap. Kohlberg setuju dengan Piaget
yang menjelaskan bahwa sikap moral bukan merupakan hasil sosialisasi atau
pelajaran yang diperoleh dari pengalaman. Tetapi tahap-tahap perkembangan moral
diperoleh dari aktivitas-aktivitas spontan dari anak-anak. Anak-anak memang
berkembang melalui interaksi sosial, namun interaksi ini memiliki corak khusus,
dimana faktor pribadi yaitu aktivitas-aktivitas anak ikut berperan. Hal penting
lain dari teori perkembangan moral Kohlberg adalah orientasinya untuk
mengungkapkan moral yang hanya ada dalam pikiran dan yang dibedakan dengan
tingkahlaku moral dalam arti perbuatan nyata. Semakin tinggi tahap perkembangan
moral seseorang, akan semakin terlihat moralitas yang lebih mantap dan
bertanggung jawab dari perbuatan-perbuatannya. Berikut ini adalah tabel
tingkatan dan perkembangan moral menurut Kohlberg.
Tingkatan
|
Tahap
|
1. Pra
konvensional moralitas, pada level ini anak mengenal moralitas berdasarkan
dampak yang ditimbulkan oleh suatu perbuatan, yaitu menyenangkan (hadiah)
atau menyakitkan (hukuman). Anak tidak melanggar aturab karna takut akan
ancaman hukuman dari otoritas.
|
1. Orientasi
kepatuhan dan hukuman pemahaman anak tentang baik dan buruk ditentukan oleh
otoritas. Kepatuhan terhadap peraturan adalah untuk menghindari hukuman dari
otoritas.
|
2. Konvensional,
suatu perbuatan dinilai baik oleh anak apabila mematuhi harapan otoritas atau
kelompok sebaya.
|
2. Orientasi
Hedonistik-instrumental, suatu perbuatan dinilai baik apabila berfungsi
sebagai instrumen untuk memenui kebutuhan atau kepuasan diri.
|
3. Pasca
Konvensional, pada level ini aturan dan institusi dari masyarakat tidak
dipandang sebagai tujuan akhir, tetapi diperlukan sebagai subjek. Anak
mentaati peraturan untuk menghindari hukuman kata hati.
|
3. Orientasi
anak yang baik tindakan yang berorientasi pada orang lain. Suatu perbuatan
dinilai baik apabila menyenangkan bagi orang lain.
4. Orientasi
keteraturan dan otoritas perilaku yang dinilai baik adalah menunaikan
kewajiban, menghormati otoritas dan memelihara ketertiban sosial.
5. Orientasi
kontrol sosial-legalistik ada semacam perjanjian antara dirinya dan
lingkungan sosial. Perbuatan dinilai baik apabila sesuai dengan
perundang-undangan yang berlaku.
6. Orientasi
kata hati, kebenaran ditentukan oleh kata hati, sesuai dengan prinsip-prinsip
etika universal yang bersifat abstrak dan penghormatan terhadap martabat
manusia.
|
(sumber
: Lerner & Hultsch, 1983; Hetherington & Parke, 1979 dalam Perkembangan
Peserta Didik, 2009)
Tahap
perkembangan moral peserta didik yaitu :
v Orientasi
kepatuhan dan hukuman pemahaman anak tentang baik dan buruk ditentukan oleh
otoritas. Kepatuhan terhadap aturan adalah untuk menghindari hukuman dari
otoritas.
v Orientasi
hedonistic instrumental suatu perbuatan dinilai baik apabila berfungsi sebagai
instrumen untuk memenuhi kebutuhan atau kepuasan diri.
v Orientasi
anak yang baik tindakan berorientasikan pada orang lain. Suatu perbuatan
dinilai baik apabila menyenangkan bagi orang lain.
v Orientasi
keteraturan dan otoritas prilaku yang dinilai baik adalah menunaikan kewajiban,
menghormati otoritas, dan memelihara ketertiban sosial.
v Orientasi
kontrol sosial legalistik ada semacam perjanjian antara dirinya dan lingkungan
sosial. Perbuatan dinilai baik apabila sesuai dengan perundang-undangan yang
berlaku.
v Orientasi
kata hati kebenaran ditemukan oleh kata hati, sesuai dengan prinsip-prinsip
etika universal yang bersifat abstrak dan penghormatan terhadap martabat
manusia
4.
PENALARAN
MORAL
Moral merupakn suatu
kebutuhan penting bagi remaja, terutama sebagai pedoman menemukan idenditas
dirinya, mengembangkan hubungan personal yang harmonis dan menghindari
konflik-konflik peran yang selalu terjadi dalam masa transisi. Meskipun moral
erat kaitannya dengan hubungan interpersonal, namun sejak lama ia telah menjadi
wilayaj pembahasan dalam filsafat. Oleh sebab itu Lawrence Kohlberg menempatkan
moral sebagai fenomena kognitif dalam kajian Psikologi. Apa yang disebut dengan
moral menurut Kohlberg adalah bagian dari penalaran moral )moral reasoning).
Penalaran atau pertimbangan tersebut berkenaan dengan keluasaan wawasan
mengenai relasi antara diri dan orang lain, hak dan kewajiban. Relasi diri
dengan orang lain ini didasarkan atas prinsip equality, artinya orang lain sama derajatnya dengan diri. Jadi
antara diri dan diri orang lain dapat dipertukarkan. Ini disebut prinsip reciprocity. Moralitas pada hakikatnya
adalah penyelesaian konflik antara diri dan diri orang lain, antara hak dan
kewajiban (Setiono;1994, dalam Perkembangan Peserta Didik 2009).
Dengan demikian, orang
yang bertindak sesuai dengan moral adalah orang yang mendasarkan tindakannya
atas penilaiaan baik buruknya sesuatu. Karena lebih bersifat penalaran, maka
perkembangan moral menurul Kohlberg sejalan dengan perkembangan nalar
sebagaimana yang telah dikemukakan oleh Piaget. Makin tinggi tingkat penalaran
seseorang menurut tahap-tahap perkembangan Piaget tersebut, makin tinggi pula
tingkat moralnya. Dengan penekanannya pada penalaran ini, berarti Kohlberg
ingin melihat struktur proses kognitif yang mendasari jawaban ataupun
perbuatan-perbuatan moral.
Sesuai dengan
tahp-tahap perkembangan moral menurut Kohlberg, tingkat penalaran moral remaja
berada pada tahap konvensional. Hal ini adalah karena dibandingkan dengan
anak-anak tingkat moralitas remaja lebih matang. Mereka sudah mulai mengenal
konsep-konsep moralitas seperti kejujuran, keadilan, kesopanan, kedisiplinan,
dan sebagainya. Walaupun anak remaja tidak selalu mengikuti prinsip-prinsip
moralitas mereka sendiri, namun riset menyatakan bahwa prinsip-prinsip tersebut
menggambarkan keyakinan yang sebenarnya dari pemikiran moral konvensional.
5.
PENGERTIAN
SPIRITUALITAS
Kata spiritualitas berasal dari
bahasa Inggris yaitu “spirituallity” kata dasarnya adalah “spirit” yang
berarti: “roh, jiwa, semangat” (Echols & Shadily;1997 dalam Perkembangan
Peserta Didik;2009). Kata “spirit” sendiri berasal dari bahasa latin “spiritus”
yang berarti: “luas atau dalam (breath), keteguhan hati atau keyakinan
(courage), energi atau semangat (vigor) dan kehidupan (Ingersol;1994 dalam
Perkembangan Peserta Didik;2009). Kata sifat spiritual berasal dari kata latin
“spitualitas” yang berarti “of the spirit” (kerohanian).
Ingersoll (1994) mengartikan spiritualitas
sebagi wujud dari karakter spiritual, kualitas atau sifat dasar. Belakangan
arti spiritualitas meliputi komunikasi dengan Tuhan (Fox;1989 dalam
Perkembangan Peserta Didik; 2009) dan upaya seseorang untuk bersatu dengan
Tuhan (Magill & McGreal;1988 dalam Perkembangan Peserta Didik;2009).
Tillich (1959) menulis bahwa spiritualitas merupakan persoalan pokok manusia
dan pemberi makna substansi dari kebudayaan.
Menurut Aliah B. Purwakania Hasan
(2006), spiritualitas memiliki ruang lingkup dan makna pribadi yang luas. Hanya
saja, spiritualitas mungkin dapat dimengerti dengan membahas kata kunci yang
sering muncul ketika orang-orang menggambarkan arti spiritualitas bagi mereka.
