BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Persepsi
dan kognisi merupakan suatu proses psikologis yang sangat dipengaruhi oleh
berbagai macam hal. Kognisi pada dasarnya ialah sebuh proses berpikir yang di
dalamnya terdapat berbagai macam aspek, yaitu pencarian, penerimaan, pemaknaan,
penyimpanan, dan bagaimana menggunakan informasi-informasi tersebut. Proses
psikologis lain yang berperan dalam proses ini ialah persepsi, yaitu kemampuan
seorang individu memberi makna pada informasi-informasi yang telah diperolehnya.
Hubungan
dan pengaruh budaya ini tentu sangat menentukan perbedaan dan persamaan
persepsi atas proses berpikir seorang individu. Individu dibesarkan sesuai
dengan nilai-nilai tertentu yang berlaku dalam masyarakatnya dan diturunkan
secara turun-temurun. Nilai-nilai yang dianut inilah yang sangat menentukan
bagaimana seseorang dapat mempersepsi objek-objek yang ditangkap melalui proses
kognisinya. Misalkan ketika ia menerima informasi tentang maraknya ibu-ibu yang
bekerja sebagai wanita karier yang sukses dan secara tidak langsung keluarganya
sedikit terbengkalai, maka seorang individu akan mempersepsikannya secara
berbeda. Mungkin bagi sebagian orang yang masih menganut sistem budaya
konvesional (seorang dengan budaya jawa namun masih memegang teguh ajaran budayanya)
akan menganggap bahwa hal itu tidak dibenarkan menurut persepsinya. Seperti
yang dijelaskan oleh Umar Kayam (2008) dalam
www.kompas.com
bahwa wanita merupakan teman belakang atau dalam bahasa jawa disebut sebagai kanca wingking yang merupakan
pengembangan dialektika budaya adiluhung
yaitu seorang yang bertugas menjaga nilai-nilai luhur di dalam rumah. Hal itu
mungkin akan dipersepsi lain oleh orang dari latar belakang budaya yang
berbeda.
Berdasarkan
latar belakang inilah, maka kami akan mengupas lebih jauh mengenai kognisi,
persepsi, serta hubungan budaya dengan kedu proses tersebut.
B.
Rumusan
Masalah
·
Apakah
definisi kognisi?
·
Apakah
definisi persepsi?
·
Apakah
terdapat hubungan antara kognisi
dan intelegensi?
C.
Maksud dan Tujuan
·
Memberikan pemahaman mengenai
definisi kognisi
·
Memberikan pemahaman mengenai
definisi persepsi
·
Memberikan pemahaman mengenai
hubungan kognisi dan
intelegensi
BAB II
PEMBAHASAN
A. PENGERTIAN
Kata Intelegensi
atau kecerdasan berasal dari bahasa latin intellegentia, yang pertama kali
digunakan oleh seorang ahli pidato dari Romawi yaitu Cicero. Dalam pandangan
orang Amerika, intelegensi adalah sejumlah kemampuan, keahlian, talenta, dan
pengetahuan, yang keseluruhannya merujuk pada kemampuan kognitif dan proses mental. Yang terlingkup dalam
intelegensi adalah memory (seberapa baik dan seberapa banyak serta berapa lama
kita mengingat suatu informasi), kekayaan kosakata (berapa banyak kosakata yang
kita ketahui dan mampu gunakan dengan tepat), kemampuan komprehensif (seberapa
baik kita memahami serangkaian ide dan pernyataan), kemampuan matematis
(penambahan, pembagian dan sebagainya), serta berfikir logis (seberapa baik
kita menangkap keurutan suatu peristiwa dan melogikannya).
Banyak teori yang
telah dibangun para psikolog untuk menjelaskan intelegensi. Mulai dari yang
klasik, piaget yang melihat intelegensi berkembang dalam tahapan-tahapan yang
jelas hingga Stenberg (1986) yang
membagi intelegensi dalam tiga komponen besar, yaitu kecerdasan contextual,
experiential, dan componental.
Kecerdasan contextual adalah kemampuan untuk beradaptasi dengan suatu
lingkungan, memecahkan masalah dalam suatu situasi yang sppesifik. Kecerdasan
eksperential merujuk pada kemampuan untuk merumuskan ide-ide baru yang
mengkombinasikan fakta-fakta yang saling tidak berhubungan. Sedangkan
kecerdasan componential dipahami sebagai kemampuan berfikir abstrak, memproses
informasi, atau memutuskan apa yang harus dilakukan. Dalam hubungan antara
kecerdasan dan kebudayaan dapat dilihat dari tiga sudut pandang, yaitu: sudut
pandang relatifitas yang menyatakan bahwa intelegensi berasal dari dalam
eksistensi yang spesifik dari satu konteks kebudayaan dan intelegensi dan kebudayaan hubungannya
sangat erat sehingga ketika ada usaha untuk membandingkannya itu hanya sia-sia.
sudut pandang ke-dua yaitu absolut yang membahas bahwasanya secara global
proses-proses konitif itu sama, yang menekankan kognitif berproses secara alami
(tidak tergantung dengan satu apapun) dan proses dasar intelektual. ke-tiga
dari sudut pandang universal berpegangan bahwasanya dasar proses-proses
kognitif adalah secara universal tetapi dibantah bahwasanya wujud dari
proses-proses itu merupakan pertukaran yang terjadi secara baik anatar
kebudayaan-kebudayaan (ngobrolpsikologi.blogspot.com)
Menurut Edward Lee
Thorndike intelegensi adalah kemampuan dalam memberikan respon yang baik dari
pandangan kebenaran atau fakta (ngobrolpsikologi.blogspot.com).
Menurut Alfred binet
mendefinisikan intelegensi terdiri dari tiga komponen yaitu kemampuan untuk
mengarahkan fikiran atau mengarahkan tindakan, kemampuan untuk mengubah arah
tindakan bila tinadakan itu telah dilaksanakan, dan kemampuan untuk mengkritik
diri sendiri atau melakukan autocraticism (ngobrolpsikologi.blogspot.com).
David Wechsler mula-mula
mengatakan bahwa intelegensi intelegensi sebagai kapasitas untuk mengerti
lingkungan dan kemampuan akal budi untuk mengatasi tantangan-tantangannya. pada
kesempatan yang lain ia juga mengatakan bahwa intelegensi adalah kemampuan
untuk bertindak sacara terarah, berfikir secara rasional dan menghadapi
lingkungan secara efektif (ngobrolpsikologi.blogspot.com).
Kognisi
adalah istilah umum yang mencakup seluruh proses mental yang mengubah
masukan-masukan dari indera menjadi pengetahuan (Matsumoto, 2008). Menurut Tri Dayakisni (2008) salah satu proses dasar kognisi ialah
pemberian kategori pada setiap benda atau obyek atas dasar persamaan dan
perbedaan karakternya. Selain kedua hal di atas, pemberian kategori juga biasanya
didasarkan pada fungsi dari masing-masing objek tersebut.
Proses-proses
mental dari kognisi mencakup persepsi, pemikiran rasional, dan seterusnya. Ada
beberapa aspek kognisi, yaitu kategorisasi (pengelompokkan), memori (ingatan)
dan pemecahan masalah (problem solving).
v Budaya dan Memori
Memori ialah proses pengolahan informasi dalam kognitif yang meliputi
pengkodean, penyimpanan, pemanggilan kembali informasi-informasi tersebut.
Dalam hubungannya dalam penyimpanan dan pemanggilan kembali informasi-informasi
tersebut, memori dibedakan menjadi memori jangka pendek (short term memory) yang jangka waktu menyimpan informasi tidak
lebih dari 15-25 detik dan memori jangka panjang (long term memory) atau memori yang menyimpan informasi relatif
permanen meskipun kadang ada kesulitan dalam memanggilnya kembali (Dayakisni,
2008).
