Di Indonesia, Lesbianisme rupanya
berkembang cukup pesat dalam wilayah sosial kemasyarakatan. Kalau dulu, perempuan
lesbi sebisa mungkin menyembunyikan jati dirinya, tapi saat ini mereka
berhimpun dalam wadah atau organisasi yang semua orang bisa mengetahuinya.
Lihat saja, grup-grup lesbian yang bertebaran di Facebook maupun situs-situs
dewasa lainnya. Lantas pertanyaannya, apakah Lesbianisme saat
ini menjadi gaya hidup? Bukankah lesbian merupakan abnormalitas
atau penyimpangan seksual? Sebelum menyimpulkan, Blog Dunia Psikologi akan mencoba
menelisik apa itu lesbianisme.
Psikolog John Buss memperkirakan bahwa 2% dari wanita adalah
seorang lesbian (Buss, 2004). Mungkin tidak lagi! Survei terbaru dari gadis
remaja dan wanita muda menemukan bahwa sekitar hampir 15% perempuan muda saat
ini mengidentifikasi dirinya sebagai lesbian, dibandingkan dengan sekitar 5%
laki-laki muda yang mengidentifikasi sebagai gay (Ritch Savin-Williams and
Geoffrey L. Ream, 2007).
Para peneliti di Cornell University, mengumpulkan sampel
yang representatif dari wanita muda yang mencakup lebih dari 20.000 orang di 80
komunitas di seluruh Amerika Serikat, menemukan bahwa 85,1% wanita muda
diidentifikasi sebagai heteroseksual; 0,5% melaporkan tidak ada identitas
seksual; dan 14,4% sisanya adalah lesbian atau biseksual. Di antara pria muda,
94,0% mengidentifikasi diri mereka sebagai heteroseksual, 0,4% pria melaporkan
tidak ada identitas seksual; dan 5,6% sisanya diidentifikasi sebagai gay atau
biseksual.
Jangan khawatir penelitian tsb di Amerika. Proporsi di
Indonesia bisa jadi lebih sedikit atau malah lebih tinggi, karena tentu budaya
(kebiasaan, lingkungan, agama, dll) sangat mempengaruhi penelitian yang
melibatkan orientasi seksual. Seperti yang terlihat di Eropa, misalnya, di
Norwegia, lebih dari 20% anak perempuan dan wanita muda diidentifikasi sebagai
lesbian (L. Wichstrøm and K. Hegna, 2003)
Lesbianisme sendiri berasal dari kata Lesbos.
Lesbos adalah sebutan bagi sebuah pulau ditengah Lautan Egeis, yang pada zaman
kuno dihuni oleh para wanita (dalam Kartono, 1985). Homoseksualitas dikalangan
wanita disebut dengan cinta yang lesbis ataulesbianisme.
Memang, pada usia pubertas, dalam diri individu muncul predisposisi (pembawaan,
kecenderungan) biseksuil, yaitu mencintai seorang teman puteri, sekaligus
mencintai teman seorang pria.
Psikologi adalah salah satu disiplin pertama yang melakukan
studi homoseksualitas sebagai sebuah fenomena. Sebelum dan selama sebagian
besar abad ke-20, psikologi melihat homoseksualitas sebagai model perilaku yang
patologis. Sebelum tahun 1970an, banyak penelitian psikologi menyimpulkan bahwa
homoseksual merupakan perilaku yang abnormal. Sebagian besar subyek penelitian
adalah laki-laki gay dan lesbian; subyek penelitian mayoritas diambil dari
penjara, rumah sakit jiwa dan konsultasi psikolog. Penelitian ini banyak
dikritik karena sampel yang diambil adalah subyek yang ‘tertekan’, orang-orang
miskin, gaya hidup minoritas, dsb, bukan mewakili sebuah populasi.