Mengutip hasil penelitian Martsolf dan Mickley, Aliah B. Purwakania Hasan menyebutkan
beberapa kata kunci yang bisa dipertimbangkan, yaitu :
a) Meaning (makna). Makna
merupakan sesuatu yang signifikan dalam kehidupan manusia, merasakan situasi,
memiliki dan mengarah pada suatu tujuan.
b) Values (nilai-nilai). Nilai-nilai
adalah kepercayaan, standart dan etika yang dihargai.
c) Transcendence
(transendensi). Transendensi merupakan pengalaman,
kesadaran dan penghargaan terhadap dimensi transendental bagi kegidupan diatas
diri seseorang.
d) Connecting
(bersambung). Bersambung adalah meningkatkan kesadaran
terhadap hubungan dengan diri sendiri, orang lain, tuhan dan alam.
e) Becoming (menjadi).
Menjadi adalah membuka kehidupan yang menurut refleksi dan pengalaman, termasuk
siapa seseorang dan bagimana seseorang mengetahui.
6.
SPIRITUALITAS
DAN RELIGIUSITAS
Untuk
lebih memahami pengertian spiritualitas, perlu juga diuraikan tentang
hubungannya dengan religiusitas. Agama memang tidak mudah untuk didefinisikan
secara tepat, karena agama mengambil bentuk bermacam-macam diantara suku-suku
dan bangsa-bangsa di dunia ini. secara etimologi agama (religion) berasal dari
Religio, yang berarti suatu hubungan manusia dengan Tuhan. Berbeda dengan
agama, spiritualitas lebih banyak melihat aspek dalam lubuk hati, riak getaran
hati nurani pribadi, sikap personal yang bagi banyak orang lain merupakan
misteri karena merupakan intimitas jiwa. Dalam hal ini spiritualitas mencakup
citra rasa totalitas kedalaman pribadi manusia. berdasarkan pemahaman ini
spiritualitas tampak lebih ekstrim, lebih dalam dari agama yang cenderung lebih
eksoterik formal dan kaku.
Meskipun keduanya (agama dan
spiritualitas) terlanjur dipisahkan, namun untuk pemenuhan makna hidup manusia
yang sejati nampaknya harus ada upaya pemaduan antara spiritualitas dan agama.
“agama memang tidak sama dengan spiritualitas, namun agama merupakan bentuk
spiritualitas yang hidup dalam peradaban”. Agama merupakan salah satu dimensi
dari spiritualitas, disamping dimensi eksistensial. Dimensi eksistensial dari
spiritualitas berfokus pada tujuan dan makna hidup, sedangkan dimensi agama
dari spiritualitas berfokus pada hubungan seseorang dengan Tuhan. Singkatnya,
agam tidak bisa disamakan dengan spiritualitas tetapi keduanya tidak bisa
dipisahkan. Betapapun agama tanpa
spiritualitas adalah kering, dan spiritualitas tanpa agama itu lumpuh.
7.
KARAKTERISTIK
SPIRITUAL
Karakteristik
spiritual yang utama meliputi perasaan dari keseluruhan dan keselarasan dalam
diri seorang, dengan orang lain, dan dengan Tuhan atau kekuatan tertinggi
sebagai satu penetapan. Orang-orang, menurut tingkat perkembangan mereka,
pengalaman, memperhitungkan keamanan individu, tanda-tanda kekuatan, dan
perasaan dari harapan. Hal itu tidak berarti bahwa individu adalah puas secara
total dengan hidup atau jawaban yang mereka miliki. Seperti setiap hidup
individu berkembang secara normal, timbul situasi yang menyebabkan kecemasan,
tidak berdaya, atau kepusingan. Karakteristik kebutuhan spiritual meliputi:
a) Kepercayaan
b) Pemaafan
c) Cinta
dan hubungan
d) Keyakinan,
kreativitas dan harapan
e) Maksud
dan tujuan serta anugrah dan harapan.
Karakteristik dari kebutuhan
spiritual ini menjadi dasar dalam menentukan karakteristik dari perubahan
fungsi spiritual yang akan mengrahkan individu dalam berperilaku, baik itu
kearah perilaku yang adaptif maupun perilaku yang maladaptif. Perkembangan
aspek spiritual berdasarkan tumbuh-kembang manusia. Perkembangan spiritual pada
anak sangatlah penting untuk diperhatikan.
1) Individu
yang berusia antara 0-18 bulan, Bayi
yang sedang dalam proses tumbuh kembang, yang mempunyai kebutuhan yang spesifik
(fisik, psikologis, sosial, dan spiritual) yang berbeda dengan orang dewasa.
Anak adalah individu yang masih bergantung pada orang dewasa dan lingkungan,
artinya membutuhkan lingkungan yang dapat memfasilitasi dalam memenuhi
kebutuhan dasarnya dan untuk belajar mandiri. Tahap awal perkembangan manusia
dimulai dari masa perkembangan bayi. Haber (1987) menjelaskan bahwa
perkembangan spiritual bayi merupakan dasar untuk perkembangan spiritual
selanjutnya. Bayi memang belum memiliki moral untuk mengenal arti spiritual.
Keluarga yang spiritualnya baik merupakan sumber dari terbentuknya perkembangan
spiritual yang baik pada bayi.
2) Dimensi
spiritual mulai menunjukkan perkembangan pada masa kanak-kanak awal (18 bulan-3
tahun). Anak sudah mengalami peningkatan kemampuan kognitif. Anak dapat belajar
membandingkan hal yang baik dan buruk untuk melanjuti peran kemandirian yang
lebih besar. Tahap perkembangan ini memperlihatkan bahwa anak-anak mulai
berlatih untuk berpendapat dan menghormati acara-acara ritual dimana mereka
merasa tinggal dengan aman. Observasi kehidupan spiritual anak dapat dimulai
dari kebiasaan yang sederhana seperti cara berdoa sebelum tidur dan berdoa
sebelum makan, atau cara anak memberi salam dalam kehidupan sehari-hari. Anak
akan lebih merasa senang jika menerima pengalaman-pengalaman baru, termasuk
pengalaman spiritual.
3) Perkembangan
spiritual pada anak masa pra sekolah (3-6 tahun) berhubungan erat dengan
kondisi psikologis dominannya yaitu super ego. Anak usia pra sekolah mulai
memahami kebutuhan sosial, norma, dan harapan, serta berusaha menyesuaikan
dengan norma keluarga. Anak tidak hanya membandingkan sesuatu benar atau salah,
tetapi membandingkan norma yang dimiliki keluarganya dengan norma keluarga
lain. Kebutuhan anak pada masa pra sekolah adalah mengetahui filosofi yang
mendasar tentang isu-isu spiritual. Kebutuhan spiritual ini harus diperhatikan
karena anak sudah mulai berfikiran konkrit. Mereka kadang sulit menerima
penjelasan mengenai Tuhan yang abstrak, bahkan mereka masih kesulitan
membedakan Tuhan dan orang tuanya.
4) Usia
sekolah merupakan masa yang paling banyak mengalami peningkatan kualitas
kognitif pada anak (6-12 tahun). Anak
usia sekolah (6-12 tahun) berfikir secara konkrit, tetapi mereka sudah dapat
menggunakan konsep abstrak untuk memahami gambaran dan makna spriritual dan
agama mereka. Minat anak sudah mulai ditunjukan dalam sebuah ide, dan anak
dapat diajak berdiskusi dan menjelaskan apakah keyakinan. Orang tua dapat
mengevaluasi pemikiran sang anak terhadap dimensi spiritual mereka.
5) Remaja (12-18 tahun). Pada tahap ini individu
sudah mengerti akan arti dan tujuan hidup, Menggunakan pengetahuan misalnya
untuk mengambil keputusan saat ini dan yang akan datang. Kepercayaan berkembang
dengan mencoba dalam hidup. Remaja menguji nilai dan kepercayaan orang tua
mereka dan dapat menolak atau menerimanya. Secara alami, mereka dapat bingung
ketika menemukan perilaku dan role model yang tidak konsisten. Pada tahap ini
kepercayaan pada kelompok paling tinggi perannya daripada keluarga. Tetapi
keyakinan yang diambil dari orang lain biasanya lebih mirip dengan keluarga,
walaupun mereka protes dan memberontak saat remaja. Bagi orang tua ini
merupakan tahap paling sulit karena orang tua melepas otoritasnya dan
membimbing anak untuk bertanggung jawab. Seringkali muncul konflik orang tua
dan remaja.
6) Dewasa
muda (18-25 tahun). Pada tahap ini individu menjalani proses perkembangannya
dengan melanjutkan pencarian identitas spiritual, memikirkan untuk memilih
nilai dan kepercayaan mereka yang dipelajari saaat kanak-kanak dan berusaha
melaksanakan sistem kepercayaan mereka sendiri. Spiritual bukan merupakan
perhatian utama pada usia ini, mereka lebih banyak memudahkan hidup walaupun
mereka tidak memungkiri bahwa mereka sudah dewasa.
7) Dewasa
pertengahan (25-38 tahun). Dewasa pertenghan merupakan tahap perkembangan
spiritual yang sudah benar-benar mengetahui konsep yang benar dan yang salah,
mereka menggunakan keyakinan moral, agama dan etik sebagai dasar dari sistem
nilai. Mereka sudah merencanakan kehidupan, mengevaluasi apa yang sudah
dikerjakan terhadap kepercayaan dan nilai spiritual.
8) Dewasa
akhir (38-65 tahun). Periode perkembangan spiritual pada tahap ini digunakan
untuk instropeksi dan mengkaji kembali dimensi spiritual, kemampuan intraspeksi
ini sama baik dengan dimensi yang lain dari diri individu tersebut. Biasanya
kebanyakan pada tahap ini kebutuhan ritual spiritual meningkat.
9) Lanjut
usia (65 tahun sampai kematian). Pada tahap perkembangan ini, menurut Haber
(1987) pada masa ini walaupun membayangkan kematian mereka banyak menggeluti
spiritual sebagai isu yang menarik, karena mereka melihat agama sebagai faktor
yang mempengaruhi kebahagian dan rasa berguna bagi orang lain. Riset
membuktikan orang yang agamanya baik, mempunyai kemungkinan melanjutkan
kehidupan lebih baik. Bagi lansia yang agamanya tidak baik menunjukkan tujuan
hidup yang kurang, rasa tidak berharga, tidak dicintai, ketidakbebasan dan rasa
takut mati. Sedangkan pada lansia yang spiritualnya baik ia tidak takut mati
dan dapat lebih mampu untuk menerima kehidupan. Jika merasa cemas terhadap
kematian disebabkan cemas pada proses bukan pada kematian itu sendiri. Dimensi spiritual menjadi bagian yang
komprehensif dalam kehidupan manusia. Karena setiap individu pasti memiliki
aspek spiritual, walaupun dengan tingkat pengalaman dan pengamalan yang
berbeda-beda berdasarkan nilai dan keyaninan mereka yang mereka percaya. Setiap
fase dari tahap perkembangan individu menunjukkan perbedaan tingkat atau
pengalaman spiritual yang berbeda.
8.
WACANA
SPIRITUALITAS DALAM PSIKOLOGI KONTEMPORER
Terjadinya
peningkatan penggunaan kata spiritualitas dalam disiplin akademis dan literatur-literatur
populer, telah menjelmakan suatu konsep spiritualitas untuk menggambarkan
bermacam-macam kapasitas. Menurut Ingersoll (2004), dalam literatur terapeutik
masalah spiritualitas cenderung diabaikan. Setidaknya terdapat dua alasan
mengapa spiritualitas kurang mendapat perhatian dalam kajian-kajian psikologi
umumnya, yaitu: pertama, sebagaimana
dinyatakan oleh Shafranske dan Gorsuch (1984), relatif kurangnya perhatian
terhadap studi tentang spiritual dalam psikologi mungkin dapat dilacak pada
akar historis profesi tersebut yang berusaha memisahkan diri dari disiplin
filosofis non-empirik. Hal ini diperburuk oleh fakta bahwa konsep spiritual
sendiri bersifat dinamis dan secara historis telah mengalami banyak perubahan
bentuk dalam kaitannya dengan institusi religius, struktur politik, dan
pergerakan sosial.
Kedua,
dalam hubungan dengan praktik klinis, diskusi tentang spiritualitas yang
terjadi dalam konseling sering berhadapan dengan kenyataan bahwa kerangka acuan
yang digunakan therapist sering
bertentangan dengan apa yang dialami oleh klien. Meskipun demikian, para
profesional dalam bidang psikologi mengambil secara serius Riset Bergin’s
(1980) mengenai dampak penilaian konselor dalam psikoterapi, suatu usaha
bertanggung jawab yang harus dilakukan untuk menjelaskan bagaimana pemahaman
tentang spiritual memengaruhi penilaian tersebut. Seperti apa yang dikemukakan
oleh Tjeltveit (1989) bahwa kegagalan dalam memahami semua model manusia
(termasuk model spiritual) merupakan suatu bentuk pengabaian risiko aspek kunci
dari pengalaman dan perilaku manusia. Sayangnya, problem yang banyak muncul
dari data-data yang ada adalah di sekitar konsep yang telah dinyatakan dalam
konseptual, versus kuantitatif, bentuk keragu-raguan ilmiah yang terus
dipromosikan.
9.
SPIRITUALITAS
DALAM PSIKOLOGI HUMANISTIK
Para
teoritikus humanistik, seperti Carl Rogers (1902-1987) dan Abraham Maslow
(1908-1970) meyakini bahwa tingkah laku manusia tidak dapat dijelaskan sebagai
hasil dari konflik-konflik yang tidak disadari maupun sebagai hasil
pengkondisian (conditioning) yang sederhana. Teori ini menyiratkan penolakan
terhadap pendapat bahwa tingkah laku manusia semata-mata ditentukan oleh faktor
diluar dirinya. Sebaliknya, bukan reaktor terhadap insting atau tekanan
lingkungan. Berbeda dengan psikoanalisis yang memandang buruk hakikat manusia,
dan psikologi behavior yang memandang netral, psikologi humanistik berasumsi
bahwa manusia pada dasarnya memiliki potensi-potensi yang baik, minimal lebih
banyak baiknya daripada buruknya. Psikologi humanistik memusatkan perhatian
untuk menelaah kualitas-kualitas insani, yakni sifat-sifat dan kemampuan khusus
manusia yang terpatri pada eksistensinya, seperti kemampuan abstraksi, daya
analisis dan sintesis, imajinasi, kreativitas, kebebasan berkehendak, tanggung
jawab, aktualisasi diri, makna hidup, pengembangan pribadi, humor, sikap etis
dam rasa estetika.
Di
samping itu, psikologi humanistik memandang manusia sebagai makhluk yang
memiliki otoritas atas kehidupan dirinya sendiri. Asumsi ini menunjukkan bahwa
manusia adalah makhluk yang sadar, mandiri, pelaku aktif yang dapat menentukan
hampir segalanya. Ia adalah makhluk dengan julukan the self determining being
yang mampu sepenuhnya menentukan tujuan-tujuan
yang paling diinginkannya dan cara-cara mencapai tujuan itu yang
dianggapnya paling tepat.
Sesuai
dengan akar kata “logos” yang dalam bahasa Yunani berarti “meaning” (makna) dan juga spirituality”
(kerohanian), maka logoterapi merupakan aliran psikologi yang mengakui adanya
dimensi kerohanian atas spiritualitas di samping dimensi-dimensi ragawi,
kejiwaan dan lingkungan sosial budaya. Logoterapi
mengajarkan bahwa manusia harus dipandang sebagai kesatuan fisik, psikologis
dan spiritual yang tidak terpisahkan. Dimensi spiritual, yang disebut Frankl
sebagai noos merupakan dimensi yang
menjadi sumber kekuatan dan kesehatan bagi manusia dalam melakukan terapi
secara baik. Dimensi ini mengandung semua sifat khas manusia, seperti keinginan
untuk memberi makna, orientasi tujuan, kreativitas, imajinasi, intuisi,
keimanan, visi akan menjadi apa, kemampuan untuk mencintai di luar kecintaan
yang visio-psikologis, kemampuan mendengarkan hati nurani di luar kendali
superego, selera humor. Didalamnya juga terkandung pembebasan diri dan
transendensi diri atau kemampuan untuk menggapai orang yang kita cintai atau
mengejar tujuan yang kita yakini. Di dalam dunia spirit, kita tidak di pandu,
tetapi kita adalah pemandu, pengambil keputusan. Reservoir kesehatan ada pada
setiap orang, apapun agama dan keyakinannya.
Menurut
Frankl, pengertian spiritual disini sama sekali tidak mengandung konotasi
agama, tetapi dimensi ini dianggap sebagai inti kemanusiaan dan merupakan
sumber makna hidup dan potensi dari berbagai kemampuan dan sifat luhur manusia
yang luar biasa yang sejauh ini terabaikan dari telaah psikologi.
10.
SPIRITUALITAS
DALAM PSIKOLOGI TRANSPERSONAL
Psikologi transpersonal sebenarnya merupakan kelanjutan
atau lebih tepatnya pengembanggan dari psikologi humanistik. S.I. Shapiro dan
Denise H. Lajoice (1992) menggambarkan psikologi transpersonal sebagai berikut:
“Transpersonal psychology is concerned
with the study of humanitys highestpotential, and with the recognition,
understanding, and realization of unitive, spiritual, and transcendent states of consciousness. Dari rumusan di
atas terlihat dua unsure penting yang menjadi perhatian psikologis
transpersonal, yaitu potensi-potensi luhur (the
high-est potentials) dan fenomena kesadaran (state of consciousness) manusia. Dengan perkataan lain, psikologi
transpersonal memfokuskan perhatian pada dimensi spiritual dan
pengalaman-pengalaman rohaniah manusia.