Ross dan Millson (Matsumoto dalam
Dayakisni, 2008) melakukan sebuah penelitian dengan membandingkan daya ingat
pelajar Amerika dan pelajar Ghania. Mereka menduga bahwa tradisi oral membuat
orang lebih baik dalam kemampuan daya ingatnya. Penelitian mereka ini ialah
dengan membacakan cerita dengan suara yang keras dan membandingkan bahwa
pelajar Ghania secara umum dapat mengingat isi cerita lebih baik daripada
pelajar Amerika. Masih dalam Matsumoto (1996), Cole (1971) menemukan hal lain
bahwa sekalipun masyarakat non-literate dapat mengingat isi cerita lebih baik
namun kemampuan mereka dalam mengingat daftar kata cenderung lebih lama.
Serial
Position Effect merupakan salah satu aspek memori yang paling dikenal
karena pada hipotesa ini juga menerangkan bahwa seorang individu akan mampu
mengingat lebih baik bagian pertama yang dibaca (primary effect) atau bacaan terakhir dari daftar kata yang harus
diingat (recency effect). Meskipun
demikian Wagner (dalam Matsumoto, 1996 dalam Dayakisni, 2008) menjelaskan bahwa
primary effect ini juga berhubungan
dengan pendidikan. Ia membandingkan kelompok anak Moroccan antara yang sekolah
dan yang tidak pernah mendapat pendidikan. Hasilnya ialah primary effect cenderung lebih kuat pada anak yang pernah mengenyam
pendidikan.
v Budaya dan Problem Solving
Proses menyelesaikan masalah atau problem
solving ini merupakan sebuah usaha yang digunakan untuk menemukan urutan
yang benar dari alternatif-alternatif penyelesaian suatu masalah dengan
mengarah pada satu tujuan pemecahan yang ideal. Penyelesaian masalah ini
biasanya juga sangat tergantung dari pendidikan dan pengalaman-pengalaman yang
kita temukan dalam kehidupan sehari-hari. Banyak sekali teori-teori psikologi
yang telah mencoba menjelaskan mengenai problem
solving ini, namun banyak juga yang akhirnya meneliti mengenai pengaruh
budaya dengan problem solving
terhadap masalah-masalah yang tidak biasa ditemui dalam kehidupan sehari-hari.
Cole (dalam Dayakisni, 2008) memberi kesimpulan akhir pada penelitiannya
bahwa orang Liberia menyelesaikan masalah mereka dengan berpikir logis akan
menyesuaikan dengan konteks permasalahannya. Ketika masalah yang diberikan
merupakan sebuah konsep dan mengunakan material yang sudah mereka kenal, maka
orang Liberia akan mampu berpikir logis sama baiknya dengan orang Amerika.
Ketika masalah yang akan dihadapinya tidak pernah ia temui sebelumnya, maka
mereka cenderung mengalami kesulitan mengenai langkah-langkah awal dari
penyelesaian masalah tersebut. Dalam perbandingan ini, namun tidak dapat
dikatakan bahwa orang Liberia mempunyai problem
solving yang lebih rendah dibandingkan dengan orang Amerika, karena mungkin
saja orang Amerika juga akan memiliki problem solving tidak sebaik orang
Liberia ketika dihadapkan pada masalah-masalah yang belum pernah ditemui sebelumnya.
Penelitian yang dilakukan oleh Cole ini
mendapat berbagai macam respon karena dinilai adanya bias-bias budaya dalam
percobaannya sehingga ia perlu melakukan tiga kali percobaan untuk sampai pada
kesimpulan yang telah disampaikan sebelumnya. Percobaan-percobaan yang
dilakukan Cole antara lain :
·
Pada percobaan 1 ini ia
menggunakan sebuah piranti yang memiliki banyak tombol, panel, dan lubang
sehingga untuk dapat membuka piranti tersebut (dan mendapat hadiah yang ditaruh
di dalamnya), ia harus mampu mengkombinasikan berbagai tombol dan merancang
penyelesaian-penyelesaian lain untuk membuka piranti tersebut. Prosedur yang
terdapat dalam penelitian ini iallah : (1) kemampuan menekan tombol yang tepat
untuk dapat melepas kelerang; (2) memasukkan kelerang ke dalam lubang yang
tepat agar panel dapat terbika dan selanjutnya piranti pun akan terbuka. Hasil
penelitian menunjukkan bahwa orang Amerika yang berusia di bawah 10 tahun tidak
mampu menyelesaikannya dengan mudah, namun pada orang dewasa Amerika, mereka
dapat mengkombinasikan berbagai penyelesaian sehingga dapat menyelesaikannya
dengan mudah. Hal ini tidak ditemukan pada subjek-subjek orang Liberia , baik
pada usia muda maupun usia dewasa. Hal yang dirasa menjadi bias dalam
penelitian ini ialah orang Amerika yang dianggap lebih familiar dengan
penggunaan alat-alat yang menggunakan banyak tombol dibandingkan dengan orang
Liberia. Oleh karena itu, Cole melakukan penelitian yang kedua.
·
Pada percobaan kedua ini, Cole
menggunakan alat percobaan kotak terkunci beserta kunci-kuncinya. Hal ini
dirasa kurang bias karena pertimbangan bahwa orang Liberia juga telah familiar
terhadap hal-hal semacam ini. Prosedur dalam menyelesaikan masalah pun masih
sama dengan percobaan pertama. Hasilnya menunjukkan bahwa orang Liberia mampu
menyelesaikannya dengan baik dan menggunakan waktu yang hampir sama dengan
orang Amerika.
·
Percobaan ketiga yang dilakukan
ialah prosedur gabungan dari percobaan pertama dan percobaan kedua. Subjek
diminta membuka kotak dengan kunci-kunci yang harus diambil dari piranti yang
tertutup. Langkah yang harus dilakukan untuk membuka piranti tersebut ialah
menekan tombol yang tepat, mengambil kelereng, dan memasukkan kelereng pada
lubang yang tepat pula. Hasil pada percobaan ketiga ini sama dengan hasil pada
percobaan pertama.
B. PERSEPSI
Kalau berbicara tentang persepsi, kita biasanya menganggap bahwa kita
bisa melihat hal-hal yang benar-benar faktual atau nyata di dunia sekitar kita.
Menurut Matsumoto (2008), dalam psikologi tradisional, sensasi dan persepsi
adalah tentang memahami bagaimana kita menerima stimulasi dari lingkungan dan
bagaimana kita memproses stimulus tersebut. Persepsi biasanya dimengerti
sebagai bagaimana informasi yang berasal dari organ yang tersetimulasi
diproses, termasuk bagaimana informasi tersebut diseleksi, ditata, dan
ditafsirkan. Persepsi mengacu pada proses di mana informasi inderawi
diterjemahkan menjadi sesuatu yang bermakna.
v Persepsi dan Realitas
Salah satu hal yang harus disadari
tentang persepsi adalah bahwa persepsi kita atas dunia belum tentu mewakili
secara persis realitas fisik dunia atau indera kita. Poinnya di sini adalah
bahwa persepsi kita tentang dunia yang “penuh” tidak selalu cocok dengan
realitas fisik dan sensasi yang kita terima lewat sistem penglihatan kita.
Contohnya adalah saat kita menutup satu mata kita, dan kita tetap bisa
mengalami atau melihat dunia seolah-olah utuh. Meski ada satu area yang darinya
mata kita tidak menerima cahaya, kita tidak bisa “melihat” bagian visual itu
sebagai sesuatu yang hilang. Otak kitalah yang mengisinya sehingga seolah-olah
seluruh wilayah visual kita bisa terlihat.
