BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar
Belakang Masalah
Adanya berbagai kebudayaan yang berbeda dan
bermacam-macam di segala penjuru dunia dimana kebudayaan tersebut dilakukan
masyarakat pada kehidupan yang kemudian berdampak pada berbagai hal seperti
pendidikan, emosi, kognisi dan kesehatan. Dari kebudayaan tersebut banyak
masyarakat yang sulit menerima hal-hal baru karena terkurung pada budaya
warisan nenek moyang mereka yang masih mereka pegang teguh dan mereka lebih
percaya akan hal itu daripada pada penemuan-penemuan atau hasil penelitian para
ilmuwan. Seperti misalnya mereka lebih mempercayakan seorang ibu melahirkan
kepada dukun ketimbang pada dokter atau bidan.
Budaya masyarakat yang mayoritas lebih terbiasa
mengobati daripada mencegah juga perlu diubah, bagaimanapun juga kebiasaan
mereka dalam mengatur pola hidup akan berdampak pada kesehatan mereka
masing-masing.Selain itu perlunya masyarakat mengetahui bahwa budaya memiliki
pengaruh pada kesehatan tidak hanya mencakup kesehatan fisik saja namun juga
pada kesehatan psikis mereka, dimana beberpa kebiasaan ternyata merupakan klasifikasi
gangguan mental.
B.
Rumusan
Masalah
1) Menjelaskan
beberapa klasifikasi gangguan mental dan sindrom-sindrom terkait dengan budaya.
2) Mendiskripsikan
factor budaya dalam psikoterapi
3) Mendiskripsikan
factor budaya dalam perilaku kesehatan
BAB II
PEMBAHASAN
A. PERILAKU KESEHATAN
Di tahun 1970-an terjadi suatu revolusi dalam cara berpikir mengenai
kesehatan. Sebagaimana ditunjukkan dalam penerimaan penuh atas Alma Ata
Declaration tentang “Health for All by the Year 2000” (World Health
Organization, 1988), ada suatu pergeseran cara, yaitu dari “mengobati penyakit”
ketika hal itu berlangsung ke “pencegahan penyakit” (melalui ukuran kesehatan
masyarakat seperti perawatan kesehatan dini), dan bahkan secara lebih
fundamental ke “promosi kesehatan” (melalui factor seperti diet dan latihan
yang sesuai serta penghindaran dari subtansi yang tak menyehatkan).Teknologi
medis berada pada suatu unsur penting dalam kesehatan baik penyembuhan atau
pencegahan, tetapi persoalan kini lebih pada “teknologi yang sesuai” dimana
populasi local dapat memahami, menggunakan, dan melakukan pemeliharan tekhnologi
yang ada pada mereka. Misal, sanitasi dan air yang aman dapat mencegah dan
mengurangi efek-efek penyakit diare.
Dalam Alma Ata Declaration (WHO, 1978), kesehatan fisik didefinisikan
sebagai suatu “keberadaan kebaikan fisik, mental dan social yang penuh, dan
bukan hanya ketiadaan penyakit”.Dalam bayangan gerakan ini dan perkembangan
antropologinmedis (Allland, 1970; Lieban, 1973), psikologi lintas budaya,
dengan mengambil gagasan gerakan itu dari segi variasi dalam budaya dan
perilaku individu, ditempatkan secara baik untuk memainkan peran penting dan
bermanfat dalam bidang yang diredefinisikan secara baru.
Psikologi juga telah mengembangkan sejumlah sub-bidang baru (“kedokteran
perilaku”, “psikologi kesehatan”, “kesehatan mental masyarakat”) dan seperangkat
sumbangan yang diredefinisi dibuat bagi kesehatan melalui bidang-bidang ini
(Holtzman, Evans, Kennedy & Iscoe, 1978). Psikologi lintas budaya telah
mulai mengambil langkah yang sama (missal Draguns, 1990; Ilola, 1990). Peran
ilmu social dan perilaku tidak sebatas berkutat pada kesehatan mental; pendekatan yang diangkat di
sini, psikologi dan psikologi lintas budaya masih relevan untuk persoalan
kesehatan fisik dan social.