The states of consciousness atau lebih
populernya disebut the altered states of
consciousness adalah pengalaman seseorang melewati batas-batas kesadaran biasa,
seperti pengalaman-pengalaman alih dimensi, memasuki alam-alam kebatinan,
kesatuan mistik, komunikasi batiniah, pengalaman meditasi, dan sebagainya.
Demikian juga mengenai potensi-potensi luhur manusia menghasilkan telaah-telaah
seperti altered states of consciousness,
extra sensory perception, transendensi diri, kerohaniah, potensi luhur dan
paripurna, dimensi diatas alam kesadaran, pengalaman mistik, ekstasi,
parapsikologi, paranormal, daya-daya baitn,pengalaman spiritual dan
praktek-praktek keaamaan di kawasan Timur dan di berbagai belahan dunia
lainnya, dan sebagainya.
Psikologi transpersonal berawal dari
penelitian-penelitian psikologi kesehatan yang dilakukan oleh Abraham Maslow
dalam tahun 1960-an. Maslow melakukan serangkaian penelitian yang intensif dan
luas tentang pengalaman-pengalaman keagamaan, seperti “pengalaman-pengalaman
puncak” (peak experiences).
Laporan-laporan diperoleh dari jawaban atas permintaan untuk memikirkan
pengalaman-pengalaman yang sangat indah dalam kehidupan seseorang. Ditemukan
bahwa orang-orang yang mengalami pengalaman-pengalaman puncak merasa lebih
terintegrasi, lebih bersatu dengan dunia, lebih menjadi raja atas diri mereka
sendiri, lebih spontan, kurang menyadari ruang dan waktu, lebih cepat dan mudah
mencerap sesuatu, dan sebagainya.
Dari hasil
penelitiannya ini, Maslow berkesimpulan bahwa pengalaman keagamaan adalah peak experience, plateau dan farthes reaches of human nature. Oleh
sebab itu kata Maslow, psikologi belum sempurna sebelum difokuskan kembali dalam
pandangan piritual dan transpersonal. Lebih
jauh Maslow, (1968) menulis: “I
should say also that I consider humanistic, Third Forces Psychology, to be
transitional, a preparation for a still higher Fourth Psychology, a
trasnpersonal, transhuman, centered in the cosmoc rather human need and
interest, going beyond humannes, identity, self actualization, and the like.”
Sepanjang sejarah
kemanusiaan, manusia bertanya, “siapakah aku?”. Tradisi keagamaan
menjawabnya dengan menukik jauh ke
dalam, “wujud spiritual, ruh.” Psikologi modern menjawab dengan menengok ke
dalam (tidak terlalu dalam), self, ego, eksistensi
psikologis” dan psikoterapi merupakan perjalanan psikologis untuk menemukan
diri ini. Psikologi transpersonal menggabungkan kedua jawaban ini.ia mengambil
pelajaran dari semua angkatan psikologi dan kearifan perenial (philosophia perennis) agama. Psikologi
transpersonal menunjukkan bahwa di luar biasa potensialnya serta mengajarkan
praktik-praktik untuk mengantarkan manusia pasa kesadaran spiritual, di atas id, ego dan superego-nya Frued.
Agama-agama berbicara tentang kesadaran spiritual yang luas
dan multidimensional. Diri kita, eksistensi psikologiskita, hanyalah
penampakkan luar jelas tidak memadai. Menyembuhkan gagguan mental dengan
menggarap diri lahiriyah sama saja dengan mendorong mobil mogok tanpa
memperbaiki mesinnya. Bahkan, sebagaimana disebutkan oleh Cortright (1997),
“sedalam apa pun studi tentang genetika, biokimia atau neurologi, pada satu
sisi atau sistem keluarga, interaksi ibu-anak dan pengalaman masa keci pada
sisi yang lain-atau dengan perkataan lain, tidak ada penjelasan apa pun, yang
hanya memperhitungkan penampakan luar dari maslah nature (tabiat) dan nurture (lingkungan)-dapat
memberikan jawaban memuaskan pada masalah fundamental manusia. Hanya dengan
memandang ke dimensi spiritual, yang memasukkan dan sekaligus mentransendenkan
warisan dan lingkungan, kita dapat menemukan jawaban yang tepat untuk masalah
eksistensi manusia.”
Sejak tahun 1969, ketika Journal of Transpersonal Psychology terbit untuk pertama kalinya,
psikologi mulai mengarahkan perhatiannya pada dimensi spiritual manusia.
Penelitian dilakukan untuk memahami gejala-gejala rohaniah, seperti peak experience, pengalaman mistis,
ekstasi, kesadaran rohaniah, kesadaran kosmis, aktualisasi transpersonal,
pengalaman spiritual, dan akhirnya kecerdasan spiritual (Rahmat, 2001). Psikologi
transpersonal, seperti halnya psikologi humanistik, menaruh perhatian pada
dimensi spiritual manusia yang ternyata mengandung berbaggai potensi dan
kemampuan luar biasa yang sejauh ini terabaikan dari telaah psikologi
kontemporer. Bedanya adalah; psikologi humanistik lebih memanfaatkan
pootensi-potensi ini untuk peningkatan hubungan antar manusia, sedangkan
psikologi transpersonal lebih tertarik untuk meneliti pengalaman
subjektif-transpersonal, serta pengalaman luar biasa dari potnsi spiritual ini
(Bastaman,1997).
Gambaran selintas mengenai psikologi transpersonal
menunjukkan bahwa aliran ini mencoba untuk menjajagi dan melakukan telaah
ilmiah terhadap suatu dimensi yang sejauh ini lebih dianggap sebagai bidang
garapan kaum kebatinan, rohaniawan, agamawan,
dan mistikus. Sekalipun masih dalam taraf telaah awal, psikologi transpersonal
menunjukkan bahwa di luar alam kesadaran biasa terdapat ragam dimensi lain yang
luar biasa pontensialnya.
11.
DIMENSI-DIMENSI
SPIRITUAL
Meskipun
para peneliti tentang spiritual yang sehat mencatat bahwa spiritual harus
dipahami dalam multidimensional, namun Ingersoll (1994) menggambarkan
spiritualitas dalam tujuh dimensi, yaitu makna (meaning), konsep tentang ketuhanan (cocception of divinity), hubungan (relationship), misteri (mystery),
pengalaman (experience), perbuatan
atau permainan (play), dan integrasi
(integration).
·
Meaning. Meaning atau
makna merupakan dimensi terpnting dari spiritualalitas. Meskipun makna tidak
mungkin digambarkan dalam cara-cara yang umum, namun ia dapat dipahami sebagai
sesuatu yang dialami individu yang membuat kehidupannya lebih bernilai atau
berharga. Manusia mengisi hidupnya bukan untuk suatu tujuan yan sia-sia. Pasti
ada yang menjadi sasaran dan ada nergi yang menggerakkan dirinya secara dinamis
untuk dapat mencapai sasaran tersebut. Sasaran merupakan wujud kriterium yang
ingin dan akan dicapai seseorang. Ia dapat bermakna, tapi juga berpeluang untuk
menjadi tanpa makna. Bila ia bermakna,
maka secara psikologis sasaran ini memberi
kepuasan bagi seseorang. Seperti tiga konsep dasar yang diuraikan Viktor
Frankl: “life has a meaning under all
circumstances to active the will to meaning, people have freedom under all
circumstances to active the will to meaning and to find.” Setiap orang
ingin mengisi kehidupannya menjadi bermakna, dan ia memiliki kebebasan yang
bertanggung jawab untuk menentukan sikap bagaimana ia akan mencapai makna ini,
yang berkembang sesuai dengan pengalaman yang mengasah dirinya.
·
Conception of divinity.
Dimensi kedua dari spiritualitas adalah
konsep tentang ketuhanan. Bagaimana konseptualisasi seseorang tentang Tuhan
mungkin bermacam-macam. Fox (1983) mengategorikan konsep individu tentang Tuhan
atas teistik, ateistik, pantheistik, atau panetheistik. Secara teistikal
individu berhubungan dengan kekuatan atau wujud transenden yang utama. Secara
ateistik seseorang menyangkal (refute)
atau menolak (resist) konsepsi
tentang Ketuhanan. Dalam hubungan pantheistik individu berhubungan dengan suatu
kekuatan absolut yang bersemayam dalam semua keberadaan, termasuk dalam
individu itu sendiri. Dalam hubungan pantheistik, kekuatan atau wujud ketuhanan
meliputi (flows) seluruh yang ada dan
secara paradox melebihi semua yang ada.