Selain itu, pengalaman sehari-hari
kita dengan temperatur dan sentuhan juga menunjukkkan fenomena ini. Hal itu
bisa terbukti pada eksperimen seperti berikut: Isilah tiga mangkuk dengan air ─
satu mangkuk dengan air panas, satu dengan air es, dan satu lagi dengan air
hangat. Masukkan tangan kita ke dalam mangkuk berisi air panas untuk beberapa
detik, dan kemudian pindahkan ke air hangat. Air itu akan terasa dingin. Tunggu
beberapa menit; setelah itu masukkan tangan kita ke dalam air es, dan kemudian
ke air hangat lagi. Air itu akan terasa hangat. Temperatur air yang hangat itu
tidak berubah. Yang berubah adalah persepsi kita tentangnya.
Seperti yang terdapat pada Dayakisni (2008), kunci
jawaban masalah di atas adalah pengalaman. Seperti yang diungkapkan para
pengagum teori-teori empiris, manusia akan secara terus-menerus melakukan
interpretasi terhadap tanda-tanda (dunia) dan dengan mudah tersesat oleh
pengalaman terdahulu untuk melakukan phenomenal
absolutism (bahwa manusia secara naif mengambil kesimpulan dari apa yang
dirasakan dan bukan dari realitas sebenarnya). Dari proses-proses tersebut
selanjutnya orang akan belajar bahwa dunia ini adalah dalam bentuk tiga
dimensi. Segall (dalam Dayakisni, 2008) menjelaskan bahwa persepsi bukanlah
stimulus penentu tetapi lebih merupakan produk dari interaksi antara stimulus
dengan pengalaman.
v Persepsi dan Pengalaman
Salah satu hal yang kita ketahui tentang
persepsi kita adalah bahwa persepsi itu berubah. Persepsi kita juga berubah
bila kita mengetahui lebih banyak tentang sesuatu. Contohnya, bagi kebanyakan
orang, apa yang ada di bawah kap mobil merupakan pemandangan campur aduk yang
tak rapi. Tapi bagi mereka yang mempelajari mesin, pemandangan itu akrab dan
terdeferensiasi menjadi benda-benda yang lebih spesifik ─ karburator, blok
mesin, alternator, dan lain-lain.
Selama beberapa tahun Chase dan Simon (Matsumoto, 2008) mempelajari orang-orang yang ahli dalam bidang
tertentu. Mereka secara konsisten menemukan bahwa ketika orang belajar lebih
banyak tentang sesuatu, mereka akan “melihatnya” secara berbeda dari saat
pertama kali melihatnya. Jadi, jelas sekali bahwa bagaimana kita akan “melihat”
sesuatu itu berubah seiring pengalaman kita dengan hal itu.
Bagaimana seseorang dari latar belakang budaya
yang sangat berbeda “melihat” sesuatu yang amat familier bagi kita? Dan
bagaimana kita akan “melihat” sesuatu yang familier bagi mereka dan asing bagi
kita? Untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan tersebut, seorang guru di Australia
mempunyai pengalaman menarik yang menunjukkan perbedaan kultural dalam persepsi
ini. Di sebuah sekolah untuk anak-anak suku Aborigin, guru ini sedang mencoba
mengajarkan sebuah permainan “who touched
me?”. Dalam permainan ini semua berdiri melingkar dan anak yang “jadi” akan
ditutup matanya. Kemudian ada satu anak dari lingkaran yang akan berjalan
diam-diam dan menyentuh anak yang tertutup matanya lalu kembali ke tempatnya.
Tutup mata itu dibuka dan anak yang “jadi” harus menebak siapa yang
menyentuhnya.
Guru itu melihat bahwa anak-anak Aborigin tidak
benar-benar ingin bermain. Meski begitu, mereka tetap melakukan permainan itu
untuk menghormati sang guru. Setelah permainan itu, sang guru menemukan bahwa
murid-muridnya menjadi tidak kooperatif dan enggan mencoba apapun yang ia
usulkan. Mereka menolak belajar alphabet. Guru itu pun mengira bahwa mereka
sedang berpura-pura bodoh atau nakal.
Sama halnya ketika guru menganggap anak-anak
Aborigin berpura-pura bodoh atau nakal, anak-anak suku Aborigin justru
menganggap gurunyalah yang bodoh. Anak-anak Aborigin itu bisa dengan mudah
melihat tapak kaki siapa yang ada di tanah dengan melihat sepintas. Jadi bagi
mereka guru itu telah meminta mereka untuk memainkan sesuatu yang bagi
anak-anak Aborigin sangat bodoh sampai mereka tak mengerti kenapa itu bisa
menjadi sebuah permainan.
v Persepsi Pengecapan
Kebanyakan orang pernah mengalami perubahan
kesukaan makanan. Sebagian alasannya barangkali terkait dengan perubahan
proporsi dari jenis-jenis saraf pengecapan di mulut (Matsumoto, 2008). Kita semua tahu bahwa anak-anak suka makanan yang manis dan bahwa mereka biasanya
sangat pilih-pilih dengan makanan secara umum. Sifat ini mungkin sebagian
disebabkan oleh kenyataan bahwa makanan yang sama punya rasa yang berbeda bagi
anak-anak dan orang dewasa. Contohnya, sebatang coklat mungkin akan terasa
terlalu manis bagi orang tua yang punya lebih saraf manis ketimbang saraf pahit
dan asam. Bagi anak berusia 3 tahun, yang punya lebih banyak saraf pahit
disbanding rata-rata orang dewasa, batang coklat yang sama mungkin akan terasa
sedikit pahit.
Beberapa penelitian juga dilakukan untuk
mengetahui perbedaan kemampuan mengecap yang diseabbkan oleh perbedaan budaya.
Doty (Berry dalam Dayakisni, 2008) melaporkan
kekurangmampuan orang-orang Kaukasia untuk mengecap subtansi yang mengandung
PTC (phenilthiocarbamide). Ia juga
menambahkan sekitar 30% orang Kaukasia dikatakan buta kecap atau lidah karena
kebiasaan mengecap subtansi-subtansi yang lebih kasar ketimbang subtansi yang
biasa dikecap orang-orang non-Kaukasia.
C.
PENGARUH-PENGARUH BUDAYA PADA
PERSEPSI VISUAL
v Pengetahuan Tradisional tentang Ilusi Visual
Ada banyak kajian psikologi di bidang persepsi
yang meneliti ilusi optik, yaitu persepsi yang mengandung diskrepansi atau
perbedaan antara kenampakan sebuah benda dengan benda itu sesungguhnya.
Seringkali, ilusi-ilusi optik terjadi karena asumsi-asumsi yang keliru tentang
karakteristik stimulus dari benda yang dipersepsi.
Salah satu ilusi optik yang paling popular
adalah ilusi Mueller-Lyer. Dalam ilusi ini ada dua garis yang masing-masing
memiliki tanda panah di ujungnya. Tanda panah pada salah satu garis itu
mengarah ke luar, menjauhi garisnya, sedangkan pada garis yang lain mengarah ke
dalam. Penelitian menunjukkan bahwa subjek-subjek yang melihat dua gambar
tersebut biasanya menilai bahwa garis dengan panah yang mengarah ke dalam
adalah yang lebih panjang. Tapi hal ini hanya ilusi, karena kedua garis itu
sebenarnya sama panjang.