B. Psikopatologi Lintas-Budaya
Dengan “perilaku-perilaku dan keberadaan yang abnormal”, para psikolog
dan psikiater biasa mengartikannya sebagai ciri-ciri perilaku atau pengalaman
individu yang dinilai asing atau aneh oleh orang lain, yang berinteraksi dengan
individu dalam kehidupan sehari-hari. Suatu daftar gangguan mental semacam itu
disajikan dalam boks 15-1; pparan lebih lengkap tersedia dalam buku tentang
psikologi abnormal (misal Coleman, Butcher, & Carson, 1980).
Persoalan utama yang berkaitan dengan psikopatologi
secara lintas budaya adalah apakah
fenomena ini absolut tak beragam
secara lintas budaya dalam asal usul, pengungkapan dan sebagainya), universal (hadir dalam beberapa bentuk
disemua budaya, namun menjadi pokok bagi pengaruh budaya pada factor yang
memungkinkannya, pengungkapan, dan sebagainya), atau relative secara budaya (unik
bagi beberapa budaya dan terpahami hanya menurut pengertian budaya itu).
Boks 15-1 Klasifikasi
gangguan mental
Untuk memudahkan
pelaporan internasional tentang
penyakit psikiatris, WHO
(1990) mengembangkan suatu “klasifikasi internasional tentang penyakit-penyakit” (icd-10 = International (Classificaton of Diseases). Para Penderita Gangguan Mental (Mental Disorders) ditempatkan dalam kategori-ktegori sebagai berikut:
1. Gangguan mental organik:
seperti penyakit dan dementia (karena factor organic seperti penyakit
Huntington dan Parkinson) Alzheimer.
2. Gangguan mental karena penggunaan
subtansi psikoaktif: seperti alcohol, tembakau, kanabis,
cadu, dan kokain.
3. Gangguan schizophrenia dan
delusional: seperti paranoia, katatonik,
schizophrenia dan delusi.
4. Gangguan-gangguan afektif:
seperti gangguan mood manik dan depresif.
5. Gangguan-gangguan neurotik:
seperti phobia, kecemasan, obesi, amnesia, kepribadian ganda, hipochondria
dan neurasthenia (sindrom kelelahan).
6. Ketidakberfungsian fisiologis:
seperti anorexia, obesity, insomnia, ngelindur, dan ketidakberfungsian
seksual (kekurangan hasrat, penikmatan atau respon)
7. Gangguan kepribadian:
seperti impulsive, kepribadian yang tergantung, persoalan identitas gender,
perjudian patologis, mudah terbakar, dan pencurian, termasuk abnormalitas
dalam hal preferensi seksual (fetishism, exhibitionism, voyeurism,
pedophilia, tetapi homoseksualitas tidak).
8. Keterbelakangan mental:
seperti perkembangan mental yang terhambat (IQ rendah).
9. Gangguan-gangguan perkembangan:
seperti bahasa, aphasia, kesulitan membaca; autisme, dan hiperkinesis.
10. Gangguan-gangguan masa
kanak-kanak: seperti persaingan antar saudara
kandung, tics (saradan, jawa.), ngompol dan gagap.
|
Kebanyakan calon penderita yang
mendukung posisi absolutis ialah penderita gangguan yang berakar dalam beberapa
fungsi biologis dasar: gangguan organic dan gangguan subtansi (kategori 1 dan 2
dalam boks 15-1). Respon fisiologis terhadap alcohol tampak beragam
lintas-kelompok (wolf, 1972), diduga karena alasan genetic, tetapi norma-norma
budaya tentang apa, dimana, dan berapa banyak alcohol yang diminum beragam, dan
mengarah ke pengungkapan penggunaan alcohol yang berbeda secara lintas
kelompok.
Scizopherenia, gangguan ini merupakan gangguan
paling umum didunia.Biasanya, tanda-tanda penderita gangguan ini adalah
kekurangan wawasan, halusinasi pendengaran, delusi referensi, afekasi yang
datar (WHO, 1973).Ada pandangan bahwa gangguan ini diturunkan secara genetic,
tetapi pengalaman-pengalaman tertentu juga boleh jadi berpartisipasi dalam
kemunculannya. Murphy (1982) mengusulkan, budaya dapat berpengaruh terhadap
perkembangan schizophrenia dalam empat cara: melalui salah latih berkaitan
dengan pemrosesan informasi; melalui pengharapan tentang pembuatan keputusan
ketika informasi menjadi tak jelas; dan melalui derajat sejauh mana keluarga
yang terjangkit schizorhenia dicegah atau didorong mempunyai anak.
Depresi.Gangguan jiwa penting lain yang
telah dikaji secara lintas budaya adalah depresi (kategori 4 dalam boks
15-1). Deprei dicirikan dengan sejumlah
besar persoalan dan symptom, termasuk suasana hati (mod) yang sedih dan
kekurangan energy, minat, dan penikmatan.Gangguan ini sering bersamaan dengan
perubahan-perubahan emosional (seperti rasa bersalah, marah dan cemas),
perubahan fisik (seperti gangguan tidur, kelelahan, dan kehilangan nafsu, berat
badan, dan kekuatan), perubahan perilaku (menangis, menarik diri, dan melakukan
agitasi) dan perubahan dalam dalam evaluasi diri (penghargaan diri yang rendah,
pesimisme, perasaan tak berpengharapan dan tak berarti).Beberapa depresi boleh
jadi bersamaan dengan kecenderungan bunuh diri (Engelsmann, 1982).
Boks
15-2 Sindrom-sindrom yang terkait dengan budaya
Dalam literatur psikiatri buadaya,
sejumlah gangguan “eksotik” telah dipapar dan tafsiran diberikan dalam
pengertian-pengertian local, kadang dengan nama pribumi untuk gangguan yang
masuk ke dalam literature medis (Yap,
1969; Pleiffer, 1982; Simons Huges, 1985). Suatu sampling terhadap beberapa
sindrom yang dikenal baik adalah sebagai berikut:
Amok menyertakan perilaku kejam, agresif
berjangka waktu tertentu (biasa pada laki-laki) di mana ada upaya membunuh atau
melukai seseorang.Gangguan ini dikenal di Asia Tenggara (Malaysia, Indonesia,
Thailand).Amok ialah istilah Melayu, berarti “berjuang mati-matian di medan
peperangan” (Westermeyer, 1973).Amok berhubungan sangat jelas dengan “perilaku
pejuang Viking (berserker) yang pertama-tama memasuki medan laga (Leff,
1981).Istilah running amok dan going berserk sekarang lazim digunakan.Ini
dianggap karena adanya stress, kurangnya tidur, dan konsumsi alkohol.
Kelelahan
otak (brain fag) menyertakan
persolan-persoalan belajar akademis, sakit kepala, kelelahan mata, dan
ketidakmampuan berkonsentrasi. Hal ini muncul secara luas pada mahasiswa Afrika
Barat, sering pada awal kuliah atau persekolahan atau ujian-ujian (Prince,
1960) dan benar-benar tak dikenal diluar daerah
budaya itu.
Koro
melibatkan pengindraan (sennsasi) bahwa
penis seseorang (laki-laki) sedang berereksi kea rah daerah perut dan keyakinan
kalau penis itu mengecil akan terjadi kematian. Usaha-usaha panic untuk
mempertahankan penis itu agar tetap berereksi dapat mengakibatkan kerusakan
fisik.
Latah
menyertakan perilaku imitative
(biasa diantara perempuan) yang tampaknya berada di luar kendali;
gerakan-gerakan dan percakapan ditiru, dan individu dalam keadaan ini patuh
terhadap perintah untuk melakukan hal-hal di luar teba perilakunya yang biasa
(missal untuk berbicara atau melakukan hal porno).Kemunculannya sering akibat
dari rangsang yang tiba-tiba mengejutkan.Istilah latah berarti ticklish
(perilaku yang berkali-kali dilakukan, diluar kesadaran) dalam bahasa Melayu.
Pibloqotoq melibatkan sesuatu ketertergesa-gesaan
yang tak terkendali untuk menanggalkan pakaian, kncing baju, dan menghirup
udara musim dingin Artctic. Hal ini dikenal di Alaska, Greenland, dan Arctic
Kanada berkaitan baik dengan kondisi lingkungan terisolir dan persediaan
kalsium yang terbatas selama musim dingin.
Susto
melibatkan insomnia, apatis,
depresi, dan kecemasan sering dikalangan anak-anak, biasa terbawa di bawah
pengalaman ketakutan.Di antara orang dataran tinggi Andean, hal ini dipercaya
sebagai hasil kontak dengan kekuata-kekuatan supranatural (tukang sihir, mata
jahat) dan akibat kehilangan roh.
Witiko
melibatkan suatu perasaan
ketidaknyamanan terhadap makanan sehari-hari dan perasaan depresi serta
kecemasan, mengakibatkan pemilikan semangat witiko (suatu monster pemakan
manusia raksasa) dan sering mengakibatkan pembunuhan dan kanibalisme.Hal ini
terjadi pada orang-orang Indian di Kanada dan ditafsirkan sebagaibentuk ekstrem
dari kecemasan yang berlebihan untuk menglami kematian demi menghindari hasrat
kanibalistiknya.
Hal-hal menarik dari sindrom-sindrom
ini adalah pada kualitas-kualitas eksotiknya (bagi pengamat
Barat).Sindrom-sindrom demikian biasa ditafsirkan dalam pengertian budaya
mereka sendiri.Persoalan psikiatri budaya ialahapakah sindrom-sindrom itu juga
dapat terpahami dalam suatu kerangka kerja psikopatologi yang universal.
C. Faktor
budaya dalam psikoterapi
Ada 2 faktor budaya yang dilibatkan
dalam perkembangan dan tampilan psikopatologi. Maka ada factor yang dilibatkan
dalam proses upaya mengurangi persoalan-persoalan ini.Ada hubungan antara
klien, terapis, dan masyarakat yang berfungsi sebagai titik pemisah yang
berguna untuk mengenali kesamaan dan perbedaan-perbedaan.
Kesamaan esensial adalah keyakinan
budaya dan praktek-praktek yang ada dalam suatu masyarakat masuk kedalam proses
psikoteraupetik karena kesamaan ini membentuk bagian, baik dari definisi
terapis maupun klien dan pemahaman terhadap masalah. Perbedaan awal adalah
dalam psikoterapi pribumi, ketiga
unsur membentuk suatu budaya umum karena tak ada situasi antarbudaya yang
dilibatkan.
Psikoterapi ialah suatu istilah umum yang
dikembangkan untuk merujuk pada praktek yang melibtkan seorang pasien dan
seorang penyembuh dalam suatu hubungan personal, tujuannya menghilangkan
penderitaan pasien karena suatu gangguan psikologis atau permasalahan
psikologis.Bentuk dari terapi buasanya lebih psikologis ketimbang fisik.
Psikoterapi
pribumi.Di antara
sejumlah psikoterapi pribumi, ada yang
berakar di budaya dan pemikiran Jepang: terapi Morita (Miura & Usa, 1970) dan terapi Naikan (Tanaka-Matsumi, 1979). Menurut Murase (1982, hal. 317),
kedua terpi ini merupakan “kebangkitan dan berkiblat ke suatu penemuan kembali
akan nilai inti masyarakat Jepang”.
Terapi Morita dikembangkn di Jepang
oleh psikiater S.Morita (1874-1938) selama tahun 1920-an untuk memberi
perlakuan terhadap persoalan-persoalan psikoneurotis dan didasari isolasi dan
istirahat ketimbang interaksi verbal. Terapi Morita berakhir sekitar empat
sampai delapan minggu dan dibagi menjadi empat tahap:
1) Istirahat total di tempat tidur dan
isolasi selama empat sampai sepuluh hari; pasien secara total tak aktif dan tak
diizinkan bercakap-cakap, membaca menulis, atau mendengar radio.
2) Selama tujuh hingga empat belas hari
berikut pasien keluar dari tempat tidur dan diperbolehkan di kebun di mana ia
menyukai pekerjaan-pekerjaan ringan; pasien mulai menulis buku harian untuk
dokter; tetapi kontak manusiawi lain dilarang.
3) Selama seminggu atau dua minggu
berikut pasien diinstruksikan bekerja berat, melanjutkan buku harian dan
memperhatikan kuliah dokter berkenaan pengendalian diri dan sebagainya.