·
Relationship. Dimensi
spiritualitas yang ketiga adalah dimensi hubungan. Salah satu tujuan dari semua
mitologi, termasuk sistem agama adalah untuk menemukan hubungan
(Campbell,1990). Hubungan ini mencakup bagaimana individu berhubungan dengan
konsepnya tentang ketuhanan dan dengan orang lain. Dalam hal ini Nelson (1988)
mengatakan: “by spirituality I mean the
ways and patterns by which the person-intellectually, emotionally, and
physically-relates to that which is ultimately real and worthful for him or
her.”
Burns (1989) kemudian
mengembangkan gagasan tentang hubungan dalam spiritualittas dengan
mendefinisikannya sebagai suatu pejuangan untuk dan penyatuan dengan
realitas dari interkoneksi antar-diri,
orang lain, dan dengan Zat Yang Maha Kuasa (Infine)
atau yang bersifat ketuhanan (Divine).
Burns mencatat bahwa hubungan terjadi selama mengalami pengalaman batin dan
menghasilkan suatu perubahan dalam kehidupan, dan kemudian hubungan tersebut
meningkatkan sense of connectedness seseorang
dengan Zat yang dianggap Tuhan serta dengan semua kehidupan yang ada.
·
Mystery. Misteri
juga merupakan salah satu dimensi spiritualitas yang penting. Banyak upaya untuk mengambarkan spiritualitas
menyinggung maslah misteri atau ambiguitas dari spiritual. Banks (1980), dalam
menguraikan dimensi misteri ini mencatat bahwa spiritualitas merupakan dimensi
yang secara tipikal dirasakan sebagai sesuatu yang tidak bisa dipahami dan
tidak bisa dilukiskan. Ketika orang berbicara tentang kekuatan transenden,
pengalaman fenomenologis tentang makna, atau kesadarn akan alam yang tidak bisa
dilukiskan seperti interkoneksi antar-individual, mereka sampai pada
batas-batas yang tak terkatakan dan misterius. Misteri dan toleransi baginya,
merupakan bagian dari semua tradisi spiritual. Sejumlah deskripsi tentang
spiritualitas harus mengikutsertakan (provide)
beberapa kosa kata yang mengakui
misterius dan harus juga memperlengkapi orang dengan cara untuk menyebutnya.
·
Experience. Di
samping konsep tentang tak terbatas,
kesadaran tentang makna dinamika hubungan, dan dimensi misteri, terdapat
kebutuhan untuk menjelaskan bagaimana semua ini dimanifestasikan dalam
pengalaman (experince) individual. Campbell (dalam Cousineau, 1990) menekankan pentingnya pengalaman spiritual, di
mana orang menceritakan tentang pencarian makna hidup; apa yang sesungguhnya
mereka cari tidak lain adalah pengalaman hidup. Campbell menyatakan bahwa makna
diperoleh dari pengalaman. Moberg (1971) bahwa menyatakan bahwa spiritualitas
sering dihubungkan dengan pengalaman yan terjadi dalam kehidupan dan dapat menggarisbawahi
sejumlah besar pengalaman estatik manusia seperti orgasme seksual dan asthetik
getaran nada. Belakangan, pemahaman tentang pengalaman sama dengan apa yang
disebut oleh Maslow peak experiences (pengalaman
puncak). Maslow menyatakan bahwa elemen spiritual dari peak experiences dipengaruhi oleh nilai-nilai yang berkembang di
dunia sekular dan kerinduan akan makna (yearning
for meaning).
Meskipun Cambell (1988)
menyatakan bahwa fungsi dari semua mitologi adalah untuk membantu individu
untuk memperoleh pengalaman dari keberadaannya, namun ini tidak tepat dipahami
sebgai peak experiences, tetapi juga ordinary experiences (pengalaman biasa)
yang dialami sehari-hari dan berhubungan dengan tingkah laku mereka.
·
Dimentional
Integration. Keenam dimensi spiritual yang telah
dijelaskan di atas, sebenarnya tidak berdiri sendiri, melainkan saling
berinterasi dan merupakan satu kesatuan yang tidak terpisahkan. Sheldrake
(1992) menekankanbahwa spiritualitas adalah suatu integrasi dari semua aspek
pengalaman dan kehidupan manusia. Demikian juga Moberg (1984) menyatakan bahwa
“The spiritual prevades every aspect of a
person’s life.”
Berdasarka uraian di
atas, dapat dipahami bahwa spiritualitas sesungguhnya merupakan gabungan dari
semua dimensi: 1) sense of meaning, 2)
concept of divine, absolute, or force
greater than one’s self, 3) relationship
with Divinity and other beings, 4) tolerance
or negative capability for mystery, 5) peak
and ordinary experiences engaged to enhance spirituality (may include rituals or spiritual disciplines),
dan 6) spirituality as systemic force
that acts to integrate all the dimencions of one’s life.
Berbeda dengan
Ingersoll, Burkhardt (dalam Achir Yani s Hamis, 2000), menyebutkan empat
dimensi spiritualitas, yaitu:
1. Berhubungan
dengan sesuatu yang tidak diketahui atau ketidakpastian dalam kehidupan.
2. Menemukan
arti atau makna hidup.
3. Menyadari
kemampuan untuk menggunakan sumber dan kekuatan dalam diri sendiri.
4. Mempunyai
perasaan keterikatan dengan diri sendiri dan dengan Tuhan Yang Maha Tinggi.
12. KARAKTERISTIK
PERKEMBANGAN SPIRITUALITAS PESERTA DIDIK Dalam studi perkembangan, tema tentang
spiritualitas tidak banyak dibahas oleh para ahli psikologi. Kalau pun ada
beberapa buku yang menempatkan spiritualitas atau agama sebagai aspek penting
dari perkembangan manusia, tetapi pembahasannya sangat sederhana dan tidak
banyak didukung oleh data penelitian. Dalam uraian berikut akan dikemukakan
perkembangan spiritualitas yang diajukan oleh James W. Fowler.
a)
Teori
Perkembangan Spiritual Fowler
Dewasa ini salah
satu teori tentang perkembangan spiritualitas dan kepercayaan yang banyak
dijadikan acuan dalam mempelajari perkembangan kehidupan spiritual atau agama
manusia adalah stages of faith
development dari James Fowler. Fowler adalah perintis teori mengenai tahap
perkembangan kepercayaan, yang dimaksudkan untuk menunjukkan penelitian empiris
dan refleksi teoritis yang sementara ini diakui secara International sebagai
psikologi agama yang sangat penting (Cremers, 1995). Dalam tulisannya yang
sama,Cremers (1995) memposisikan psikologi perkembangan paradigmatis yang paling
berpengaruh dewasa ini, yaitu psikologi perkembangan konotatif yang bercorak
struktural konstruktif.
Konsep tentang spiritualitas dan
kepercayaan yang digunakan Fowler merujuk pada apa yang dikemukakan oleh
Wilfred Cantwell Smith, bahwa kepercayaan eksistensial merupakan kualitas
pribadi, yaitu suatu orientasi kepribadian seseorang yang menanggapi nilai dan
kekuasaan tresenden, orientasi terhadap dirinya, sesamanya dan alam semesta
yang dilihat dan dipahami lewat bentuk-bentuk tradisi kumulatif. Kepercayaan
itu sendiri menurut Smith (dalam Fowler, 1981) menyatakan bersifat universal
yang dimiliki bersama oleh semua umat manusia. Artinya kepercayaan bagi manusia
merupakan satu kodrat, alamiah, yang dimiliki manusia. Dalam kaitannya dengan
hal ini Smith (1981) menyatakan bahwa manusia standar adalah manusia yang
berkepercayaan.
Fowler
(1978) menyebut kepercayaan sebagai sesuatu yang universal, ciri dari seluruh
hidup, tindakan pengertian diri semua manusia, entah mereka menyatakan diri
sebagai orang yang percaya danorang berkeagamaan atau sebagai orang yang tidak
percaya pada apapun. Dalam hal ini tampak kepercayaan tidak harus dipahami
sebagai kepercayaan religius semata, tetapi terutama sebagai kepercayaan hidup
atau yang oleh Fowler disebut sebagai kepercayaan eksistensial atau dalam
bahasa agama disebut sebagai Iman. Dalam
teorinya, Fowler mengusulkan tahap perkembangan spiritual dan keyakinan yang
dibangun atas dasar teori-teori perkembangan dari Erikson, Piaget, Kohlberg,
Perry, Giligan dan Levinson. Fowler percaya bahwa spiritualitas dan kepercayaan
dapat berkembang hanya dalam lingkup perkembangan intelektual dan emosional
yang dicapai oleh seseorang. Ketujuh tahap perkembangan agama itu adalah: (1) Primal faith; (2) intuitive-projective faith; (3) mythic-literal
faith; (4) synthetic-conventional
faith; (5) individuative-reflective
faith; (6) conjuctive faith; (7) universalizing faith (Dacey & Kenny,
1997).