Ilusi lain yang popular adalah ilusi
horizontal/vertikal. Dalam ilusi ini dua garis dengan panjang yang sama
ditempatkan secara saling tegak lurus. Ketika para subjek diminta menilai garis
mana yang lebih panjang, biasanya mereka memilih garis yang vertikal.
Ilusi ketiga yang
juga terkenal adalah ilusi Ponzo. Dalam ilusi ini dua garis horizontal
ditempatkan sejajar, satu di atas yang lain. Setelah itu ditarik dua garis
diagonal yang lebih rapat di ujung atas daripada di bawah. Ketika para subjek
melihat gambar ini, mereka biasanya mengatakan bahwa garis horizontal yang ada
di atas lebih panjang daripada garis horizontal di bawahnya. Tentu saja, kedua
garis tersebut sebenarnya sama panjang.
v Teori-teori Dominan tentang Ilusi Optik
Ada tiga teori utama yang dikembangkan untuk
menjelaskan efek ilusi optik, yaitu:
1. Carpentered World Theory atau Teori Lingkungan Buatan
Teori ini menyatakan bahwa orang, seperti hanlnya sebagian besar orang
Amerika, terbiasa melihat benda-benda yang berbentuk kotak. Tinggal di
lingkungan yang didominasi bentuk kotak, secara tak sadar kita cenderung
menduga akan bertemu dengan benda-benda dengan sudut atau pojok berbentuk
kotak. Kita sudah melakukan ini begitu lama sehingga kita tak lagi sadar bahwa
kita menafsirkan berbagai benda seolah-olah berbentuk persegi padahal stimulus
aktualnya tidak tegak lurus dengan mata kita. Kita hanya melihatnya seolah-olah
bentuknya “persegi”.
2. Front-Horizontal Foreshortening Theory atau Teori Pemendekan Horizontal-Depan
Teori ini menyatakan bahwa kita menafsirkan garis vertikal di mata kita
sebagai garis horizontal yang terentang sampai kejauhan. Dengan demikian, kita
akan menafsirkan garis vertikal pada ilusi vertikal/horizontal sebagai sebuah
garis yang terentang menjauhi kita. Sekali lagi, kita akan menduga bahwa sebuah
garis akan punya ukuran lebih panjang bila berada jauh dari kita. Karena itu,
kita melihat garis vertikal tersebut lebih panjang daripada yang horizontal,
yang tidak terlihat terentang menjauh.
3. Symbolizing – Three – Dimensions – in – Two -Dimensions atau Teori Menyimbolkan-Tiga-Dimensi-dalam-Dua-Dimensi
A.
PENELITIAN LINTAS-BUDAYA TENTANG
ILUSI VISUAL
Beberapa
penelitian lintas-budaya tentang persepsi visual menantang pemahaman-pemahaman
tradisional tentang ilusi optik. Bahkan sudah semenjak 1905, W.H.R. Rivers
membandingkan efek ilusi Muller-Lyer dan horizontal/vertikal pada kelompok dari
Inggris, pedesaan India, dan Papua Nugini. Ia menemukan bahwa orang Inggris
melihat dua garis pada ilusi Muller-Lyer lebih berbeda panjangnya daripada
orang-orang dari kelompok-kelompok lainnya. Ia juga menemukan bahwa orang India
dan Papua Nugini lebih tertipu oleh ilusi horizontal/vertikal daripada orang
Inggris.
Hasil-hasil
ini cukup mengejutkan. Sebelumnya, mereka yakin bahwa orang India dan Papua
Nugini lebih primitif dan akan lebih tertipu oleh ilusi-ilusi tersebut daripada
orang Inggris yang lebih berpendidikan dan lebih “beradab”. Tapi hasilnya
menunjukkan bahwa ada efek ilusi tersebut berbeda antarbudaya, dan bahwa ada
sesuatu selain pendidikan yang turut memengaruhi bagaimana orang tertipu oelh
ilusi-ilusi itu. Para peneliti itu kemudian menyimpulkan bahwa pasti ada
pengaruh budaya pada bagaimana kita “melihat” dunia.
Hasil-hasil
yang didapatkan Rivers tadi dapat dijelaskan dengan Teori Lingkungan Buatan
maupun Teori Pemendekan Horizontal-Depan. Pada Teori Lingkungan Buatan, akan
dinyatakan bahwa sebagian besar orang Amerika dan Inggris, dalam penelitian
Rivers, sudah terbiasa melihat benda-benda yang berbentuk persegi. Sebaliknya,
orang-orang di India dan Papua Nugini lebih terbiasa dengan lingkungan yang
lebih bundar dan ileguler. Terhadap ilusi Muller-Lyer, orang Inggris akan
cenderung melihatnya sebagai sudut-sudut persegi yang memproyeksikan kedalaman
ke arah menjauhi atau mendekati kita. Namun orang India dan Papua Nugini
tinggal di budaya di mana lingkungannya tidak terlalu banyak memuat benda-benda
buatan manusia. Kecenderungan mereka untuk membuat “kesalahan” perseptual dalam
hal ini lebih kecil daripada orang Inggris. Karena itulah orang Inggris lebih
sering salah dalam menafsirkan ilusi Muller-Lyer daripada orang India dan Papua
Nugini. Pada Teori Pemendekan Horizontal-Depan dapat membedakan perbedaan cultural
dalam penelitian Rivers. Di India dan Papua Nugini terdapat lebih sedikit
gedung yang menghalangi jarak pandang orang. Karena itu, orang India dan Papua
Nugini lebih mengandalkan petunjuk kedalaman daripada orang Inggris dan membuat
lebih banyak kesalahan dalam menilai gambar horizontal/vertikal. Sedangkan
Teori Menyimbolkan-Tiga-Dimensi-dalam-Dua-Dimensi menyatakan bahwa di
budaya-budaya Barat, orang lebih banyak memperhatikan hal-hal yang tertera di
atas kertas daripada orang dari budaya lain. Secara lebih khusus, orang Barat
menghabiskan lebih banyak waktu untuk belajar menafsirkan gambar daripada orang
dari budaya non-Barat. Karena itu orang-orang di Papua Nugini dan India lebih
sulit tertipu ilusi Muller-Lyer karena gambar tersebut lebih “asing” bagi
mereka. Tapi mereka akan lebih tertipu oleh ilusi horizontal/vertikal karena
hal itu lebih mewakili cara hidup mereka.
Untuk
melihat apakah temuan-temuan Rivers juga berlaku pada lebih banyak budaya
secara umum, Segall dkk (Matsumoto,
2008) membandingkan orang
dari tiga kelompok masyarakat industri dengan empat-belas kelompok masyarakat
non-industri pada ilusi Muller-Lyer dan horizontal/vertikal. Hasilnya
menunjukkan bahwa efek ilusi Muller-Lyer lebih kuat pada kelompok-kelompok
industri. Sebaliknya, efek ilusi horizontal/vertikal lebih kuat pada kelompok
non-industri. Mereka menemukan bahwa efek ilusi-ilusi tersebut menurun dan
hamper menghilang seiring pertambahan usia. Wagner (1977) mengkaji persoalan
ini dengan menggunakan beberapa versi ilusi Ponzo dan membandingkan jawaban
orang-orang dari lingkungan desa dan kota, yang sebagian melanjutkan pendidikan
dan sebagian tidak. Wagner menemukan bahwa ada pengaruh lingkungan perkotaan
dan pengalaman sekolah pada ilusi Muller-Lyer. Pollack dan Silvar (1967) menunjukkan
bahwa efek ilusi Muller-Lyer terkait dengan kemampuan untuk mendeteksi kontur,
dan kemampuan ini akan menurun seiring pertambahan umur. Untuk melihat teori
mana ─teori rasial ataukah teori pembelajaran lingkungan─ yang lebih benar,
Stewart (1973) menguji efek ilusi Muller-Lyer pada anak-anak kulit hitam dan
putih yang tinggal di satu kota yang sama. Ia tak menemukan perbedaan antara
kedua kelompok ini. Kemudian ia membandingkan beberapa kelompok anak usia
sekolah dasar di Zambia yang berasal dari lingkungan kota yang penuh dengan
benda arsitektur serta yang berasal dari lingkungan pedesaan yang minim benda
arsitektur. Ia menemukan bahwa efek ilusi ini tergantung pada sejauh mana
seorang anak tinggal di lingkungan berarsitektur. Ia juga menemukan bahwa
seiring pertambahan usia, efek ilusi ini berkurang, yang menunjukkan bahwa baik
hasil belajar maupun sifat bawaan punya peran dalam perbedaan cultural yang
tampak ini.