4) Akhirnya secara bertahap kembali ke
kehidupan social penuh dan pekerjaan sebelumnya; pasien melanjutkan kontak
dengan dokter dan mengikuti sesi kelompok dengan pasien lain sesuai dengan
kesanggupan pasien. (Prince, 1980, hal.299).
Amae adalah suatu kebutuhan
ketergantungan yang dianggap bernilai tinggi dalam kehidupan orang Jepang dan
dilawankan dengan ketaktergantungan dan kendali atas nasib seseorang yang
ditekankan selama masa psikoterapi Barat (Doi, 1984).Kaitannya dengan terapi
Morita, tujuan Morita lebih untuk membuat pasien menerima realitas dari
kehidupan ketimbang mencoba membawa realitas itu sejalan kebutuhan dan hasrat
pasien (Pedersen, 1981).
Terapi Naikan, semacam introspeksi yang berasal dari istilah Jepang Nai
(“di dalam”) dan kan(“melihat”).
Tujuannya:
1) Penemuan rasa bersalah pribadi dan
otentik karena tak berterima kasih dan menyusahkan orang lain di masa lampau,
dan
2) Penemuan suatu rasa berterima kasih
yang positif terhadap individu-individu yang telah membuat klien bahagia dimasa
lampau. Pendeknya, rasa bersalah dan terima kasih. Tatkala tujuan-tujuan ini
terpenuhi, suatu perubahan tak terduga dalam gambaran-diri da sikap
antarpribadi terjadi. (Murase, 1982, hal. 317)
Prosedur-prosedur itu mengharuskan
pasien duduk secara tenang dari jam 5.30 sampai jam 9.00 selama tujuh hari
untuk berintrospeksi sepanjang waktu itu kecuali menerima kunjungan seorang
“pewawancara” setiap Sembilan puluh menit sekali. Pasien diinstruksikan melihat
dirinya sendiri dan hubungannya dengan orang lain dari tiga prespektif:
1) Perhatian yang diterima. Instruksi
pertama untuk “mengumpulkan kembali dan menguji ingatanmu berkenaan dengan
perhatian dan kebaikan yang kau terima dari orang tertentu selama waktu
tertentu dalam kehidupanmu. Klien biasa mulai dengan pengujian tentang hubungannya dengan ibu, hubungannya dengan
anggota keluarga lain dan hubungan dengan orang-orang dekat dari masa
kanak-kanak hingga sekarang.
2) Membalas. Selama masa tertentu
“mengumpulkan kembali apa yang telah kau lakukan untuk orang-orang itu sebagai
tindak balas budi”.
3) Kesusahan-kesusahan yang disebabkan.
“Kumpulkan kembali apakah kesusahan dan kekawatiran yang telah kau lakukan pada
orang itu pada waktu yang bersamaan.”(Murase, hal 317).
Pengujian itu dibawakan dengan
menempatkan beban kesalahan lebih pada klien ketimbang pada ‘orang lain’ (Murase,
1982, hal.318).
Nilai sunaodiakui luas di Jepang dan memiliki sejumlah ragam makna, tapi
intinya (dalam realitas antar pribadi) menunjuk pada sikap tunduk atau pasrah,
menerima (ketimbang menuntut), dalam keserasian dengan lingkungan social
seseorang (ketimbang egosentris), berpikiran terbuka, jujur dan bebas dari
antagonism dan persaingan. Dalam realism intra-pribadi hal itu menunjuk pada
sikap santai luwes, gentle, bebas dari pertentangan dan kekecewaan, tanpa bias
dan senada dengan rasa senang dan terima kasih (Murase, 1982, hal 321).
Vodoo
adalah suatu sintesis dari keyakinan
dan praktek Afrika, Katolik Roma, dan keyakinan local kedalam suatu agama
kerakyatan yang telah berfungsi untuk memberikan kepada orang-orang Haiti suatu
perasaan jatidiri yang unik. Dalam penyembuhan voodoo, ada suatu matriks hubungan yang cukup erat yang tidak saja
melibatkan seorang pasien dan terapis tetapi seorang penganut pasien dan
sejumlah roh jahat dan roh baik, semuanya membaur dalam suatu system religious
medis yang kompleks; system ini kembali berakar dalam suatu situasi kontak
budaya (akulturasi) yang mengakibatkan perekmbangannya dan menjalar hingga
mendapat penerimaan dari populasi itu.