·
Tahap primal
faith. Tahap kepercayaan ini terjadi pada usia 0 tahun sampai 2 tahun,
yang ditandai dengan rasa percaya dan setia anak pada pengasuhnya. Kepercayaan
ini tumbuh dari pengalaman relasi mutual, berupa saling memberi dan menerima
yang diritualisasikan dalam interaksi antara anak dan pengasuhnya.
·
Tahap intuitive-projective
faith, yang berlangsung antara usia 2-7 tahun. Pada tahap ini
kepercayaan anak bersifat peniruan, karena kepercayaan yang dimilikinya masih
merupakan gabungan hasil pengajaran dan contoh-contoh signifikan dari orang
dewasa. Melalui cara meniru kepercayaan
orang dewasa, anak kemudian berhasil merangsang, membentuk, menyalurkan dan
mengarahkan perhatian spontan serta gambaran intuitif dan proyektifnyapada
Ilahi.
·
Tahap mythic-literal
faith,yang dimulai usia 7-11 tahun. Pada tahap ini, sesuai dengan tahap
perkembangan kognitifnya, anak ssecara sistematis mulai mengambil makna dari
tradisi masyarakatnya. Gambaran tentang Tuhan diibaratkan sebagai seorang
pribadi, orangtua atau penguasa, yang bertindak dengan sikap memerhatikan
secara konsekuen, tegas dan jika perlu tegas.
·
Tahap synthetic-conventional
faith, yang terjadi pada usia 12-akhir masa remaja atau awal masa
dewasa. Kepercayaan remaja pada tahap ini ditandai dengan kesadaran tentang simbolisme
dan memiliki lebih dari satu cara untuk mengetahui kebenaran. Sistem
kepercayaan remaja mencerminkan pola kepercayaan masyarakat pada umumnya, namun
kesadaran kritisnya sesuai dengan tahap operasional formal, sehingga menjadikan
remaja melakukan kritik atas ajaran-ajaran yang diberikan oleh lembaga
keagamaan resmi kepadanya. Pada tahap ini, remaja juga mulai mencapai
pengalaman bersatu dengan Yan Transenden melalui simbol dan upacara keagamaan
yang dianggapnya sakral. Simbol-simbol identik dengan kedalaman arti itu
sendiri. Allah dipandang sebagai “pribadi lain” yang berperan penting dalam
kehidupan mereka. Lebih dari itu, Allah
juga dipandang sebagai sahabat yang paling intim, yang dianggap paling mengenal
dan mengetahui dirinya, serta mencintainya tanpa syarat. Selanjutnya, muncul
pengakuan bahwa Allah lebih dekat dengan dirinya daripada remaja itu dengan
dirinya sendiri. Kesadaran ini kemudian mmunculkan pengakuan rasa komitmen
dalam diri remaja terhadap Sang Khalik.
·
Tahap individuative-reflective
faith, yang terjadi usia 19
tahun atau pada masa dewasa awal. Pada tahap ini mulai muncul sintesis
kepercayaan dan tanggung jawab individual terhadap kepercayaan tersebut.
Pengalaman personal pada tahap ini memainkan peranan penting dalam kepercayaan
seseorang. Menurut Fowler, tahap ini ditandai dengan: a) adanya kesadaran
terhadap relativitas pandangan dunia yang diberikan orang lain, individu
mengambil jarak kritis terhadap asumsi-asumsi sistem nilai terdahulu; b)
mengabaikan kepercayaan terhadap otoritas eksternal dengan munculnya “ego
eksekutif” sebagai tanggung jawab dalam memilih antara prioritas dan komitmen
yang akan membantunya membentuk identitas diri.
·
Tahap conjunctive-faith, disebut juga paradoxical-consolidation faith, yang dimulai pada usia 30 tahun
sampai dewasa akhir. Tahap ini ditandai dengan perasaan terintegrasi dengan
simbol-simbol, ritual-ritual dan keyakinan agama. Dalam tahap ini seseorang
juga lebih terbuka terhadap pandangan-pandangan yang paradoks dan berbentangan,
yang berasal dari kesadaran akan keterbatasan dan pembatasan seseorang.
·
Tahap universalizing
faith, yang berkembang pada
usia lanjut.perkembangan agama pada masa ini ditandai dengan munculnya sistem
kepercayaan transendental untuk mencapai perasaan ketuhanan, serta adanya
desentrasasi diri dan pengosongan diri. Peristiwa-peristiwa konflik tidak
selamanya dipandangan sebagai paradoks. Sebaliknya, pada tahap ini orang mulai
berusaha mencari kebenaran universal.
Dalam proses pencarian kebenaran ini, seseoran akan menerima banyak
kebenaran dari banyak titik pandang yang berbeda serta berusaha menyelaraskan
perspektifnya sendiri dengan perspektif
orang lain yang masuk dalam jangkauan universal yang paling luas.
13.
KARAKTERISTIK
PERKEMBANGAN SPIRITUALITAS ANAK USIA SEKOLAH
Tahap mythic-literal
faith, yang dimulai usia 7-11 tahun. Menurut Fowler (dalam Muhammad Idrus,
2006), pada tahap ini, sesuai dengan tahap perkembangan kognitifnya, anak mulai
dapat berpikir logis dan mengatur duniat dengan kategori-kategori baru. Pada
tahap ini anak secara sistematis mulai mengambil makna dari tradisi
masyarakatnya, dan secara khusus menemukan koherensi serta makna pada
bentuk-bentuk naratif. Lebih jauh Fowler menjelaskan bahwa orientsi pada hal
yang naratif dan cerita menjadi orientasi pokok tahap ini, karena cerita
dipilih sebagai sarana utama untuk menyatukan dan menilai pengalaman. Dengan
sarana ini anak menciptakan, menyusun dan menyimpan serta menyampaikan
seluruh arti eksistensi. Dengan bantuan
cerita, anak mampu memberikan arti dan kesatuan pada seluruh cakrawala
pengalamannya. Cerita naratif tersebut dapat berupa mitos, cerita drama,
ataupun cerita-cerita dalam ktab suci.
Sebagai anak yang tengah berada dalam tahap pemikiran
operasional konkret, maka anak-anak usia sekolah dasar akan emahami segala
sesuatu yang abstrak dengan interpretasi secara konkret. Hal ii juga
berpengaruh terhadappemahamannya mengenai konsep-konsep keagamaan. Gambaran tentang Tuhan sebagai
sebuah konsep konkret-anthropomorfis, yang mempunyai perwujudan riil serta
memiliki sifat-sifat pribadi seperti manusia. Namun, seiring perkembangan
kognitifnya, konsep ketuhanan yang bersifat konkret ini dimulai berubah menjadi
abstrak. Dengan demikian, gagasan-gagasan keagamaan yang bersifat abstrak yang
tadinya dipahami secara konkret, seperti Tuhan itu satu, Tuhan itu amat dekat,
Tuhan ada di ana-mana, mulai dapat dipahami secara abstrak.
14.
KARAKTERISTIK
PERKEMBANGAN SPIRITUALITAS REMAJA
Dibandingkan dengan masa awal anak-anak misalnya, keyakinan agama remaja telah mengalami
perkembangan yang cukup berarti. Kalau pada masa awal anak-anak-ketika mereka
baru memiliki kemampuan berpikir simbolik-Tuhan dibayangkan sebagai person yang
berada di awan, maka pada masa remaja mereka mungkin berusaha mencari sebuah
konsep yang lebih mendalam tentang Tuhan dan eksistensi. Perkembangan pemahaman
rmaja terhadap keyakinan agama ini sangat dipengaruhi oleh perkembangan
kognitifnya. Oleh sebab itu, meskipun pada masa awal anak-anak ia telah
diajarkan agama oleh orangtua mereka, namun karena pada masa remaja mereka
mengalami kemajuan dalam perkembangan kognitif, mereka mungin mempertanyakan
tentang kebenaran keyakinan agama mereka sendiri. Sehubungan dengan pengaruh
perkembangan kognitif terhadap perkembangan agama selama masa remaja ini,
Seifert & Hoffnung (1994) menulis:
“During
adolescence, cognitive development affect both spesific religious beliefs and
overall religious orientation. In general, specific beliefs become more
sophisticated or complex than they were during childhood. The concept of
religious denomination, for example, evolves from relatively superficial to more
accurate and abstract notions.”