Diawali dengan protes para aktivis gay yang dibantu oleh
banyak psikiatris menyelenggarakan konvensi di San Francisco yang membahas
hak-hak kaum gay. Pada pertengahan 1970an, telah terjadi pergeseran penting
dalam psikologi tentang homoseksual, yang beranggapan bahwa homoseksual dan
lesbian berada dalam kisaran ‘normal’ perilaku manusia. Puncaknya adalah
homoseksual dibuang dari American Psychiatric Association’s (APA) Diagnostic
and Statistical Manual of Mental Disorders (DSM), atau yang lebih dikenal
dengan DSM-III.
Data dari peneliti seperti Alfred Kinsey dan Evelyn Hooker,
dan setelah pemungutan suara oleh para komite APA pada tahun 1973, yang
dikonfirmasi oleh keanggotaan APA tahun 1974, menyimpulkan bahwa homoseksual bukan
lagi termasuk gangguan mental, melainkan “gangguan orientasi seksual
(sexual orientation disturbance) (Spitzer R.L., 1981).”
Pada tahun 1975, American Psychological Association (APA)
merilis kebijakan resmi bahwa homoseksualitas bukan merupakan gangguan mental (mental
disorders), dan mendesak profesional kesehatan mental untuk mengambil
langkah untuk menghilangkan stigma ‘penyakit jiwa’ yang telah lama dikaitkan
dengan seorang gay dan lesbian.
Banyak yang mengira dari fisik jika perempuan tomboy
kebanyakan adalah seorang lesbian, tentu saja tidak. Lebih dari 16% perempuan
heteroseksual juga melaporkan tomboys menjadi sebagai anak perempuan. Hanya
3-4% dari laki-laki heteroseksual melaporkan ‘menjadi’ banci ketika muda. Jadi
jika anda disebut banci (mengingatnya dan bersedia mengakuinya) adalah prediktor
yang lebih kuat menjadi homoseksual daripada yang disebut sebagai gadis tomboy.
Mendefinisikan baik aktivitas seksual maupun identitas
sosial seorang lesbian sampai saat ini memang terus diperdebatkan. Menurut
penulis feminis, Naomi McCormick (1994), indikator orientasi seksual seorang
lesbian adalah pengalaman seks dengan wanita lain. Namun, McCormick menyatakan
menolak seks bebas antar wanita, dimana lebih mengedepankan hubungan emosional,
dukungan, sensitivitas, dan kedekatan idealis antar perempuan adalah sebagai
bagian terpenting daripada hubungan seksual. Pandangan para lesbian feminis
(Anti-Pornography Feminism) ini sebetulnya pernah ditentang sebelumnya oleh
lesbian yang lebih berorientasi seksual (‘Pro-Sex’ Feminism) pada 1980an, yang
terkenal dengan “Sex Wars” (Duggan, Lisa and Nan D. Hunter. 2006).
Banyak dari kita yang penasaran tentang orientasi seksual
seorang lesbian. Apa yang membuat orang lesbian? Tidak persis diketahui apa
yang menyebabkan seseorang menjadi gay dan lesbian, tetapi penelitian
menunjukkan bahwa hal ini didasarkan pada faktor biologis individu. Orientasi
seksual biasanya terlihat mulai pubertas. Meskipun orientasi seksual mulai
berkembang sebelum kelahiran, cenderung berubah selama hidup seseorang. Naum
ada pula yang menganggap faktor lingkungan yang lebih dominan.