Sejumlah besar psikoterapi pribumi
semacam itu (atau sempalan-sempalannya) sekarang sedang diterima ke dalam
pemikiran medis barat sebagai pelengkap praktek psikoterapi lain (Jilek, 1871,
1988).
Dalam psikoterapi pribumi kita
mencatat gagasan-gagasan yang unik secara budaya dan praktek yang menjai bagian
dari kompleks yang lebih besar dari keyakinan dan nilai budaya, itu semua punya
efek positif dalam latar lokal.
D. Faktor
budaya dalam perilaku kesehatan
Fokus baru berkenaan dengan promosi
kesehatan dan pencegahan penyakit telah menciptakan suatu peran bagi ilmuwan
social dan perilaku dalam perkembangan dan implementasi program kesehatan
masyarakat. Misal, kampanye mengurangi penyalahgunaan obat, pengurangan minuman
keras dan seruan diet berkadar lemak rendah dan latihan, secara jelas merupakanaktivitas
yang memungkinkan keahlian pakar psikologi social dalam pengubahan sikap dan
para psikolog klinis dalam modifikasi perilaku dapat memainkan bagian penting.
Di Negara berkembang, peran yang sama juga dikenal dalam bidang-bidang
persoalan yang sama sebagaimana parasite dan pemindahan penyakit lain dan dalam
meningkatkan harapan hidup anak (Harkness, Wyon, & Super, 1988).
Malaria.Ini merupakan persoalan kesehatan
utama di banyak daerah tropis di dunia.Malaria dibawa parasite yang
mensyaratkan nyamuk sebagai sarang dan nyamuk mensyaratkan air menggenang
sebagai lingkungan pembiakan.Perlakuak individual menggunakan obat kinnie
sebagai upaya pengobatan ayau penyembuhan telah menjadi perlawanan umum
terhadap penyakit ini.Beberapa pencegahan dilakukan missal dengan penggunaan
kelambu.
Pada tahun 1950 diadakan
pemberantasan nyamuk secara besar-besaran dengan menggunakan insektisida.
Sementara itu dibeberapa daerah menjadi benar-benar bebas malaria, terjadi
penimbulan kembali karena makin kebalnya nyamuk terhadap perlakuan kimia baik obat-obatan maupun
insektisida.Pendekatan alternative untuk mengendalikan penyakit itu dengan
mengembangkan teknik social dan perilaku telah dikemukakan oleh L. Miller,
1984.
Tiga factor perilaku dianggap
penting oleh para peneliti proyek.Pertama,
penduduk desa tidak melihat malaria sebagai persoalan penting dan genting yang
harus segera diatasi.Kedua, persepsi
tentang program pengendalian yang sebelumnya telah diterapkan dengan menyemprot
dan mengadministrasikan pengobatan oleh peninjau dari luar.Penelitian menunjukkan
hal itu dipandang sebagai hal yang berat untuk ditangani dan mencemaskan,
mensyaratkan kontra pengukuran secara mahal didasarkan pada kedokteran.Ketiga, hubungan simbolik antara
perilaku manusia dan perilaku nyamuk dapat diklasifikasikan penelitian ilmu
perilaku, temuan awal yang mengungkap pola-pola preferensi habitat dan teritori
nyamuk dan preferensi darah (darah hewani pada kenyataannya cocok dimasuki
darah manusia).
Kebertahanhidupan
anak.Harkness dkk.(1988) menguji
“kebertahananhidupan anak (child survival) suatu orientasi yang lebih positif
daripada “mortalitas anak”. “Strategi GOBI” (suatu akronim untuk empat butir
yang dijajar dibawah ini) dari UNICEF ditujukan pada peningkatan angka
kebertahanhidupan anak di seluruh dunia dan mengkonsentrasikan pada empat
teknik:
1) Growth
monitoring, atau
pemantauan berkelanjutan, untuk menemukan kasus-kasus kegagalan pertumbuhan da
malnutrisi.
2) Oral
rehydriation,
atau terapi dehidrasi oral, untuk bayi dan anak-anak balita berkaitan dengan
diarhe agar mengurangi angka mortalitas yang tinggi karena kekurangan cairan.