Hudson
(1960) mencoba mengembangkan sebuah tes proyektif mirip Thematic Apperception Test untuk digunakan pada suku Bantu di
Afrika Selatan.
Ia meminta
seorang seniman untuk membuat gambar-gambar yang menurut dugaan para ahli
psikologi akan membuat anggota suku itu memikirkan emosi-emosi mereka yang
mendalam. Para ahli psikologi ini terkejut karena menjumpai bahwa anggota suku
Bantu seringkali melihat gambar-gambar tersebut dengan cara berbeda dari yang
dimaksudkan. Anggota-anggota suku itu seringkali tidak menggunakan ukuran
relatif sebagai petunjuk kedalaman. Dalam ilustrasi yang ada, misalnya, kita
akan cenderung melihat bahwa si pemburu bersiap melempar tombaknya pada kijang
yang ada di latar depan, sementara ada seekor gajah yang berdiri di atas sebuah
bukit sebagai latar belakang. Banyak anggota suku Bantu justru melihat bahwa si
pemburu di gambar yang sama sedang bersiap menusuk gajak yang masih bayi.
Hudson menemukan bahwa perbedaan-perbedaan dalam persepsi kedalaman ini
terkait dengan pendidikan dan pengalaman dengan budaya Eropa. Dengan kata lain,
orang-orang suku Bantu yang terdidik di sekolah-sekolah Eropa, atau punya
pengalaman lebih banyak dengan budaya Eropa, akan melihat benda-benda seperti
halnya orang Eropa. Orang-orang suku Bantu yang tak berpendidikan dan minim
pengalaman dengan budaya Barat akan melihat gambar-gambar itu secara berbeda.
A.
PERKEMBANGAN KOGNITIF DAN
INTELEGENSI
Intelegensi dalam pandangan orang Amerika ialah sejumlah kemampuan,
keahlian, talenta, dan pengetahuan, yang keseluruhannya merujuk pada kemampuan
kognitif dan proses mental. Ruang lingkup dalam proses intelegensi ini ialah
memori, kekayaan kosa kata, kemampuan komperehensif, kemampuan matematis, dan
berpikir logis. Cara budaya mainstream Amerika
mendefinisikan inteligensi mempengaruhi pandangan banyak orang mengenai proses
perkembangan kognitif bahwa orang yang berasal dari budaya tertentu lebih
cerdas dibanding yang lain. Padahal perbedaan budaya juga sangat berperan dalam
menentukan definisi dari intelegensi/kecerdasan ini. Sebagai contoh, seorang
yang berada dalam budaya tertentu yang ada di pedalaman, kecerdasan yang harus
dimiliki mungkin bukanlah sebuah kecerdasan matematis dalam berhitung, namun
kecerdasan dan ketepatan dalam menangkap hewan buruan ataupun menyalakan api
dengan kayu bakar. Satu jenis alat tes yang digunakan mungkin menunjukkan hasil
yang berbeda pada setiap budaya dikarenakan adanya kemungkinan alat tes yang
bias budaya. Oleh karena itu, adanya perbedaan dalam skor intelegensi diantara
kelompok-kelompok budaya barangkali merupakan akibat atau hasil dari (1)
perbedaan keyakinan tentang apa yang disebut dengan intelegensi; (2)
ketidaktepatan pengukuran intelegensi terkait budaya.
Para ahli
psikologi telah banyak mempelajari bagaimana anak-anak belajar berpikir dan
bagaimana mendefinisikan dan mengukur kecerdasan. Skor IQ dapat menjadi faktor
penentu yang penting bagi hidup
seseorang, hasil tes tersebut harus ditafsirkan dengan amat hati-hati, terutama
bila ingin mengkur inteligensi lintas-budaya. Beberapa ahli
berpendapat mengenai perlunya
memahami inteligensi secara lebih luas untuk mengintegrasikan penelitian
lintas-budaya ke dalam teori yang dapat menjelaskan mengapa orang dari berbagai
belahan bumi berpikir dan mengembangkan keterampilan mental secara berbeda.
Misalnya persepsi
bahwa orang Cina itu lebih pintar dibandingkan orang Indonesia (Pribumi).
Sebenarnya hal itu hanyalah persepsi kita saja karena sudah terbentuk di
lingkungan sekitar kita dan didukung dengan bukti empiris bahwa negeri Cina
lebih maju.
v Teori Perkembangan Kognitif
Perkembangan
kognitif adalah bidang khusus dalam psikologi yang mempelajari bagaimana perkembangan keterampilan berpikir. Berdasarkan
pengamatan Piaget di Swiss, ia menemukan bahwa ternyata anak-anak dari usia
yang berbeda-beda cenderung memecahkan masalah secara berbeda. Anak-anak
berkembang maju melalui 4 tahap seiring pertumbuhan mereka menurut Piaget,
yaitu:
1. Tahap sensorimotor
Dimulai sejak lahir sampai 2 tahun.
Proses permanensi objek-kemampuan untuk mengetahui bahwa suatu benda itu tetap
ada meski tidak terlihat oleh pandangan mata. Misalnya di
Indonesia berkembang
mitos bahwa anak kecil memiliki
penglihatan yang sensitif sehingga dapat melihat makhluk-makhluk gaib atau yang
dikatakan “penampakan”. Hal itu akan membentuk konsep diri terhadap anak yang didukung oleh lingkungan yang kuat untuk memberikan si anak
pemahaman antara konsep magis dan rasionalitas.
2. Tahap pra operasional
Usia 2-7 tahun. Di bagi berdasarkan 5
sifat yaitu,
·
Konservasi: kesadaran bahwa adanya kuantitas
fisik yang tidak berubah meski bentuk atau penampakannya berubah.
·
Keterpakuan: kecenderungan untuk terfokus pada
satu aspek dari suatu persoalan/masalah.
·
Ketidakberhasilan: ketidakmampuan untuk membayangkan
“penguraian-balik”.
·
Egosentrisme: keidakmampuan untuk menggunakan
kacamata orang lain dan memahami sudut pandangnya.
·
Animisme: keyakinan bahwa benda-benda mati
punya nyawa.
3. Tahap operasional konkret
Usia 6-11 tahun. Anak memperoleh
keterampilan berpikir baru dalam menghadapi benda dan kejadian nyata. Mereka
bisa membalikkan dalam pikiran-bayangan proses suatu tindakan dan memperhatikan
lebih dari satu aspek dari suatu persoalan, mengerti ada sudut pandang berbeda
dari pandangan mereka. Dalam memecahkan masalah masih trial-error.
4. Tahap operasional formal
Pada usia 11 tahun sampai dewasa.