Dalam suatu studi yang dilakukan Goldman (1962) tentang
perkembangan pemahaman agama anak-anak dan remaja dengan latar belakang teori
perkembangan kognitif Piaget, ditemukan bahwa perkembangan pemahaman agama
remaja berada pada tahap 3, yaitu formal
operational religious thought, du
mana remaja memperlihatkan pemahaman agama yang lebih abstrak dan hipotetis.
Peneliti lain jua menemukan bahwa remaja usia sekitar 17 atau 18 tahun makin
meningkat ulasannya tentang kebebadan, pemahaman, dan pengharpan –konsep-konsep
abstrak-ketika membuat pertimbangan tentang agama. Mengacu pada teori perkembangan spiritualitas
Fowler, remaja berada dalam tahap synthetic-conventional
fait, tahap di mana remaja mulai bersifat konformistis dan melakukan
penyesuaian-penyesuaian diri dengan harapan-harapan sosial. Karena itu, sistem
kepercayaan remaja mencerminkan pola kepercayaan masyarakat pada umumnya.
Menurut Muhammad Idrus, (2006), pola kepercayaan yang dibangun remaja bersifat
konvensional, sebab secara kognitif, afektif dan soaila, remaja mulai
menyesuaikan diri dengan orang lain yang berarti baginya (sig-nificant
others) dan dengan mayoritas lainnya.
Pada tahap ini, remaja juga mulai mencapai pengalaman
bersatu dengan Yang Transenden malalui simbol dan upacara keagamaan yang
dianggapnya sakral. Simbol-simbol identik dengan kedalaman arti itu sendiri.
Allah dipandang sebagai “pribadi lain” yang berperan penting dalam kehidupan
mereka. Lebih dari itu, Allah juga dipandang sebagai sahabat yang paling intim,
yang dianggap paling mengenal dan mengetahui dirinya, serta mencintainya tanpa
syarat. Selanjutnya, muncul pengakuan bahwa Allah lebih dekat dengan dirinya
daripada remaja itu dengan dirinya sendiri. Kesadaran ini kemudian memunculkan
pengakuan rasa komitmen dalam diri remaja terhadap Sang Khalik. Di samping
menunjukkan minat yang kuat terhadap hal-hal spiritual, fenomena keberagamaan
remaja juga sering ditandai dengan keraguan beragama (religuous doubt). Penelitian al-Maligy (Nizar, 1992) menemukan
bahwa keraguan remaja pada agamanya mulai banyak dialami remaja yang berusia 17
tahun dan kemudian menurun usia 21
tahun. Hasilpenelitian yang dilakukan Hutsebaut dan Verhouven (1991)
menyimpulkan bahwa presentase subjek yang tidak percaya pada Tuhan semakin
meningkat pada usia akhir remaja, sedangkan presentase mereka sangat percaya
menurun pada usia yang sama.
Menurut Clark (1958) keragu-raguan beragama (religious doubt) memang merupakan salah
satu karakteristik kehidupan beragama pada masa remaja yang sangat menonjol.
Keraguan dan konflik remaja dalam hal beragama memang menjadi hal yang serius,
manakala remaja yang bersangkutan tidak dapat menyelesaikan krisis yang
terjadi. Artinya jika merujuk pada prinsip epigenetik yang diajukan Erikson
(1968) bahwa keberhasilan penyelesaian krisis pada awal akan menjadi landasan bagi
keberhasilan untuk mengatasi krisis pada tahap berikutnya. Maka kegagalan
individu untuk meraih kematangan dalam beragama disebabkan kegagalan mengatasi
krisis pada tahap sebelumnya.
Mengambil analogi dari teori Erikson (1968) yang
menggunakan prinsip epigenetik maka
perkembangan tahap kepercayaan individu juga akan mengalami situasi yang sama
sebagaimana perkembangan siklus hidup. Artinya kematangan pada tahap sebelumnya
seiring dengan bertambahnya usia akan menjadi dasar bagi perkembangan
kepercayaan individu. Jika pada tahap sebelumnya individu tidak megalami
kematangan dalam satu tahap kepercayaan eksistensialnya, maka diyakini yang
bersangkutan tidak dapat meningkat pada tahap kepercayaan eksistensial
berikutnya. Hasil penelitian Sanders
(1998) menunjukkan bahwa individu yang tidak matang dalam satu tahap
psikososial sebagaimana diajukan Erikson akan berdampak pada rendahnya
keyakinan dalam beragama.
Bilasatu tahap perkembangannya seseorang menghadapi krisis
hidup dan gagal menghadapinya, maka hal ini akan dapat memengaruhi
kepercayaannya. Pada setiap tahap
perkembangan kehidupan, seseorang akan dihadapkan pada dua titik ekstrim
sebagaimana dipaparkan oleh Erikson (1993) pada setiap tahap selalu terjadi
krisis antara dua posisi ekstrim, positif dan negatif dan individu akan
melakukan komitmen-komitmen tertentu dalam usaha menyelesaikan konfliknya. Ketidakmampuan
untuk menyelesaikan krisis yang terjdai pada satu tahap akan dengan sendirinya
mengganggu perkembangan tahap berikutnya. Ketidakmampuan tersebut pada akhirnya
juga akan memengaruhi tingkat kepercayaan eksistensial seseorang. Rasionalnya,
seharusnya individu telah berkembang tingkat kepercayaan eksistensialnya, hanya
saja karena kegagalan penyelesaian krisis dengan sendirinya mengganggu siklus kehidupannya,
maka individu tersebut juga akan mengalami hambatan untuk meningkatkan dari
tingkat kepercayaan eksistensial yang saat itu dialaminya.
Hasil penelitian yang dilakukan Sanders (1998) menunjukkan
bahwa individu dengan status difusi (tanpa eskplorasi dan tanpa komitmen)
ternyata memiliki tingkat kematangan yang rendah dalamhalkeyakinan beragama.
Artinya individu dengan status difusi yang tidak mampu menyelesaikan krisis
pada tahap difusi ternyata tidak dapat pula mengembangkan kepercayaan beragamanya.
Kegagalan mengenani krisis internal di atas, bila bertemu dengan lingkungan
eksternal yang tidak mendukung perkembangan kepercayaan, akan menjadikan remaja
terseret dalam pengaruh lingkungan. Seseorang individu hidup dalam lingkungan
sosial yang lebih luas dan dirinya tidak mungkin melepaskan lingkungan
tersebut. Bila pengaruh lingkungan itu kuat dan bersifat mendukung kepercayaan
atau keyakinanyang dimiliki remaja, maka remaja akan terbantu dan menyelesaikan
krisisnya. Sebaliknya bila pengaruh lingkungan itu kuat dan tidak membantu atau
malah mengganggu proses penyelesaian krisis kepercayaan kepada Tuhan yang
dialami remaja, maka akan mengakibatkan remaja akan mengalami krisis
kepercayaan kepada Tuhanyang tidak terselesaikan. Keraguannya kepada Tuhan
dapat mengakibatkan menjadi ingkar kepada Tuhan. Apa yang terjadi pada kisah
putra Nabi Nuh dapat membenarkan pandangan ini. Nabi Nuh telah menanamkan
keyakinan kepada Tuhan sedemikian rupa anaknya, namun saat anaknya memperoleh
pengaruh dari luar, keyakinan yang ditanamakan Nabi Nuh masuk dalam kelompok
orang yang tidak lagi kepada Tuhan yang dipercaya Nabi Nuh kepada Kekuasaan
Tuhan, menyebabkan ia enggan mengikuti kkapal yang dibangun ayahnya dan saat
banjir datang ia termasuk serang yang menjadi korban (Muhammad Idrus, 2006).
Faktor terakhir yang oleh Fowler (1988) diidentifikasikan
berpengaruh terhadap perkembangan kepercayaan eksistensial adalah keanggotaan
dalam kelompok biasanya biasanya setiap individu akan memiliki reference group yang menjadi pusat
aktivitas bai dirinya. Ikatan yang muncul dari konsekuensi logis keanggotaannya
pada kelompok tersebut, akan dengan sendirinya memengaruhi perilaku yang harus
ditampilkannya. Lingren (tt) menyatakan bahwa teman sebaya memainkan peranan
penting dalam kehidupan remaja dan secara khas menggantikan keluarga sebagai
pusat aktivitas sosial remaja. Begitu juga dalam aktivitas beragamanya,
kelompok akan memengaruhi cara seseorang beragama. Jika kelompok tersebut
membangun iklim beragama yang sehat, maka dimungkinkan individu menjadi
anggotanya akan terdorong untuk melakukan aktivitas agama yang semakin lama
cenderung meningkat. Krisis kepercayaan terhadap Tuhan akan dibantu kelompok
tersebut kurang memerhatikan masalah religiusitas, maka kecenderungan antireligiusitas,
maka kecenderungan yang muncul adalah anggota akan larut pada aktivitas yang
sepi dari nuansa agama bahkan menentang agama. Krisis kepada Tuhan yang dialami
oleh seseorang remaja tidak dibantu oleh kelompok untuk mendapatkan
penyelesaiannya.
15. IMPLIKASI PERKEMBANGAN
MORAL DAN SPIRITUAL TERHADAP PENDIDIKAN
Memerhatikan
uraian tentang perkembangan moral dan spiritual sebagimana dipaparkan di atas,
maka sekolah sebagai lembaga pendidikan dituntut untuk membantu peserta didik
dalam mengembangkan moral dan spiritual mereka, sehingga mereka dapat menjadi
manusia yang moralis dan religius. Berikut ini akan dikemukakan beberapa
strategi yang mungkin dapat dilakukan guru di sekolah dalam membantu
perkembangan moral dan spiritual peserta didik.
ü Memberikan
pendidikan moral dan keagamaan melalui kurikulu tersembunyi (hidden curriculum), yakni menjadi
sekolah sebagai atmosfer moral dan agama secara keseluruhan. Atmosfer di sini
termasuk peraturan sekolah dan kelas, sikap terhadap kegiatan akademik dan
ekstrakurikuler, orientasi moral yang dimiliki guru dan pegawai serta materi
teks yang digunakan.terutama guru dalam hal ini harus mampu menjadi model
tingkah laku yang mencerminkan nilai-nilai moral dan agama. Tanpa adanya model
tingkah laku yang baik dari guru, maka pendidikan moral dan agama yang
diberikan di sekolah tidak akan efektif menjadi peserta didik sebagai seorang
yang moralis dan religius.
ü Memberikan
pendidikan moral langsung (direct moral
education), yakni pendidikan moral dengan pendekatan pada nilai dan juga
sifat selama jangkan waktu tertentu atau menyatukan nilai-nilai dan sifat-sifat
tersebut ke dalam kurikulum. Dalam pendekatan ini, instruksi dalam konsep moral
tertentu dapat mengambil bentuk dalamcontoh dan definisi, diskusi kelas dan
bermain peran, atau memberi reward kepada
siswa yang berperilaku secara tepat.
ü Memberikan
pendekatan moral melalui pendekatan klarifikasi nilai (values clarification) yaitu pendekatan pendidikan moral tidak
langsung yang berfokus pada upaya membantu siswa untuk memperoleh kejelasan
mengenai tujuan hidup mereka dan apa yang berharga untuk dicari. Dalam
klarifikasi nilai, kepada siswa diberikan pertanyaan atau dilema, danmereka
diharapkan untuk memberi tangapan, baik secara individual maupun secara
kelompok. Tujuannya dalah untuk menolong siswa menentukan nilai mereka
sendiridan menjadi peka terhadap nilai yang dianut orang lain.
ü Menjadikan
pendidikan wahana yang kondusif bagi peserta didik untuk menhayati agamanya,
tidak hanya sekedar bersifat teoritis, tetapi penghayatan yang benar-benar
dikontruksi dari pengalamankeberagaman.
Oleh sebab itu, pendidikan agama yang dilangsungkan di sekolah harus lebih
menekankan pada penempatan peserta didik untuk mencari pengalaman keberagaman (religiousity). Dengan pendekatan demikian,
maka yang ditonjolkan dalam pendidikan aama adalah ajaran dasar agama yang
sarat dengan nilai-nilai spiritualitas dan moralitas, seperti kedamain dan
keadilan.
ü Membantu
peserta didik mengembangkan rasa ketuhanan melalui pendekatan spiritual parenting, seperti memupuk
hubungan sadar anak dengan Tuhan melalui doa setiap hari, menanyakan kepada
anak bagaimana Tuhan terlibat dalam aktivitasnya sehari-hari, memberikan
kesadaran kepada anak bahwa Tuhan akan membimbing kita apabila kita meminta. menyuruh
anak merenungkan bahwaTuhan itu ada dalam jiwa mereka dengan cara menjelaskan
bahwa mereka tidak dapat melihat diri mereka tumbuh atau mendengar darah mereka
mengalir, tetapi tahu bahwa semua itu sungguh-sungguh terjadi sekalipun mereka
tidak melihat apapun.
BAB
III
SIMPULAN
A.
Kesimpulan
Perkembangan tidaklah terbatas pada
pengertian pertumbuhan yang semakin membesar, melainkan didalamnya juga
terkandung serangkaian perubahan yang berlangsung secara terus-menerus dan
bersifat tetap dari fungsi-fungsi jasmaniah dan rohaniah yang dimiliki individu
menuju ke tahap kematangan melalui pertumbuhan, kemasakan dan belajar. Perkembangan
moral adalah perkembangan yang berkaitan
dengan aturan dan konvensi mengenai apa yang seharusnya dilakukan oleh manusia
dalam interaksinya dengan orang lain. Anak-anak ketika dilahirkan tidak
memiliki moral (imoral) akan tetapi dalam dirinya terdapat potensi moral yang
siap untuk dikembangkan. Karena itu, melalui pengalamannya berinteraksi dengan
orang lain (orang tua, saudara, teman sebaya atau guru), anak belajarr memahami
tingkah laku mana yang buruk atau tidak boleh dilakkan dan mana yang baik atau
boleh dilakukan. Moral merupakn suatu
kebutuhan penting bagi remaja, terutama sebagai pedoman menemukan idenditas
dirinya, mengembangkan hubungan personal yang harmonis dan menghindari
konflik-konflik peran yang selalu terjadi dalam masa transisi.
Kata spiritualitas
berasal dari bahasa Inggris yaitu “spirituallity” kata dasarnya adalah “spirit”
yang berarti: “roh, jiwa, semangat” (Echols & Shadily;1997 dalam
Perkembangan Peserta Didik;2009). Kata “spirit” sendiri berasal dari bahasa
latin “spiritus” yang berarti: “luas atau dalam (breath), keteguhan hati atau
keyakinan (courage), energi atau semangat (vigor) dan kehidupan (Ingersol;1994
dalam Perkembangan Peserta Didik;2009). Kata sifat spiritual berasal dari kata
latin “spitualitas” yang berarti “of the spirit” (kerohanian).
Karakteristik kebutuhan spiritual meliputi kepercayaan,
pemaafan, cinta dan hubungan, keyakinan, kreativitas dan harapan, maksud dan
tujuan serta anugrah dan harapan. Strategi yang mungkin dapat dilakukan guru di
sekolah dalam membantu perkembangan moral dan spiritual peserta didik adalah memberikan
pendidikan moral dan keagamaan melalui kurikulum tersembunyi (hidden curriculum), memberikan
pendidikan moral langsung (direct moral
education), memberikan pendekatan moral melalui pendekatan klarifikasi
nilai (values clarification), menjadikan
pendidikan wahana yang kondusif bagi peserta didik untuk menhayati agamanya,
tidak hanya sekedar bersifat teoritis, tetapi penghayatan yang benar-benar
dikontruksi dari pengalaman keberagaman,
membantu peserta didik mengembangkan rasa ketuhanan melalui pendekatan spiritual parenting.
B.
SARAN
Masalah
moral dan spiritual adalah masalah klasik namun mendasar dewasa ini. bukan
persoalan sepele untuk menanamkan dan menumbuhkan moralitas pada anak. Di
Indonesia sekarang ini degradasi moral amat sangat gamblang terlihat. Entah
sejak kapan dan salah siapa itu adalah pertanyaan yang sulit untuk di jelaskan.
Namun, kami pada khususnya dan kita pada umumnya seharusnya tersadar dan mulai
bertindak untuk melawan degrarasi moral yang sekarang ini sedang menjamur.
Melawan dengan cara minimal menanamkan sikap taat moralitas pada diri kita
sendiri. Kemudian setelah diri kita memiliki moral yang baik baru kita bisa
turut menanamkan dan mengembangkan moral terhadap diri orang lain, terutama
peserta didik. Karena di tangan merekalah masa depan bangsa ini bergantung.
Dimulai dari diri sejak dini, hal kecil dan diri kita sendiri. Siapa kalau
bukan kita, dimana kalau bukan disini dan kapan bila titak sekarang.
DAFTAR
PUSTAKA
Desmita.
2011. Psikologi Perkembangan Peserta
Didik. Bandung : Remaja Rosdakarya.
Hartono,
Agung dan Sunarto. 2008. Perkembangan
Peserta Didik. Jakarta : PT Rineka Cipta.
Kaelani.
2010. Pendidikan Pancasila.
Yogyakarta : Paradigma
Sunar,
Dwi dan Tim (Ed). (2011). Membaca Kepribadian Orang. Yogyakarta : Think
Sungkar,
Farida Salim. 2011. Bahan Ajar Psikologi
Perkembangan 1. Yogyakarta : FKIP UPY.
0 komentar:
Posting Komentar