3) Breastfeeding
promotion, atau
promosi kepada para ibu untuk memberikan ASI, karena keuntungan nutrisional dan
keuntungan immunologis sebagaimana halnya pengurangan secar tak langsung atas
kontaminasi dari pemberian minum melalui botol yang tak sehat.
4) Immunization, atau imunisasi terhadap
penyakit-penyakit infeksi masa kanak-kanak (Harkness dkk, 1988 hal 245-246)
Malnutrisi dan perkembangan
psikologis. Tujuan utama dari penelitian semacam ini adalah untuk memahami secara lebih baik
sebab-sebab dari malnutrisi (yang diakibatkan kekurangan makanan) dan mekanisme
dari efeknya pada perkembangan psikologis agar malnutrisi dapat dicegah sama
sekali atau sekurang-kurangnya meminimalisasikan efeknya yang merugikan. Berat
badan (dalam kaitannya dengan usia dan tinggi badan) menunjukkan kesia-siaan, atau malnutrisi yang
sedang berlangsung, dan tinggi badan (untuk usia) menunjukkan penyelesaian;
atau pengaruh malnutrisi (kronis) jangka panjang. Para nutrisionis menggunakan
ukuran-ukuran antropometris ini (sebagaimana yang lain seperti cakupan kepala,
dada, dan lengan) untuk mengklasifikasikan status nutrisional ke dalam
malnutrisi normal, ringan, sedang atau beberapa. Dikatakan bahwa anak-anak yang
ditemukan mendapatkan beberapa gejala PEM (Protein-energy
malnutrition) yaitu malnutrisi yang menghendaki perawatan rumah sakit untuk
menghindari kematian, terutama jika hal itu terjadi dalam masa dua tahun
pertama dalam kehidupan bayi dan berlangsung selama beberapa bulan terakhir,
menunjukkan suatu keterbelakangan yang menonjol dalam perkembangan intelektual
mereka (dalam pengertian psikometris terlihat dari penurunan dalam jenjang IQ).Malnutrisi
sedang atau sangat juga memiliki pengaruh yang dapat terukur pada perkembangan
kognitif; dalam satu kajian Afrika Barat (Dasen dkk, 1978).
Sekarang banyak diketahui bahwa
malnutrisi biasanya menjadi bagian dari system ekologi-ekonomis-sosio-budaya
yang mencakup, sebagai tambahan terhadap factor biologis dari nutrisi yang
dibawah optimal, kondisi-kondisi lingkungan lain yang lebih luas, seperti
kemiskinan, perumahan dan sanitasi yang miskin, terpaan yang berulang-ulang
dari penyakit infeksi, perawatan kesehatan yang tak memadai dan praktek
pemberian makanan dan pengasuhan anak.
Sindrom malnutrisi dan kemiskinan
sdemikian jauh menjadi factor makro-lingkungan antara yang menghubungkan dengan
system social dan politik (sebagai missal ketidakmerataan sebaran
kesejahteraan, kekurangan dalam pemilikan
tanah), dan secara lebih umum dikatakan dikaitkan dengan ekonomi dunia
yang tak imbang (terutama pada belahan selatan). Malnutrisi tidak terjadi pada
semua keluarga dan semua individu. Hal ini menunjukkan bahwa factor risiko lain
berkaitan dengan keluarga dan lingkungan rumah (sebagai misal, jumlah anak yang
besar dalam keluarga, ketiadaan atau kurang terlibatan dari ayah, stress dalam
hubungan perkawinan, alkoholisme) dan dengan karakteristik ibu atau pengasuh.
Beberapa anak juga lebih rentan
untuk menderita akibat malnutrisi ketimbang yang lain karena factor
konstitusional atau sejarah medis mereka (kelahiran premature, berat badan yang
rendah sewaktu lahir, komplikasi medis perinatal, penyakit infeksi dan parasite,
dan sebagainya. Fernandez danGuthrie (1983) telah mengajukan argumentasi bahwa
program-program yang dirancang untuk mendukung dan mendorong pemberian susu ASI
dan makanan tambahan hendaknya mengangkat systemkeyakinan pribumi dalam
pertimbangannya.Dalam sutu kajian intervensi yang sukses di Filipina Fernandez,
Estrera, Barba, Guthrie, dan Guthrie (1983) menggunakan pengukuh eksternal
(pujian, dorongan, tiket lotre, dll.
E. PENGARUH SOSIOKULTURAL PADA GANGGUAN
PSIKOLOGISDAN PERILAKU ABNORMAL
Salah satu dari pertanyaan lintas
budaya yang penting adalah penyelidikan tentang peran kultur dalam memahami,
menafsir, dan mengobati/merawat perilaku abnormal. Beberapa tema utama sudah
memandu riset dan pemikiran dalam area psikologi ini.Yang pertama dan terkemuka
adalah pertanyaan mengenai definisi abnormal.
1.
Mendefinisikan
Abnormal
Ada
beberapa sudut pandang secara tradisional dalam memberikan batasan tentang
perilaku abnormal.Salah satu sudut pandang mendefinisikan abnormalitas dengan penggunaan
pendekatan statistic dan aplikasi tentang kreteria kerusakan/kelemahan, penyimpangan.Sebagai
contoh, perilaku seseorang bisa digambarkan sebagai abnormal sebab kejadiannya
adalah jarang.Ia menjadi tidak berhubungan lagi dengan lingkungannya, mempunyai
keyakinan yang salah bahwa ia adalah binatang, dan berbicara dengan yang mati.
Fenomena ini bukan merupakan pengalaman umum.
Kita
mungkin juga menyimpulkan bahwa perilaku itu abnormal karena nampaknya jauh
bertentangan dengan norma-norma sosial.Tetapi, tidak semua perilaku yang secara
sosial menyimpang dapat dipertimbangkan abnormal atau secara psikologis
terganggu.Sebagai contoh, banyak orang-orang tetap berpegang pada kepercayaan
bahwa homoseksualitas adalah penyimpang (deviant), walaupun hal itu tidak lagi
digolongkan sebagai gangguan mental (menurut Asosiasi Psikiatris, 1987).
2.
Sudut
Pandang Tentang Abnormalitas Secara Lintas Budaya
Sudut
pandang ini menyatakan bahwa kita harus menerapkan prinsip tentang relativisme
budaya pada abnormalitas. Sebagai contoh, perilaku seseorang yang berbicara
dengan orang mati dan mengganggap dirinya sendiri sebagai binatang mungkin
dianggap terganggu jika hal itu terjadi di sudut jalan dalam suatu kota besar
di Amerika Serikat. Namun ini bisa dimengerti dan sesuai atau dianggap bukan
sebagai gangguan, jika terjadi dalam suatau upacara shamanistic di mana ia
sedang bertindak sebagai penyembuh.
F. PERBEDAAN BUDAYA DALAM MENGHADAPI
PENYAKIT
Perbedaan dalam Pelayanan Kesehatan dan Sistem Pengiriman
Medis
Untuk
memahami bagaimana kultur berbeda dalam menghadapi macam-macam penyakit psikologis
dan medis, pertama harus mengenali perbedaan yang ada dalam system pelayanan
kesehatan. Faktor-faktor ini meliputi perkembangan sosial dan ekonomi, kemajuan
teknologi dan ketersediaannya, dan pengaruh Negara-negara tetangga atau
kerjasama.Perbedaan dalam perilaku abnormal melibatkan pengidentifikasian dan
penggambaran gejala/symptom individu dalam konteks tingkatan keseluruhan fungsi
dan lingkungan. Alat/ instrument dan metode asesmen harus peka pada budaya dan
pengaruh lingkungan lain perilaku dan fungsinya.
1. Penilaian (asesmen) antara budaya
tentang perilaku abnormal
Alat-alat
asesmen klinis tradisional dalam psikologi didasarkan pada suatu definisi standard
abnormalitas atau kelainan dan menggunakan suatu standars criteria penggolongan
untuk mengevaluasi perilaku.
2. Treatmen (perawatan) perilaku
Abnormal Secara Lintas Budaya
Dalam
dua dekade yang lalu, telah muncul hasil-hasil riset yang menunjukkan bahwa
klien secara cultural berbeda tidak sesuai dilayani dengan metode treatmen yang
tradisional.
1 komentar:
Hai, konten yang menarik :) boleh tau referensinya?
Posting Komentar