Dahulu, untuk mengetahui orang tersebut lesbian atau gay
digunakan alat ukur yang disebut Kinsey Scale. Alfred Kinsey (ahli
psikologi yang turut memperjuangkan hak-hak gay) mengembangkan Kinsey Scale
sebagai cara untuk menggambarkan orientasi seksual seseorang. Kinsey menemukan
bahwa banyak orang tidak secara eksklusif gay atau lesbian, tetapi orientasi
seksual mereka dapat di antara keduanya. Kategori-kategori Skala Kinsey antara
lain :
0 — exclusively heterosexual
1 — predominantly heterosexual, infrequently homosexual
2 — predominantly heterosexual, but more than infrequently homosexual
3 — equally heterosexual and homosexual (bisexual)
4 — predominantly homosexual, but more than infrequently heterosexual
5 — predominantly homosexual, infrequently heterosexual
6 — exclusively homosexual
1 — predominantly heterosexual, infrequently homosexual
2 — predominantly heterosexual, but more than infrequently homosexual
3 — equally heterosexual and homosexual (bisexual)
4 — predominantly homosexual, but more than infrequently heterosexual
5 — predominantly homosexual, infrequently heterosexual
6 — exclusively homosexual
Hari ini, banyak peneliti menganggap Skala Kinsey terlalu
sederhana. Mereka berpendapat bahwa orientasi seksual setiap orang mungkin
lebih kompleks dari label dasar yang diberikan Kinsey. Setiap orang berbeda dan
orientasi seksual setiap orang adalah unik. Orang dapat memilih untuk label
orientasi seksual mereka yang mereka inginkan (menjadi gay, lesbi atau
biseksual) dan banyak orang memilih tidak untuk label sama sekali (AntiSeks). Seperti
kebanyakan orang di budaya barat, yang diajarkan bahwa heteroseksualitas adalah
kualitas bawaan dalam semua orang. Ketika seorang wanita menyadari daya tarik
seksual dan romantis wanita lain, lantas mengadopsi identitas lesbian,
menantang apa yang masyarakat tawarkan dalam stereotip tentang heteroseksual.
Lantas apakah Lesbianisme merupakan sebuah gaya hidup
ataukah abnormalitas seksual? Banyak kritik membangun yang diberikan pada Blog
Dunia Psikologi saat menulis artikel ini. Sebelumnya kami juga mengklarifikasi
tidak pernah menyebutkan lesbian adalah gangguan mental (mental disorder). Bagi
banyak pembaca, kata Abnormalitas Seksual mungkin dianggap sama dengan Gangguan
Mental (Mental Disorder). Padahal tidak ada maksud sedikitpun untuk menyamakan lesbian
sebagai gangguan mental.
Kami menyerahkan sepenuhnya kepada pembaca, dan yang mesti
di ingat sebelum menyimpulkan adalah pada faktanya kaum lesbi menjadi sebuah
gaya hidup para wanita ketika issue gender semakin menguat. Menuduh mereka
abnormalitas secara seksual juga terlalu naif, karena belum ada penelitian
lesbian di Indonesia. Bisa jadi semakin banyaknya lesbian Indonesia karena
‘ketidakmampuan’ laki-laki menempatkan perempuan dalam tempat yang seharusnya.
Allah Bissawab.
Rujukan :
Spitzer R.L. 1981. The diagnostic status of homosexuality in
DSM-III: a reformulation of the issues. The American Journal of Psychiatry.
PMID.
Buss, David. 2004. Evolutionary Psychology: The New Science
of the Mind. Pearson
Savin-Williams RC, Ream GL. 2007. Prevalence and stability
of sexual orientation components during adolescence and young adulthood.
Archives of Sexual Behavior, volume 36. International Academy of Sex Research
Wichstrøm, L. and Hegna, K. 2003. Sexual orientation and
suicide attempt: A longitudinal study of the general Norwegian adolescent
population,” Journal of Abnormal Psychology, volume 112.
McCormick, Noami. 1994. Sexual Salvation: Affirming Women’s
Sexual Rights and Pleasures, Praeger Publishers.
Duggan, Lisa and Nan D. Hunter. 2006. Sex Wars: Sexual
Dissent and Political Culture. New York City: Routledge.
Kartini Kartono. 1985. Psikologi Abnormal & Pathologi
Seks. Penerbit Alumni. Bandung
0 komentar:
Posting Komentar