Mengembangkan kemampuan berpikir logis mengenai konsep abstrak, sistematis
dalam problem solving.
v Teori Tahapan Piaget dari
Perspektif Lintas Budaya
Teori Piaget ini berlangsung seperti empat tahapan tersebut di setiap budaya. Dari beberapa
penelitian pada anak-anak Inggris, Amerika,
Yunani, dan Pakistan menunjukkan dapat
mengerjakan tugas perkembangan Piaget pada tahap yang sama yaitu, tahap
operasional konkret (Shayer, Dementriou & Perez, 1988).
Penelitian lain menunjukkan adanya
variasi kultural pada
usia anak di
masyarakat yang berbeda-beda dalam pencapaian tahap perkembangan Piaget yang ketiga dan
keempat (tahap
operasional konkret dan tahap operasional formal) sehingga menyebabkan tahap perkembangan yang berbeda
dengan tahapan-tahapan yang dikemukakan oleh Piaget. (Dasen, Lavallee, Ngini, dan
Retschitzki, 1979; Dasen, 1982).
Dalam sebuah penelitian, terdapat variasi yang cukup besar antara
tahapan-tahapan perkembangan Piaget dan ketrampilan fisik yang terkait. Jadi
anak-anak yang tumbuh dan berkembang dalam suatu budaya dan usia tertentu secara tidak langsung dituntut untuk mempelajari
keterampilan-ketrampilan khusus yang sesuai dengan aturan
budayanya tanpa dipengaruhi oleh tahapan perkembangan Piaget.
Misalnya
pada anak-anak zaman dulu yang masih tinggal nomaden atau anak yang tinggal di
perkampungan memiliki keterampilan tertentu misalnya berburu. Dalam hal berburu
juga diperlukan perhitungan dan strategi yang pas untuk menangkap hewan
berburu. Belum tentu pola pikir seperti itu dimiliki oleh anak-anak dan orang
dewasa yang tinggal menetap di perkotaan.
Teori Piaget berasumsi bahwa penalaran
ilmiah yang diasosiaikan dengan tahap operasional formal merupakan puncak
perkembangan kognitif, dengan kata lain pemikiran ini menjadi acuan bagi setiap budaya dalam menentukan
langkah-langkah penalaran ilmiah. Penelitian lintas budaya mematahkan teori tersebut
dengan menyatakan bahwa masyarakat yang berbeda budaya menghargai dan mendorong
keterampilan dan perilaku yang berbeda-beda. Misalnya, cerdik-cendikiawan yang paling
dihormati oleh masyarakat islam tradisional adalah pemuka agama dan penyair.
Meskipun pendidikan islam tradisional sudah cukup mencakup pelajaran budaya barat (yang bersifat ilmiah seperti Matematika, Fisika, Kimia), tujuan utamanya ialah mengajarkan pengetahuan umum, iman, dan penghargaan yang mendalam atas
puisi dan sastra. Beberapa budaya di dunia tidak sepakat bahwa proses berpikir abstrak merupakan titik perkembangan kognitif
yang paling tinggi.
Banyak pula budaya yang menganggap bahwa perkembangan kognitif mencakup hubungan antara
ketrampilan dan proses berpikir untuk berhasil dalam konteks interpersonal (well adjusted dalam lingkungannya).
Apakah ini berarti bahwa suatu budaya
dapat digolongkan terhambat di tahap perkembangan kognitif yang rendah? Jadi
tugas-tugas Piagetian memang merupakan cara yang tepat untuk mengukur tahap
tertinggi dalam perkembangan kognitif. Sayangnya tes-tes tersebut tidak selalu
bisa dipahami dan diberikan pada budaya-budaya tertentu. Tes operasional
formal, tidak bisa menunjukkan apakah orang dari budaya yang berbeda memiliki
keterampilan kognitif di
bidang lain selain yang dipilih oleh
Piaget. Dari
pernyataan tersebut timbul pertanyaan tentang sejauh mana tugas-tugas Piagetian lebih tergantung
pada pengetahuan sebelumnya dan nilai-nilai budaya ketimbang keterampilan
kognitif. Misalnya pada salah satu tes inteligensi hasil adaptasi dari luar Indonesia terdapat kosa kata-kosa kata
tertentu yang belum tentu dimengerti
oleh orang Indonesia pada tahap perkembangan tertentu.
Pada akhirnya perbedaan dalam satu
atau beberapa budaya menyulitkan pengambilan kesimpulan yang valid tentang
perbedaan perkembangan kognitif antar budaya terbatas pada aktivitas-aktivitas
khusus. Misalnya
individu yang bisa menerapkan logika
ilmiah pada suatu masalah pekerjaan mungkin akan menggunakan penalaran yang
berbeda untuk situasi yang lain.
v Pengaruh Kultural pada
Pengukuran Intelegensi
Tes inteligensi menjadi cara untuk
membedakan anak-anak yang membutuhkan pendidikan luar biasa dengan anak-anak yang terhambat karena
alasan lain. Tidak
semua pihak diuntungkan oleh tes inteligensi ini karena tes-tes ini bergantung pada kemampuan verbal dan
pengetahuan kultural. Beberapa orang merespon bahwa tes inteligensi itu bias
dan tidak mengukur dengan akurat kemampuan orang dari budaya lain.
Dalam sebuah kontroversi dikenal perdebatan “nature vs culture”. Kubu nature
berpendapat bahwa
dalam skor IQ pada masyarakat dan kelompok-kelompok
etnis yang berbeda disebabkan oleh faktor alam atau keturunan. Perbedaan skor
inteligensi antar kelompok juga mungkin diakibatkan oleh:
1) Perbedaan definisi inteligensi
2) Ukuran inteligensi yang secara
kultural kurang tepat.
Seperti yang kita ketahui bahwa tes-tes inteligensi
merupakan prediktor yang baik dalam hal keterampilan verbal yang diperlukan
untuk bisa berhasil dalam budaya yang
terkait dengan sistem-sistem pendidikan formal di masyarakat modern, model yang sekarang
semakin banyak diadopsi di seluruh dunia. Pandangan lain yang dipegang oleh
ahli psikologi lintas-budaya bahwa tes-tes inteligensi memang mengukur
perbedaan yang nyata antara masyarakat yang berbeda, tapi perbedaan tersebut seharusnya
tidak dipandang sebagai kekurangan/kelemahan suatu budaya.
B. KEBERADAAN FAKTOR KOGNISI
DALAM PENGARUHNYA TERHADAP LINTAS BUDAYA
v Kecerdasan Umum
Flynn membuat suatu
penelitian dengan mengumpulkan data tes intelegensi dari 14 negara. Data
berasal dari pendaftar tetara dan didasarkan pada tes yang dikumpulkan dalam
beberapa tahun. Data diambil dari semua umur. Dari data trsebut diketahui
adanya peningkatan IQ di semua Negara, dengan nilai median 15 poin (dalam 1
standar deviasi) pada satu generasi. Flynn percaya bahwa tes IQ bukan ukuran
mutlak dalam melihat kemampian seseorang. Hasil penelitian Flynn adalah sebuah
informasi tentang penelitian lintas budaya, karena dia memperlihatkan kemampuan
rata-rata dalam tes IQ dan populasi adalah jauh dari kesetabilan dan dapat
berubah secara dramastis dalam waktu yang relatuf pendek.
Pada tahun 1997 van vijver mengumpulkan dan
menganalisis data dari 157 sisiwa putus sekolah dengan menggunakan jenis tes
kemampuan kognitif. Pertanyaan dugunakan untuk menyelidiki hunbungan antara
pendidikan dan kemampuan. Dengan menggunakan indek dasar anggaran belanja
pendidkan dan GNP dari sejumlah Negara. Dia menemukan suatu hubungan positif
kemakmuran suatu Negara dengan perbedaan kemampuan dari suatu kelompok budaya
dan juga berapa lama suatu pendidkan dilaksanakan. Penemuan dari Van Vijver
mendukung objek dasar melawan adanya inteprestasi rasial. Perbedaan kelompok
sejak lahir dapat mempengaruhi suatu lingkungan, lebih lanjut kondisi yang
kondusiv dalam pekembangan intelektual akan menjadi sama.
Mc. Shane dan Berry
mempunyai suatu tinjauan yang cukup tajam terhadap terhadap tes kemampuan
kognitif. Mereka menambahkan tentang deprivasi individu (kemiskinan, gizi yang
rendah, dan kesehatan), disorganisasi budaya sebagai pendektan untuk melengkapi
konsep G. jika disimpulkan beberapa hal yang memepengaruhi kemempuan kognitif
seseorang bukanlah budaya yang ada pada lingkungan mereaka akan tetapi
kemampuan ini dipengaruhi oleh faktor genetik, keadaan psikis, deprivasi
individu dan disorganisasi budaya.
v Genetic Epistemologi (Faktor
Keturunan)
Genetic Epistemologi
adalah salah satu teori dari Jean Piaget yang isinya adalah mengatakan bahwa
“adanya koherensi antara penampilan kognitif saat berbagai tugas diberikan pada
seseorang”. Dalam teori selnjutnya (dalam bahasan ini) piaget menerangkan
adanya 4 faktor yang mempengaruhi perkembangan kognitif yaitu faktor biologis,
berada pada sistem saraf. Kedua, Faktor keseimbangan, berkembang disebabkan
adanya interaksi antara manusia dengan lingkungan. Ketiga adalah faktor sosial. Keempat adalah faktor
perpindahan budaya, termasuk didalamnya pendidikan, kebiasaan dan institusi.
Yang akan menjadi fokus
utama dalam bahasan Genetik Epistemologi adalah pembagian epistemologi yang
terjadi dalam lintas budaya Psikologi Piagetian. Psikologi Piagetian berkembang
dari penelitian yang homogen menjadi heterogen. Penelitian lintas budaya yang
menggunakan paradigma ekokultural membawa kesimpulan bahwa ekologi dan faktor
budaya tidak mempengaruhi hubungan antar tahap tapi mempengaruhi seberapa cepat
dalam mencapainya.
v Cara Berpikir
Dalam pendekatan kecerdasan umum dan
genetik epistemologi, cara berpikir seseorang cenderung mengarah pada aspek
“bagaimana” dari pada aspek “seberapa banyak” (kemempuan) dalam kehidupan
kognitifnya. Kemampuan kognitif dan model-model kognitif merupakan salah satu
cara bagi sebuah suku dan anggotanya membuat kesepakatan yang efektif terhadap
masalahyang dijumpai dalam kehidupan sehari-hari. Pendekatan ini mencari pola
dari aktivitas kognitif berdasarkan asumsi universal bahwa semua proses berlaku
pada semua kelompok, tetapi pengembangan dan penggunaan yang berbeda akan
mengarah pada pola kemampuan yang berbeda juga.
Seorang pengembang
dimensi model kognitif FDI yang bernama Within menyatakan bahwa kemampuan
kognitif ini tergantung pada cara yang ditempuh untuk membuktikan “pola” yang
dipilih. Tetapi menjelaskan pola kuyrang begitu luas cangkupannya daripada
kecerdasan umum. Membangun FDI yang dimaksud adalah memperbesar kepercayaan
dari individu tersebut atau menerima lingkungan fisik atau sosial yang
diberikan, melakukan pekerjaan yang bertolak belakang seperti menganalisis atau
membangun.
Para pemburu dan
pemetik nomaden relatif berada pada lingkungan yangkurang berstruktur kehidupan
sosialnya dan lebih pada independent, begitu juga sebaliknya dengan pertanian
menetap. Kemudian perbedaan jenis kelamin juga sangat berpengaruh dalam struktur
sosial dan memperkuat bukti bahwa perspektif ekologi memberikan cangkupan yang
sangat luas untuk menguji keaslian dari perbedaan-perbedaan model.
v Contextualized cognition
(pengamatan kontekstual)
Secara garis besar Cole dan Scriber
memberikan suatu metodologo dan teori tetang kontek kognisi. Teori dan
metodologi tersebut diujikan untuk penghitungan kemampuan kognitif secara
spesifik dalam suatu kontek budaya dengan menggunakan kontek kognisi yang di
sebut sebagai Contextualized cognition. Untuk memperkuat pendekatan mereka,
cole membuat suatu studi empiris dan tunjauan terhadap literatur.
Misalnya dalam
budaya timur, asumsi stabilitas kepribadian sangatlah sulit diterima. Budaya
timur melihat bahwa kepribadian adalah kontekstual (contextualization).
Kepribadian bersifat lentur yang menyesuaikan dengan budaya dimana individu
berada. Kepribadian cenderung berubah, menyesuaikan dengan konteks dan situasi.
C. PENGARUH KOGNITIF TERHADAP
LINTAS BUDAYA
Ø Locus of control
Hal
paling menarik dari hubungan kognitif dengan konteks lintas budaya adalah
masalah locus of control. Sebuah konsep yang dibangun oleh Rotter (1966) yang
menyatakan bahwa setiap orang berbeda dalam bagaimana dan seberapa besar
kontrol diri mereka terhadap perilaku dan hubungan mereka dengan orang lain
serta lingkungan.
Locus
of control umumnya dibedakan menjadi dua berdasarkan arahnya, yaitu internal
dan eksternal. Individu dengan locus of control eksternal melihat diri mereka
sangat ditentukan oleh bagaimana lingkungan dan orang lain melihat mereka.
Sedangkan locus of control internal melihat independency yang besar dalam
kehidupan dimana hidupnya sangat ditentukan oleh dirinya sendiri.
Sebagai
contoh adalah penelitian perbandingan antara masyarakat Barat (Eropa-Amerika)
dan masyarakat Timur (Asia). Orang-orang Barat cenderung melihat diri mereka
dalam kaca mata personal individual sehingga seberapa besar prestasi yang
mereka raih ditentukan oleh seberapa keras mereka bekerja dan seberapa tinggi
tingkat kapasitas mereka. Sebaliknya, orang Asia yang locus of control
kepribadiannya cenderung eksternal melihat keberhasilan mereka dipengaruhi oleh
dukungan orang lain ataupun lingkungan.
Ø Diri individual
Diri
individual adalah diri yang fokus pada atribut internal yang sifatnya personal;
kemampuan individual, inteligensi, sifat kepribadian dan pilihan-pilihan
individual. Diri adalah terpisah dari orang lain dan lingkungan. Budaya dengan diri individual
mendesain dan mengadakan seleksi sepanjang sejarahnya untuk mendorong
kemandirian sertiap anggotanya. Mereka didorong untuk membangun konsep akan
diri yang terpisah dari orang lain, termasuk dalam kerangka tujuan keberhasilan
yang cenderung lebih mengarah pada tujuan diri individu.
Dalam
kerangka budaya ini, nilai akan kesuksesan dan perasaan akan harga diri
megambil bentuk khas individualisme. Keberhasilan individu adalah berkat kerja
keras dari individu tersebut. Diri individual adalah terbatas dan terpisah dari
ornag lain. Informasi relevan akan diri yang paling penting adalah
atribut-atribut yang diyakini stabil, konstan, personal dan insteransi dalam
diri.
Ø Kolektifitas
Budaya
yang menekankan nilai diri kolektif sagat khas dengan cirri perasaan akan
keterkaitan antar manusia satu sama lain, bahkan antar dirinya sebagai mikro
kosmos dengan lingkungan di luar dirinya sebagai makro kosmos. Tugas utama
normative pada budaya ini adalah bagaimana individu memenuhi dan memelihara
keterikatannya dengan individu lain. Individu diminta untuk menyesuaikan diri
dengan orang lain atau kelompok dimana mereka bergabung. Tugas normative
sepanjang sejarah budaya adalah mendorong saling ketergantungansatu sama lain.
Karenanya, diri (self) lebih focus pada atribut eksternal termask kebutuhan dan
harapan-harapannya.
Dalam
konstruk diri kolektif ini, nilai keberhasilan dan harga diri adalah apabila
individu tersebut mampu memenuhi kebutuhan komunitas dan menjadi bagian penting
dalam hubungan dengan komunitas. Individu focus pada status keterikatan mereka
(interdependent), dan penghargaan serta tanggung jawab sosialnya. Aspek
terpenting dalam pengalaman kesadaran adalah saling terhubung antar personal.
Dapat
dilihat bahwa diri (self) tidak terbatas, fleksibel, dan bertempat pad konteks,
serta saling overlapping antara diri dengan individu-individu lain khususnya yang
dekat atau relevan. Dalam budaya diri kolektif ini, informasi mengenai diri
yang terpenring adalah aspek-aspek diri dalam hubungan.
Ø Persepsi diri
Studi
yang dilakukan oleh Bond danTak-Sing (1983), dan Shwender dan Bourne (1984)
menunjukkan bagaimana perbedaan konstruk diri mempengaruhi persepsi diri. Studi
ini membandingkan kelompok Amerika dan kelompok Asia, subyek diminta menuliskan
beberapa karakteristik yang menggambarkan diri mereka sendiri. Respon yang
diberikan subyek bila dianalisa dapat dibagi ked lam dua jenis, yaitu respon
abstrak atau deskripsi sifat kepribadian seperti saya seorang yang mudah
bergaul, saya orang yang ulet; dan respon situasional seperti saya biasanya
mudah bergaul dengan teman-teman dekat saya.
Hasil
studi menunjukkan bahwa subyek Amerika cenderung memberikan respon abstrak
sedangkan subyek Asia cenderung memberikan respon situasional. penemuan ini
menyatakan bahwa individu dengan konstruk diri yang dependent cenderung
menekankan pada atribut personal: kemampuan ataupun sifat kepribadian;
sebaliknya individu dengan konstruk diri intersependent lebih cenderung melihat
diri mereka dalam konteks situasional dalam hubungannya dengan orang lain.
Ø Sosial explanation
Konsep
diri juga menjadi semacam pola panduan bagi kognitif dalam melakukan
interpretasi terhadap perilaku orang lain. Individu dengan diri individual,
yang memiliki keyakinan bahwa setiap orang memiliki serangkaian atribut
internal yang relatif stabil, akan menganggap orang lain juga memiliki hal yang
sama. Hasilnya, ketika mereka melakukan pengamatan dan interpretasi terhadap
perilaku orang lain, mereka berkeyakinan dan mengambil kesimpulan bahwa
perilaku orang lain tersebut didasi dan didorong oleh aspek-aspek dalam atribut
internalnya.
Ø Motivasi berprestasi
Motivasi
adalah faktor yang membangkitkan dan menyediakan tenaga bagi perilaku manusia
dan organisme lainnya. motivasi manusia merupakan konsep yang paling banyak
menarik perhatian dan diteliti dalam kajian psikologi, sekaligus paling
controversial karena banyaknya definisi dan pemikiran yang dikembangkan. Teori
motivasi yangn terkenal diantaranya disampaikan oleh Maslow dan Mc-Clelland.
Dalam
teori motivasi Maslow, manusia memiliki hierarki kebutuhan dari kebutuhan
paling dasar yaitu fisiologis hingga kebutuhan paling tinggi yaitu aktualisasi
diri. Sementara menurut Mc-clelland, manusia juga dimotivasi oleh dorongan
sekunder yang penuh tenaga yang tidak berbasis kebutuhan, yaitu berprestasi,
berafiliasi atau menjalin hubungan, dan berkuasa.
Dalam
tradisi barat, konsep diri bersifat individual, motivasi diasosiasikan sebagai
sesuatu yang personal dan internal, dan kurang terkait dengan konteks sosial
ataupun interpersonal. Dalam komunitas tradisi timur, konsep diri condong
dilihat sebagai bagian kolektifitas, kesuksesan adalah untuk mencapai tujuan
sosial yang lebih luas. Kesuksesan selalu dipandang terkait dengan kebanggaan
dan kebahagiaan orang lain, terutama orang-orang terdekat.
Ø Peningkatan diri (self
enhancement)
Memelihara
atau meningkatkan harga diri diasumsikan akan memiliki bentuk yang berbeda pada
budaya yang cenderung interdependent. Diantara orang-orang yang datang dari
budaya interdependent, penaksiran atribut internal diri mungkin tidak terkait
dengan harga diri (self esteem) ataupun kepuasan diri (self satisfiaction).
Sebaliknya, harga diri ataupun kepuasan diri terlihat lebih terkait dengan
keberhasilan memainkan perannya dalam kelompok, memelihara harmoni, menjaga
ikatan, dan saling membantu. Bagi orang-orang dri interdependent culture,
melihat dirir sebagai unik atau berbeda malah akan menjadikan ketidakseimbangan
psikologis diri. Mereka akan merasa terlempar dari kelompoknya dan kesepian
sebagai manusia.
BAB
III
PENUTUP
Kesimpulan
Kita tidak bisa sepenuhnya percaya pada apa yang kita lihat karena
penglihatan berbeda dari dunia faktual dalam pengertian absolutnya. Apa yang
kita lihat mungkin berbeda dari apa yang dilihat dan diyakini orang lain. Hal
inilah yang dinamakan dengan persepsi. Persepsi dipengaruhi oleh beberapa faktor
─termasuk usia,
pematangan, lingkungan dan situasi─ latar belakang kebudayaan tetap merupakan
penentu yang berpengaruh dalam persepsi kita terhadap dunia (persepsi dapat
dibentuk, diubah, dan dipengaruhi oleh kebudayaan di mana kita dibesarkan).
Kategorisasi yang merupakan
bagian dari proses kognisi ternyata tak berbeda anta budaya bila terkait dengan
pengalaman seperti warna, ekspresi wajah, dan bentuk-bentuk geomeetris. Hal ini
berarti, proses-proses dasar ini akan sama pada semua orang namun kategori
dapat pula menjadi berbeda ketika individu memiliki latar belakang pengalaman
kultural yang berbeda. Ketika ada perbedaan kultural yang muncul bukanlah dalam
kemampuan kognitif melainkan perbedaan dalam preferensi (pilihan) untuk
menggunakan gaya-gaya kognitif tertentu.
Hubungan inteligensi sebagai bagian dari proses kognisi memiliki banyak
definisi yang dipengaruhi oleh latar belakang budaya. Bagaimana sutau budaya
mendefinisikan apa yang disebut cerdas barangkali tidak sama dengan bagaimana
budaya lain mendefinisikan inteligensi. Oleh karena itu, pengukuran inteligensi
seharusnya disesuaikan dengan kemungkinan terjadinya bias budaya.
Daftar
Pustaka
Anonim. Artikel ini diakses di www.kompas.com pada tanggal 22 Agustus
2008.
Dayakisni, Tri dan ….. 2008. Psikologi
Lintas Budaya. Yogyakarta : UMM Press
Matsumoto,
David. 2008. Pengantar Psikologi Lintas
Budaya. Yogyakarta : Pustaka Pelajar
0 komentar:
Posting Komentar