Minggu, 24 November 2013

Asal Mula istilah Narsis




Konsep dan istilah narsisisme atau narsisistik berawal dari mitologi Yunani kuno tentang seorang pemuda tampan yang bernama Narsisus. Narsisus adalah putra dewa sungai, Cephissus. Pada saat itu Echo, seorang dewi yang tidak bisa berbicara, jatuh cinta kepadanya. Namun Narcisus bertindak kejam dan menolak cinta Echo. Pada suatu hari, Narsisus melewati sebuah danau yang sangat bening airnya dan melihat pantulan dirinya sendiri. Narsisus sangat mengagumi dan jatuh cinta pada pantulan itu. Narsisus sangat ingin menjamah dan memiliki wajah yang dilihatnya, tapi setiap kali mengulurkan tangannya untuk meraih pantulan itu, bayangan itu kemudian menghilang.
Narsisus tetap menunggu di tepi danau untuk mendapatkan bayangan yang menjadi obyek kekagumannya sampai mau menceburkan dirinya sendiri ke dalam danau dan akhirnya mati. Para dewa merasa kasihan padanya, sehingga Narsisus ditranformasikan menjadi tumbuhan berbunga yang diberi nama Narsisus berwarna kuning cerah, dan dikenal juga dengan nama Yellow Daffodil. Mitologi ini digunakan dalam Psikologi pertama kalinya oleh Sigmund Freud (1856-1939) untuk menggambarkan individu-individu yang menunjukkan cinta diri yang berlebihan. Freud menamakan “The narsissists” dan pelakunya disebut individu narsisistik atau seorang narsisis (http://www.psikologiums.net).
Lebih lanjut Fromm berpendapat, narsisme merupakan kondisi pengalaman seseorang yang dia rasakan sebagai sesuatu yang benar-benar nyata hanyalah tubuhnya, kebutuhannya, perasaannya, pikirannya, serta benda atau orang-orang yang masih ada hubungan dengannya. Sebaliknya, orang atau kelompok lain yang tidak menjadi bagiannya senatiasa dianggap tidak nyata, inferior, tidak memiliki arti, dan karenanya tidak perlu dihiraukan. Bahkan, ketika yang lain itu dianggap sebagai ancaman, apa pun bisa dilakukan, melalui agresi sekalipun (Pikiran Rakyat, 14/04/2003).
Menurut Spencer A Rathus dan Jeffrey S Nevid dalam bukunya, Abnormal Psychology (2000), orang yang narcissistic atau narsistik memandang dirinya dengan cara yang berlebihan. Mereka senang sekali menyombongkan dirinya dan berharap orang lain memberikan pujian. Menurut Rathus dan Nevid (2000) dalam bukunya, Abnormal Psychology orang yang narsistik memandang dirinya dengan cara yang berlebihan, senang sekali menyombongkan dirinya dan berharap orang lain memberikan pujian (Kompas, Jumat, 01 April 2005).
Sedangkan menurut Papu (2002) yang mengutip DSM-IV (Diagnostic and Statistical Manual of Mental Disorders – Fourth Edition) orang yang narsistik akan mengalami gangguan kepribadian, gangguan kepribadian yang dimaksud adalah gangguan kepribadian narsisistik atau narcissistic personality disorder. Gangguan kepribadian ini ditandai dengan ciri-ciri berupa perasaan superior bahwa dirinya adalah paling penting, paling mampu, paling unik, sangat eksesif untuk dikagumi dan disanjung, kurang memiliki empathy, angkuh dan selalu merasa bahwa dirinya layak untuk diperlakukan berbeda dengan orang lain.
Lebih lanjut menurut Menurut Sadarjoen (2003) yang mengutip Mitchell JJ dalam bukunya,The Natural Limitations of Youth, ada lima penyebab kemunculan narsis pada remaja, yaitu adanya kecenderungan mengharapkan perlakuan khusus, kurang bisa berempati sama orang lain, sulit memberikan kasih sayang, belum punya kontrol moral yang kuat, dan kurang rasional. Kedua aspek terakhir inilah yang paling kuat memicu narsisme yang berefek gawat.
Dari uraian diatas dapat disimpulkan bahwa perilaku narsistik ditandai dengan kecenderungan untuk memandang dirinya dengan cara yang berlebihan, senang sekali menyombongkan dirinya dan berharap orang lain memberikan pujian selain itu juga tumbuh perasaan paling mampu, paling unik.

sumber : duniapsikologi

0 komentar: